Showing posts with label Jokowi-JK Tiga Tahun. Show all posts
Showing posts with label Jokowi-JK Tiga Tahun. Show all posts

Tuesday, December 12, 2017

Labirin Tahun Politik Jokowi

Labirin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai "tempat yang penuh dengan jalan dan lorong yang berliku-liku dan simpang siur" atau "sesuatu yang sangat rumit dan berbelit-belit." Kondisi itulah yang dialami Presiden Joko Widodo (Jokowi) disisa dua tahun pemerintahannya. Tahun depan bangsa Indonesia memasuki tahun politik. Sebanyak 171 daerah akan menghelat pilkada secara serentak. Di saat bersamaan, genderang tahapan Pemilihan Legislatif 2019 dan Pemilihan Presiden 2019 mulai ditabuh. Ini artinya, ada dua peristiwa politik dengan bobot resonansi tinggi akan berlangsung pada sisa dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tahun politik akan menyita sebagian besar energi politik elite pemerintahan. Pertama, Jokowi merupakan presiden yang menjabat periode pertama. Meski belum secara resmi deklarasi pencalonan pada Pilpres 2019, namun riak-riak konsolidasi ke arah sana makin benderang. Artinya, hampir bisa dipastikan Jokowi akan kembali berlaga memperebutkan singgasana RI-1.
Besar kemungkinan konsentrasi Jokowi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan akan terganggu. Energi Jokowi akan terkuras dalam arena konsolidasi politik melihat posisinya belum aman dalam urusan "tiket pencapresan". Berbega kasus misalnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu merupakan ketua umum Partai Demokrat. Ini belum soal elektabilitas Jokowi yang kini masih di bawah kisaran 50 persen. Secara elektoral, tingkat keterpilihan dengan angka tersebut bukanlah posisi "aman". Konfigurasi peta politik ini tentu sedikit banyak akan menguras energi Jokowi. Kedua, di antara 171 daerah yang menggelar hajatan demokrasi, tidak sedikit di antaranya kandidat incumbent. Seperti halnya Jokowi, besar kemungkinan konsentrasi mereka akan terbelah. Kondisi itu tentu tidak menguntungkan Jokowi dalam upaya mempercepat segala agenda pembangunan. Pasalnya, tanpa bersinergi dengan pemerintah daerah, target akselerasi pembangunan sulit terealisasi.
Ketiga, sebagian besar pembantu presiden merupakan pentolan orang-orang parpol, bahkan jumlahnya lebih dari 50 persen. Sudah menjadi tradisi, para menteri kerap menjadi juru kampanye parpol dalam setiap momentum pilkada ataupun pileg. Mereka dianggap mampu menjadi "magnet elektoral" bagi publik sehingga diharapkan dapat membantu mendulang lumbung suara partai. Itulah sejumlah tantangan penting yang perlu kita ingatkan bersama. Memang harus diakui kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi selama tiga tahun mengalami kenaikan. Survei SMRC September 2017 lalu mengungkapkan, sebesar 68 persen publik puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Jika dibandingkan tingkat kepuasan publik atas kinerja Presiden ke-6 SBY dengan Jokowi pada periode masa kepemimpinan yang sama, kepuasan terhadap Jokowi lebih tinggi.
Tantangan Ekonomi
Meski begitu, selama tiga tahun memimpin, Jokowi juga tak bisa lepas dari catatan kekurangan, salah satunya persoalan ekonomi. Meskipun kinerja sektor ekonomi terbilang ada kenaikan, namun kenaikannya masih minim. Survei CSIS menyebut kepuasan bidang ekonomi hanya 56,9%. Bila dibandingkan dengan kinerja ekonomi pemerintahan sebelumnya, angka yang diperoleh Jokowi relatif masih rendah. Padahal sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa saat hajatan politik digelar, suasana penuh ketidakpastian kerap menyelimuti. Suasana ketidakpastian akibat menyembulnya beragam polarisasi politik jelas sangat tidak kondusif untuk sektor perekonomian. Pasalnya, perekonomian yang sehat dan bergairah mensyaratkan adanya kepastian iklim usaha.
Apalagi tahun 2018 sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, pemerintah punya target pertumbuhan ekonomi di angka 5,4 persen. Kondisi ini mengisyaratkan bila suasana tahun politik tidak mampu terkelola dengan baik, target pertumbuhan ekonomi tersebut bukanlah target yang mudah dicapai. Sebaliknya, turbulensi ekonomi yang pada gilirannya dapat berdampak pada krisis kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Jokowi bisa saja terjadi. Secara politik, hal itu jelas sangat merugikan Jokowi karena bukan tidak mungkin kegagalan dalam sektor ekonomi akan menjadi "batu sandungan" dalam meneruskan estafet kepemimpinan di periode berikutnya.
Perkuat Soliditas
Sebagai pemegang kendali di republik ini, Presiden Jokowi mesti pintar-pintar mengatur strategi dalam menghadapi tahun politik. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan kinerja di tahun politik adalah dengan memperkuat soliditas di semua sektor pemerintahan. Soliditas dan kekompakan itu perlu dimulai dari para pembantu presiden. Kegaduhan politik akibat manuver sejumlah pembantu presiden belakangan mesti dihindari. Presiden Jokowi perlu memberi peringatan tegas kepada segenap pembantunya supaya menciptakan iklim kondusif mesti tahun politik tengah berlangsung. Di sisi lain, upaya Presiden Jokowi membangun sinergi dengan pemerintahan daerah juga perlu diperkuat. Sebab, meski kepala daerah secara struktur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, namun faktanya kini dianggap terlalu otonom untuk bisa mendukung agenda pemerintah pusat. Selama ini para kepala daerah lebih cenderung menjalankan agendanya masing-masing. Dua tahun menjelang sisa pemerintahan Jokowi, penyatuan visi antara pemerintah pusat, para menteri dan kepala daerah, perlu kembali dilakukan. Selain sebagai upaya menggenjot target kinerja masing-masing sektor, Presiden Jokowi perlu mereview kembali komitmen segenap menteri dan kepala daerah untuk mensukseskan agenda-agenda pemerintahan pusat. Sebab, komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan soliditas. Tanpa itu, soliditas untuk menggonjot kinerja di tahun politik akan sulit terealisasi.
Ali Rif'an, Direktur Riset Monitor Indonesia

