Showing posts with label Bhima Yudhistira Adhinegara. Show all posts
Showing posts with label Bhima Yudhistira Adhinegara. Show all posts

Tuesday, December 12, 2017

Orkestra 3 Tahun Proyek Pemerataan

PRESIDEN Jokowi-JK telah menjadi nahkoda ekonomi selama tiga tahun terakhir. Banyak pencapaian yang sepatutnya jadi kebanggaan, mulai dari pembangunan jalan tol, jembatan dan infrastruktur lainnya di seantero penjuru republik. Indonesia bagian timur pun tak ketinggalan bersorak merasakan efek pembangunan yang begitu meriah. Baru kali ini jalan tol trans Papua yang membentang dari Sorong ke Merakue sepanjang 3.259,4 km berhasil direalisasikan. Anggapan bahwa pembangunan sifatnya Jawa Sentris perlahan dibantah oleh Jokowi-JK melalui program infrastrukturnya.
Di sisi yang lain anggaran pemerataan ekonomi di era Jokowi-JK mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pos anggaran subsidi energi dikurangi lebih dari 77% dalam tiga tahun terakhir dan diganti dengan Program Keluarga Harapan (conditional cash transfer). Jumlah penerima PKH terus naik dari 2,5 juta orang di 2015 menjadi 6 juta orang di 2017. Harapannya, bantuan subsidi lebih tepat sasaran dan efektif menurunkan angka kemiskinan khususnya di pedesaan. Pasalnya sejak Indonesia merdeka hingga hari ini kemiskinan masih menjadi tantangan utama dalam diskursus pembangunan nasional.
Data terakhir kemiskinan per Maret 2017 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 10,64% dari total penduduk atau 27,77 juta jiwa. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, penurunan angka kemiskinan berjalan sangat lambat atau hanya berkurang 2,63%. Sementara itu dibandingkan periode 1970-1996 presentase penduduk miskin bisa diturunkan dari 60% menjadi 11,3%.
Kondisi kesenjangan pun tidak mengalami perubahan, bahkan trennya meningkat paska reformasi. Rasio gini masih bertengger di 0,39-0,40 dalam dua tahun terakhir, menurun tapi tidak signifikan. Permasalahan kesenjangan dan kemiskinan warisan yang sifatnya sudah mengakar memang tak mudah untuk diselesaikan dalam tempo singkat. Namun, setidaknya Pemerintah telah membuat beberapa instrumen yang cukup progresif diluar dana bansos salah satunya adalah reforma agraria dan dana desa.
Dorong Reforma Agraria dan Dana Desa
Reforma agraria merupakan instrumen yang telah ditunggu-tunggu untuk selesaikan ketimpangan lahan. Bayangkan ketimpangan paling berbahaya dan laten adalah ketimpangan lahan dengan rasio gini mencapai 0,64 dibandingkan rasio gini pengeluaran 0,39. Ketimpangan lahan memunculkan aneka konflik agraria ditengah masyarakat. Selain itu persoalan rendahnya produktivitas pangan karena alih guna lahan juga jadi masalah yang serius. Di tangan Presiden Jokowi terobosan reforma agraria yang sempat macet di era Soekarno maupun Soeharto berhasil dijalankan.
Bagi-bagi lahan pun tidak tanggung-tanggung, targetnya 9 juta hektar yang terdiri dari 4,5 juta hektar redistribusi lahan dan 4,5 juta hektar sertifikasi lahan. Semua target tersebut diharapkan rampung sebelum Pemilu 2019. Hanya saja reforma agraria yang berjalan masih parsial. Sebagian besar adalah bagi-bagi sertifikat lahan kepada warga. Sementara proyek redistribusi lahan produktif untuk kegiatan pertanian masih terkendala masalah teknis khususnya pembaruan data lokasi. Harapannya sisa dua setengah tahun masa Pemerintahan sudah ada realisasi lahan yang benar-benar produktif didistribusikan kepada petani miskin.
