Showing posts with label Dani Rodrik. Show all posts
Showing posts with label Dani Rodrik. Show all posts

Monday, December 11, 2017

Pengelak Tanggung Jawab Nasional

Oktober lalu, Perdana Menteri Inggris Theresa May mengejutkan banyak orang ketika dia memperolok ide kewarganegaraan global. ”Jika Anda berpikir bahwa Anda adalah warga negara global, maka Anda bukan warga negara mana pun,” ujar May. Pernyataan May disambut cercaan dan kekhawatiran oleh media massa finansial dan komentator liberal. ”Bentuk kewarganegaraan yang paling bermanfaat saat ini adalah yang didedikasikan bukan hanya untuk kemakmuran sekelompok kecil orang, melainkan untuk seisi planet Bumi,” komentar seorang analis.
The Economist menyebut pernyataan itu sebagai perubahan yang tak liberal. Seorang akademisi menuduh May menolak nilai kebebasan dan kesetaraan serta mengecam pidato May mirip dengan cara pandang anti semitis tahun 1933.
Saya tahu warga negara global itu apa. Saya selalu melihatnya saat becermin. Saya tumbuh besar di satu negara, kini tinggal di negara yang berbeda, dan saya punya paspor dari kedua negara itu. Saya menulis tentang ekonomi global dan pekerjaan saya membawa saya ke tempat yang sangat jauh. Saya menghabiskan lebih banyak waktu bepergian ke negara lain dibandingkan dengan di dua negara di mana saya merupakan warga negaranya.
Kebanyakan dari teman kerja saya juga terlahir di negara lain. Saya membaca berita internasional dan jarang membaca koran lokal. Saat membicarakan olahraga, saya tidak tahu bagaimana perkembangan tim dari negara saya, tetapi saya adalah penggemar sepak bola dari negara lain.
Pernyataan PM May mengejutkan saya. Terdapat kebenaran dari pernyataan itu. Sebuah ketidakpedulian yang menggambarkan bagaimana kita, elite keuangan, politik, dan teknokrat menjauhkan diri dari masyarakat sehingga mereka tidak memercayai kita.
Makna Warga Negara
Kita bisa memulai pembahasan ini dari arti kata ”warga negara”. Kamus bahasa Inggris Oxford mendefinisikan warga negara sebagai ”orang yang diakui secara hukum sebagai warga oleh negara atau persemakmuran”. Untuk menjadi warga negara, diperlukan pengakuan dari institusi yang memiliki kewenangan, yaitu negara atau persemakmuran. Negara memiliki kewenangan itu, tetapi dunia tidak. Pendukung konsep kewarganegaraan global mengakui tak bermaksud mengartikan konsep ini secara harfiah. Yang mereka maksud adalah kewarganegaraan secara figuratif. Mereka beranggapan revolusi teknologi dalam globalisasi komunikasi dan ekonomi telah menghubungkan masyarakat dari banyak negara.
Dunia menyempit dan kita harus memikirkan dampak global dari tindakan yang kita ambil. Selain itu, kita memiliki beberapa identitas yang saling bersinggungan. Kewarganegaraan global tak harus dan tidak perlu menghalangi tanggung jawab keagamaan dan nasional yang diemban oleh seseorang.
Apa yang dilakukan oleh warga negara global? Kewarganegaraan secara harfiah mencakup interaksi dan deliberasi dengan warga negara lain dalam komunitas politis. Ini berarti menjadikan pembuat keputusan bertanggung jawab atas keputusan mereka dan berpartisipasi dalam politik untuk memengaruhi kebijakan. Dalam prosesnya, ide yang ada mengenai hal yang penting bagi masyarakat dan cara untuk mencapainya akan diuji dengan ide lain dari warga negara lain.
Warga negara global tak memiliki hak dan tanggung jawab di atas. Tiada pemimpin yang perlu mempertanggungjawabkan tindakan dan memberikan pembenaran terhadap tindakan mereka. Skenario terbaik adalah warga negara global akan membentuk komunitas dengan orang yang sepemikiran dari negara lain.
Tentu warga negara global memiliki akses pada sistem politik dalam negeri untuk mendorong idenya. Namun, wakil rakyat dipilih untuk melakukan hal yang menjadi kepentingan konstituennya. Pemerintah bertugas menjaga kepentingan nasional. Ini tak menutup kemungkinan konstituen bisa bertindak untuk kepentingan bersama dan mempertimbangkan dampak kebijakan yang mereka ambil terhadap dampaknya bagi negara lain.
Apa yang terjadi jika kepentingan warga lokal bertentangan dengan kepentingan orang asing? Ini menimbulkan rasa tidak suka kepada kaum elite perkotaan.
Kepentingan Global
Warga negara global khawatir kepentingan global bisa dirugikan jika pemerintah mulai bertindak sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kekhawatiran ini muncul sehubungan permasalahan global, misalnya perubahan iklim dan pandemik. Namun, dari segi ekonomi–pajak, perdagangan, kebijakan, kestabilan keuangan, manajemen fiskal, dan moneter–apa yang baik dalam perspektif global juga baik dari perspektif domestik. Ekonomi mengajarkan, negara harus mempertahankan keterbukaan ekonomi, peraturan yang baik dan bijaksana, serta kebijakan kerja penuh waktu, tidak hanya karena ini baik untuk negara lain, tetapi bisa meningkatkan perekonomian domestik.
Kegagalan kebijakan, misalnya proteksionisme, mungkin terjadi. Namun, hal ini mencerminkan pengaturan domestik yang buruk, bukan kurangnya rasa kosmopolitanisme. Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan pembuat keputusan untuk meyakinkan konstituen mereka akan manfaat dari kebijakan atau dari ketidakinginan mereka untuk membuat penyesuaian untuk memastikan bahwa semua orang mendapatkan keuntungan.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard; Penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”

