Tahun 2016 merupakan periode yang dinamis dalam
pengelolaan fiskal kita. Pemerintah mencoba menargetkan belanja tinggi, Rp
2.080 triliun, yang didu- kung penerimaan pajak yang tinggi pula, Rp 1.539
triliun. Kredibilitas angka-angka ini diragukan, mengingat perekonomian
Indonesia dan global masih lesu. Jatuhnya harga minyak dunia ke titik nadir 27
dollar AS per barrel pada Februari 2016 sebenarnya sudah mengindikasikan
lesunya perekonomian global. Bagi Indonesia, hal ini kian mencekam karena
menyeret harga komoditas, terutama batubara.
Namun, pemerintah tidak menyerah dan mencanangkan
program pengampunan pajak yang dimulai pada Juli 2016. Selain untuk memperkuat
basis pajak, program ini juga bisa menaikkan penerimaan pajak secara instan.
Program pengampunan pajak menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Pada akhir
periode II (31 Desember 2016), deklarasi harta mencapai Rp 4.296 triliun, uang
tebusan (penerimaan pajak) Rp 103 triliun, dan repatriasi Rp 141 triliun
(sekitar 10 miliar dollar AS). Sebagai perbandingan, aset total perbankan kita
saat ini Rp 6.400 triliun dan cadangan devisa 111 miliar dollar AS. Dengan
demikian, pengampunan pajak cukup signifikan dan bisa disebut sukses.
Namun, keberhasilan ini belum mampu menyelamatkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Realisasi pajak Rp 1.283
triliun tetap meleset (shortfall) Rp 255 triliun dari target. Sementara defisit
APBN mencapai Rp 307 triliun. Berita bagusnya, defisit itu setara dengan 2,46
persen terhadap produk domestik bruto (PDB), atau lebih baik daripada
ekspektasi Menteri Keuangan sebesar 2,7 persen.
Potret fiskal kita pada 2016 tidak bisa dibilang
baik. Namun, keberhasilan menahan defisit APBN, yang mencerminkan keberhasilan
menjalankan disiplin fiskal, layak diapresiasi. Hasrat pemerintah untuk agresif
membangun infrastruktur dan mewujudkan kesejahteraan melalui sistem jaminan
sosial nasional tidak mengabaikan kesehatan fiskal. Fiskal boleh defisit,
tetapi jangan dibiarkan liar tak terkendali. Itulah esensi politik fiskal.
Brasil menjadi sorotan karena lemahnya menjaga disiplin fiskal, padahal memiliki
kekuatan terbesar di Amerika Latin. Brasil rajin membangun infrastruktur,
misalnya untuk menyelenggarakan Olimpiade Rio de Janeiro dan tuan rumah Piala
Dunia sepak bola. Ini mengingatkan kita pada agresivitas Tiongkok yang belanja
infrastrukturnya mencapai 10 persen terhadap PDB, sementara anggaran
infrastruktur Brasil 5 persen terhadap PDB. Namun, Brasil tidak mampu menjaga
defisit APBN melampaui 10 persen terhadap PDB.
Bermula dari kegagalan menjaga disiplin fiskal,
Brasil mengalami mata rantai buruk. Pertumbuhan ekonomi minus 3,8 persen (2015)
dan berlanjut minus 3,2 persen (2016); pengangguran 11,8 persen; pendapatan per
kapita anjlok dari 13.200 dollar AS (2011) menjadi 8.600 dollar AS (2015);
investasi merosot 14 persen setahun. Puncaknya, Presiden Dilma Rousseff jatuh
pada 31 Agustus 2016 karena buruknya perekonomian.
Penilaian terhadap Indonesia
Terkait kondisi Indonesia, banyak lembaga finansial
internasional menaruh asa terhadap prospek perekonomian Indonesia pada 2017,
misalnya rilis terbaru oleh HSBC yang prospektif. Sementara IMF memprediksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1 persen. Ini versi yang paling rendah karena
Bank Dunia dan Bloomberg mematok angka yang lebih tinggi, 5,3 persen. Sementara
itu, Pemerintah Indonesia bersikap realistis dengan menargetkan pertumbuhan
ekonomi 5,1 persen.
Tahun 2017 akan tetap tidak mudah bagi kita. Inflasi
yang pada 2016 dapat ditekan rendah 3,02 persen kemungkinan akan meningkat ke 4
persen. Kenaikan harga yang disebabkan kebijakan pemerintah (administered
price), seperti kenaikan tarif listrik dan elpiji, sudah pasti akan menaikkan
inflasi. Target inflasi 4 persen pada 2017 rasanya masuk akal.
Nilai tukar rupiah yang mengalami apresiasi 2,6
persen pada 2016 akan menghadapi tekanan berat karena kemungkinan The Fed akan
menaikkan suku bunganya lagi, yang berakibat apresiasi dollar AS. Namun, saya
tidak yakin The Fed akan menaikkan suku bunga sampai tiga kali pada 2017.
Apresiasi dollar AS yang terlalu besar berdampak buruk bagi daya saing
produk-produk AS. Presiden baru Donald Trump yang amat menaruh perhatian pada
defisit perdagangan AS pasti tidak akan mengizinkannya.
Risiko pelemahan nilai tukar rupiah bisa diatasi
jika kita mampu menggenjot repatriasi. Jika dana repatriasi bisa masuk 20
miliar dollar AS-30 miliar dollar AS, nilai tukar rupiah serta-merta menguat
dan stabil. Menteri Keuangan dan jajarannya harus bekerja keras mewujudkannya
pada triwulan I-2017 ini.
Dengan segala kesulitan dan kendala yang ada,
prospek kita tidaklah sesuram yang dibayangkan. Namun, itu semua tentu
bergantung pada upaya-upaya keras yang akan kita lakukan di sepanjang 2017.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 09 Januari 2017
No comments:
Post a Comment