Showing posts with label Jokowinomics. Show all posts
Showing posts with label Jokowinomics. Show all posts

Wednesday, December 13, 2017

Disiplin Fiskal dan Pengampunan Pajak

Tahun 2016 merupakan periode yang dinamis dalam pengelolaan fiskal kita. Pemerintah mencoba menargetkan belanja tinggi, Rp 2.080 triliun, yang didu- kung penerimaan pajak yang tinggi pula, Rp 1.539 triliun. Kredibilitas angka-angka ini diragukan, mengingat perekonomian Indonesia dan global masih lesu. Jatuhnya harga minyak dunia ke titik nadir 27 dollar AS per barrel pada Februari 2016 sebenarnya sudah mengindikasikan lesunya perekonomian global. Bagi Indonesia, hal ini kian mencekam karena menyeret harga komoditas, terutama batubara.
Namun, pemerintah tidak menyerah dan mencanangkan program pengampunan pajak yang dimulai pada Juli 2016. Selain untuk memperkuat basis pajak, program ini juga bisa menaikkan penerimaan pajak secara instan. Program pengampunan pajak menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Pada akhir periode II (31 Desember 2016), deklarasi harta mencapai Rp 4.296 triliun, uang tebusan (penerimaan pajak) Rp 103 triliun, dan repatriasi Rp 141 triliun (sekitar 10 miliar dollar AS). Sebagai perbandingan, aset total perbankan kita saat ini Rp 6.400 triliun dan cadangan devisa 111 miliar dollar AS. Dengan demikian, pengampunan pajak cukup signifikan dan bisa disebut sukses.
Namun, keberhasilan ini belum mampu menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Realisasi pajak Rp 1.283 triliun tetap meleset (shortfall) Rp 255 triliun dari target. Sementara defisit APBN mencapai Rp 307 triliun. Berita bagusnya, defisit itu setara dengan 2,46 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), atau lebih baik daripada ekspektasi Menteri Keuangan sebesar 2,7 persen.
Potret fiskal kita pada 2016 tidak bisa dibilang baik. Namun, keberhasilan menahan defisit APBN, yang mencerminkan keberhasilan menjalankan disiplin fiskal, layak diapresiasi. Hasrat pemerintah untuk agresif membangun infrastruktur dan mewujudkan kesejahteraan melalui sistem jaminan sosial nasional tidak mengabaikan kesehatan fiskal. Fiskal boleh defisit, tetapi jangan dibiarkan liar tak terkendali. Itulah esensi politik fiskal. Brasil menjadi sorotan karena lemahnya menjaga disiplin fiskal, padahal memiliki kekuatan terbesar di Amerika Latin. Brasil rajin membangun infrastruktur, misalnya untuk menyelenggarakan Olimpiade Rio de Janeiro dan tuan rumah Piala Dunia sepak bola. Ini mengingatkan kita pada agresivitas Tiongkok yang belanja infrastrukturnya mencapai 10 persen terhadap PDB, sementara anggaran infrastruktur Brasil 5 persen terhadap PDB. Namun, Brasil tidak mampu menjaga defisit APBN melampaui 10 persen terhadap PDB.
Bermula dari kegagalan menjaga disiplin fiskal, Brasil mengalami mata rantai buruk. Pertumbuhan ekonomi minus 3,8 persen (2015) dan berlanjut minus 3,2 persen (2016); pengangguran 11,8 persen; pendapatan per kapita anjlok dari 13.200 dollar AS (2011) menjadi 8.600 dollar AS (2015); investasi merosot 14 persen setahun. Puncaknya, Presiden Dilma Rousseff jatuh pada 31 Agustus 2016 karena buruknya perekonomian.
Penilaian terhadap Indonesia
Terkait kondisi Indonesia, banyak lembaga finansial internasional menaruh asa terhadap prospek perekonomian Indonesia pada 2017, misalnya rilis terbaru oleh HSBC yang prospektif. Sementara IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1 persen. Ini versi yang paling rendah karena Bank Dunia dan Bloomberg mematok angka yang lebih tinggi, 5,3 persen. Sementara itu, Pemerintah Indonesia bersikap realistis dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,1 persen.
Tahun 2017 akan tetap tidak mudah bagi kita. Inflasi yang pada 2016 dapat ditekan rendah 3,02 persen kemungkinan akan meningkat ke 4 persen. Kenaikan harga yang disebabkan kebijakan pemerintah (administered price), seperti kenaikan tarif listrik dan elpiji, sudah pasti akan menaikkan inflasi. Target inflasi 4 persen pada 2017 rasanya masuk akal.
Nilai tukar rupiah yang mengalami apresiasi 2,6 persen pada 2016 akan menghadapi tekanan berat karena kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunganya lagi, yang berakibat apresiasi dollar AS. Namun, saya tidak yakin The Fed akan menaikkan suku bunga sampai tiga kali pada 2017. Apresiasi dollar AS yang terlalu besar berdampak buruk bagi daya saing produk-produk AS. Presiden baru Donald Trump yang amat menaruh perhatian pada defisit perdagangan AS pasti tidak akan mengizinkannya.
Risiko pelemahan nilai tukar rupiah bisa diatasi jika kita mampu menggenjot repatriasi. Jika dana repatriasi bisa masuk 20 miliar dollar AS-30 miliar dollar AS, nilai tukar rupiah serta-merta menguat dan stabil. Menteri Keuangan dan jajarannya harus bekerja keras mewujudkannya pada triwulan I-2017 ini.
Dengan segala kesulitan dan kendala yang ada, prospek kita tidaklah sesuram yang dibayangkan. Namun, itu semua tentu bergantung pada upaya-upaya keras yang akan kita lakukan di sepanjang 2017.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta

KOMPAS, 09 Januari 2017

Pilkada Aman, Kepercayaan Diri Meningkat

Pemilihan kepala daerah serentak pekan lalu berlangsung aman. Meski didahului sedikit dinamika, pilkada di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten terselenggara dengan sukses. Ada riak-riak kecil, tetapi tidak signifikan. Ini bisa mengangkat kepercayaan diri para pelaku ekonomi untuk segera mengakhiri masa tunggu (wait and see) sebelum melaksanakan aksi bisnisnya. Ini sangat penting bagi perekonomian 2017 yang masih dihinggapi ketidakpastian global.
Kita boleh dibilang lulus dari ujian karena pada hari-hari ini sentimen positif perekonomian global kian mengarah ke Amerika Serikat (AS). Data perekonomian AS terus membaik, terutama penyerapan tenaga kerja (non-farm payroll) Januari 2017 yang mencapai 227.000 orang, jauh melebihi bulan-bulan sebelumnya. Akibatnya, dollar AS cenderung menguat terhadap semua mata uang dunia. Indeks harga saham di New York juga mencatat rekor baru 20.620. Donald Trump menjadi presiden ketiga terbaik sepanjang sejarah AS yang mampu menaikkan indeks harga saham dengan 3,8 persen sesudah John Kennedy (4,3 persen) dan Lyndon Johnson (6 persen).
Pidato Kepala Bank Sentral AS, The Fed, Janet Yellen juga meyakinkan pasar sehingga memantik terbangnya modal global ke New York. Yellen bilang, statistik ekonomi AS meyakinkan, seperti inflasi yang sudah mendekati target 2 persen sebagai cerminan antusiasme masyarakat untuk berbelanja. Para ekonom yakin, inflasi yang terlalu rendah tidak baik karena merepresentasikan hasrat berbelanja (propensity to consume) yang lemah. Konsumen cenderung menunggu atau menunda belanja di luar kebutuhan pokok. Penurunan gairah belanja berakibat buruk terhadap perekonomian karena menurunkan jumlah barang dan jasa yang terjual sehingga pertumbuhan ekonomi melambat.
Karena itu, misalnya di Jepang, rendahnya inflasi dan bahkan deflasi dihindari. Seperti halnya AS, Jepang juga berusaha mendorong inflasi. Di Jepang, inflasi yang aman sekitar 1 persen. Untuk mencapainya, Bank Sentral Jepang (BOJ) bahkan memberlakukan kebijakan suku bunga negatif untuk mendorong bank untuk menaikkan ekspansi kredit daripada menyimpan likuiditasnya di bank sentral. Inflasi AS Desember 2016 sudah mencapai 2,1 persen, tetapi inflasi 2016 secara keseluruhan hanya 1,3 persen. Di Jepang, inflasi hanya 0,2 persen meski sudah didorong suku bunga negatif.
Kondisi Indonesia
Di Indonesia, inflasi 2016 dapat ditekan menjadi 3,02 persen. Ini merupakan kombinasi lesunya daya beli (purchasing power), tidak adanya kebijakan pemerintah menaikkan tarif (administered prices), dan keberhasilan koordinasi tim pengendalian dan pemantauan inflasi daerah (TPID). Jadi, sebenarnya, rendahnya inflasi pada 2016 dapat diinterpretasikan ganda. Di satu pihak, inflasi rendah karena terbantu rendahnya harga komoditas yang menyebabkan pemerintah tidak perlu menaikkan harga energi. Di sisi lain, inflasi rendah bisa pula merupakan cerminan dari lemahnya daya beli. Ini bisa dibuktikan dengan rendahnya pertumbuhan kredit bank yang cuma 7,8 persen, jauh dari target 12 persen.
Pada Januari 2017, inflasi melesat ke 0,97 persen, terutama disebabkan oleh kenaikan bea pengurusan surat tanda nomor kendaraan bermotor dan listrik (oleh pemerintah), tarif pulsa telepon seluler, harga cabai rawit, dan harga bahan bakar minyak. Inflasi tahunan kini 3,49 persen. Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa inflasi 2017 bakal lebih tinggi daripada 2016, mungkin akan berkisar 4,5 persen, tetapi bagi Indonesia, masih merupakan level yang aman dan dapat ditoleransi.
Tekanan eksternal dari data perekonomian AS menginspirasi The Fed untuk segera menaikkan suku bunga acuannya yang kini 0,75 persen. Ini mestinya berdampak negatif terhadap rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Namun, faktanya tidak demikian. Rupiah masih berada di level yang seusai dengan fundamentalnya pada Rp 13.336 per dollar AS, sedangkan IHSG berada pada 5.350. Keduanya baik-baik saja.
Kesimpulan sementara, faktor pilkada serentak yang bisa dibilang sukses memberi sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini secara instan terefleksikan pada variabel kurs rupiah dan IHSG yang tetap stabil. Adapun variabel lain yang sifatnya jangka menengah dan panjang, seperti investasi langsung (penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri), belum bisa kita deteksi pada saat ini.
Meski demikian, masih ada pekerjaan rumah. Pilkada DKI Jakarta yang menjadi barometer terbesar karena menyangkut ibu kota yang memiliki anggaran pemda Rp 70 triliun masih harus melalui babak kedua. Anggaran tersebut sangat besar, ekuivalen dengan biaya pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung; lebih dari dua kali lipat biaya transportasi massal cepat (MRT) di Jakarta; tujuh kali lipat bandar udara baru Yogyakarta di Kulon Progo; dan 10 kali lipat biaya Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Adalah tanggung jawab kita bersama untuk membuat proses pilkada berjalan dengan baik, lancar, dan aman. Bukan soal siapa kelak pemenangnya, melainkan bagaimana proses itu berjalan. Para pelaku ekonomi masih akan ada yang menambah waktu tunggunya sebelum melaksanakan rencana bisnisnya. Para pelaku ekonomi dan bisnis pada dasarnya membutuhkan kepastian dan kestabilan sosial politik. Kita pun wajib untuk memenuhinya agar tidak kehilangan momentum.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta

KOMPAS, 20 Februari 2017

Aspek Ekonomi Kunjungan Raja

Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia telah menimbulkan ”kehebohan”. Jumlah rombongan yang amat besar (1.500 orang) sungguh spektakuler. Wajar jika muncul berbagai ekspektasi yang besar terhadap rombongan yang tidak lazim sebanyak ini, dengan durasi yang juga panjang. Selain kunjungan tiga hari di Jakarta (1-3 Maret), Raja Salman juga melanjutkan berlibur di Bali hingga 9 Maret 2017. Ini luar biasa.
Nama Bali akan mendapat promosi yang besar di kalangan turis Timur Tengah. Ini momentum yang tepat. Sebab, saat ini tiga maskapai terbesar Timur Tengah (Emirates, Etihad, dan Qatar) juga berencana membuka penerbangan langsung dari Timur Tengah ke Yogyakarta. Diperkirakan, hal ini baru terealisasi saat bandara baru Yogyakarta selesai dibangun pada 2019.
Ke depannya, Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah bakal menjadi salah satu sumber turis asing yang potensial bagi industri pariwisata kita, yang kini dilaporkan sudah berhasil mencapai 12 juta wisman pada 2016. Bali, yang selama ini destinasi favorit turis Australia, Jepang, China, dan Rusia, sebentar lagi juga akan didatangi turis Timur Tengah. Hal paling menarik dari perekonomian terkini Arab Saudi adalah mereka sedang terpukul oleh runtuhnya harga minyak, lalu ”banting setir” menjalankan reformasi yang struktural. Pelajaran apa yang bisa kita petik? Apa persamaan dan perbedaannya dengan Indonesia?
Sindrom ”Penyakit Belanda”
Arab Saudi adalah negara yang mengidap sindrom ”penyakit Belanda” (Dutch disease), yakni negara yang terpukul karena perekonomiannya terlalu bergantung pada suatu komoditas primer, dalam hal ini minyak. Tak tanggung-tanggung, harga minyak dunia pernah mencapai puncaknya 147 dollar AS per barrel (2007), lalu terkoreksi menjadi 115 dollar AS per barrel (Juni 2014), kemudian terus anjlok hingga titik terendah 27 dollar AS per barrel (Februari 2016). Merosotnya harga minyak hingga 70 persen menyebabkan perekonomian Saudi terpukul. Betapa tidak. Anggaran pemerintahnya selama ini terlalu bergantung pada minyak, mencapai 90 persen. Dependensi ini jauh lebih besar daripada ketergantungan pada minyak oleh anggaran pemerintah negara-negara produsen minyak besar lain, seperti Rusia dan Venezuela (50 persen atau lebih).
Akibatnya, Saudi terpaksa harus melakukan reformasi ekonomi—suatu hal yang sebelumnya tak kita pikirkan. Selama periode gonjang-ganjing perekonomian global, terutama sejak pertengahan 2013, cadangan devisa Saudi merosot dari 800 miliar dollar AS menjadi saat ini sekitar 535 miliar dollar AS. Penyebabnya, kombinasi antara upaya menutup anggaran pemerintah yang defisit besar (asumsi harga minyak 100 dollar AS per barrel hanya terealisasi 40 persennya); dengan terjadinya arus keluar dana valuta asing.
Pada periode ini, sebenarnya hampir seluruh dunia mengalami pergerakan modal menuju ke AS. Namun, Saudi (kehilangan 265 miliar dollar AS) dan China (kehilangan 800 miliar dollar AS) yang terbesar. Larinya modal global menuju New York merupakan penjelasan kenapa indeks harga saham New York terus melonjak hingga rekor baru 20.821.
Privatisasi Aramco dan Reformasi
Kehilangan devisa dalam jumlah besar memaksa Saudi untuk melakukan berbagai inisiatif yang signifikan. Keputusan besar dan berani pun diambil: Aramco, perusahaan minyaknya yang merupakan terbesar di dunia, akan melakukan penjualan saham perdana (initial public offering/IPO) sebesar 5 persen. Ini akan menjadi rekor IPO terbesar sepanjang sejarah dengan perkiraan penerimaan 100 miliar dollar AS. Pencapaian ini empat kali lipat daripada rekor sebelumnya yang dipegang Alibaba milik Jack Ma (China), senilai 25 miliar dollar AS (2014).
Valuasi perusahaan Aramco ditaksir 2,1 triliun dollar AS. Sebagai perbandingan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia saja ”hanya” 850 miliar dollar AS, sedangkan PDB Arab Saudi 689 miliar dollar AS. Dengan kata lain, nilai Aramco setara dengan lebih dari dua tahun PDB Indonesia dan tiga tahun PDB Arab Saudi.
Privatisasi Aramco pada 2018 nanti sebenarnya tidak hanya bermakna tunggal karena Saudi sedang memerlukan dana besar untuk menyelamatkan APBN dan menghindari tergerusnya cadangan devisa lebih lanjut. Penjualan saham ini, meski hanya 5 persen senilai 100 miliar dollar AS, menjadi semacam pertanda bahwa Saudi mulai masuk ke era reformasi. Saudi harus berubah. Meski rezeki minyak masih terus mengalir, masa depan harga minyak sulit diharapkan tinggi.
Ditemukannya shale oil atau minyak nonkonvensional oleh AS telah membuat dunia mengalami kelebihan pasokan (oversupply). Pada saat yang sama, permintaan justru menurun seiring perlambatan ekonomi global. Masih ”agak beruntung” bahwa produsen-produsen besar, seperti Saudi dan Rusia, akhirnya mau memangkas produksinya sehingga harga minyak kini stabil di sekitar 54 dollar AS per barrel.
Tak pernah terbayangkan bahwa Saudi yang kaya pun pada suatu saat harus ”banting setir” melakukan reformasi ekonomi melalui jalur privatisasi. Ketika Indonesia dulu melakukan privatisasi untuk menyelamatkan APBN yang diterjang krisis 1998, timbul kritik keras bahwa privatisasi dipersepsikan sebagai ”menjual negara”. Pada hampir semua kasus privatisasi BUMN, biasanya didorong oleh dua motif. Pertama, untuk menolong APBN yang defisit. Kedua, untuk meningkatkan kinerja melalui jalur transparansi dan akuntabilitas.
Perusahaan minyak sebesar Aramco sekalipun perlu bantuan untuk mendorong tata kelolanya. Sesuai teori X-efficiency oleh ekonom Harvard, Harvey Leibenstein (1966 dan 1976), kinerja sebuah perusahaan bisa ditingkatkan efisiensinya jika dioperasikan dengan disiplin tinggi. Masuknya sebuah perusahaan ke bursa efek (go public) bakal banyak membantu pencapaian ini. Karena itu, kasus Aramco mau masuk bursa seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Pertamina yang tahun lalu kinerjanya luar biasa (laba hampir 3 miliar dollar AS) agar menempuh jejak yang sama. Pertamina yang sebelum ini terjerat perilaku perburuan rente ekonomi (rent-seeking behavior) akut—sebelum kemudian dihentikan melalui pembubaran Petral pada 2016—seharusnya didorong segera masuk ke bursa efek.
Jadi, kunjungan Raja Salman ke beberapa negara Asia, selain kemungkinan menghadirkan investasi dari Saudi ke sini, sebenarnya juga bisa dimaknai sebagai upaya roadshow mereka dalam rangka penjualan 5 persen saham Aramco yang nilainya sangat besar. China dan Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dan ketiga di dunia jelas merupakan target pasar yang potensial. Indonesia dan Malaysia, dengan skala yang berbeda, tentunya juga tidak boleh diabaikan.
Karena itu, kunjungan Raja Salman ke Indonesia bisa diibaratkan sebagai ”sambil menyelam minum air”. Bagi kita, Saudi memang diharapkan menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, sebaliknya, mereka pun juga berpeluang mencari investor dari Indonesia untuk membeli saham perdana Aramco. Nilai IPO Aramco yang sangat besar—ekuivalen dengan Rp 1.330 triliun—memang harus dijajakan ke banyak negara, tidak cuma di China dan Jepang. Jumlah itu setara dengan APBN Indonesia 2017 untuk delapan bulan!
Selain privatisasi parsial Aramco, Saudi tentunya juga masih akan menempuh jalan reformasi yang panjang. Mereka harus mengubah ketergantungan ekonomi yang terlalu tinggi terhadap sumber daya alam (minyak) menuju ke perekonomian yang lebih beragam basisnya, yang terutama diarahkan ke manufaktur (industrialisasi). Untuk menuju ke sana, Saudi akan lebih banyak membelanjakan APBN-nya untuk memperkuat kualitas manusia.
Saudi juga menghadapi pekerjaan rumah besar terkait kualitas sumber daya manusia. Dengan jumlah penduduk cepat bertambah hingga kini 30 juta orang, pengangguran mencapai 11 persen, banyak disumbang oleh kategori pengangguran sukarela. Pada industri migasnya, dominasi asing sangat kuat, tergambar dari 80 persen tenaga kerja merupakan orang asing. Arab Saudi juga mulai memangkas subsidi energi dan berbagai fasilitas bagi rakyatnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan (social security). Ketika harga minyak 100 dollar AS atau lebih per barrel, rakyatnya boleh saja menikmati zona nyaman. Namun, periode itu kini sudah usai. Lebih baik Saudi bersikap konservatif dalam memproyeksikan harga minyak, misalnya 50 dollar AS per barrel. Berarti, APBN mereka harus dipangkas 50 persen. Rakyatnya pun harus rela menurunkan level zona nyamannya.
Kapan Pertamina?
Reformasi yang kini ditempuh Saudi pada dasarnya juga dijalani Indonesia. Ketika harga komoditas primer terjun bebas sejak paruh kedua 2014, kita terperanjat dan lantas tergopoh-gopoh. Kita lalu menyadari dengan sejumlah koreksi mendorong percepatan industrialisasi, bukan membiarkan tren deindustrialisasi, yakni degradasi kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDB.
Sedikitnya ada tiga inisiatif fundamental. Pertama, pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk mendorong efisiensi dan daya saing. Kedua, meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan untuk mendukung percepatan industrialisasi. Anggaran pendidikan 20 persen terhadap APBN dijalankan. Ketiga, struktur APBN diperbaiki. Fiskal yang sehat perlu dukungan partisipasi masyarakat melalui pembayaran pajak yang benar. Banyak negara berkembang suka terlena dalam hal perpajakan sehingga struktur fiskalnya sering mengandalkan utang yang kian lama kian menumpuk. Kemandirian fiskal menjadi prioritas, amnesti pajak pun dijalankan dengan relatif sukses.
Akhirnya, ada beberapa catatan penting tentang kunjungan Raja Salman ke Indonesia. Pertama, hubungan ekonomi kedua negara bisa saling menguntungkan. Kita butuh investasi dan turis dari Saudi, sedangkan mereka pun menginginkan investor (termasuk dari Indonesia) bagi keberhasilan privatisasi Aramco. Kedua, negara produsen minyak terbesar di dunia ini pun ternyata harus ikhlas mendorong BUMN terbesarnya untuk ”melantai” di bursa saham. Privatisasi BUMN merupakan sebuah keniscayaan bagi negara yang fiskalnya sedang tertekan.
Belajar dari kasus Aramco, kenapa Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum punya cukup nyali untuk mendorong Pertamina masuk ke bursa efek? Padahal, dampaknya pasti sangat positif. Privatisasi Pertamina bakal berdampak positif terhadap kenaikan kapitalisasi bursa; meningkatkan antusiasme investor karena kehadiran saham emiten yang terkemuka; serta yang terpenting adalah menetapkan standar tinggi bagi tata kelola Pertamina di kemudian hari. Jadi, kapan?
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta

KOMPAS, 03 Maret 2017

Jangan Tergoda untuk Tidak Disiplin Fiskal

Ada dua ”ritual” data dan kebijakan perekonomian Amerika Serikat yang ditunggu para pelaku ekonomi di seluruh dunia. Pertama, statistik penyerapan tenaga kerja bulanan. Kedua, kebijakan suku bunga bank sentral yang akan diumumkan pertengahan pekan ini.
Sejak Donald Trump dilantik menjadi Presiden AS, penyerapan tenaga kerja di AS justru membaik secara signifikan. Pada Januari 2017 telah terserap 238.000 orang dan Februari 235.000 orang. Ini impresif karena pada akhir pemerintahan Presiden Barack Obama, angkanya hanya 12.000 orang (Oktober), 164.000 orang (November), dan 155.000 orang (Desember 2016). Meski sosok Presiden Trump sangat kontroversial, faktanya statistik ekonomi AS membaik. Ini anomali yang mencengangkan.
Penjualan mobil yang pernah terpukul hebat menjadi hanya 9 juta unit (2009)—level terburuk sepanjang sejarah modern AS—kini sudah memecahkan rekor baru menjadi 17,6 juta unit setahun. Semua data tersebut diyakini oleh para ekonom sebagai kondisi yang optimal. Selanjutnya, hal ini memicu ekspektasi terhadap kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, yang rapatnya akan diselenggarakan pada 14-15 Maret ini. Perbaikan data ekonomi AS itu menjadi momentum bagi Janet Yellen untuk menaikkan suku bunga. Level idealnya adalah 2 persen, seperti yang dicapai sejak era Alan Greenspan pada 1990-an.
Meski semua orang yakin suku bunga The Fed akan naik ke 1 persen, sesungguhnya Yellen masih terus menghitung dampaknya. Apakah akan lebih positif atau sebaliknya. Penguatan dollar AS justru berisiko memperburuk defisit perdagangan. Padahal, Trump begitu ngotot untuk memberlakukan proteksionisme hanya untuk mengurangi defisit perdagangan.
Sementara itu, indeks harga saham, yang akhir pekan lalu 20.900, dikhawatirkan mulai mengidap ”gelembung finansial” (financial bubble). Artinya, harga saham tinggi patut diduga bersifat artifisial karena euforia serta tidak mencerminkan kondisi fundamen emiten dan perekonomian. Hal ini rawan terkoreksi tajam sehingga harus dicegah.
Sementara itu, kurs rupiah saat ini masih stabil di level Rp 13.300 per dollar AS. Hal ini antara lain didukung cadangan devisa 119 miliar dollar AS yang meningkat 3 miliar dollar AS ketimbang sebulan sebelumnya. Penyebabnya adalah penerimaan pajak dan devisa ekspor migas bagian pemerintah, penarikan utang luar negeri pemerintah, dan lelang surat berharga Bank Indonesia.
Relaksasi Kriteria
Stabilitas rupiah mencerminkan tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap prospek perekonomian. Namun, perlu disadari bahwa masih ada risiko pelambatan ekonomi. Ekspansi kredit industri perbankan masih lambat dan kredit macet membebani. Tingkat kredit bermasalah (NPL) industri memang hanya 3 persen (dari batas aman 5 persen). Namun, angka ini ditopang oleh kebijakan relaksasi penghitungan NPL. Karena perekonomian sedang tertekan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keringanan kepada bank-bank dalam menentukan kredit macet (kolektibilitas 5).
Keringanan diberikan pada kriteria kredit macet, yang semula tiga pilar (kriteria) dikendurkan menjadi satu pilar, dengan single obligor sementara ditiadakan. Artinya, bisa saja seorang debitor mengalami kredit macet di satu bank, tetapi masih lancar di bank lain. Sebelumnya, jika kredit seorang debitor macet di sebuah bank, kredit di bank lain akan dianggap macet pula.
Relaksasi ini menguntungkan debitor dan bank sehingga menekan NPL industri. Namun, apabila peraturan ini dicabut pada Agustus nanti, NPL berpotensi meningkat. Jika ini terjadi, ekspektasi agar kredit bank tumbuh di atas 10 persen sulit diwujudkan. Ini akan menjadi tugas berat pertama yang dihadapi pengurus baru OJK.
Selain berharap dari belanja infrastruktur yang cukup tinggi, Rp 346 triliun, kini kita berharap pada harga komoditas. Tingginya ekspansi kredit pada 2010-2013 terbantu oleh tingginya harga komoditas. Belakangan ini harga minyak turun lagi ke 50-53 dollar AS per barrel dari 53-55 dollar AS per barrel karena pasokan yang tinggi terjadi saat permintaan masih lesu.
Arab Saudi dan Rusia sebagai dua produsen terbesar di dunia (masing-masing menghasilkan 10 juta barrel per hari) sebenarnya sudah bersedia memangkas produksinya. Namun, AS tidak mengimbanginya dan justru menaikkannya. Akibatnya, suplai minyak dunia kian melampaui permintaan, sekitar 90 juta barrel per hari.
Minyak merupakan pemimpin pasar bagi harga komoditas lain, terutama batubara yang menjadi salah satu andalan Indonesia. Indonesia adalah pemilik cadangan batubara terbesar keempat di dunia, sesudah China, AS, dan Australia, serta di atas Rusia.
Prospek perekonomian dunia pun masih tidak menentu. Dari sisi internal, yang bisa kita lakukan adalah terus menjalankan fiskal secara disiplin. Jangan pernah tergoda untuk tidak disiplin, misalnya membiarkan defisit APBN terlalu tinggi (di atas 3 persen) atau bahkan mencetak uang seperti Venezuela (menderita inflasi 428 persen).
Sembari menunggu respons positif dari belasan deregulasi yang sudah ditebar sejak 2016, ”amunisi” kita, kini, terletak pada stimulus dari proyek-proyek infrastruktur, stabilitas harga komoditas, dan pergerakan terbatas kredit perbankan. Ruang gerak cukup terbatas, tetapi masih ada.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta

KOMPAS, 13 Maret 2017

Investment Grade itu Datang pada Momentum yang Tepat

JUJUR saja, saya merasa risau terhadap kondisi sosialpolitik di Indonesia, seiring dengan maraknya isu intoleransi yang cukup mencekam. Terlebih lagi, isu ini muncul di sekitar Mei, yang pada 19 tahun yang silam (20 Mei 1998) kita pernah menderita musibah huru-hara yang traumatik, yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Akankah hal ini akan memantik deja vu?  Tentu saja tidak boleh.
Yang saya pikirkan adalah, konflik sosial-politik ini bisa amat mengganggu kondisi perekonomian nasional, saat pemerintah dan semua stakeholders sedang berupaya mati-matian menjaga stabilitas dan berjuang agar pertumbuhan ekonomi bisa tetap 'sekadar' 5% pada 2017. Terlebih lagi Indonesia masih menghadapi kondisi global yang tidak menentu: kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump yang tidak jelas; pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang terus merosot; prospek perekonomian Eropa dan Inggris yang bakal tersendat karena Brexit; dan lain-lain.
Di tengah kegalauan itu, pada akhir pekan lalu (19 Mei 2017) kita justru mendapatkan 'hadiah'atau hembusan angin amat segar yang memang sudah lama kita tunggu. Lembaga pemeringkat utang Standard & Poor's memberikan predikat investment grade (BBB-) kepada Indonesia. Meski hal tersebut sebenarnya sudah terantisipasi, tetap saja hal ini menggembirakan. Itu wajar, karena jika kasus sosial-politik intoleransi sampai dominan mengganggu mood persepsi perekonomian kita, segala susah payah insiatif pembangunan ekonomi Indonesia bakal buyar, berantakan, dan sia-sia.  Karena itu, kehadiran investment grade dari S&P ini datang pada saat yang dibutuhkan.
Ketika sentimen negatif dari sisi sosial-politik merebak dan kita membutuhkan hembusan sentimen positif yang signifikan, datanglah investment grade ini. Predikat investment grade ini menjadi 'penyempurna' dari status setara yang sudah lebih dulu diberikan dua lembaga terkemuka lain, yakni Fitch dengan BBB- (21/12/16) dan Moody's dengan Baa3 (8/2/17).  Selain itu, juga masih ada Japan Credit Rating Agency dengan BBB (3/3/17) dan Rating and Investment Information Inc dengan BBB- (5/4/17).
Kredibilitas Fiskal
Hal paling esensial yang mendorong S&P menaikkan peringkat Indonesia ialah kondisi dan outlook fiskal kita yang dinilai kian kredibel, akuntabel, dan berkelanjutan (sustainable). Ini penting, karena tatkala Presiden Jokowi memulai pemerintahannya pada Oktober 2014, dirinya berupaya keras untuk memacu kencang belanja fiskal untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Sepintas, strategi ini kelihatannya benar. Indonesia sudah sangat ketinggalan dalam hal infrastruktur jika dibandingkan dengan negara-negara emerging markets (apalagi Tiongkok), karena itu butuh upaya yang luar biasa besar agar segera dapat mengejarnya. Namun demikian, semua kehendak baik itu tetap harus memperhitungkan situasi dan kondisi.
Di awal kabinet kerja, pertumbuhan penerimaan pajak dipatok 30%. Semua pengamat ekonomi terhenyak. Bagaimana angka 30% bakal diperoleh, padahal perekonomian global tengah dicekam penurunan yang cukup tajam? Perekonomian Tiongkok yang menikmati pertumbuhan ekonomi double digit selama delapan tahun saja (2001-2008) mulai menurun. Padahal, Tiongkok merupakan lokomotif perekonomian dunia, yang kinerjanya bakal berpengaruh terhadap kinerja negara-negara lain di seluruh dunia. Beruntung hal ini mulai dikoreksi, seiring dengan masuknya Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri Keuangan yang baru, tahun lalu. Target penerimaan pajak dipangkas, agar lebih sesuai dengan realitas. Belanja pun terpaksa dipotong, meski hal itu pasti menyakitkan. Tapi tidak apa-apa sakit dalam jangka pendek, demi kredibilitas dan keberlanjutan fiskal di kemudian hari.
Pasar pun menyambut positif: APBN yang sudah direvisi menjadi kredibel di mata pasar. Demikian pula akhirnya lembaga pemeringkat seperti Moody's dan Fitch menilai positif, sehingga akhirnya S&P tidak punya alasan lagi untuk menilai Indonesia dengan persepsi yang sama. Keanehan sempat timbul ketika JP Morgan sempat memberikan persepsi negatif terhadap Indonesia. Namun, setelah komplain keras dilakukan Menteri Keuangan, JP Morgan pun akhirnya 'menyerah'. Mereka pun mengakui Indonesia tidak selayaknya dinilai lebih jelek daripada Brasil, negara yang tersandung krisis fiskal besar-besaran.
Brasil menderita defisit fiskal hingga 10% terhadap PDB. Bandingkan dengan Indonesia yang masih konservatif dengan defisit APBN 2,5% terhadap PDB. Sikap aneh JP Morgan yang nekat 'berani tampil beda' ini justru mengganggu reputasi dan kredibilitasnya. Sangat disayangkan dan ironis.
Pelajaran terpenting dari kasus ini ialah, Indonesia harus menyusun kebijakan fiskalnya secara realistis. Tidak ada gunanya mematok target yang terlampau tinggi, jika itu tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Target tinggi seolah-olah memang bisa membuat persepsi positif bahwa hal itu menunjukkan optimisme dan antusiasme untuk bekerja keras. Namun, kalau tidak tercapai, bahkan jauh dari target, hal itu justru kontraproduktif, dan merusak kredibilitas yang dibangun dengan susah payah.
Arus Masuk Devisa
Mesin fiskal yang dipaksakan untuk berlari terlalu kencang, itu ibarat mobil yang mesinnya kepanasan (overheating).  Pengalaman serupa sebenarnya pernah dialami negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, sehingga memicu defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang besar, yang kemudian menyebabkan krisis finansial Asia 1997-1998. Perbedaan kondisi sekarang (2014-2017) dengan saat itu (1996-1998) ialah sekarang kita rawan menderita defisit fiskal yang besar, sedangkan waktu itu defisit transaksi berjalan yang besar. Pada saat ini, kondisi keseimbangan eksternal kita justru membaik. Neraca pembayaran (balance of payments) kita pada 2016 justru mengalami surplus US$12 miliar. Akibatnya, cadangan devisa kita terus meningkat. Selain karena neraca perdagangan kita akhir-akhir ini terus surplus (sehingga ada aliran devisa masuk), keberhasilan amnesti pajak juga ikut menentukan.
Program amnesti pajak semula terasa ambisius, misalnya membayangkan bakal ada harta yang belum terungkap (belum terpantau kantor pajak), yang jumlahnya bisa setara dengan PDB kita setahun (Rp12 ribu triliun). Meski angka tersebut tidak tercapai, terungkapnya kekayaan Rp4.855 triliun merupakan hasil yang positif dan signifikan, untuk memperluas basis pajak di kemudian hari. Prestasi ini mengesankan, apalagi jika dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain, seperti India. Pemerintah India sangat meyakini ada banyak 'kekayaan masyarakat yang disimpan di bawah bantal'. Itulah sebabnya mereka meluncurkan kebijakan demonetisasi (demonetization), yakni mencetak rupee baru untuk menggantikan uang lama, tetapi masyarakat hanya diberi batas waktu singkat untuk segera menukarkannya.
Kisah sukses lain yang membuat S&P 'jatuh hati' kepada Indonesia adalah program repatriasi (pulangnya dana orang Indonesia dari luar negeri) yang mencapai Rp147 triliun, atau sekitar US$11 miliar. Meski itu hanya 14,7% terhadap target, jumlah itu cukup signifikan untuk menaikkan cadangan devisa. Data terakhir cadangan devisa kita saat ini adalah US$123,2 miliar. Hanya sedikit di bawah rekor tertinggi US$124,65 miliar yang pernah kita capai pada Juli-Agustus 2011. Pada saat cadangan devisa mencapai rekor tertinggi tersebut, rupiah juga mencapai rekor terkuatnya sejak krisis 1998, yakni Rp8.600 per dolar AS. Namun, pencapaian ini jangan harap dapat kita ulangi, karena situasinya sungguh berbeda.
Pada 2011, pemerintah AS sedang giat mencetak uang (quantitative easing) yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk cukup deras menuju Indonesia. Sebaliknya sekarang, kebijakan QE tersebut sudah tidak ada lagi, bahkan The Fed terus berupaya menaikkan suku bunga acuannya, yang berakibat kenaikan kurs dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Cadangan devisa kita berpotensi untuk memecahkan rekor baru, perkiraan saya bisa mencapai US$125 miliar.
Meski mungkin dana repatriasi sudah semuanya masuk ke sini, kita kemungkinan masih akan menerima aliran modal masuk, baik melalui pasar modal (portofolio) maupun investasi secara langsung (foreign direct investment). Salah satu indikasinya ialah indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terus melaju, bahkan menembus rekor baru 5.820 sebelum terkoreksi menjadi 5.791 pada penutupan akhir pekan lalu (19/5). Kini ekspektasi pasar mulai mengarah pada rekor baru 6.000.
Saya cenderung melihat bahwa IHSG tidaklah perlu meloncat tajam dalam tempo singkat, karena hal itu belum menunjukkan fundamental, atau didukung dengan underlying. Akibatnya, bisa timbul koreksi yang cukup tajam. Lebih baik IHSG mendaki setapak demi setahap, sambil berharap angkanya bisa berkorelasi (mencerminkan) dengan kondisi fundamental ekonomi nasional (makro) serta kinerja emiten (mikro). Akhirnya, kita memang layak mendapat apresiasi dari S&P, sebagaimana juga sudah dilakukan Moody's dan Fitch. Semoga kerja keras para regulator dan pelaku ekonomi ini tidak diganggu lagi oleh hal-hal di luar aspek ekonomi, seperti deraan konflik dan rongrongan sosial-politik.  Kita sudah letih mengikutinya.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