KOMPAS, 14 Februari 2017

Sejauh Mana Integrasi Eropa Ditoleransi

Bulan ini Uni Eropa merayakan HUT Ke-60 Perjanjian Roma yang merupakan landasan terbentuknya Komunitas Ekonomi Eropa. Namun, hal ini bukanlah satu-satunya alasan Uni Eropa melakukan perayaan. Setelah berabad-abad benua ini mengalami peperangan, ketidakstabilan, dan pembantaian massal, Eropa akhirnya berada dalam keadaan damai dan demokratis. Uni Eropa telah berhasil menjadikan 11 negara bekas Uni Soviet tergabung dalam organisasi mereka dan sukses menuntun proses transisi negara tersebut dari masa-masa pemerintahan komunis. Saat kesenjangan melanda banyak negara, negara anggota Uni Eropa mencatat tingkat kesenjangan pendapatan terendah di dunia.
Lima Jalur Masa Depan
Namun, semua hal itu hanyalah prestasi masa lalu. Saat ini, Uni Eropa dalam krisis eksistensial mendalam dan masa depannya dipertanyakan. Gejalanya bisa dilihat: peristiwa Brexit, tingginya tingkat pengangguran di kalangan usia muda di Yunani dan Spanyol, utang dan stagnasi perekonomian di Italia, bangkitnya gerakan populis, serta pukulan berat terkait isu imigran dan mata uang euro. Semua itu kian mempertegas betapa mendesaknya dilakukan perombakan terhadap kelembagaan di Uni Eropa.
Oleh karena itu, peluncuran dokumen resmi tentang masa depan Eropa oleh Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker menjadi momentum yang sangat pas. Juncker mengurai lima jalur yang bisa ditempuh Uni Eropa: meneruskan agenda yang ada, fokus terhadap blok perdagangan, membolehkan sejumlah negara melakukan integrasi lebih cepat daripada negara lain, mempertajam agenda, serta secara ambisius mendorong terjadinya keseragaman dan integrasi penuh negara anggota.
Sulit untuk tidak bersimpati kepada Juncker. Tak banyak yang bisa dilakukan Juncker pada saat para politisi Eropa disibukkan oleh pergulatan di dalam negeri, sementara institusi Uni Eropa di Brussels sendiri juga menjadi sasaran ketidakpuasan publik. Namun, tetap saja laporan Juncker tersebut mengecewakan. Laporan itu melupakan tantangan utama yang harus dihadapi dan diatasi Uni Eropa.
Jika menghendaki demokrasi Eropa kembali sehat, integrasi ekonomi dan politik tidak boleh dibiarkan jalan sendiri-sendiri. Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan, mempercepat integrasi politik agar bisa menyusul integrasi ekonomi atau memperlambat integrasi ekonomi. Selama keputusan untuk memilih satu dari dua hal tersebut belum dilakukan, Uni Eropa akan terus dalam keadaan disfungsional.
Ketika dihadapkan pada kedua pilihan itu, negara anggota Uni Eropa cenderung berada pada posisi berbeda-beda sehubungan dengan integrasi ekonomi dan politik. Ini berarti bahwa Eropa harus mempunyai fleksibilitas dan kondisi institusi yang dapat mengakomodasi perbedaan ini.
Sejak awal, Eropa dibangun berdasarkan argumentasi fungsional di mana integrasi politik akan mengikuti integrasi ekonomi. Laporan resmi dari Juncker dibuka dengan kutipan yang dikemukakan pendiri Komunitas Ekonomi Eropa (dan Perdana Menteri Perancis) pada 1950 Robert Schuman: ”Eropa tidak akan terbentuk sekali jadi atau berdasarkan satu rencana tunggal. Eropa akan dibangun melalui pencapaian konkret, dengan pertama-tama menciptakan solidaritas de facto.”
Dengan membangun mekanisme kerja sama ekonomi lebih dulu, itu akan menjadi landasan bagi terbentuknya kelembagaan politik bersama. Pada awalnya pendekatan ini cukup berhasil. Pendekatan ini memungkinkan integrasi ekonomi selangkah lebih maju dibandingkan dengan integrasi politik kendati selang antara satu dan lainnya tak terlalu jauh.
