Showing posts with label Firmanzah. Show all posts
Showing posts with label Firmanzah. Show all posts

Wednesday, December 13, 2017

Waspadai Potensi Krisis Perbankan Italia-Eropa

Stabilitas sistem keuangan dan perbankan dunia saat ini diuji oleh potensi krisis perbankan di Italia. Bank tertua dunia dan terbesar ke-3 di Italia, yaitu Monte dei Paschi di Siena (MPS), mengalami kesulitan likuiditas dan mengajukan proposal injeksi dana untuk memperkuat struktur permodalan dalam jumlah cukup besar ke Bank Sentral Eropa (ECB) yang diperkirakan mencapai 8,8 miliar euro. Hilangnya kepercayaan dari deposan yang menarik dananya secara besar-besaran di tengah melonjaknya kredit bermasalah (nonperforming loans/NPL) yang mencapai 28,5 miliar euro telah membuat neraca keuangan MPS bermasalah.
Situasi yang dialami oleh MPS memunculkan kekhawatiran baru akan potensi risiko dampak sistemiknya terhadap stabilitas sistem keuangan, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di dunia seperti 2008. Tentu kita tidak perlu merasa cemas berlebihan, namun yang terpenting, otoritas moneter perlu terus memonitor pola dan magnitudo dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan global apabila penanganan MPS tidak menemukan solusi yang mampu menenangkan pasar.
Hal ini beralasan mengingat Italia sebagai kekuatan ekonomi ke-3 di Eropa memiliki NPL dalam jumlah yang sangat besar, yaitu senilai 360 miliar euro. Paling tidak terdapat dua factor mengapa sistem perbankan Italia memiliki NPL yang sangat besar. Pertama, rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan yang kedua ketidakhati-hatian dalam proses penyaluran kredit perbankan.
Pemerintah Italia saat ini menganggarkan tidak kurang 20 miliar euro untuk memperkuat sistem perbankan di negara tersebut. Sementara itu menurut KPMG, kawasan Eropa memiliki kredit bermasalah yang sangat besar, senilai 1,2 triliun euro atau hampir tiga kali dari NPL di Amerika Serikat. Kasus yang menimpa MPS di Italia tidak menutup kemungkinan akan terjadi di bank-bank lainnya di kawasan Eropa.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat lesunya perekonomian setelah krisis fiskal di Eropa ditengarai berkontribusi cukup besar terhadap membengkaknya kredit bermasalah di Eropa. Persoalan terbesar perbankan Eropa saat ini adalah membengkaknya kredit bermasalah. Menurut IMF, rata-rata rasio NPL di zona Eropa mencapai puncaknya pada 2013 yang berada di angka 8%. Meskipun di beberapa negara di Eropa rasio NPL berada di bawah 3%, di sejumlah negara kredit bermasalah melonjak.
Posisi September 2016, empat negara Eropa seperti Italia, Irlandia, Portugal, dan Slovenia rata-rata NPL berada di level 20%. Bahkan dua negara Eropa, yaitu Siprus dan Yunani memiliki exposure kredit bermasalah yang sangat parah, di mana setengah dari total pinjaman perbankan dikategorikan sebagai kredit bermasalah.
Melihat hal ini, banyak pihak yang mulai waswas bahwa persoalan yang terjadi di MPS berisiko akan tertransmisi tidak hanya bagi bank di negara lain di Eropa, tetapi juga cerminan krisis ekonomi yang lebih dalam di kawasan Eropa, di mana melonjaknya kredit bermasalah salah satunya disebabkan oleh kinerja sektor riil yang memburuk dan membuat konsumen maupun korporasi mengalami kesulitan membayar kewajiban ke perbankan.
Sentimen negatif dari kawasan Eropa sebenarnya tidak hanya bersumber dari krisis perbankan seperti yang dialami oleh MPS, tetapi juga meningkatnya sentimen anti-Uni Eropa yang semakin menguat. Pemilihan presiden di Prancis, misalnya, di mana kandidat dari Partai Sayap Kanan yaitu Marie Le Pen sudah menyatakan akan mengeluarkan Prancis dari Uni Eropa apabila terpilih sebagai presiden.