DETIKNEWS, 28 November 2017

Tiga Tahun Politik Jokowi-JK

Mungkin, sudut pandang paling “tepat” menilai aspek politik-ekonomi tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah dengan melihat sejauh mana negara mampu memetik keuntungan secara maksimal dalam pola permainan tata “baru” ekonomi internasional dan pendalaman kehadiran negara ke dalam percaturan ekonomi nasional. Yang pertama adalah lapangan di mana negara harus berhadapan dengan sekian banyak variabel yang tak bisa dikontrol (uncontrolable variables). Yang kedua lapangan di mana negara memegang kontrol utama. Usaha menjelaskan keduanya akan memberikan pemahaman obyektif tentang keberadaan politik-ekonomi Indonesia di bawah Jokowi-JK.
Rezim Globalisme Terbelah?
Tentu, frasa “rezim globalisme terbelah” (fractured globalism regime) ini tidak tepat benar dikenakan di sini. Hanya saja, saya terinspirasi menggunakannya setelah membaca frasa “Europe’s New Order”, judul berita The Economist (30/9/2017), yang menggambarkan potensi perubahan peta kepemimpinan ekonomi Eropa jika usaha reformasi Presiden Perancis Emmanuel Macron dapat dilaksanakan. Reformasi yang lebih mengarahkan ekonomi Perancis ke wilayah “pasar” ini tidak hanya akan menggeser dominannya perekonomian Jerman di bawah Angela Merkel di Eropa, tetapi juga ditandai kemunculan “Trumponomics”, kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengambil “jalan menyimpang” dari arus globalisasi. Yang terakhir ini adalah renungan Trump yang ingin mengembalikan apa yang disebut Steven Rosefielde dalam “Trump’s Populist America” (2017) sebagai keadilan sosial Amerika (America’s social justice)? seperti berlaku 1960-an. Dalam konteks ini bukan saja ada kenangan “keluarga lebih penting ketimbang kosmopolitanisme” (family was more important than cosmopolitanism), melainkan preseden proteksionisme negara atas kesejahteraan buruh. Globalisasi, dalam pandangan Trump, telah merenggut “kedamaian keluarga” dan “kesejahteraan” dari kelas buruh AS. Inilah latar belakang slogan America first. Sebagai realisasi konkretnya, bersama Partai Republik, Trump mengajukan sistem perpajakan baru, disebut Tri Winarno dalam “Beware of the US ‘tax amnesty'” (The Jakarta Post, 30/10), sebagai territorial tax system.
Sistem baru ini secara tak langsung bersifat nasionalistik karena, di samping menurunkan pajak usaha hingga 35 persen dari 39 persen sebelumnya, mendorong korporasi multinasional negara itu membangun markas besar mereka di negeri itu. Dengan yang terakhir itu, Trump berusaha menghalau balik dana korporasi AS yang-dalam arus deras globalisasi dan sistem perpajakan lama terpencar-pencar di sejumlah negara?-ke negeri asalnya. Dengan mengecualikan peranan ekonomi China, kombinasi fenomena Europe’s New Order dan Trumponomics inilah saya gunakan frasa rezim globalisme terbelah, yaitu sebuah tata perekonomian internasional yang ditandai tarik-menarik struktur permainan tingkat supra-negara antara globalisme dan nasionalisme ekonomi. Karena permainan di dalam struktur itu adalah aktor-aktor negara raksasa, maka melebihi rezim globalisme murni, variabel-variabel yang direproduksi rezim globalisme terbelah ini lebih bersifat uncontrolable (tak terkendali).
Bukankah, untuk sementara, sifat nasionalistik Trumponomics akan berjalan seiring dengan kecenderungan bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga, karena perekonomian negara itu membaik dan tingkat inflasi telah melebihi dua persen? Bukankah gubernur bank sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) Mario Draghi, seperti ditulis Financial Times (27/10/2017), walau menolak kepastian penghentian program stimulatifnya, menurunkan dana quantitative easing (QE) tahun depan dari 60 miliar euro menjadi 30 miliar euro sebulan? Konsekuensinya, bukankah kombinasi Trumponomics, kecenderungan The Fed menaikkan suku bunga, dan tindakan reduksi QE ECB itu berpotensi mendorong arus modal keluar dan sekaligus menghambat ekspansi modal ke wilayah perekonomian berkembang (emerging economies), di mana Indonesia termasuk salah satu di antaranya?
Kendati demikian, dalam situasi di mana variabel-variabel yang tak bisa dikontrol produk tata “baru” ekonomi internasional menjadi kian kompleks, perekonomian Indonesia relatif terjaga. “Secara umum,” ujar Luis E Breur, Ketua Tim Dana Moneter Internasional (IMF) yang mengetuai evaluasi perekonomian Indonesia tahun ini, “berjalan sangat baik. Ketika membandingkan Indonesia dengan negara lain, kami melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen cukup tinggi.” (Kompas, 15/11/2017) Pernyataan itu berjalan seiring dengan evaluasi Bank Dunia yang, dalam Laporan Kemudahan Usaha 2018, menaikkan peringkat Indonesia ke posisi ke-72 dari 190 negara. Ini, seperti diberitakan Kompas (2/11/2017), berarti sebuah lonjakan “tinggi” mengingat pada 2016 status kemudahan usaha di Indonesia masih berada pada peringkat ke-109. Kemampuan mengelola dan menjaga ekonomi makro (inflasi yang terkendali di bawah 4 persen, defisit neraca ekspor-impor barang dan jasa yang terkendali di level 2-2,5 persen sepanjang 2015- 2017, defisit fiskal di bawah 2,8 persen dari PDB, rasio utang terhadap PDB sebesar 35 persen, dan cadangan devisa yang mencapai 128 miliar dollar AS) telah meyakinkan dunia akan “ketepatan” kebijakan ekonomi Indonesia di bawah Jokowi-JK. Karena itu, tak pula mengherankan jika Forum Ekonomi Dunia menaikkan peringkat Indeks Daya Saing Indonesia dari 41 ke 36 dari 137 negara (Kompas, 30/9/2017).
Pendalaman Peran Negara?
Yang paling dramatis dan menjadi ciri khas produk kebijakan ekonomi Jokowi-JK adalah asumsi pelaku usaha swasta bahwa peranan negara dalam perekonomian nasional kian mendalam. Tentang apakah peta peran ekonomi negara-swasta telah berubah dengan kebijakan itu tentu perlu studi lebih lanjut. Untuk sementara dapatlah dikatakan bahwa usaha negara hadir dalam perekonomian lapisan bawah terlihat dari kebijakan kredit usaha rakyat (KUR) yang kian ekspansif dan mendalam. Jika sepanjang 2007-2014 alokasi KUR mencapai Rp 178,85 triliun, maka pada 2016 saja telah mencapai Rp 94,4 triliun. Dan target penyaluran KUR tahun ini meningkat menjadi Rp 110 triliun. Penetrasi negara ke dalam perekonomian rakyat ini kian mengalami “diversifikasi” karena keragaman kategori KUR. Sebab, di samping KUR mikro dan KUR ritel, kredit ini juga dialokasikan kepada tenaga kerja Indonesia (Kompas, 2/10/ 2017). Ditambah dengan alokasi dana Rp 283,7 triliun untuk penanggulangan kemiskinan dan dukungan pada masyarakat berpendapatan rendah dalam APBN 2018, termasuk dana desa Rp 60 triliun, secara teoretis, peran negara dalam perekonomian rakyat kian menguat. Namun, tangan negara juga menguat pada “lapisan atas” perekonomian nasional. Ini terjadi sebagai konsekuensi program pembangunan infrastruktur masif yang dilakukan negara. Dalam situasi di mana dukungan daya fiskal terbatas untuk mencapai tujuan itu, BUMN telah bertindak sebagai “kuasi fiskal” untuk merealisasikan program pembangunan tipikal Jokowi-JK. “The growing domination of state-owned enterprises (SOEs),” tulis The Jakarta Post (4/10), “has become the recurrent issue that it raised over and over again during the tenure of President Jokowi, who came to power in 2014.” Secara tak terasa, melalui BUMN di bawah Menteri BUMN Rini Soemarno, peranan negara dalam perekonomian nasional mengalami pendalaman dan perluasan dibandingkan periode-periode sebelumnya.
Makna Politik
Pembentukan perusahaan induk dalam industri pertambangan di bawah PT Inalum akan kian membuat kehadiran negara? sebagai aktor ekonomi terasa. Sebab, 9,1 persen saham pemerintah di PT Freeport Indonesia akan dikuasakan kepada PT Inalum. Tindakan ini tidak hanya memperkuat tangan negara di dalam dunia pertambangan, tetapi juga memungkinkan industri pertambangan Indonesia menjadi “raksasa dunia” pascadivestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Kecuali hal-hal yang bersifat “politik murni”, perkembangan ekonomi Indonesia di bawah Jokowi-JK telah memperkuat legitimasi dan penerimaan negara di dalam sistem demokrasi. Di dalam beberapa hal, tingkat legitimasi dan penerimaan publik ini telah berpreseden di zaman Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).
Hal yang membedakannya adalah pemerintahan Yudhoyono itu berlangsung di bawah payung solid globalism regime (rezim globalisme yang menyatu) yang, melalui krisis finansial global pada 2008, telah memfasilitasi ekspansi modal aktor-aktor ekonomi negara-negara maju ke wilayah emerging markets. Ini, secara langsung atau tidak, telah membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagaimana dikesankan Wolfgang Streeck dalam How Will Capitalism End (2017), jenis rezim dunia ini ditandai oleh lembeknya otoritas politik global yang tak mampu mengendalikan arus atau aliran modal demi kepentingan pemilik modal itu sendiri.
Di bawah Jokowi-JK, manajemen ekonomi nasional harus berlangsung di bawah payung “rezim globalisme terbelah”. Di dalam rezim ini, otoritas politik global sedang berusaha mengoreksi “kelemahan-kelemahan” globalisme melalui kebijakan ekonomi, seperti terlihat pada Trumponomics, bersifat nasionalistik. Pada saat yang sama, aktor global lainnya, Uni Eropa, sedang mengurangi program stimulus finansialnya. Bergabung dengan kecenderungan The Fed menaikkan suku bunga acuannya, secara tak langsung otoritas-otoritas politik global mulai mengerahkan kekuasaan untuk mengendalikan gerak-langkah para pemilik modal raksasa. Pengenaan territorial tax system dalam Trumponomics jelas memperlihatkan usaha pengendalian otoritas politik global atas lalu lintas modal ini. Di sini kita melihat “keberhasilan” tiga tahun manajemen ekonomi nasional di bawah Jokowi-JK dalam usaha menyesuaikan diri ke dalam rezim global yang berubah itu sebagai sebuah langkah “tak berpreseden”. Sebab, pada tingkat tertentu, perekonomian nasional tetap sintas (survive) kendati harus berhadapan dengan variabel-variabel yang tak bisa dikontrol yang diproduksikan perubahan rezim global itu. Dan melalui BUMN yang bertindak sebagai “kuasi fiskal” dalam program pembangunan infrastruktur masif, selama tiga tahun ini kita menyaksikan “kebangkitan” peran ekonomi negara. Berbeda dengan tuduhan kebijakan ekonomi neoliberalisme Jokowi-JK selama ini, protes pihak swasta akan kian mendalamnya peranan BUMN dalam ekonomi nasional membuktikan sebaliknya. Akan tetapi, di atas segalanya, berbeda dengan Yudhoyono yang menguasai Partai Demokrat, stabilitas ekonomi yang terjaga dan menguatnya peran negara dalam perekonomian ditempuh Jokowi-JK dalam absennya kontrol mereka atas partai-partai politik. Sebab, bukankah Jokowi dan JK sama-sama tak memiliki partai politik?
Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia

KOMPAS, 28 November 2017

Tiga Tahun Jokowi-JK dan Percepatan Infrastruktur

TIGA tahun pemerintahan Jokowi-JK telah mencatatkan prestasi dalam percepatan pembangunan infrastruktur. Hal ini tampak dari pengeluaran untuk infrastruktur yang terus meningkat sejak pemerintahan ini berkuasa. Pada 2014 porsi anggaran infrastruktur semula hanya sebesar Rp155,9 triliun atau 9,5% dari total belanja negara, melonjak sebesar 14,2% pada 2015 menjadi Rp290,3 triliun. Anggaran negara 2016 semakin tinggi menjadi 15,2% atau Rp313,5 triliun. Dalam APBN-P 2016, angkanya bertambah lagi sebesar Rp16 triliun. Pada APBN-P 2017, total anggaran infrastruktur mencapai Rp388,3 triliun. Dalam RAPBN-P 2018, anggaran untuk infrastruktur naik lagi menjadi Rp409 triliun atau 18,5% dari total nilai belanja negara.
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, biaya pembangunan infrastruktur hingga 2019 mencapai Rp5.519,4 triliun. Dari estimasi biaya itu, 40,1% atau sebesar Rp2.215,6 triliun berasal dari APBN. Jika dirata-ratakan per tahun, RI membutuhkan anggaran infrastruktur Rp1.100 triliun. Sementara itu, porsi yang dibiayai APBN hanya sekitar 30% atau Rp387,2 triliun, kemudian dari APBD sebesar 11% dan dari BUMN sebesar 22%. Sisanya dari pembiayaan swasta termasuk sektor keuangan seperti perbankan dan nonbank serta pasar modal. Investasi infrastruktur di RI tertinggal jauh jika dibandingkan dengan Tiongkok dan India. Sejak 2009, investasi infrastruktur di India sudah di atas 7% PDB dan di Tiongkok sejak 2005 sudah mencapai 9%-11% PDB. Sementara itu, di Indonesia baru mencapai 4,5%-5% PDB. Berdasarkan rule of thumb investasi infrastruktur minimal 5% dari PDB.
Ketertinggalan Indonesia dalam pencapaian kemajuan infrastruktur tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan anggaran negara. Keterbatasan anggaran telah menghambat percepatan pembangunan infrastruktur, sedangkan pengeluaran pemerintah lebih banyak untuk pengeluaran anggaran rutin. Infrastruktur yang minim, menurut mantan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick, merupakan salah satu dari tiga penyebab mengapa negara berpendapatan menengah terperangkap dan tidak mampu beranjak menjadi negara maju. Untuk itu, konsistensi pembangunan infrastruktur yang dilakukan Jokowi-JK harus bisa menjadi faktor penting dalam menciptakan pemerataan dan menurunkan kemiskinan sekaligus upaya keluar dari middle income trap.
Jika pemerintahan Jokowi-JK dalam lima tahun ini bisa terus menggenjot pembangunan infrastruktur, itu akan memberikan dampak positif pada periode kepresidenan berikutnya. Pada dasarnya benefit pembangunan infrastruktur bersifat jangka panjang. Kemajuan dalam pembangunan infrastruktur juga diharapkan mampu mendorong keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Dorongan pemerintah untuk memacu infrastruktur memberikan efek positif terhadap upaya mendorong efisiensi dan daya saing perekonomian. Dalam laporan Bank Dunia (2011) juga disebutkan bahwa perbaikan infrastruktur memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kualitas pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur di kawasan ASEAN, menurut studi Sun (2013), menghasilkan efek ganda penurunan kemiskinan dan pertumbuhan secara inklusif.
Sejatinya, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi positif terhadap kemakmuran. Keberadaan infrastruktur yang memadai dan berdaya saing memberikan kontribusi terhadap penurunan biaya operasional kegiatan ekonomi dan bisnis, meningkatnya volume kegiatan ekonomi, turunnya biaya input usaha produksi, dan meningkatnya modal manusia, terbukanya peluang kegiatan ekonomi baru, serta kesempatan berusaha dan bekerja. Alokasi infrastruktur juga harus memberikan efek positif terhadap konektivitas pembangunan antarwilayah sehingga menghasilkan pertumbuhan yang inklusif. Pembangunan infrastruktur provinsi dan kabupaten/kota harus dihubungkan dengan infrastruktur nasional dan diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang dapat membuka akses pasar hasil produksi pertanian dan membuka akses wilayah terpencil/terisolasi.
Untuk itu, pembangunan infrastruktur dasar harus mampu memetakan kebutuhan dalam mendorong kemajuan daerah dan masyarakat. Hal ini akan mendorong akses masyarakat terhadap fasilitas publik menjadi lebih baik. Dengan demikian, akselerasi pembangunan infrastruktur lebih terasa manfaatnya dalam mengurangi ketimpangan ekonomi, memacu pertumbuhan, membuka lapangan usaha dan kesempatan kerja. Selain itu, pengembangan infrastruktur harus memperhatikan aspek kewilayahan dengan membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah. Setiap daerah memiliki keunggulan berbasis kekayaan SDA, SDM, dan kapasitas kelembagaannya. Pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan karakteristik dan karakter daerah sehingga mampu memperluas akses masyarakat terhadap fasilitas publik.
Dengan cara ini, pembangunan tidak lagi bias ke arah perkotaan sehingga bisa mengurangi ketimpangan antarwilayah desa-kota dan Jawa-luar Jawa. Selama ini sekitar 82% PDRB masih berkonsentrasi di Jawa dan Sumatra. Program pengurangan kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan infrastruktur di perdesaan dan sektor-sektor yang menampung kehidupan masyarakat desa, seperti pertanian dan perikanan. Alokasi dana desa yang anggarannya terus naik diharapkan bisa menstimulasi perekonomian masyarakat bawah sehingga masyarakat bisa menikmati kemajuan pembangunan.
Pengeluaran infrastruktur untuk sektor pertanian sangat penting karena berpengaruh positif terhadap peningkatan konsumsi rumah tangga, kemandirian pangan, dan kesejahteraan petani. Pada sisi lain, pengeluaran infrastrukur untuk sektor pertanian memiliki keterkaitan dengan sektor lain baik yang di hulu maupun di hilir. Menurut hasil studi BI, setiap peningkatan pertumbuhan sektor pertanian 1% akan menurunkan tingkat kemiskinan nasional 2,76% dan tingkat kemiskinan di sektor pertanian 7,34%, sedangkan di sektor industri hanya menurunkan kemiskinan nasional 0,11% dan kemiskinan di sektor industri 1,51%.
Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam menunjang pembangunan infrastruktur seperti memperbaiki kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintah. Penguatan kapasitas pemerintah diperlukan agar penyerapan anggaran bisa optimal sekaligus meminimalkan kebocoran anggaran. Kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintah juga diperlukan untuk mendorong efisiensi investasi karena Indonesia masih memiliki incremental capital output ratio (ICOR). Inilah yang menyebabkan investasi yang kita lakukan belum menghasilkan pertumbuhan PDB yang lebih kuat. BPS mencatat ICOR RI pada 2016 masih 6,46%. Artinya produktivitas belum cukup kuat yang mengindikasikan jumlah investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan US$1 dalam perekonomian karena memerlukan kurang lebih US$7 dalam investasi untuk bisa menghasilkan tambahan US$1.
Harus diakui, meski ICOR masih cukup tinggi, angka ini sudah turun sedikit bila dibandingkan dengan 2015 yang masih 6,64%. Sejak 2011, ICOR terus meningkat dan pada 2016 baru kembali turun. ICOR digunakan sebagai alat untuk menghitung investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu output nasional. ICOR bisa menjadi panduan untuk menghitung efisiensi produksi nasional. Semakin kecil angka ICOR, semakin efisien produksinya. Pembangunan infrastruktur juga harus menunjang efisiensi dan daya saing perekonomian seperti efisiensi biaya logistik sehingga mendorong iklim investasi yang sehat dan mampu memulihkan kepercayaan masyarakat dan investor dalam meningkatkan investasi guna mendukung kualitas pertumbuhan ekonomi.
Fahruddin Salim, Dosen Program Magister Manajemen Universitas Pancasila