Pada 1980-an, Uni Eropa membuat lompatan menuju kondisi yang belum pernah dialami sebelumnya. Uni Eropa mengadopsi sebuah agenda pasar tunggal yang ambisius dengan tujuan menyatukan perekonomian Eropa, memangkas kebijakan nasional yang dirasa menghambat pergerakan bebas barang, jasa, orang, dan modal. Euro yang ditetapkan sebagai mata uang tunggal negara anggota Uni Eropa adalah tahapan logis selanjutnya dari agenda tersebut.
Ketidakseimbangan
Agenda baru Uni Eropa didorong beberapa faktor. Banyak ekonom dan teknokrat beranggapan bahwa pemerintahan di Eropa terlalu intervensionis. Mereka meyakini integrasi ekonomi mendalam dan mata uang tunggal akan mampu menjadikan negara anggota lebih disiplin. Menurut sudut pandang ini, ketidakseimbangan antara integrasi ekonomi dan politik dalam proses integrasi adalah bagian dari proses wajar dan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Namun, banyak politisi yang menyadari bahwa ketidakseimbangan ini menyimpan masalah. Namun, mereka berasumsi bahwa fungsionalisme akan menyelesaikan persoalan yang mungkin timbul: suatu institusi quasi-federal yang diperlukan untuk mendukung blok perdagangan akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
Negara besar di Eropa mempunyai peranan penting dalam hal ini. Perancis berpendapat bahwa memindahkan otoritas ekonomi kepada birokrat di Brussels akan meningkatkan kekuatan nasional dan wibawa Perancis. Jerman, yang ingin mendapatkan dukungan Perancis terkait reunifikasi Jerman, juga menyetujui hal tersebut.
Ada satu alternatif lain. Eropa bisa saja membiarkan suatu model sosial yang seragam untuk berkembang bersamaan dengan integrasi ekonomi. Model ini mensyaratkan bukan integrasi pasar, melainkan integrasi kebijakan sosial, institusi pasar tenaga kerja, dan pengaturan fiskal. Keragaman model sosial di Eropa dan sulitnya mencapai kesepakatan terkait peraturan bersama akan menjadi semacam rem alamiah terhadap kecepatan dan cakupan integrasi.
Bukannya menjadi sesuatu yang merugikan, hal itu justru menjadi semacam mekanisme korektif yang diperlukan terkait kecepatan dan cakupan integrasi yang diharapkan. Hal ini mungkin akan berujung pada keanggotaan Uni Eropa yang lebih kecil, lebih terintegrasi, atau bisa saja berujung pada jumlah anggota yang sama dengan yang ada sekarang, tetapi lebih tidak ambisius dalam hal ekonominya.
Saat ini mungkin sudah terlambat untuk mencoba mengintegrasikan fiskal dan politik Uni Eropa. Tak sampai satu dari setiap lima warga Eropa yang ingin menyerahkan kekuasaan berpindah dari pemerintahan negara kepada otoritas di Brussels. Mereka yang optimistis mungkin berpendapat bahwa ini bukan karena ketidaksukaan kepada Brussels ataupun Strasbourg, melainkan lebih karena masyarakat mengasosiasikan integrasi Eropa pada teknokrat yang terlalu fokus pada blok perdagangan dan tidak ada model alternatif. Mungkin para pemimpin baru dan formasi politik yang ada dapat membuat model alternatif dan meningkatkan ketertarikan terhadap proyek Eropa yang telah direformasi. Orang yang pesimistis berharap bahwa di suatu tempat di Berlin atau Paris, di sebuah sudut yang gelap, para ekonom dan pengacara diam-diam mempersiapkan rencana cadangan jika persekutuan ekonomi yang lebih longgar tak dapat lagi dicegah.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard; Penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”