Apabila skenario ini terjadi, ketidakpastian politik akan semakin meningkat pascakeluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang kita kenal sebagai Brexit. Sementara itu, gelombang mengkritisi Uni Eropa juga dirasakan semakin menguat di sejumlah negara seperti di Belanda yang tahun ini juga akan menyelenggarakan pemilihan umum. Kombinasi antara stagnasi ekonomi Zona Eropa, potensi krisis perbankan, Brexit, dan sejumlah agenda politik telah menjadikan Zona Eropa sebagai episentrum baru externalshock bagi perekonomian dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Dengan semakin terintegrasinya sistem perbankan, setiap guncangan eksternal akan berdampak langsung ataupun tidak langsung ke stabilitas sistem keuangan nasional. Besarkecilnya magnitudo dari dampak akan sangat ditentukan oleh daya tahan sistem keuangan nasional.
Aspek ini akan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain praktik goodgovernance di perbankan, fungsi pengawasan yang berjalan baik, efisiensi sistem perbankan nasional, dan kondisi kesehatan perbankan domestik. Pola transmisi dari setiap gejolak eksternal yang paling memungkinkan bilamana terjadi krisis perbankan di Eropa salah satunya melalui transmisi sentimen-psikologis.
Ketika terjadi krisis perbankan di luar negeri, biasanya baik investor maupun deposan akan mulai mempertanyakan risiko terjadinya hal serupa di dalam negeri. Namun ketika kesehatan perbankan terjaga, hal tersebut akan menjadi bantalan dari efek domino yang diakibatkan krisis yang bersumber dari eksternal.
Dunia perbankan di Indonesia sebenarnya telah belajar dari pengalaman berharga krisis ekonomi 1998 dan dampak krisis subprime mortgage 2008. Belajar dari dua pengalaman tersebut, menjaga dan terus meningkatkan kepercayaan (trust) terhadap institusi keuangan nasional adalah hal yang sangat penting. Mismanagement baik di tingkat makro-pengawasan maupun mikro-pengelolaan akan menurunkan level kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan.
Inilah sebenarnya yang terjadi saat ini dalam kasus MPS di Italia. Pembenahan melalui kelengkapan tata aturan perundang- undangan telah dilakukan untuk memperkuat level kepercayaan publik terhadap institusi keuangan nasional, penerapan standar global terhadap perbankan nasional, serta menyinergikan kebijakan antarotoritas.
Belajar dari kasus MSP di Italia dan membengkaknya kredit bermasalah di Eropa, otoritas serta regulator pengawasan perbankan dan sistem keuangan di Tanah Air perlu terus memastikan, praktik-praktik perbankan sesuai dengan tata aturan yang berlaku. Kita bersyukur, meskipun meningkat, rasio kredit bermasalah di Indonesia sangat terkendali. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per November 2016 tercatat kredit bermasalah sebesar 3,18%.
Kombinasi antara pengawasan dan membaiknya governance penyaluran kredit di perbankan membuat rasio kredit bermasalah relatif terjaga di tengah tekanan harga komoditas dunia yang sangat rendah sepanjang 2014-2016. Makro prudensial perlu terus menjadi fokus pengambil kebijakan. Komitmen untuk terus mengembangkan pasar keuangan perlu diimbangi dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan industri keuangan nasional.
Melalui hal inilah sistem keuangan nasional tidak hanya memiliki daya tahan terhadap gejolak eksternal, tetapi juga mampu tumbuh secara berkelanjutan. Di tengah semakin tingginya ketidakpastian perekonomian global dan risiko munculnya gejolak eksternal, kesigapan dan kewaspadaan regulator dan para pelaku pasar untuk merespons setiap potensi gejolak dan risiko dari eksternal semakin dibutuhkan.
Firmanzah, Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