MEDIA INDONESIA, 24 Oktober 2017

Orkestra 3 Tahun Proyek Pemerataan

PRESIDEN Jokowi-JK telah menjadi nahkoda ekonomi selama tiga tahun terakhir. Banyak pencapaian yang sepatutnya jadi kebanggaan, mulai dari pembangunan jalan tol, jembatan dan infrastruktur lainnya di seantero penjuru republik. Indonesia bagian timur pun tak ketinggalan bersorak merasakan efek pembangunan yang begitu meriah. Baru kali ini jalan tol trans Papua yang membentang dari Sorong ke Merakue sepanjang 3.259,4 km berhasil direalisasikan. Anggapan bahwa pembangunan sifatnya Jawa Sentris perlahan dibantah oleh Jokowi-JK melalui program infrastrukturnya.
Di sisi yang lain anggaran pemerataan ekonomi di era Jokowi-JK mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pos anggaran subsidi energi dikurangi lebih dari 77% dalam tiga tahun terakhir dan diganti dengan Program Keluarga Harapan (conditional cash transfer). Jumlah penerima PKH terus naik dari 2,5 juta orang di 2015 menjadi 6 juta orang di 2017. Harapannya, bantuan subsidi lebih tepat sasaran dan efektif menurunkan angka kemiskinan khususnya di pedesaan. Pasalnya sejak Indonesia merdeka hingga hari ini kemiskinan masih menjadi tantangan utama dalam diskursus pembangunan nasional.
Data terakhir kemiskinan per Maret 2017 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 10,64% dari total penduduk atau 27,77 juta jiwa. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, penurunan angka kemiskinan berjalan sangat lambat atau hanya berkurang 2,63%. Sementara itu dibandingkan periode 1970-1996 presentase penduduk miskin bisa diturunkan dari 60% menjadi 11,3%.
Kondisi kesenjangan pun tidak mengalami perubahan, bahkan trennya meningkat paska reformasi. Rasio gini masih bertengger di 0,39-0,40 dalam dua tahun terakhir, menurun tapi tidak signifikan. Permasalahan kesenjangan dan kemiskinan warisan yang sifatnya sudah mengakar memang tak mudah untuk diselesaikan dalam tempo singkat. Namun, setidaknya Pemerintah telah membuat beberapa instrumen yang cukup progresif diluar dana bansos salah satunya adalah reforma agraria dan dana desa.
Dorong Reforma Agraria dan Dana Desa
Reforma agraria merupakan instrumen yang telah ditunggu-tunggu untuk selesaikan ketimpangan lahan. Bayangkan ketimpangan paling berbahaya dan laten adalah ketimpangan lahan dengan rasio gini mencapai 0,64 dibandingkan rasio gini pengeluaran 0,39. Ketimpangan lahan memunculkan aneka konflik agraria ditengah masyarakat. Selain itu persoalan rendahnya produktivitas pangan karena alih guna lahan juga jadi masalah yang serius. Di tangan Presiden Jokowi terobosan reforma agraria yang sempat macet di era Soekarno maupun Soeharto berhasil dijalankan.
Bagi-bagi lahan pun tidak tanggung-tanggung, targetnya 9 juta hektar yang terdiri dari 4,5 juta hektar redistribusi lahan dan 4,5 juta hektar sertifikasi lahan. Semua target tersebut diharapkan rampung sebelum Pemilu 2019. Hanya saja reforma agraria yang berjalan masih parsial. Sebagian besar adalah bagi-bagi sertifikat lahan kepada warga. Sementara proyek redistribusi lahan produktif untuk kegiatan pertanian masih terkendala masalah teknis khususnya pembaruan data lokasi. Harapannya sisa dua setengah tahun masa Pemerintahan sudah ada realisasi lahan yang benar-benar produktif didistribusikan kepada petani miskin.
Selain reforma agraria, instrumen ampuh yang dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam tiga tahun terakhir adalah dana desa. Anggaran dana desa yang tercatat Rp60 triliun per tahun terbukti efektif menciptakan penyerapan tenaga kerja. Data Kementerian Desa tahun 2017 mencatat bahwa dana desa mampu menyerap 1,5 juta orang tenaga kerja di sektor infrastruktur dan 960 ribu orang di sektor pemberdayaan.
Kebermanfaatan infrastruktur pun lebih dirasakan kepada masyarakat secara langsung. Jalan desa yang terbangun mencapai 66.884 km dengan 12.596 unit irigasi baru di 74 ribu lebih desa diseluruh Nusantara. Oleh karenanya dana desa memang sebaiknya terus ditambah. Adapun permasalahan korupsi dana desa bisa diantisipasi dengan perbaikan tata kelola (governance) dan pengawasan yang lebih ketat dari Pemerintah Pusat.
Perkuat Modal
Jika memandang kedepan, target ambisius menurunkan angka kemiskinan dari 10,7% ke 10% serta rasio gini dari 0,39 ke 0,38 pada tahun 2018 tentu membutuhkan modal yang cukup besar. Setidaknya total pos belanja perlindungan sosial per tahunnya butuh Rp157,7 triliun sementara biaya membangun infrastruktur bisa butuh lebih dari Rp5.500 triliun hingga 2019. Sementara itu kondisi fiskal tidak memungkinkan untuk melakukan mengalokasikan dana lebih besar karena terbatas defisit.
Untuk itu modal yang dimaksud adalah penerimaan pajak harus siap mengisi kantong agar program pemerataan tidak mengandalkan utang. Dalam hal penggalian potensi pajak Indonesia memang masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Rasio pajak terhadap PDB atau tax ratio Indonesia hanya 11%, sementara Thailand dan Malaysia masing-masing sudah di atas 14%. Jika dipetakan, potensi penerimaan pajak di Indonesia masih cukup besar. Total wajib pajak individu mencapai 60 juta orang, sementara yang punya NPWP ada dikisaran 28 juta orang. Sayangnya yang taat melaporkan dan membayar setoran pajak hanya ada 11 juta atau 18,3% dari total wajib pajak potensial. Dalam konsep negara welfare state atau negara kesejahteraan, turunnya ketimpangan dan kemiskinan hanya bisa tercapai apabila instrumen pajaknya efektif.
Pemerintah ke depannya bisa segera melakukan reformasi perpajakan, dari mulai perluasan basis pajak hingga membentuk badan pajak yang terpisah dari Kementerian Keuangan seperti di AS. Gotong royong mengentaskan kemiskinan juga tidak bisa dilakukan oleh Pemerintah pusat sendirian. Orkestra yang seirama harus dimainkan juga oleh Pemerintah Daerah. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir jumlah dana dari pusat yang mengalir ke daerah meningkat hingga Rp284,2 triliun. Dalam APBN 2017 pun dana transfer daerah dan dana desa porsinya lebih besar dibanding belanja Kementerian/Lembaga. Di tahun 2017, anggaran yang disiapkan untuk daerah termasuk dana desa mencapai Rp764,9 triliun lebih besar dari belanja Kementerian/Lembaga yakni Rp763,6 triliun. Artinya, pemerintah pusat ingin memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah untuk memerangi kemiskinan. Kuncinya dengan dana sebesar itu adalah sinergi Pusat-Daerah. Harapannya pemberantasan kemiskinan dan penurunan angka ketimpangan tidak berjalan dalam koridor yang terpisah. Orkestra pengentasan kemiskinan harus dimainkan dengan harmonis agar menghasilkan lagu kesejahteraan yang indah.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