Selain reforma agraria, instrumen ampuh yang dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam tiga tahun terakhir adalah dana desa. Anggaran dana desa yang tercatat Rp60 triliun per tahun terbukti efektif menciptakan penyerapan tenaga kerja. Data Kementerian Desa tahun 2017 mencatat bahwa dana desa mampu menyerap 1,5 juta orang tenaga kerja di sektor infrastruktur dan 960 ribu orang di sektor pemberdayaan.
Kebermanfaatan infrastruktur pun lebih dirasakan kepada masyarakat secara langsung. Jalan desa yang terbangun mencapai 66.884 km dengan 12.596 unit irigasi baru di 74 ribu lebih desa diseluruh Nusantara. Oleh karenanya dana desa memang sebaiknya terus ditambah. Adapun permasalahan korupsi dana desa bisa diantisipasi dengan perbaikan tata kelola (governance) dan pengawasan yang lebih ketat dari Pemerintah Pusat.
Perkuat Modal
Jika memandang kedepan, target ambisius menurunkan angka kemiskinan dari 10,7% ke 10% serta rasio gini dari 0,39 ke 0,38 pada tahun 2018 tentu membutuhkan modal yang cukup besar. Setidaknya total pos belanja perlindungan sosial per tahunnya butuh Rp157,7 triliun sementara biaya membangun infrastruktur bisa butuh lebih dari Rp5.500 triliun hingga 2019. Sementara itu kondisi fiskal tidak memungkinkan untuk melakukan mengalokasikan dana lebih besar karena terbatas defisit.
Untuk itu modal yang dimaksud adalah penerimaan pajak harus siap mengisi kantong agar program pemerataan tidak mengandalkan utang. Dalam hal penggalian potensi pajak Indonesia memang masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Rasio pajak terhadap PDB atau tax ratio Indonesia hanya 11%, sementara Thailand dan Malaysia masing-masing sudah di atas 14%. Jika dipetakan, potensi penerimaan pajak di Indonesia masih cukup besar. Total wajib pajak individu mencapai 60 juta orang, sementara yang punya NPWP ada dikisaran 28 juta orang. Sayangnya yang taat melaporkan dan membayar setoran pajak hanya ada 11 juta atau 18,3% dari total wajib pajak potensial. Dalam konsep negara welfare state atau negara kesejahteraan, turunnya ketimpangan dan kemiskinan hanya bisa tercapai apabila instrumen pajaknya efektif.
Pemerintah ke depannya bisa segera melakukan reformasi perpajakan, dari mulai perluasan basis pajak hingga membentuk badan pajak yang terpisah dari Kementerian Keuangan seperti di AS. Gotong royong mengentaskan kemiskinan juga tidak bisa dilakukan oleh Pemerintah pusat sendirian. Orkestra yang seirama harus dimainkan juga oleh Pemerintah Daerah. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir jumlah dana dari pusat yang mengalir ke daerah meningkat hingga Rp284,2 triliun. Dalam APBN 2017 pun dana transfer daerah dan dana desa porsinya lebih besar dibanding belanja Kementerian/Lembaga. Di tahun 2017, anggaran yang disiapkan untuk daerah termasuk dana desa mencapai Rp764,9 triliun lebih besar dari belanja Kementerian/Lembaga yakni Rp763,6 triliun. Artinya, pemerintah pusat ingin memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah untuk memerangi kemiskinan. Kuncinya dengan dana sebesar itu adalah sinergi Pusat-Daerah. Harapannya pemberantasan kemiskinan dan penurunan angka ketimpangan tidak berjalan dalam koridor yang terpisah. Orkestra pengentasan kemiskinan harus dimainkan dengan harmonis agar menghasilkan lagu kesejahteraan yang indah.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