KORAN SINDO, 21 Februari 2017

Tuesday, December 12, 2017

Peluang dan Tantangan Ekonomi Nasional

PADA 20 Oktober 2017, usia pemerintahan Jokowi-JK genap tiga tahun dari lima tahun masa bakti Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Meskipun belum genap lima tahun, terdapat banyak hal yang telah terjadi, baik dalam perekonomian nasional maupun lingkungan global. Dari sekian banyak faktor eksternal, pelemahan harga komoditas dunia menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kinerja ekonomi nasional.
Dari sisi kebijakan fiskal, terdapat perubahan yang cukup signifikan terhadap postur belanja negara. Pada APBNP 2015, alokasi belanja untuk infrastruktur dianggarkan sebesar Rp290 triliun. Meskipun realisasi penyerapannya hanya mencapai Rp256,3 triliun, hal ini menandai agresivitas pemerintahan Jokowi-JK dalam hal pembangunan infrastruktur. Realisasi belanja infrastruktur pada tahun berikutnya, 2016, kembali meningkat menjadi Rp317 triliun.
Sementara itu, untuk tahun ini ditetapkan belanja infrastruktur sebesar Rp388,3 triliun dan pada 2018 dianggarkan sebesar Rp409 triliun. Agresivitas belanja infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan di satu sisi diperlukan, di sisi lain menciptakan sejumlah persoalan. Pertama, defisit anggaran dalam APBNP 2017 sangat tinggi mencapai 2,92%. Kedua, meningkatnya utang pemerintah, per Agustus 2017 telah mencapai Rp3.852,79 triliun. Meskipun secara persentase terhadap PDB masih relatif aman dan terkendali, yaitu sebesar 27,9%, pemerintah perlu lebih berhati-hati dan berhitung secara cermat terkait dengan kapasitas fiskal untuk pembayaran, baik dari cicilan maupun pembayaran pokok pinjaman.
Sepertinya hal ini sangat dipahami oleh pemerintahan Jokowi-JK dan dalam APBN 2018, defisit fiskal ditargetkan jauh lebih moderat dibandingkan APBNP 2017, yaitu hanya sebesar 2,19%. Mengingat besarnya kebutuhan anggaran infrastruktur sebesar Rp4.796,2 triliun, selain peran BUMN, peran swasta dalam pembangunan infrastruktur perlu terus ditingkatkan, terutama infrastruktur yang memiliki nilai komersial.
Realisasi penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir juga selalu di bawah target yang ditetapkan. Misalnya pada 2015, realisasi penerimaan negara dari sektor perpajakan sebesar 81,5% atau Rp1.055 triliun dari target APBNP 2015 sebesar Rp1.294,25 triliun. Sementara itu, pada 2016, realisasi penerimaan sektor perpajakan mencapai 81,54% atau Rp1.105 triliun dari target APBNP 2016 yang ditetapkan sebesar Rp1.355 triliun. Selain faktor penetapan target perpajakan yang dianggap terlalu tinggi untuk menyesuaikan besarnya belanja negara, faktor perlambatan pertumbuhan sektor riil juga berdampak pada melesetnya realisasi penerimaan sektor perpajakan. Hal ini tercermin pada realisasi pertumbuhan kredit nasional yang lebih rendah dari target yang ditetapkan. Data dari BI dan OJK menunjukkan, pada 2015, pertumbuhan kredit perbankan nasional hanya mampu tumbuh sebesar 10,1% di bawah target semula sebesar 11-13%. Sementara itu pada 2016, pertumbuhan kredit perbankan hanya mampu tumbuh sebesar 7,87% dan jauh dari target semula sebesar 9-12%.
Ketika inflasi dalam 2015-2016 relatif terjaga rendah yang membuat BI menurunkan beberapa kali suku bunga acuan, maka seharusnya realisasi kredit perbankan bisa tumbuh melampaui target awal. Namun ketika realisasi tidak setinggi yang diharapkan, hal ini menunjukkan kegairahan dunia usaha tidak setinggi yang diprediksi semula. Meskipun begitu, keseriusan pemerintahan Jokowi-JK dalam melakukan pembenahan ekonomi nasional membuahkan hasil. Lembaga pemeringkat Standar & Poor’s (S&P) menaikkan sovereign credit rating Indonesia menjadi BBB-/A-3 dengan outlook stabil. Dengan kata lain, Indonesia telah memperoleh investment grade dari S&P dan melengkapi lembaga lain yang telah memberikan investment grade, yaitu Fitch pada 2011 dan Moody’s pada 2012.