KORAN SINDO, 19 Oktober 2017

Infrastruktur Yes, Pembangunan Politik So So

Masa tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi telah berjalan dan sebagai negara demokrasi sudah sepatutnya dapat ditanggapi atau dinilai oleh seluruh anak bangsa. Beragam penilaian itu tentu harus dilihat sebagai sesuatu yang sehat, yakni sebagai cermin dari apa yang telah di lakukan selama ini dan sebagai sebuah masukan demi berbagai langkah perbaikan. Presiden Jokowi telah memberikan contoh baik tentang apa itu bekerja dalam skala besar.
Dengan semangat yang tertuang dalam moto kerja bersama aparat pemerintah dipicunya untuk bekerja lebih cepat lagi, lebih efektif lagi, dan lebih berdampak lagi. Hasilnya me mang mulai kelihatan di antara yang paling terlihat dan tera sakan itu adalah dalam soal infrastruktur. Saat ini pemerintah telah membangun ribuan kilometer jalan nasional dan ratusan kilometer jalan tol.
Ratusan jembatan baru dengan bentangan hingga belasan ribu meter juga di bangun. Itu dilakukan hingga kewilayah-wilayah yang selama ini nyaris tidak tersentuh oleh pembangunan yang berarti termasuk di Papua dan wilayah-wilayah perbatasan. Selain itu, pembangunan pelabuhan laut juga makin digalakkan dengan target 100 pelabuhan pada akhir periode jabatan presiden. Hal ini diupayakan untuk turut menyukseskan program tol laut sebagai bagian dari target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Sebagai tambahan, program-program yang terkait dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga patut diapresiasi. Secara umum, banyak hal yang lebih baik terasakan dalam konteks pembangunan.
Meski menampakkan hasil nyata dalam pembangunan fisik, masalah kemiskinan dan peng angguran masih menjadi problem serius. Saat ini khalayak cukup ramai menceritakan keterbatasan atau kesulitan mereka dalam pemenuhan kehidupan keseharian. Berbagai survei mengindikasikan hal tersebut sebagai cerminan melemahnya ekonomi rakyat.
Selain itu, tidak seperti yang dibayangkan pertumbuhan ekonomi hanya kisaran 5%, cukup jauhdari yangditargetkan. Selain itu, beberapa janji saat kampanye dulu juga masih belum terealisasi sebagiannya malah berpotensi tidak terealisasi sama sekali. Lebih dari itu, dalam konteks kehidupan politik belum menunjukkan sebuah langkahlangkah yang dapat diharapkan sebagai sebuah break - through bagi penguatan kedaulatan rakyat dan penciptaan demokrasi yang lebih partisipa toris. Meski demokrasi tetap berjalan dan institusi-institusi demo krasi tetap eksis, upaya untuk lebih menggalakkan dan menguatkan kehidupan berpol itik yang lebih bersahabat dan lebih menopang demokrasi tidak terlalu meyakinkan.
Masyarakat saat ini tampak lebih terbelah dari sebelumnya. Keterbelahan masyarakat, pemanfaatan isu-isu SARA atau primordial. Bangkitnya isu SARA sebagai komoditas dalam pertarungan politik menjadi bagian yang berkelindan di dalamnya. Hal ini menghinggapi baik mereka yang berstatus mayoritas maupun minoritas. Menurunnya peringkat kualitas demokrasi Indonesia dalam catatan Freedom House dalam tiga tahun belakangan ini, dari negara dengan kategori free menjadi partly free, bisa jadi disebabkan oleh persoalan ini. Sebagai sebuah negara bangsa yang tegak dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika situasi ini jelas sebuah kemunduran bahkan kemalangan.
Selain itu, beberapa kebijakan justru terlihat demikian ”konservatif”. Sebagian kalang an melihatnya sebagai sebuah set back (kemunuran) demokrasi. Dima jukannya rancangan Perppu Ormas berpotensi besar membatasi kebebasan sipil. Peraturan yang tidak urgent itu meniadakan tahapan yang lebih komprehensif dan meniad akan peran pengadilan dalam proses pembubaran sebuah ormas. Beberapa kalangan menyatakan bahwa peraturan terkait ormas yang sudah ada jauh lebih akomodatif terhadap kebebasan sipil.
Kemudian upaya-upaya m elanjutkan atau memper tahankan kekuasaan kerap demikian ter ium menyengat yang sayangnya salah kaprah. Hal ini ter lihat misalnya dalam soal Presidential Thresholds yang bertabrakan dengan esensi pemilihan langsung tetap diupayakan.
Manipulasi logika yang sulit diterima nalar ini sayangnya diamini pula oleh kebanyakan partai. Tidak heran jika kemudian banyak orang menilai bahwa akarnya adalah demi memastikan kemenangan semata. Persoalan lain yang juga masih mengganjal adalah instrumentalisasi hukum demi kepentingan konsolidasi kekuasaan. Disini kerap dirasakan adanya standar ganda dalam penanganan masalah hukum. Beberapa individu yang ditengarai sebagai oposan dapat segera dijerat persoalan hukum, sedangkan mereka yang terindikasi sebagai pendukung penguasa tampak sulit tersentuh. Sementara itu terjadi pula, terutama pada awal-awal pemerintahan, pemanfaatan jalur hukum untuk menyingkirkan pihak oposisi di sebuah partai.
Beberapa partai akhirnya menja di terpecah belah, di mana sebagiannya tanpa ada penyelesaian berarti. Setelah era Orde Baru tidak pernah terjadi lagi fenomena ketika pemerintah ”turut peduli” dengan persoalan internal partai yang demikian kentara. Untuk itu, diharapkan memang agar kedepannya keberhasilan Presiden Jokowi dalam beberapa hal dapat dilengkapi dengan sikap dan kebijakan beliau yang lebih tegas dan lugas.
Ketegasan ini setidaknya diarahkan baikkepada pihak-pihak yang coba memanfaatkan kedudukannya sekadar demi memperkaya atau memperkuat posisi kekuasaan diri atau kelompoknya yang tentu akan merusak nama baik presiden dan pemerintah. Ketegasan itu juga diperlukan untuk menjewer aparatnya untuk dapat lebih fokus bekerja sesuai target dan aturan yang ada, tidak saling serang, dan bergaduh sendiri.
Ketegasan itu juga diperlukan untuk menunjukkan bahwa presiden memiliki oto ritas tertinggi dalam pemerintahan dan proses pembuatan kebijakan. Hanya dengan berbagai ketegasan ini, presiden dapat on track, baik dalam menegakkan aturan main maupun menyingkirkan berbagai benalu agar dapat lebih cepat lagi memenuhi janji-janji politiknya.
Selain itu, perlu langkah-langkah yang lebih konkret untuk lebih merangkul semua pihak. Presiden harus semakin menunjukkan dirinya sebagai presiden seluruh rakyat Indonesia. Sebagai sosok pemimpin, Presiden Jokowi harus terus membiasakan diri untuk berada di tengah (balancer) dan menjadi jangkar bagi kapal yang bernama Indonesia dengan segenap keragaman primordial maupun orientasi politiknya. Dalam konteks merangkul semua presiden hendaknya tidak semata melihatnya sebagai ”investasi politik” belaka dengan berorientasi mendekati mereka yang hanya punya potensi dukungan politik yang besar. Daya rangkul presiden harus total, bukan parsial.
Presiden harus makin menyadari eksistensi beragam kalangan adalah hakikat keindonesiaan, dimana kesemuanya berpotensi dan berhak dalam memajukan bang sa dan negara. Selain itu, akan lebih baik Presiden Jokowi dapat semakin komunikatif. Presiden harus lebih banyak berkata secara lebih langsung, secara genuine bukan polesan, kepada khalayak. Bersedia lebih sering dan lama berdialog dengan berbagai pihak dengan pernyataan-pernyataan yang lebih menjawab keingin tahuan dan maksud dibalik kebijakan-kebijakannya. Namun, akan lebih baik jika konten dari komunikasi yang dibangun nya itu juga ditujukan untuk dapat selalu dikenang dan dijadikan pedoman bagi masyarakat banyak. Hal itu hanya mungkin dilakukan jika pilihan kata bersifat menggugah, dengan arti dalam dan visioner melintas generasi. Kekuatan kata-kata dapat menggerakkan jutaan orang, mem persatukan dan menggerak kan dalam satu arah yang diharapkan. Lebih dari itu, komunikasi yang tertata dan meyakinkan dapat pula menjadi penawar kecurigaan atau kekhawatiran.
Saat ini dan pada masa-masa datang Presiden Jokowi harus lebih aktif berkomunikasi mengingat banyak sekali persoalan sejatinya dapat lebih cepat diselesaikan jika presiden angkat bicara dan tidak membiarkan segalanya menjadi pergunjingan yang tidak jelas arah dan tujuannya.
Firman Noor, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI; Dosen Ilmu Politik FISIP UI