MEDIA INDONESIA, 22 Mei 2017

Tiada Tempat untuk Bersembunyi

No place to hide. Tiada tempat untuk bersembunyi. Begitu kira-kira kesimpulan yang bisa kita petik dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dengan perppu ini, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bisa mengakses data keuangan nasabah di bank- bank dan lembaga-lembaga finansial lainnya untuk kepentingan data perpajakan.
Kesadaran dan inisiatif mengakhiri era kerahasiaan bank sebenarnya sudah cukup lama dilakukan. Pada April 2009, pemimpin G-20 mulai mengambil sikap terhadap para pihak yang menghindari pembayaran pajak secara ilegal atau penggelapan pajak. Fenomena ini sudah menjadi ”musuh bersama”, bukan saja pada negara-negara berkembang yang selama ini rentan, melainkan juga negara-negara maju. Oleh karena itu, G-20 harus berani berinisiatif untuk memeranginya (OECD, ”The Era of Bank Secrecy is Over”, 26/10/2011).
Kesadaran G-20 ini setidaknya dipicu dua hal. Pertama, asas keadilan secara internal. Banyak orang kaya yang tidak membayar pajak secara benar, alias tidak sesuai dengan profil pendapatannya. Pemerintah mestinya bisa menerima lebih banyak lagi sehingga bisa membelanjakan lebih besar lagi untuk pembangunan ekonomi.
Kedua, asas keadilan secara eksternal atau global. Jika suatu negara sudah menghentikan era kerahasiaan bank, tetapi negara-negara lain masih menganutnya, maka timbul ketidakadilan sehingga banyak orang menempatkan dana di negara-negara yang masih menganut kerahasiaan bank. Oleh karena itu, inisiatif untuk membuka kerahasiaan bank harus menjadi komitmen bersama. Dalam hal ini, G-20 sebagai 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia bisa menjadi inisiator terdepan, yang kelak diikuti negara-negara lain sebagai gerakan kolektif yang efektif. Swiss yang selama ini dikenal sebagai negara yang ”paling aman” dalam kerahasiaan bank akan segera mengakhiri status tersebut, seiring diberlakukannya konvensi internasional tentang automatic exchange of information (AEOI). Parlemen Swiss sudah menyetujuinya pada tahun 2015 dan meratifikasinya pada tahun 2016.
Berdasarkan pemahaman asas resiprokal dalam gerakan ini, memberlakukan AEOI merupakan hal yang tidak bisa kita hindari. Di satu pihak, kita menyadari pemberlakuan AEOI bisa menimbulkan kegalauan nasabah dalam bertransaksi di perbankan Indonesia. Hal ini bisa membahayakan dana pihak ketiga (DPK) di industri perbankan kita yang kini Rp 4.700 triliun. Di sisi lain, jika tidak mengikuti AEOI, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengakses data warga negara Indonesia yang menyimpan uang di luar negeri, terutama di negara-negara yang memberlakukan pajak rendah (tax haven). Padahal, baru saja kita ”mati-matian” berjibaku menjalankan program amnesti pajak yang dinilai berhasil. Amnesti pajak akan sempurna dieksekusi jika kita memiliki akses mendapatkan data orang Indonesia di luar negeri.
Dalam program amnesti pajak, pemerintah berhasil menarik Rp 147 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Meskipun target itu mungkin terlalu ambisius dan tidak realistis, bukan mustahil cukup bayak dana orang Indonesia yang masih ”tercecer” di luar negeri, yang kelak dapat kita ketahui dari data yang bisa diakses setelah AEOI efektif.
Perppu No 1/2017 hendaknya tidak disikapi dengan skeptis, apalagi resisten. Ada beberapa alasan. Pertama, perppu ini hanya akan berdampak negatif bagi orang-orang kaya yang sengaja menyembunyikan kekayaan yang sesungguhnya untuk menghindari pajak. Kedua, kebijakan ini berlaku universal, bukan hanya unik di Indonesia. Sebagai anggota G-20 yang amat prestisius, wajib bagi Indonesia untuk mengikuti gerakan ini. Kecuali Indonesia tidak ingin lagi bergabung dengan G-20, sebuah kelompok di mana kita memperoleh banyak manfaat ekonomi.
Ketiga, bagi orang-orang berpendapatan tinggi, sesungguhnya kini tidak ada lagi tempat di dunia ini untuk menyembunyikan hartanya. Swiss yang selama ini ”dikagumi” sebagai negara dengan level kerahasiaan sektor finansial tertinggi di dunia pun—selain Hongkong, Singapura, Kepulauan Cayman, Luksemburg, Panama, Uni Emirat Arab/Dubai, Bahrain, dan Makau—harus mengakhiri era kerahasiaan yang selama ini memberikan manfaat ekonomi yang amat besar. Lalu, mau ke mana lagi orang-orang kaya tersebut mau menempatkan hartanya? Tidak ada lagi tempat karena seluruh dunia kini sedang menuju ke arah keterbukaan secara radikal. Keempat, bagi masyarakat yang sudah berpartisipasi dalam amnesti pajak, perppu ini tidak berakibat apa-apa. ”Akrobat” finansial yang mungkin pernah mereka lakukan di masa lalu, ”dosanya” sudah terhapus dengan membayar uang tebusan dan pemerintah pun telah memaafkannya. Tidak ada celah hukum yang bisa menyeretnya ke pengadilan karena kini semua hartanya sudah ”diputihkan”.
Berdasarkan pertimbangan, Perppu No 1/ 2017 sudah didahului dengan program amnesti pajak, serta program ini kita jalankan dalam konteks G-20 yang nantinya segera menjadi tren di seluruh dunia, maka mestinya segala kerisauan tidak perlu terjadi pada hari-hari ini dan mendatang. Secara sadar dan sudah terencana, kita memang memasuki era baru keterbukaan informasi sektor finansial. Hal ini akan berdampak positif bagi kondisi fiskal kita (bisa lebih ekspansif), serta iklim investasi yang lebih baik dan setara dengan negara-negara elite G-20. Jika ada pihak-pihak yang masih menentang, barangkali penyebabnya adalah karena tidak terlalu mengikuti secara saksama perkembangan cepat di sektor finansial global dalam beberapa tahun terakhir.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

