Pemilihan kepala daerah serentak pekan lalu
berlangsung aman. Meski didahului sedikit dinamika, pilkada di 7 provinsi, 18
kota, dan 76 kabupaten terselenggara dengan sukses. Ada riak-riak kecil, tetapi
tidak signifikan. Ini bisa mengangkat kepercayaan diri para pelaku ekonomi
untuk segera mengakhiri masa tunggu (wait and see) sebelum melaksanakan aksi
bisnisnya. Ini sangat penting bagi perekonomian 2017 yang masih dihinggapi
ketidakpastian global.
Kita boleh dibilang lulus dari ujian karena pada
hari-hari ini sentimen positif perekonomian global kian mengarah ke Amerika
Serikat (AS). Data perekonomian AS terus membaik, terutama penyerapan tenaga
kerja (non-farm payroll) Januari 2017
yang mencapai 227.000 orang, jauh melebihi bulan-bulan sebelumnya. Akibatnya,
dollar AS cenderung menguat terhadap semua mata uang dunia. Indeks harga saham
di New York juga mencatat rekor baru 20.620. Donald Trump menjadi presiden
ketiga terbaik sepanjang sejarah AS yang mampu menaikkan indeks harga saham
dengan 3,8 persen sesudah John Kennedy (4,3 persen) dan Lyndon Johnson (6
persen).
Pidato Kepala Bank Sentral AS, The Fed, Janet Yellen
juga meyakinkan pasar sehingga memantik terbangnya modal global ke New York.
Yellen bilang, statistik ekonomi AS meyakinkan, seperti inflasi yang sudah
mendekati target 2 persen sebagai cerminan antusiasme masyarakat untuk
berbelanja. Para ekonom yakin, inflasi yang terlalu rendah tidak baik karena
merepresentasikan hasrat berbelanja (propensity to consume) yang lemah.
Konsumen cenderung menunggu atau menunda belanja di luar kebutuhan pokok.
Penurunan gairah belanja berakibat buruk terhadap perekonomian karena
menurunkan jumlah barang dan jasa yang terjual sehingga pertumbuhan ekonomi
melambat.
Karena itu, misalnya di Jepang, rendahnya inflasi
dan bahkan deflasi dihindari. Seperti halnya AS, Jepang juga berusaha mendorong
inflasi. Di Jepang, inflasi yang aman sekitar 1 persen. Untuk mencapainya, Bank
Sentral Jepang (BOJ) bahkan memberlakukan kebijakan suku bunga negatif untuk
mendorong bank untuk menaikkan ekspansi kredit daripada menyimpan likuiditasnya
di bank sentral. Inflasi AS Desember 2016 sudah mencapai 2,1 persen, tetapi
inflasi 2016 secara keseluruhan hanya 1,3 persen. Di Jepang, inflasi hanya 0,2
persen meski sudah didorong suku bunga negatif.
Kondisi Indonesia
Di Indonesia, inflasi 2016 dapat ditekan menjadi
3,02 persen. Ini merupakan kombinasi lesunya daya beli (purchasing power),
tidak adanya kebijakan pemerintah menaikkan tarif (administered prices), dan
keberhasilan koordinasi tim pengendalian dan pemantauan inflasi daerah (TPID).
Jadi, sebenarnya, rendahnya inflasi pada 2016 dapat diinterpretasikan ganda. Di
satu pihak, inflasi rendah karena terbantu rendahnya harga komoditas yang
menyebabkan pemerintah tidak perlu menaikkan harga energi. Di sisi lain,
inflasi rendah bisa pula merupakan cerminan dari lemahnya daya beli. Ini bisa
dibuktikan dengan rendahnya pertumbuhan kredit bank yang cuma 7,8 persen, jauh
dari target 12 persen.
Pada Januari 2017, inflasi melesat ke 0,97 persen,
terutama disebabkan oleh kenaikan bea pengurusan surat tanda nomor kendaraan
bermotor dan listrik (oleh pemerintah), tarif pulsa telepon seluler, harga
cabai rawit, dan harga bahan bakar minyak. Inflasi tahunan kini 3,49 persen.
Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa inflasi 2017 bakal lebih tinggi
daripada 2016, mungkin akan berkisar 4,5 persen, tetapi bagi Indonesia, masih
merupakan level yang aman dan dapat ditoleransi.
Tekanan eksternal dari data perekonomian AS
menginspirasi The Fed untuk segera menaikkan suku bunga acuannya yang kini 0,75
persen. Ini mestinya berdampak negatif terhadap rupiah dan indeks harga saham
gabungan (IHSG). Namun, faktanya tidak demikian. Rupiah masih berada di level
yang seusai dengan fundamentalnya pada Rp 13.336 per dollar AS, sedangkan IHSG
berada pada 5.350. Keduanya baik-baik saja.
Kesimpulan sementara, faktor pilkada serentak yang
bisa dibilang sukses memberi sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia.
Hal ini secara instan terefleksikan pada variabel kurs rupiah dan IHSG yang
tetap stabil. Adapun variabel lain yang sifatnya jangka menengah dan panjang,
seperti investasi langsung (penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri), belum bisa kita deteksi pada saat ini.
Meski demikian, masih ada pekerjaan rumah. Pilkada
DKI Jakarta yang menjadi barometer terbesar karena menyangkut ibu kota yang
memiliki anggaran pemda Rp 70 triliun masih harus melalui babak kedua. Anggaran
tersebut sangat besar, ekuivalen dengan biaya pembangunan jalur kereta api
cepat Jakarta-Bandung; lebih dari dua kali lipat biaya transportasi massal
cepat (MRT) di Jakarta; tujuh kali lipat bandar udara baru Yogyakarta di Kulon
Progo; dan 10 kali lipat biaya Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Adalah tanggung jawab kita bersama untuk membuat
proses pilkada berjalan dengan baik, lancar, dan aman. Bukan soal siapa kelak
pemenangnya, melainkan bagaimana proses itu berjalan. Para pelaku ekonomi masih
akan ada yang menambah waktu tunggunya sebelum melaksanakan rencana bisnisnya.
Para pelaku ekonomi dan bisnis pada dasarnya membutuhkan kepastian dan
kestabilan sosial politik. Kita pun wajib untuk memenuhinya agar tidak
kehilangan momentum.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 20 Februari 2017
No comments:
Post a Comment