KORAN SINDO, 20 Oktober 2017

Peluang dan Tantangan Ekonomi Nasional

PADA 20 Oktober 2017, usia pemerintahan Jokowi-JK genap tiga tahun dari lima tahun masa bakti Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Meskipun belum genap lima tahun, terdapat banyak hal yang telah terjadi, baik dalam perekonomian nasional maupun lingkungan global. Dari sekian banyak faktor eksternal, pelemahan harga komoditas dunia menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kinerja ekonomi nasional.
Dari sisi kebijakan fiskal, terdapat perubahan yang cukup signifikan terhadap postur belanja negara. Pada APBNP 2015, alokasi belanja untuk infrastruktur dianggarkan sebesar Rp290 triliun. Meskipun realisasi penyerapannya hanya mencapai Rp256,3 triliun, hal ini menandai agresivitas pemerintahan Jokowi-JK dalam hal pembangunan infrastruktur. Realisasi belanja infrastruktur pada tahun berikutnya, 2016, kembali meningkat menjadi Rp317 triliun.
Sementara itu, untuk tahun ini ditetapkan belanja infrastruktur sebesar Rp388,3 triliun dan pada 2018 dianggarkan sebesar Rp409 triliun. Agresivitas belanja infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan di satu sisi diperlukan, di sisi lain menciptakan sejumlah persoalan. Pertama, defisit anggaran dalam APBNP 2017 sangat tinggi mencapai 2,92%. Kedua, meningkatnya utang pemerintah, per Agustus 2017 telah mencapai Rp3.852,79 triliun. Meskipun secara persentase terhadap PDB masih relatif aman dan terkendali, yaitu sebesar 27,9%, pemerintah perlu lebih berhati-hati dan berhitung secara cermat terkait dengan kapasitas fiskal untuk pembayaran, baik dari cicilan maupun pembayaran pokok pinjaman.
Sepertinya hal ini sangat dipahami oleh pemerintahan Jokowi-JK dan dalam APBN 2018, defisit fiskal ditargetkan jauh lebih moderat dibandingkan APBNP 2017, yaitu hanya sebesar 2,19%. Mengingat besarnya kebutuhan anggaran infrastruktur sebesar Rp4.796,2 triliun, selain peran BUMN, peran swasta dalam pembangunan infrastruktur perlu terus ditingkatkan, terutama infrastruktur yang memiliki nilai komersial.
Realisasi penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir juga selalu di bawah target yang ditetapkan. Misalnya pada 2015, realisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan sebesar 81,5% atau Rp1.055 triliun dari target APBNP 2015 sebesar Rp1.294,25 triliun. Sementara itu, pada 2016, realisasi penerimaan sektor perpajakan mencapai 81,54% atau Rp1.105 triliun dari target APBNP 2016 yang ditetapkan sebesar Rp1.355 triliun. Selain faktor penetapan target perpajakan yang dianggap terlalu tinggi untuk menyesuaikan besarnya belanja negara, faktor perlambatan pertumbuhan sektor riil juga berdampak pada melesetnya realisasi penerimaan sektor perpajakan. Hal ini tercermin pada realisasi pertumbuhan kredit nasional yang lebih rendah dari target yang ditetapkan. Data dari BI dan OJK menunjukkan, pada 2015, pertumbuhan kredit perbankan nasional hanya mampu tumbuh sebesar 10,1% di bawah target semula sebesar 11-13%. Sementara itu pada 2016, pertumbuhan kredit perbankan hanya mampu tumbuh sebesar 7,87% dan jauh dari target semula sebesar 9-12%.
Ketika inflasi dalam 2015-2016 relatif terjaga rendah yang membuat BI menurunkan beberapa kali suku bunga acuan, maka seharusnya realisasi kredit perbankan bisa tumbuh melampaui target awal. Namun ketika realisasi tidak setinggi yang diharapkan, hal ini menunjukkan kegairahan dunia usaha tidak setinggi yang diprediksi semula. Meskipun begitu, keseriusan pemerintahan Jokowi-JK dalam melakukan pembenahan ekonomi nasional membuahkan hasil. Lembaga pemeringkat Standar & Poor’s (S&P) menaikkan sovereign credit rating Indonesia menjadi BBB-/A-3 dengan outlook stabil. Dengan kata lain, Indonesia telah memperoleh investment grade dari S&P dan melengkapi lembaga lain yang telah memberikan investment grade, yaitu Fitch pada 2011 dan Moody’s pada 2012.
Hal ini menunjukkan kepercayaan dunia internasional terhadap prospek ekonomi Indonesia semakin meningkat. Baru-baru ini, peringkat daya saing Indonesia menurut Global Competitiveness Index 2017-2018 meningkat dari posisi 41 menjadi 36 dunia. Meskipun mengalami perbaikan, sejumlah negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand memiliki peringkat daya saing yang lebih baik dan berada di posisi ke-3, 23, dan 32 dunia. Hal ini menunjukkan pekerjaan rumah untuk terus mendorong daya saing nasional masih membutuhkan konsentrasi dan fokus bagi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.  
Meskipun tidak menurun secara tajam, beberapa indikator seperti Gini-Coefficient, angka pengangguran dan angka kemiskinan dapat terus ditekan dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, penetapan harga BBM satu harga, terutama di kawasan timur Indonesia perlu kita apresiasi bersama sebagai bentuk political dan good will dari pemerintahan Jokowi-JK dalam hal pemerataan pembangunan.
Dari sektor ketenagakerjaan, masih besarnya penduduk yang bekerja di sektor informal perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Menurut data BPS per Februari 2017 terdapat 58,35% penduduk yang bekerja di sektor informal. Memang pengangguran terbuka hanya sebesar 5,33%, namun ketika jumlah tenaga kerja yang masuk ke sektor informal mendominasi angkatan kerja kita, maka hal tersebut akan menimbulkan persoalan perlindungan dan kesejahteraan angkatan kerja yang berpotensi mengurangi upaya meningkatkan produktivitas nasional. Oleh karenanya, tantangan saat ini dalam sektor ketenagakerjaan adalah membalikkan kondisi sektor formal yang sebaiknya lebih besar dibandingkan sektor formal. Investasi baik PMA maupun PMDN perlu terus ditingkatkan tidak hanya untuk perluasan penciptaan lapangan kerja sektor formal, juga untuk penguatan struktur industri nasional. 
Tentunya semua pihak berharap dalam sisa waktu dua tahun ke depan, penuntasan agenda-agenda pembangunan nasional di bidang ekonomi akan tetap menjadi fokus pemerintah di tengah mulai ramainya kontestasi politik. Hal ini sangatlah penting diperhatikan oleh banyak pihak mengingat pada 2018 akan penuh sesak dengan jadwal dan agenda politik. Menurut KPU, tahun depan dijadwalkan terdapat 171 Pilkada serentak, penetapan parpol peserta Pemilu, pengajuan dan penetapan caleg DPRD-DPD-DPR, dan pengajuan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. Stabilitas politik, keamanan dan ketertiban tetap harus dijaga sebagai prasyarat utama pembangunan ekonomi berkelanjutan. Selain itu, juga kontestasi politik yang eskalasinya diperkirakan akan meningkat menjelang 2019 tentu diharapkan tidak mengganggu penuntasan program kerja bidang ekonomi terutama agenda pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, ease doing business, pembangunan infrastruktur, pemerataan ekonomi, investasi dan pelaksanaan good governance.
Firmanzah, Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Indonesia