KOMPAS, 29 Mei 2017

Keadilan dan Kepatuhan Pajak

Hanya dalam tempo beberapa hari, Kementerian Keuangan akhirnya meralat batas minimal rekening nasabah bank yang wajib dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak, dari semula minimal Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari rencana pemerintah untuk meratifikasikan Automatic Exchange of Information (AEOI), yakni pertukaran informasi sektor finansial di antara negara-negara anggota G-20. Untuk itu, pemerintah kini tengah mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 kepada DPR untuk disetujui.
Kebijakan ini sebenarnya merupakan hal yang logis sebagai konsekuensi dari berakhirnya era kerahasiaan bank, sebagai cara untuk mengatasi upaya orang untuk menghindari pajak secara ilegal (tax evasion) serta tindak pidana pencucian uang (money laundering). Kedua hal tersebut menjadi musuh bersama di seluruh dunia, yang mendapat perhatian tinggi oleh G-20. Tiga tahun silam, pada Agustus 2014, untuk pertama kalinya Pemerintah Swiss menyerahkan 4.500 nama penggelap pajak dari Amerika Serikat kepada Kongres AS. Peristiwa ini menandai berakhirnya era kerahasiaan bank di seluruh dunia.
Studi Niels Johannesen dan Gabriel Zucman (”The End of Bank Secrecy? An Evaluation of the G20 Tax Haven Crackdown”, dalam American Economic Journal: Economic Policy 6(1), 2014) menyatakan bahwa era mengakhiri kerahasiaan bank di kalangan G-20 diawali sesudah krisis finansial (subprime mortgage) tahun 2008, yang kemudian membuka opsi memberlakukan perjanjian dua negara (bilateral treaty). Namun, hal ini dipandang tidak bakal efektif jika tidak diikuti dengan kesepakatan yang lebih luas dan melibatkan banyak negara sekaligus, yang kemudian menjadi AEOI.
Perjanjian bilateral hanya akan menyebabkan dana mengalir dari satu negara persembunyian yang aman (haven) ke haven yang lain. Pencucian uang masih akan terus terjadi dengan leluasa tanpa bisa dihentikan. Karena itu, inisiatif yang lebih besar berupa pertukaran informasi finansial secara otomatis, akhirnya dipilih menjadi gerakan kolektif G-20, termasuk Indonesia di dalamnya.
Urgensi Keadilan Pajak
Urgensi pengungkapan rekening nasabah kepada kantor pajak, pada dasarnya lebih mengarah pada isu keadilan pajak (tax fairness) dan kepatuhan (compliance) membayar pajak. Sudah lama kita ketahui bahwa rasio penerimaan pajak (tax ratio) dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) kita akhir-akhir ini hanyalah di bawah 11 persen. Ini adalah level terendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang umumnya sekitar 13-14 persen (Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam). Bahkan, Thailand sudah lama mencapai angka 16-17 persen.
Rasio pajak dapat merefleksikan tingkat kepatuhan masyarakat dalam menunaikan kewajiban membayar pajak. Semakin tinggi rasionya, semakin tinggi pula masyarakat memenuhi standar kepatuhan membayar pajak. Oleh karena itu, negara-negara maju umumnya memiliki tingkat rasio yang tinggi, misalnya AS dan Australia (26 persen), Swiss (30 persen), Selandia Baru (35 persen), Belanda dan Jerman (40 persen), Italia (43 persen), serta Perancis (48 persen). Sementara itu, negara-negara Skandinavia juga terkenal memiliki level kepatuhan pajak yang amat tinggi, yakni Norwegia dan Finlandia (44 persen), Swedia (46 persen), serta puncaknya Denmark (51 persen).
Setiap menteri keuangan kita selalu saja mencanangkan target rasio pajak yang lebih tinggi, setidaknya menyamai negara-negara tetangga di level 13-14 persen. Namun, sejarah mencatat, bahwa rasio pajak sulit sekali beranjak dari level 11 persen. Untuk menaikkan 1 persen saja setiap tahun, pemerintah selalu gagal. PDB Indonesia saat ini sekitar Rp 12.000 triliun sehingga untuk menaikkan penerimaan pajak 1 persen dibutuhkan Rp 120 triliun setahun. Ini merupakan jumlah yang tidak mudah dicapai. Sebagai ilustrasi, penerimaan cukai dari industri rokok kita saat ini dalam setahun sekitar Rp 140 triliun.
Inisiatif pemerintah melakukan amnesti pajak merupakan bagian dari strategi untuk memperluas basis pajak sehingga diharapkan penerimaan pajak ke depannya akan meningkat signifikan. Pada 2016, pemerintah berhasil mengumpulkan Rp 107 triliun dari pembayaran denda program amnesti pajak. Jumlah ini cukup signifikan karena nyaris ekuivalen dengan 1 persen terhadap PDB. Namun, sayang, akibat dari perekonomian makro yang memburuk menyusul penurunan harga komoditas primer telah menyebabkan penerimaan pajak menurun. Karena itu, setelah dikompensasi dengan hasil amnesti pajak, rasio pajak kita tetap saja cuma 10,7 persen atau berarti belum beranjak dari level rata-rata selama ini 11 persen. Karena itu, sambil menunggu efektivitas dampak meluasnya basis pajak di kemudian hari, inisiatif untuk melaporkan rekening nasabah kepada kantor pajak bisa menjadi terobosan penting. Nantinya kantor pajak akan bisa menilai, apakah saldo dan transaksi seorang nasabah sudah sesuai dengan profil pembayaran pajak dan profil hartanya, ataukah tidak. Jika tidak sesuai, kantor pajak bisa meminta nasabah tersebut untuk membayar kekurangan pembayaran pajaknya.
Ide ini logis dan memang bisa diterapkan. Masalah selanjutnya, berapa rupiahkah batas minimalnya (threshold)? Ketika menetapkan batas Rp 200 juta per rekening, saya duga pemerintah sedang membayangkan ingin ”mengintip” sebanyak mungkin nasabah yang menjadi wajib pajak. Tetapi lupa, bahwa di sisi lain hal itu akan menimbulkan kegelisahan bagi sebagian besar nasabah berpendapatan menengah ke bawah.
Sudah pasti kebijakan baru ini sudah dilandasi dengan niat baik untuk memperbaiki struktur penerimaan negara dari pajak sehingga bisa mengurangi porsi utang pemerintah dalam APBN. Meski begitu, pemerintah harus mempertimbangkan strateginya. Pada tahap awal, mestinya pemerintah membidik lebih dulu target ”ikan besar” (big fish). Penting bagi kita untuk memprioritaskan pelaku penggelapan pajak (tax evaders) berskala besar terlebih dulu, daripada kelompok di bawahnya. Kenapa? Kita mesti mendisiplinkan diri orang- orang kaya terlebih dulu, baru kemudian disusul orang yang tidak kaya. Jangan terlalu ambisius mendisiplinkan semua orang pada saat bersamaan dengan cuma ”sekali tepuk”. Itu tidak logis.
Menaikkan rasio pajak dari 11 persen menjadi 13-14 persen bukanlah pekerjaan gampang dalam sekejap. Hal itu perlu dilakukan secara bertahap, yakni ke level rasio pajak 12 persen, lalu 13 persen, dan seterusnya. Karena itu, bahwa kemudian batas minimal rekening yang akan dipantau Ditjen Pajak dinaikkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar, itu sudah benar dan lebih bisa diterima masyarakat. Potensi gejolak dan keresahan pun bisa direduksi.
Berdasarkan data Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dengan kriteria minimal Rp 1 miliar, terdapat 496.867 rekening yang nilainya mencakup 64,22 persen dari seluruh dana pihak ketiga (DPK) di bank-bank lokal kita. Data ini ”lebih sederhana” dibandingkan dengan 2,31 juta rekening yang merupakan 1,14 persen dari semua rekening nasabah dalam industri perbankan kita, dengan kriteria Rp 200 juta. Dengan demikian, kriteria baru tersebut menjadi lebih mudah pengadministrasiannya, baik bagi bank maupun kantor pajak. Selanjutnya, jika masyarakat sudah mulai terbiasa dengan kebijakan ini, secara bertahap pemerintah bisa membuat kriteria yang lebih luas, misalnya menjadi minimal Rp 500 juta per rekening. Saya yakin, semua lapisan masyarakat pun pelahan-lahan bisa dibiasakan untuk taat membayar pajak. Namun, pada tahap awal ini, sebaiknya pemerintah menyasar lebih dulu kalangan berpendapatan tinggi saja, yang dalam hal ini dengan threshold Rp 1 miliar. Pemerintah harus lebih sabar untuk mencapai target utamanya, yakni rasio pajak di atas 11 persen.
Prospek Fiskal 2017
Hingga empat bulan pertama 2017, pemerintah baru mengumpulkan penerimaan pajak Rp 339 triliun, yang berarti 25,9 persen dari keseluruhan target pajak tahun ini Rp 1.307 triliun. Memang masih meleset karena jika ditarik garis proporsional mestinya sudah mencapai 33 persen. Penerimaan pajak yang paling tinggi berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) migas, yang sudah mencapai 48 persen, tetapi nilainya kecil (Rp 17,4 triliun). Sementara yang nilainya besar adalah PPh nonmigas yang baru mencapai Rp 200 triliun dari target Rp 751 triliun (27 persen). Secara siklus, biasanya penerimaan pajak kita bakal lebih besar pada bulan-bulan selanjutnya, mendekati akhir tahun. Sementara itu, kita juga masih berharap pada dua hal. Pertama, dampak dari amnesti pajak yang memperluas basis pajak, mungkin sudah akan memberi dampak positif mulai semester kedua. Kedua, jika pengadministrasiannya baik, peraturan baru pelaporan rekening di atas Rp 1 miliar kepada kantor pajak barangkali bisa mulai memberi hasil positif kepada APBN. Ibarat sedang mengayuh dayung sampan, pemerintah kini tengah berupaya keras untuk menggapai dua pulau sekaligus. Keduanya adalah isu keadilan pajak serta isu pemenuhan target penerimaan pajak. Hal tersebut akan bermuara pada menjaga stimulus fiskal agar tetap dapat menopang pencapaian pertumbuhan ekonomi minimal 5,1 persen pada akhir tahun ini.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada

Mengapa Kita Perlu Tumbuh di Atas 5 Persen?

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada tahun ini dan 5,4 persen pada tahun depan. Angka ini mirip dengan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan 5,2 persen (2017) dan 5,3 persen (2018). IMF memublikasikan proyeksinya dalam World Economic Outlook: Seeking Sustainable Growth Short-Term Recovery, Long-Term Challenges, Washington DC, pada 10 Oktober 2017. IMF mencatat, terjadi sedikit perbaikan pertumbuhan ekonomi di dunia karena meningkatnya kepercayaan produsen dan konsumen. Investasi meningkat, permintaan barang dan jasa juga beranjak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagaimana negara-negara tetangga Asia Tenggara, juga sedikit naik, tetapi tidak signifikan. Dengan kinerja pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2017 yang hanya 5,06 persen, atau sedikit beranjak dari 5,01 persen pada triwulan I dan II-2017, saya menduga pertumbuhan ekonomi 2017 akan mencapai 5,1 persen saja. Ini sedikit meleset dari target pemerintah dan proyeksi IMF 5,2 persen. Pada triwulan IV seperti biasa memang akan ditandai dengan belanja modal pemerintah yang ngebut. Namun, dengan sembilan bulan pertama hanya tumbuh rata-rata 5,03 persen, rasanya sulit untuk mengakhiri tahun 2017 dengan 5,2 persen.
Perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh meningkatnya investasi dan membaiknya harga batu bara serta kelapa sawit yang mendorong kenaikan surplus ekspor. Namun, konsumsi masyarakat yang menyumbang 57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tertahan di sekitar 5 persen. Jika konsumsi bisa diungkit ke atas, pertumbuhan ekonomi bisa dihela lebih cepat. Sayangnya, masyarakat masih mengerem konsumsi dan lebih hati-hati menghadapi cekaman ketidakpastian perekonomian global dan nasional.
Mengapa selama ini para ekonom selalu menyebut angka 6 atau 7 persen sebagai pertumbuhan ekonomi yang ideal? Bagaimana ”angka keramat” ini diperoleh? Jawabannya adalah angka ini terkait dengan penyerapan tenaga kerja. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen untuk menyerap seluruh angkatan kerja baru. Jika tidak, terjadi tambahan penganggur.
Saat ini, penduduk Indonesia tercatat 255 juta, ada di urutan keempat. China menempati urutan pertama dengan 1,388 miliar penduduk, lalu India (1,32 miliar) dan Amerika Serikat (326 juta). Indonesia berada di atas Pakistan (209 juta), Brasil (208 juta), dan Nigeria (188 juta). Indonesia memiliki angkatan kerja 131 juta penduduk atau separuh dari jumlah penduduk. Namun, yang memiliki pekerjaan 124 juta, berarti terdapat 7 juta orang menganggur. Setiap tahun, angkatan kerja baru 3 juta orang. Jadi, Indonesia memerlukan level pertumbuhan ekonomi 6-7 persen untuk menyerapnya.
Jika setiap satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyerap maksimal 500.000 orang, angkatan kerja yang terserap dengan pertumbuhan 5 persen hanya 2,5 juta. Akibatnya, masih ada 500.000 orang lagi yang menganggur. Namun, statistik BPS menyebutkan bahwa tambahan penganggur kita hanya 10.000 orang pada 2017. Ini terjadi karena banyak angkatan kerja baru kita terpaksa rela bekerja di sektor informal yang nilai tambahnya lebih rendah daripada sektor formal. Status mereka memang bekerja (employed), tetapi dengan kualitas penghasilan rendah. Fenomena ini sering disebut pengangguran terselubung (disguised unemployment).
Pembangunan Infrastruktur
Karena itu, pemerintah memang harus mengejar pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen untuk mengatasi pengangguran, yakni dengan menghela pertumbuhan ekonomi hingga 6-7 persen. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi kita saat ini masih di bawah Filipina (6,6 persen), Vietnam (6,3 persen), dan Malaysia (5,4 persen). Namun, ada di atas Thailand (3,7 persen) dan Singapura (2,5 persen).
Salah satu cara adalah mendorong pembangunan infrastruktur. Namun, data BPS justru menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi tahun ini stagnan. Padahal, pemerintah menganggarkan hampir Rp 400 triliun (dari APBN Rp 2.100 triliun) untuk infrastruktur. Berarti patut diduga sektor konstruksi mulai kian banyak menyerap modal dan teknologi sehingga agak berkurang level padat karyanya.
Sektor lain yang juga stagnan adalah pertambangan. Mekanisasi sektor pertanian kian tinggi sehingga persentase penduduk yang bekerja di sektor itu turun. Sektor industri, perdagangan, dan jasa mengalami kenaikan. Pemerintah perlu melihat tren ini untuk merencanakan penyerapan tenaga kerja berbasis industri, perdagangan, dan jasa. Namun, tidak berarti bahwa belanja infrastruktur harus dikoreksi. Keputusan pemerintah membiayai infrastruktur dengan dana Rp 409 triliun pada 2018 harus dilanjutkan. Ini perlu dilakukan karena akan meningkatkan efisiensi jangka panjang untuk lima tahun, 10 tahun, bahkan puluhan tahun ke depan, bukan semata-mata untuk menyerap tenaga kerja dalam jangka pendek.
Peringkat Indonesia untuk Indeks Daya Saing Global 2017-2018 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia naik dari ke-41 menjadi ke-36. Memang di bawah Thailand (32), Malaysia (23), dan Singapura (3), tetapi sudah menyalip India (40), serta di atas Brunei (46), Vietnam (55), Filipina (56), dan Brasil (80). Peningkatan peringkat diharapkan menarik banyak investasi dan kemudian menyerap tenaga kerja. Data inilah yang bisa membantu menjelaskan mengapa investasi di Indonesia akhir-akhir ini terus meningkat, begitu pula aliran modal masuk dari luar negeri.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada; Pengajar BI Institute