KORAN SINDO, 19 Oktober 2017

Monday, December 11, 2017

Tiga Tahun Jokowi

Dalam tiga tahun terakhir, semangat membangun infrastruktur fisik menjadi misi utama pemerataan ekonomi pada era Jokowi-JK. Ruas jalan tol bertambah 568 kilometer, sembilan bendungan rampung, dan jembatan bertambah 25.149 meter. Namun tak pernah ada evaluasi mengenai dampaknya terhadap perekonomian. Puja dan puji pencapaian pembangunan memang terkadang menidurkan akal sehat. Contohnya, pembangunan infrastruktur seharusnya berkorelasi positif dengan penurunan angka kemiskinan. Faktanya, angka kemiskinan masih cukup tinggi dan mengalami stagnasi. Jumlah orang miskin sebanyak 27,73 juta orang pada September 2014 dan 27,77 juta orang pada Maret 2017. Artinya, hanya berkurang 40 ribu orang atau turun 0,14 persen. Kesenjangan antara orang kaya dan miskin makin lebar dengan rasio Gini tidak turun dari 0,39. Yang lebih berbahaya, rasio Gini di pedesaan justru naik, dari 0,316 menjadi 0,320 per Maret 2017.
Penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan ternyata tidak signifikan dibanding besarnya anggaran infrastruktur. Selama 2014-2017, total dana infrastruktur bertambah Rp 168,7 triliun. Kenaikan anggaran sebesar 94,8 persen dalam tiga tahun terakhir itu sayangnya tidak pernah dievaluasi. Partai politik yang sudah merapat ke dalam lingkaran pemerintah bungkam. Yang paling penting adalah membangun infrastruktur fisik. Dampaknya terhadap kesejahteraan tidak pernah didiskusikan. Ada logika ekonomi yang tidak nyambung di sini.
Menurut peraih Nobel ekonomi 1971, Simon Kuznets, pembangunan memang akan menelan korban, yakni semakin timpangnya pendapatan di tengah masyarakat seiring kenaikan pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, di Indonesia, pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK stagnan di angka 5 persen, sementara ketimpangannya tetap tinggi. Contoh nyata adalah ratusan warung kecil menanggung rugi akibat 70 persen kendaraan yang lewat di Pantai Utara pindah ke jalan tol Cipali. Pembangunan infrastruktur ternyata hanya menguntungkan kelas menengah dan kelas atas yang ribut jika Lebaran harus bermacetan di jalan. Semakin panjang jalan tol dibangun, semakin timpang pendapatan antara 20 persen masyarakat teratas dan 40 persen masyarakat termiskin.
Pembangunan jalan tol juga tidak mendongkrak industri pengolahan. Pertumbuhan industri pengolahan justru tersungkur di angka 3,54 persen pada triwulan II 2017. Deindustrialisasi terus berjalan. Mantra perbaikan biaya logistik tak mampu mendorong kinerja industri. Besarnya ambisi pembangunan ini juga tak sejalan dengan kondisi kas pemerintah. Defisit anggaran melonjak hingga ditargetkan 2,9 persen atau angka defisit anggaran tertinggi sejak lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara 2003. Sedikit lagi defisit bisa tergelincir ke angka 3 persen alias melanggar undang-undang.
Kebutuhan anggaran infrastruktur 245 proyek strategis nasional mencapai Rp 4.197 triliun. APBN hanya mampu menanggung Rp 525 triliun. Sisanya harus dicari dari utang, penugasan BUMN, dan swasta. Tapi utang itu punya konsekuensi politik. Salah satunya bisa dijadikan negara satelit Cina. Total utang dalam tiga tahun pun meroket Rp 1.200 triliun. Mampukah pemerintah melunasinya? Dalam catatan Kementerian Keuangan, hingga 2045, kita masih harus melunasi utang jatuh tempo. Utang per kapita sudah di atas Rp 13 juta per penduduk. Kalau terus dibiarkan, penambahan utang yang agresif hanya akan menjadi bencana fiskal dalam jangka panjang atau setidaknya bisa menimbulkan krisis. Padahal penerimaan pajak masih kurang Rp 513 triliun di sisa dua bulan ini. Dari mana pemerintah bisa menutupi defisit?
Jalan satu-satunya adalah menjinakkan bom waktu utang. Proyek infrastruktur perlu dirasionalisasi, misalnya dikurangi dari 245 menjadi 50 proyek. Hanya infrastruktur yang berdampak langsung terhadap masyarakat lokal yang dibangun hingga 2019. Infrastruktur lain bisa dibangun bertahap. Begitu juga proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt, yang sungguh tak masuk akal bila terus dilanjutkan karena asumsi awalnya menggunakan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen. Karena uang APBN semakin menciut, pemerintah gencar mencari pendanaan lain dengan beragam skema. Sayangnya, realisasi investasi asing selama tujuh tahun terakhir rata-rata hanya 27,5 persen dari total komitmen. Artinya, jamuan makan dan sambutan hangat untuk mendatangkan investor tak efektif.
Kalau investasi tidak bisa diandalkan, pemerintah pasti akan menengok ke kantong masyarakat. Subsidi mungkin dipangkas, pajak semakin ganas, atau pungutan lainnya semakin mencekik. Kesimpulannya, tiga tahun telah berlalu dan masyarakat harus lebih bersabar. Momen bersejarah reformasi infrastruktur tidak semurah yang dibayangkan. Ongkosnya harus ditanggung masyarakat miskin. Kalau konsep pembangunan ini tidak segera diubah total, mimpi kesejahteraan yang hanya mengandalkan jalan tol tampaknya sulit diwujudkan.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti INDEF

TEMPO.CO, 25 Oktober 2017

Das Kapital

Das Kapital by Karl Marx My rating: 5 of 5 stars Karl Marx's Capital can be read as a work of economics, sociology and history. He...