Begitu dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat,
Donald J Trump langsung merealisasikan idenya untuk memproteksi perekonomian
negaranya. Sebenarnya perekonomian AS saat ini sedang menuju ke pemulihan
sesudah krisis 2008. Tingkat pengangguran kini hanya 4,6 persen, pertumbuhan
ekonomi 1,6 persen, dan inflasi 1,2 persen. Itulah pencapaian positif yang
dilakukan pemerintahan Barack Obama.
Namun, rupanya Trump belum puas. Ada statistik
ekonomi yang begitu mengganggunya, yaitu defisit perdagangan, terutama terhadap
Tiongkok. Pada 2015, AS menderita defisit 367 miliar dollar AS terhadap
Tiongkok, yang berarti naik daripada sebelumnya 343 miliar dollar AS (2014). AS
hanya berhasil mengekspor 116 miliar dollar AS, sedangkan impornya 484 miliar
dollar AS terhadap Tiongkok. AS banyak mengimpor barang-barang elektronik,
pakaian, dan mesin dari Tiongkok.
Ini sebenarnya persoalan lama yang belum ditemukan
solusinya. Mengapa Tiongkok begitu superior? Pertama, Tiongkok memiliki
keunggulan komparatif pada biaya tenaga kerja. Pendapatan per kapita AS saat
ini 56.000 dollar AS, sedangkan Tiongkok 9.000 dollar AS (untuk kota terbesar
Beijing dan Shanghai mencapai 11.000 dollar AS). Kedua, Pemerintah Tiongkok
secara sengaja menetapkan kurs yuan (renminbi) secara tetap sehingga cenderung
lebih murah daripada semestinya (undervalued). Hal ini kian menguntungkan
posisi harga barang-barang Tiongkok sehingga menjadi lebih murah.
AS sebenarnya sudah lama mencoba melobi Tiongkok
untuk mengatasi ketidakseimbangan ini. Caranya, waktu itu, Menteri Luar Negeri
AS Hillary R Clinton dan bahkan Presiden Barack Obama terbang ke Beijing. Akan
tetapi, hasilnya sia-sia. Kurs yuan sempat akan diserahkan pada mekanisme pasar
sejak Oktober 2016. Namun, ternyata hasilnya tidak tampak. Dengan dukungan
cadangan devisa 3,2 triliun dollar AS, Pemerintah Tiongkok tetap bisa menyetir
”semaunya” dalam menentukan kurs yuan agar produk Tiongkok tetap kompetitif.
Masalah inilah yang sebenarnya ingin dibidik Donald
Trump. Dia ingin Tiongkok menyerahkan mekanisme kurs yuan pada pasar sehingga
yuan akan mengalami apresiasi, katakanlah antara 2 persen dan 3 persen per
tahun. Oleh karena tidak ada tanda-tanda Tiongkok akan mematuhi kemauan AS,
Presiden Trump pun ingin memaksakan pengenaan tarif tinggi terhadap berbagai
produk Tiongkok.
Kebijakan ini tentu menakutkan seluruh dunia.
Tiongkok bisa dipastikan tidak tinggal diam. Joseph Stiglitz mengingatkan akan
terjadinya bencana perang dagang (trade war) antara AS dan Tiongkok, kemudian
AS melawan Meksiko, lalu merembet ke seluruh dunia. Ini bahaya. Selain
proteksionisme perdagangan, Trump juga akan memotong tarif pajak dan menambah
defisit anggaran dengan utang. Ini mirip jurus ekonomi Presiden Ronald Reagan
yang disebut supply-side economics, yang sesungguhnya tidak berjalan baik
(Stiglitz, ”Trumpian Uncertainty”, Project Syndicate, 9/1/2017).
Bagi Paul Krugman, Trump ibarat memutar jarum jam ke
seperempat abad silam ketika World Trade Organization berdiri pada 1 Januari
1995. Perang dagang akan terjadi, terutama AS melawan Tiongkok, meskipun
mungkin tidak menyebabkan terjadinya kenaikan pengangguran besar, seperti yang
ditakutkan banyak pengamat (Krugman, ”The China Shock and the Trump Shock”, The
New York Times, 25/12/2016).
Benang merah pendapat Krugman dan Stiglitz adalah
perekonomian global tidaklah dalam sekejap berubah dari era
liberalisme/globalisasi (borderless world) menuju era proteksionisme. Semuanya
perlu proses yang tidak mudah dan makan waktu. Tidak bisa seketika. AS memang
keluar dari skema Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), tetapi skema WTO tidak
serta-merta bubar.
Jalan Trump masih panjang dan terjal untuk
bernegosiasi dengan Tiongkok yang pasti akan melawan dengan sengit. Sementara
bagi Indonesia, AS merupakan mitra dagang yang penting. Selama 2016, AS menjadi
negara tujuan ekspor terbesar Indonesia senilai 15,68 miliar dollar AS, disusul
Tiongkok (15,09 miliar dollar AS), dan Jepang (13,21 miliar dollar AS). Dari
sini dapat disimpulkan, meski tidak berarti kita pasti akan terkena dampak
kebijakan Trump, upaya untuk mencari pasar di luar AS menjadi hal yang harus
dilakukan.
Namun, ada berita baik bagi kita dari sektor primer.
Sejak Desember 2016, para produsen minyak dunia mulai menahan diri untuk tidak
menggenjot produksi hingga 90 juta barrel per hari. Mereka harus mengerem
produksi untuk menyetop kejatuhan harga minyak lebih lanjut. Arab Saudi dan
Rusia akhirnya rela mengurangi produksinya dengan masing-masing 500.000 barrel
per hari. Langkah ini diikuti produsen lain, baik anggota OPEC maupun bukan.
Hasilnya, kini harga minyak stabil di level 53
dollar AS per barrel (WTI) dan 55 dollar AS per barrel (Brent). Ini membawa
mata rantai positif pada harga komoditas substitusinya, yaitu batubara dan
kelapa sawit. Ditambah dengan kuatnya komitmen pemerintah untuk membelanjakan
fiskalnya pada proyek-proyek infrastruktur (Rp 346 triliun), pada dasarnya
perekonomian Indonesia masih memiliki daya tahan terhadap kemungkinan gempuran
Trump.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 30 Januari 2017
No comments:
Post a Comment