KOMPAS, 20 November 2017

Menjaga Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah dan IMF

DANA Moneter Internasional (IMF) baru saja menerbitkan laporan dan proyeksi perekonomian terbarunya tentang perekonomian global, World Economic Outlook: Seeking Sustainable Growth, Short-Term Recovery, Long-Term Challenges, dirilis 10 Oktober 2017. Intinya, pertumbuhan ekonomi global baru akan beranjak naik sedikit dari 3,6% (2017) menjadi 3,7% (2018). Itulah yang mereka sebut 'pemulihan jangka pendek'. Namun, dalam periode yang lebih panjang, pertumbuhan ekonomi belum bisa diakselerasi lebih cepat. Perekonomian global masih terjal.
Proyeksi tersebut lebih baik 0,1% untuk kedua tahun tersebut (2017 dan 2018) jika dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang dilakukan pada April dan Juli 2017. Perbaikan ekonomi tersebut, meski amat kecil, didasarkan pada data investasi, perdagangan, dan kondisi produksi industri. Data kuantitatif itu juga diperkuat dengan data kualitatif berupa tingkat kepercayaan dunia bisnis dan konsumen (business and consumer confidence) yang menguat. Secara lebih spesifik, IMF menyebut beberapa negara dan kawasan yang pertumbuhan ekonominya sedikit melebihi ekspektasi, seperti zona euro, Jepang, Tiongkok, emerging euro (negara-negara Eropa 'lapis kedua'), dan Rusia. Kinerja mereka mampu mengompensasi tiga negara besar yang tampil lebih lemah daripada ekspektasi, yakni Amerika Serikat, Inggris, dan India. Namun, secara umum, perekonomian global memang masih enggan beranjak jauh.
Tren Inflasi dan Suku Bunga
Yang menarik, IMF juga melaporkan banyak negara mengalami inflasi rendah, yang mengindikasikan lesunya perekonomian sehingga sulit diharapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pernyataan itu penting untuk digarisbawahi mengingat selama ini suka terjadi salah interpretasi bahwa inflasi rendah merupakan hal yang selalu baik. Belum tentu. Jika inflasi rendah itu selalu baik, tentu akan menyebabkan meningkatnya gairah belanja. Jika itu terjadi, hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Inilah yang terjadi di Indonesia pada saat ini: ketika inflasi bisa ditekan rendah ke 3,58% (year on year Oktober 2017), tetapi kenapa pertumbuhan ekonomi triwulan III/2 2017 hanya 5,06%? Jawabannya ialah karakteristik inflasi rendah kali ini lebih mengarah ke lesunya orang berbelanja.
Hal itu bisa disebabkan unsur ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi, yang menyebabkan orang enggan berbelanja atau menunda belanjanya. Bisa juga masyarakat mulai tercekam oleh agresivitas pemerintah dalam menarik pajak, untuk mengatasi shortfall (penerimaan pajak meleset dari target). Itulah sebabnya, dalam kasus AS, Kepala The Fed Janet Yellen begitu menginginkan agar inflasi mencapai 2%. Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi AS selalu di bawah 2%. Namun, saat ini, keinginan itu tercapai. Inflasi AS saat ini 2,2%. Akibatnya, pasar merespons positif data itu dan ikut menyumbang rally di Bursa Efek New York (NYSE) sehingga Dow Jones index mencapai rekor baru di atas 23.500.
Dalam kasus lain yang lebih ekstrem, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) juga tidak suka jika terjadi deflasi (inflasi negatif) karena hal itu tidak memberi insentif produsen untuk menambah kapasitas produksi, yang berarti ekspansi ekonomi. Pendek kata, data inflasi yang lemah juga berimplikasi pada permintaan (demand) dan ekspansi kapasitas produksi yang lemah, alias pertumbuhan ekonomi rendah. Karena itu, inflasi yang terlalu rendah juga perlu dihindari. Itulah sebabnya Bank Indonesia juga tidak bisa untuk terus-menerus menurunkan suku bunga acuannya karena ada keterbatasan ruang gerak.
Jika suku bunga acuan terus diturunkan, selain belum tentu efektif untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan (yang diharapkan dapat mendorong ekspansi kredit), juga berisiko terjadinya pelemahan rupiah. Penurunan suku bunga deposito lebih lanjut malah bisa memicu orang untuk mengalihkan aset mereka ke pembelian dolar AS. Di sisi lain, negara maju seperti AS justru kini terus berupaya menaikkan suku bunga mereka untuk menuju ke ekuilibrium baru.
Suku bunga sebelum krisis 2008 di AS mencapai 6%, lalu diturunkan hingga 0,25%, dan kini 1,25%, yang diharapkan kembali naik menuju 2%. Satu-satunya kandidat Kepala The Fed yang baru, Jerome Powell, dipastikan akan melanjutkan kebijakan Janet Yellen. Dia harus terus menaikkan suku bunga secara bertahap, untuk menormalkan kondisi moneter AS. Suku bunga yang terlalu rendah hanya menyebabkan likuiditas di pasar uang menjadi terlalu berlebihan (excess supply). Itu merupakan dampak quantitative easing pada periode Ben S Bernanke. Sesuai dengan teori John Maynard Keynes (1936), hal itu bisa menyebabkan terjadinya aksi spekulasi (speculative motive) yang menimbulkan gelembung di pasar finansial (financial bubbles).
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Selanjutnya IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia. IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% (diproyeksikan April 2017) menjadi 5,2%. Perlu dicatat, bahwa proyeksi IMF tersebut diumumkan sebelum BPS mengumumkan pencapaian pertumbuhan ekonomi triwulan III 2017 yang 'hanya' 5,06%. Jika tahu data terbaru tersebut, bisa jadi IMF membuat proyeksi yang lebih konservatif, misalnya 5,1%.
Di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2% tersebut masih di bawah Filipina (6,6%), Vietnam (6,3%), Malaysia (5,4%), tetapi berada di atas Thailand (3,7%) dan Singapura (2,5%). Proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,2% tersebut persis sama dengan versi pemerintah. Proyeksi terhadap negara-negara ASEAN juga sama. Sebaliknya pada 2018, perekonomian Indonesia akan tumbuh 5,3%, atau sedikit lebih rendah daripada proyeksi pemerintah 5,4%. Menurut IMF, sedikit kenaikan pertumbuhan ekonomi tersebut antara lain disebabkan meningkatnya permintaan dari Tiongkok dan Eropa.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini 6,8%, atau lebih baik daripada sebelumnya. Namun, harus diakui, bahwa bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi Tiongkok 6,8% sesungguhnya tidak berarti banyak bagi kita dan kawasan ASEAN-5 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam). Level itu praktis masih jauh di bawah double digit sebagaimana dialami Tiongkok selama delapan tahun berturut-turut 2001-2008. Level setinggi itu tidak mungkin diulang Tiongkok lagi karena situasi kini telah berbeda jauh.
Tiongkok memang masih bisa menjaga surplus perdagangan mereka, tetapi tidak mungkin bisa menaikkannya lagi seperti periode sebelumnya karena biaya produksi yang terus meningkat, seiring dengan level pendapatan penduduk mereka yang meninggi. PDB per kapita Tiongkok kini sudah mencapai US$9.000, atau tidak bisa dibilang murah lagi untuk menjadi negara basis produksi. Vietnam diam-diam mulai mengintai peluang itu sebagai negara basis produksi (host country) berikutnya.
Kunci pencapaian pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia ialah belanja masyarakat (consumption expenditure). Inilah komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) terbesar kita. Konsumsi (C) menyumbang 57%, yang jauh di atas investasi (I), belanja modal pemerintah (G) maupun surplus ekspor (X-M). Data terakhir surplus ekspor hingga Oktober 2017 mencapai US$10 miliar. Hal itu berkontribusi pada kenaikan cadangan devisa yang kini mencapai rekor tertinggi, hampir US$130 miliar. Tingginya cadangan devisa itu diharapkan dapat meredam kemungkinan terjadinya depresiasi rupiah yang disebabkan kenaikan suku bunga The Fed pada Desember 2017 nanti. IMF memproyeksikan belanja konsumsi masyarakat tetap bisa tumbuh 5%.
Seperti diketahui, akhir-akhir ini komponen ini tergelincir ke level sedikit di bawah 5%. Idealnya, agar pertumbuhan ekonomi bisa mencapai level yang normal untuk kasus Indonesia (6% ke atas), belanja konsumsi juga harus dijaga pertumbuhannya, setidaknya 6%. Karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus bisa menjaga ritme APBN 2017 pada bulan terakhir 2017 ini. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3% terhadap PDB.
Sebaliknya APBN 2017 disusun dengan asumsi defisit 2,92% terhadap PDB. Memang ada wacana agar defisit tersebut dapat diturunkan, misalnya menjadi sekitar 2,5% saja. Namun, dalam kondisi sekarang tampaknya hal tersebut sangat sulit dilakukan. Penurunan defisit memang masih mungkin dicapai, misalnya dengan melemahnya penyerapan anggaran, sebagaimana sering terjadi selama ini. Namun, hal itu bukanlah hal yang ideal karena Presiden Jokowi sedang sangat berhasrat untuk mendorong pembangunan infrastruktur, yang anggarannya mendekati Rp400 triliun. Karena itu, kalaupun defisit bisa ditekan, saya duga angkanya masih sekitar 2,7% terhadap PDB.
Pada titik ini belanja modal dan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah tetap dapat dijaga meski dengan kecepatan yang tidak maksimal. Artinya, energi untuk menghela pertumbuhan ekonomi tidaklah bisa dilakukan secara 100%. Akibatnya, saya duga perekonomian Indonesia 2017 akan tumbuh 5,1%, atau sedikit di bawah proyeksi pemerintah dan IMF (5,2%). Tidak apa meleset sedikit, karena di sisi lain kita tetap dapat menyokong APBN yang berkelanjutan (sustainable). Yang juga tak kalah penting: kita tetap bisa memelihara asa untuk tumbuh lebih tinggi, sedikitnya 5,3% pada 2018, sebagaimana ekspektasi pemerintah dan IMF.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Faculty Member of Bank Indonesia Institute

MEDIA INDONESIA, 20 November 2017

Das Kapital

Das Kapital by Karl Marx My rating: 5 of 5 stars Karl Marx's Capital can be read as a work of economics, sociology and history. He...