Hal ini menunjukkan kepercayaan dunia internasional terhadap prospek ekonomi Indonesia semakin meningkat. Baru-baru ini, peringkat daya saing Indonesia menurut Global Competitiveness Index 2017-2018 meningkat dari posisi 41 menjadi 36 dunia. Meskipun mengalami perbaikan, sejumlah negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand memiliki peringkat daya saing yang lebih baik dan berada di posisi ke-3, 23, dan 32 dunia. Hal ini menunjukkan pekerjaan rumah untuk terus mendorong daya saing nasional masih membutuhkan konsentrasi dan fokus bagi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.  
Meskipun tidak menurun secara tajam, beberapa indikator seperti Gini-Coefficient, angka pengangguran dan angka kemiskinan dapat terus ditekan dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, penetapan harga BBM satu harga, terutama di kawasan timur Indonesia perlu kita apresiasi bersama sebagai bentuk political dan good will dari pemerintahan Jokowi-JK dalam hal pemerataan pembangunan.
Dari sektor ketenagakerjaan, masih besarnya penduduk yang bekerja di sektor informal perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Menurut data BPS per Februari 2017 terdapat 58,35% penduduk yang bekerja di sektor informal. Memang pengangguran terbuka hanya sebesar 5,33%, namun ketika jumlah tenaga kerja yang masuk ke sektor informal mendominasi angkatan kerja kita, maka hal tersebut akan menimbulkan persoalan perlindungan dan kesejahteraan angkatan kerja yang berpotensi mengurangi upaya meningkatkan produktivitas nasional. Oleh karenanya, tantangan saat ini dalam sektor ketenagakerjaan adalah membalikkan kondisi sektor formal yang sebaiknya lebih besar dibandingkan sektor formal. Investasi baik PMA maupun PMDN perlu terus ditingkatkan tidak hanya untuk perluasan penciptaan lapangan kerja sektor formal, juga untuk penguatan struktur industri nasional. 
Tentunya semua pihak berharap dalam sisa waktu dua tahun ke depan, penuntasan agenda-agenda pembangunan nasional di bidang ekonomi akan tetap menjadi fokus pemerintah di tengah mulai ramainya kontestasi politik. Hal ini sangatlah penting diperhatikan oleh banyak pihak mengingat pada 2018 akan penuh sesak dengan jadwal dan agenda politik. Menurut KPU, tahun depan dijadwalkan terdapat 171 Pilkada serentak, penetapan parpol peserta Pemilu, pengajuan dan penetapan caleg DPRD-DPD-DPR, dan pengajuan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. Stabilitas politik, keamanan dan ketertiban tetap harus dijaga sebagai prasyarat utama pembangunan ekonomi berkelanjutan. Selain itu, juga kontestasi politik yang eskalasinya diperkirakan akan meningkat menjelang 2019 tentu diharapkan tidak mengganggu penuntasan program kerja bidang ekonomi terutama agenda pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, ease doing business, pembangunan infrastruktur, pemerataan ekonomi, investasi dan pelaksanaan good governance.
Firmanzah, Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Indonesia

KORAN SINDO, 19 Oktober 2017

Das Kapital

Das Kapital by Karl Marx My rating: 5 of 5 stars Karl Marx's Capital can be read as a work of economics, sociology and history. He...