KORAN SINDO, 19 Oktober 2017

Tiga Tahun Ekonomi Jokowi-JK

Setiap era kepemimpinan presiden pasti mempunyai pencapaian tersendiri dengan kelebihan dan kekurangannya. Permasalahan Indonesia begitu menggunung dan kompleks, banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas yang dititipkan ke pundak pemerintahan selanjutnya. Oleh karena itu, menjadi pemandangan biasa dan lazim, setiap pergantian rezim kepemimpinan nasional menimbulkan harapan baru dan ekspektasi tinggi untuk melangkah ke depannya.
Tidak heran, estafet kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) pada 24 Oktober 2014 disambut hangat berbagai kalangan. Tidak terasa nakhoda kepemimpinan Jokowi-JK sudah berjalan lebih dari separuhnya (tiga tahun) menerabas dinamika perekonomian global yang tidak menentu dan berbagai permasalahan ekonomi dan politik yang sangat menantang.
Indikator Makroekonomi
Kabinet Kerja Jokowi-JK cenderung berlari dengan ritme kerja supercepat dan kadang-kadang targetnya terkesan sangat ambisius yang membuat kening berkerut. Alhasil, pro-kontra mengiringi pemerintahan Jokowi-JK selama tiga tahun ini. Ada yang bilang sangat bagus, ada yang bilang biasa-biasa saja. Reaksi yang wajar, tak ada gading yang tidak retak, apalagi Indonesia memiliki segudang akumulasi masalah ekonomi. Oleh karena itu, menarik kita kupas kinerja beberapa variabel makroekonomi dan finansial selama tiga tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK yang sangat berpengaruh ke sektor riil dan pasar finansial domestik.
Pertama, inflasi menunjukkan arah yang semakin baik dengan tren yang makin menurun dan relatif stabil. Inflasi tahun 2015 turun sangat signifikan ke 3,4 persen dari 8,4 persen pada tahun 2014. Penurunan terus berlanjut menjadi 3,0 persen pada tahun 2016 walaupun akhir tahun 2017 diperkirakan sedikit naik ke 3,5-3,8 persen. Turunnya inflasi ini salah satu penyebabnya adalah keberanian pemerintah melakukan reformasi migas pada November 2014. Subsidi bensin dikurangi secara signifikan sehingga harga bensin naik Rp 2.000 per liter menjadi Rp 8.500 per liter. Keputusan tidak populer, sungguh berani dan melawan arus, karena waktu itu tren harga minyak dunia sedang turun. Bukankah seharusnya harga bensin turun, ini malahan naik dengan maksud untuk mengurangi subsidi bensin.
Tidak lama kemudian, dewi fortuna menudungi pemerintahan Jokowi-JK, harga minyak dunia turun drastis ke 56 dollar AS per barrel. Akhirnya, per 1 Januari 2015, harga bensin turun ke Rp 7.600 per liter, setelah harganya sempat dinaikkan. Inilah cikal bakal pemerintah berhasil menghapus subsidi bensin dan hanya menyubsidi solar Rp 1.000 per liter. Suatu momen kunci di mana pemerintah berhasil terbebas dari sandera subsidi BBM yang selalu menjadi ganjalan berat APBN setiap tahunnya.
Penyesuaian harga bensin secara gradual menyebabkan harga barang dan jasa lain menyesuaikan secara wajar dan ekspektasi inflasi pun dalam taraf normal. Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan dengan zamannya subsidi bensin. Pada era subsidi bensin, ketika ada rencana pemerintah menaikkan harga bensin biasanya harga-harga cenderung bergerak naik lebih dulu dan penimbunan barang marak, kelangkaan barang pun terjadi sehingga harga-harga melonjak karena ekspektasi inflasi bergerak liar.
Kedua, inflasi yang menurun menyebabkan suku bunga pun mengalami penurunan. Kondisi ini memberikan ruang yang cukup longgar buat Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuannya. Suku bunga acuan BI tercatat 7,75 persen pada Desember 2014 ke 6,50 persen di Juli 2016, yang kemudian diganti dengan BI 7-days reverse repo rate menjadi 4,25 persen di September 2017. Ini artinya sejak 2014, BI sudah menurunkan suku bunga acuannya 2,25 persen. Penurunan ini berimbas pada penurunan suku bunga deposito 3 bulan sebesar 2,40 persen (dari 8,94 ke 6,54 persen). Kemudian diikuti penurunan suku bunga pinjaman modal kerja dan pinjaman investasi masing-masing 1,72 persen (dari 12,79 ke 11,07 persen) dan 1,45 persen (dari 12,36 ke 10,91 persen). Sayangnya, penurunan suku bunga pinjaman ini relatif lebih lambat daripada penurunan suku bunga deposito.
Ketiga, harga obligasi Pemerintah RI naik cukup signifikan karena tren inflasi yang menurun dan naiknya peringkat investasi Indonesia ke layak investasi dari lembaga pemeringkat Standard & Poor’s (S&P) pada 19 Mei 2017 setelah menunggu selama 20 tahun, mengikuti lembaga pemeringkat international lainnya (Fitch tahun 2011 dan Moodys tahun 2012). Kenaikan harga obligasi ini menyebabkan imbal hasil yang harus dibayar pemerintah menurun signifikan dari 7,92 persen pada akhir 2014 menjadi 6,78 persen di 18 Oktober 2017. Animo investor asing memiliki obligasi (surat utang) RI sangat besar, terbukti dari tingginya kepemilikan asing dari Rp 406 triliun tahun 2014 menjadi Rp 806 triliun per 17 Oktober 2017, sekitar 39 persen dari total obligasi.
Keempat, seiring dengan menariknya investasi di Indonesia, harga saham juga menunjukkan kinerja yang cukup baik walaupun berfluktuasi. Indeks harga saham gabungan pada akhir 2014 tercatat 5.227, sempat menurun ke 4.593 di 2015, tetapi meningkat dua tahun terakhir ke 5.929 pada 18 Oktober 2017. Dengan kata lain, terjadi kenaikan sekitar 13,5 persen dibandingkan dengan tahun 2014.
Kelima, kepercayaan investasi asing terus membaik terhadap Indonesia. Hal ini terlihat dari tingkat risiko yang turun signifikan, tecermin dari turunnya credit default swap (CDS) 5 tahun. Pada tahun 2015, CDS 5 tahun pernah mencapai puncaknya, yaitu 282 basis poin (2,82 persen) pada 29 Septermber 2015, kemudian turun signifikan ke 158 basis poin (1,58 persen) pada akhir 2016. Tahun ini CDS 5 tahun mencapai rekor terendah sepanjang sejarah perekonomian Indonesia di bawah 100 basis poin, yaitu 96 basis poin (0,96 persen) per 19 Oktober 2017.
Dan terakhir, fluktuasi rupiah terhadap dollar AS semakin rendah dan relatif stabil walaupun melemah secara gradual dari Rp 11.440 per dollar AS tahun 2014 ke Rp 13.514 per dollar AS per 18 Oktober 2017. Pelemahan rupiah tidak bisa dihindarkan karena penguatan dollar AS terhadap sebagian besar mata uang di dunia. Di tahun pertama kepemimpinan Jokowi-JK, fluktuasi rupiah sangat tinggi sekitar 18 persen, lebih tinggi dibandingkan 2014, yaitu 14 persen. Namun, rupiah berangsur makin stabil dengan fluktuasi sekitar 3 persen dalam tahun ini. Kebijakan BI mewajibkan penggunaan rupiah untuk transaksi domestik dan peraturan lindung nilai untuk korporasi yang memiliki utang asing cukup ampuh menjaga volatilitas rupiah, di samping makin percayanya investor asing terhadap perekonomian nasional.
Pertumbuhan Ekonomi
Sayangnya, catatan gemilang variabel makroekonomi dan finansial belum terefleksi pada pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan. Pertumbuhan yang hanya 5,01 persen dua kuartal berturut-turut pada 2017 cukup mengkhawatirkan banyak pihak. Geliat sektor riil terlihat lesu dan daya beli masyarakat, terutama level bawah ke miskin, terasa sangat lemah.
Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi 2017 tidaklah lebih buruk dibandingkan 2016, tetapi sayang tak cukup kuat menopang perekonomian Indonesia. Permasalahan terbesarnya adalah pertumbuhan ekonomi cenderung menurun lima tahun terakhir sejak 2012. Salah satu pemicunya, turunnya harga komoditas ekspor primer Indonesia (terutama batubara dan kelapa sawit) sejak 2011. Pertumbuhan ekonomi 2011 tercatat 6,2 persen, turun sedikit ke 6,0 persen di 2012. Penurunan berlanjut di 2013 ke 5,6 persen dan 5,0 persen tahun 2014. Kemudian pada awal masa pemerintahan Jokowi-JK, pertumbuhan turun lagi sedikit menjadi 4,9 persen di 2015. Setelah itu pertumbuhan hanya sedikit membaik ke 5,0 persen pada 2016 dan dikuatirkan stagnan di level 5 persen.
Pemerintah sangat menyadari kondisi ini dan ingin segera mengubah struktur perekonomian yang ada. Konsumsi rumah tangga yang selalu jadi andalan sebagai motor penggerak ekonomi domestik selama lebih dari setengah abad (56 tahun sejak 1960) tampaknya mengalami kejenuhan. Untuk menggeser sumber pertumbuhan dari konsumsi ke investasi tak semudah membalikkan telapak tangan. Begitu juga membangkitkan kembali industri manufaktur tidak gampang. Warisan infrastruktur yang kurang memadai, bahkan cenderung buruk, jadi beban yang sangat berat bagi pemerintahan saat ini.
Untuk itu, dipilih resep jitu, pembangunan infrastruktur secara masif di sejumlah daerah. Keseriusan pemerintah untuk segera menutup jurang infrastruktur sangat kasat mata terlihat dua tahun terakhir dengan alokasi anggaran superbesar. Akibatnya, beban defisit APBN kian membengkak sehingga pemerintah harus mematok target tinggi penerimaan pajak, saat ekonomi belum terlalu kuat.
Logika sederhana, dengan banyaknya proyek infrastruktur pemerintah seharusnya bisa jadi stimulus perekonomian yang efektif untuk mendorong bisnis swasta dan sektor riil ikut bergerak dan menggeliat. Namun, sayangnya, dampak langsung pembangunannya sangat minim ke perekonomian saat ini. Penyerapan tenaga kerja di sektor infrastruktur tak banyak, keterlibatan sektor swasta sebagai rekanan pemerintah juga relatif terbatas. Tak heran, pembangunan infrastruktur mulai dipertanyakan manfaatnya. Kita berharap dampak positif pembangunan infrastruktur tak hanya jangka menengah dan panjang, tetapi juga jangka pendek.
Tak ada yang meragukan pembangunan infrastruktur pasti mampu membawa perekonomian Indonesia menuju masa keemasannya. Namun, masalah jangka pendek harus segera dicarikan jamu penawarnya untuk memuluskan tercapainya target jangka menengah dan panjang. Mari kita tunggu dan dukung efektivitas sisa dua tahun pemerintahan Jokowi-JK agar tercipta fondasi kokoh dan solid bagi perekonomian ke depan.
Anton Hendranata, Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk

KOMPAS, 21 Oktober 2017

Monday, December 11, 2017

Tiga Tahun Jokowi

Dalam tiga tahun terakhir, semangat membangun infrastruktur fisik menjadi misi utama pemerataan ekonomi pada era Jokowi-JK. Ruas jalan tol bertambah 568 kilometer, sembilan bendungan rampung, dan jembatan bertambah 25.149 meter. Namun tak pernah ada evaluasi mengenai dampaknya terhadap perekonomian. Puja dan puji pencapaian pembangunan memang terkadang menidurkan akal sehat. Contohnya, pembangunan infrastruktur seharusnya berkorelasi positif dengan penurunan angka kemiskinan. Faktanya, angka kemiskinan masih cukup tinggi dan mengalami stagnasi. Jumlah orang miskin sebanyak 27,73 juta orang pada September 2014 dan 27,77 juta orang pada Maret 2017. Artinya, hanya berkurang 40 ribu orang atau turun 0,14 persen. Kesenjangan antara orang kaya dan miskin makin lebar dengan rasio Gini tidak turun dari 0,39. Yang lebih berbahaya, rasio Gini di pedesaan justru naik, dari 0,316 menjadi 0,320 per Maret 2017.
Penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan ternyata tidak signifikan dibanding besarnya anggaran infrastruktur. Selama 2014-2017, total dana infrastruktur bertambah Rp 168,7 triliun. Kenaikan anggaran sebesar 94,8 persen dalam tiga tahun terakhir itu sayangnya tidak pernah dievaluasi. Partai politik yang sudah merapat ke dalam lingkaran pemerintah bungkam. Yang paling penting adalah membangun infrastruktur fisik. Dampaknya terhadap kesejahteraan tidak pernah didiskusikan. Ada logika ekonomi yang tidak nyambung di sini.
Menurut peraih Nobel ekonomi 1971, Simon Kuznets, pembangunan memang akan menelan korban, yakni semakin timpangnya pendapatan di tengah masyarakat seiring kenaikan pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, di Indonesia, pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK stagnan di angka 5 persen, sementara ketimpangannya tetap tinggi. Contoh nyata adalah ratusan warung kecil menanggung rugi akibat 70 persen kendaraan yang lewat di Pantai Utara pindah ke jalan tol Cipali. Pembangunan infrastruktur ternyata hanya menguntungkan kelas menengah dan kelas atas yang ribut jika Lebaran harus bermacetan di jalan. Semakin panjang jalan tol dibangun, semakin timpang pendapatan antara 20 persen masyarakat teratas dan 40 persen masyarakat termiskin.
Pembangunan jalan tol juga tidak mendongkrak industri pengolahan. Pertumbuhan industri pengolahan justru tersungkur di angka 3,54 persen pada triwulan II 2017. Deindustrialisasi terus berjalan. Mantra perbaikan biaya logistik tak mampu mendorong kinerja industri. Besarnya ambisi pembangunan ini juga tak sejalan dengan kondisi kas pemerintah. Defisit anggaran melonjak hingga ditargetkan 2,9 persen atau angka defisit anggaran tertinggi sejak lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara 2003. Sedikit lagi defisit bisa tergelincir ke angka 3 persen alias melanggar undang-undang.
Kebutuhan anggaran infrastruktur 245 proyek strategis nasional mencapai Rp 4.197 triliun. APBN hanya mampu menanggung Rp 525 triliun. Sisanya harus dicari dari utang, penugasan BUMN, dan swasta. Tapi utang itu punya konsekuensi politik. Salah satunya bisa dijadikan negara satelit Cina. Total utang dalam tiga tahun pun meroket Rp 1.200 triliun. Mampukah pemerintah melunasinya? Dalam catatan Kementerian Keuangan, hingga 2045, kita masih harus melunasi utang jatuh tempo. Utang per kapita sudah di atas Rp 13 juta per penduduk. Kalau terus dibiarkan, penambahan utang yang agresif hanya akan menjadi bencana fiskal dalam jangka panjang atau setidaknya bisa menimbulkan krisis. Padahal penerimaan pajak masih kurang Rp 513 triliun di sisa dua bulan ini. Dari mana pemerintah bisa menutupi defisit?
Jalan satu-satunya adalah menjinakkan bom waktu utang. Proyek infrastruktur perlu dirasionalisasi, misalnya dikurangi dari 245 menjadi 50 proyek. Hanya infrastruktur yang berdampak langsung terhadap masyarakat lokal yang dibangun hingga 2019. Infrastruktur lain bisa dibangun bertahap. Begitu juga proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt, yang sungguh tak masuk akal bila terus dilanjutkan karena asumsi awalnya menggunakan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen. Karena uang APBN semakin menciut, pemerintah gencar mencari pendanaan lain dengan beragam skema. Sayangnya, realisasi investasi asing selama tujuh tahun terakhir rata-rata hanya 27,5 persen dari total komitmen. Artinya, jamuan makan dan sambutan hangat untuk mendatangkan investor tak efektif.
Kalau investasi tidak bisa diandalkan, pemerintah pasti akan menengok ke kantong masyarakat. Subsidi mungkin dipangkas, pajak semakin ganas, atau pungutan lainnya semakin mencekik. Kesimpulannya, tiga tahun telah berlalu dan masyarakat harus lebih bersabar. Momen bersejarah reformasi infrastruktur tidak semurah yang dibayangkan. Ongkosnya harus ditanggung masyarakat miskin. Kalau konsep pembangunan ini tidak segera diubah total, mimpi kesejahteraan yang hanya mengandalkan jalan tol tampaknya sulit diwujudkan.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti INDEF

TEMPO.CO, 25 Oktober 2017

Tiga Tahun Politik Luar Negeri Jokowi-Kalla

Politik luar negeri Indonesia tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla tengah berubah. Aktivisme Indonesia dalam kancah hubungan internasional terlihat meningkat, menjadi lebih aktif dan makin asertif setidaknya dalam tahun terakhir. Pengamat yang obyektif, cermat, dan hati-hati (meticulous) mesti tidak gagal mengamati gejala ini. Kegagalan atau ketidakcermatan pengamat bisa bersumber dari skeptisisme terhadap politik luar negeri Indonesia sejak awal masa pemerintahan Presiden Jokowi. Pandangan skeptis itu terkait kebijakan Presiden Jokowi yang sejak memegang tampuk kekuasaan lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dengan prioritas pokok pada pembangunan infrastruktur fisik. Dengan prioritas ini, Presiden Jokowi dianggap tidak mementingkan peran lebih aktif Indonesia di kancah internasional (outward looking).
Apalagi, Presiden Jokowi tidak hadir dalam Sidang Umum PBB di New York tiga tahun berturut-turut sejak 2015. Pekan lalu, Jokowi juga tidak hadir di Istanbul, Turki, untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT/Summit) D-8, delapan negara Muslim yang paling menonjol dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (developing atau emerging). Sebaliknya, Presiden Jokowi mendelegasikan kehadiran dan diplomasi Indonesia dalam Sidang Umum PBB di New York kepada Wapres Jusuf Kalla. Begitu juga Wapres Jusuf Kalla mewakili Presiden dalam KTT D-8 Istanbul. Daftar pendelegasian dari Presiden kepada Wapres bisa cukup panjang. Namun, Presiden Jokowi hadir selektif dalam forum seperti KTT ASEAN, termasuk dengan negara-negara mitra ASEAN. Presiden juga hadir di KTT APEC, G-20, KTT Dunia Arab-Islam dengan Amerika Serikat, dan beberapa forum internasional lain. Presiden Jokowi juga berkunjung dan bertemu dengan kepala pemerintahan negara-negara utama yang menjadi mitra kerja sama ekonomi, perdagangan, politik, dan sosial-budaya, seperti negara-negara ASEAN, China, AS, Jepang, Jerman, Inggris, dan Australia. Meski demikian, bagi kalangan pengamat politik luar negeri Indonesia, Presiden Jokowi tetap dianggap belum menampilkan postur Indonesia yang lebih high profile. Mereka berharap Jokowi dapat memainkan peran lebih besar sesuai sosok Indonesia sebagai negara besar (punch its weight).
Indonesia memang belum sepenuhnya ”menonjok sesuai bobotnya”. Namun, Presiden Jokowi memberikan pendelegasian lebih besar kepada Wapres Jusuf Kalla bersama Menlu Retno LP Marsudi untuk menampilkan sosok politik luar negeri yang tak kurang bobotnya. Menghadiri berbagai forum KTT dan pertemuan internasional lain, selain acara resmi, Wapres Kalla menjadi ”sasaran” pertemuan bilateral di sela waktu dengan banyak kepala pemerintahan negara lain. Karena itu, meski Presiden Jokowi hanya hadir dalam berbagai forum internasional secara sangat selektif, Indonesia tetap menjadi salah satu pusat perhatian banyak kalangan internasional. Sebab itu, banyak pula kepala negara dan kepala pemerintahan merasa perlu datang ke Indonesia, termasuk yang terlibat pertikaian, seperti Raja Salman (Arab Saudi) dan Emir Syekh Tamim bin Hamad al-Tsani (Qatar). Padahal, lebih dari tiga dasawarsa kepala dua negara ini tidak ke Indonesia.
Kenapa Indonesia menjadi sangat menarik? Ini terkait keberhasilan Indonesia memelihara stabilitas politik dan keamanan yang memungkinkan peningkatan ekonomi. Hasilnya, sejak April 2017, Indonesia termasuk di antara 10 negara dengan PDB lebih dari 1 triliun dollar AS; dan antara 2025-2030 Indonesia diprediksi menjadi negara keempat atau kelima terkuat ekonominya. Tak kurang pentingnya, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pada saat sama, Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia—setelah India dan AS—adalah show case, contoh keberhasilan di mana Islam kompatibel dan berjalan beriringan dengan demokrasi.
Sekali lagi, Indonesia tegak menonjol di tengah masih bertahannya konflik, kekerasan, dan perang di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim di Dunia Arab dan Asia Selatan. Dalam konteks ini, peran Indonesia sangat menonjol dalam memediasi konflik Rohingya. Menjadi satu-satunya negara yang diterima Pemerintah Myanmar.
Kunci efektivitas politik luar negeri Indonesia karena pendekatan ”total diplomasi” yang low profile, inklusif, dan rekonsiliatif. Indonesia menjauhi diri dari menggunakan pendekatan yang disebut Menlu Retno Marsudi sebagai megaphone diplomacy. Contoh lain keberhasilan diplomasi Indonesia terlihat pula dalam pembentukan Bali Democracy Forum (BDF) Tunis Chapter di Tunis, ibu kota Tunisia, Senin (2/10). BDF Tunis Chapter ingin menggali pengalaman terbaik Indonesia dalam demokrasi sejak reformasi. Indonesia yang berhasil mengonsolidasikan demokrasinya tidak ingin menggurui negara lain. Indonesia hanya ingin berbagi pengalaman terbaik dalam demokrasi.
Azyurmardi Azra, Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KOMPAS, 24 Oktober 2017

Das Kapital

Das Kapital by Karl Marx My rating: 5 of 5 stars Karl Marx's Capital can be read as a work of economics, sociology and history. He...