KOMPAS, 23 Maret 2017

Akankah Macron Berhasil?

Kemenangan Emmanuel Macron atas Marine Le Pen adalah berita baik yang ditunggu-tunggu oleh siapa pun yang menginginkan suatu masyarakat terbuka dan liberal demokratis ketimbang masyarakat yang nativis dan xenofobia. Namun, perlawanan terhadap populisme sayap kanan masih jauh dari kata selesai. Le Pen mengantongi lebih dari sepertiga suara dalam pemilu putaran kedua, meskipun selain partainya sendiri, yaitu Front Nasional, hanya ada satu partai lain—partai Nicolas Dupont-Aignan, Debout la France—yang memberikan dukungan pada pencalonan Le Pen.
Selain itu, tingkat partisipasi dalam pemilu turun drastis dibandingkan dengan pemilu presiden sebelumnya. Ini mengindikasikan banyaknya pemilih yang merasa tidak puas. Jika Macron gagal dalam lima tahun ke depan, akan terbuka peluang lebar bagi Le Pen untuk bangkit kembali, demikian pula kelompok nativis populis akan mempunyai lebih banyak pengaruh, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di belahan dunia yang lain. Sebagai seorang kandidat pada era antikemapanan ini, Macron terbantu oleh fakta bahwa dia tidak berasal dari partai politik tradisional. Namun, sebagai presiden, hal ini tak menguntungkan bagi dia. Gerakan politiknya, En Marche!, baru berjalan setahun. Dia harus mulai membangun basis mayoritas di legislatif dari nol setelah pemilu parlemen bulan depan.
Mewakili Eropa Lama
Pemikiran ekonomi Macron juga tidak mudah untuk dikarakterisasikan. Pada masa kampanye pemilu presiden, dia sering dituding tak memiliki konsep yang detail. Bagi banyak orang liberal dan ekstrem konservatif, Macron adalah seorang neoliberal, yang kebijakannya tidak jauh berbeda dengan kebijakan mainstream yang terbukti gagal di Eropa, yaitu penghematan, yang menjadikan benua tersebut berada dalam kebuntuan seperti sekarang.
Thomas Piketty, seorang ekonom Perancis, yang mendukung calon dari partai sosialis BenoÎt Hamon, menggambarkan Macron sebagai seseorang yang mewakili ”Eropa lama”. Pada kenyataannya, memang banyak program ekonomi Macron yang bernuansa neoliberal. Dia telah berjanji akan menurunkan tingkat pajak perusahaan dari 33,5 persen menjadi 25 persen, menurunkan jumlah pegawai negeri sipil sebanyak 120.000 orang, menjaga defisit fiskal pemerintah di bawah batas yang ditetapkan oleh Uni Eropa, yaitu 3 persen dari produk domestik bruto, serta meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja (istilah halus dari memudahkan perusahaan untuk memecat pekerja). Namun, dia juga berjanji untuk tetap memberikan tunjangan pensiun, dan model jaminan sosial yang dia sukai tampaknya adalah flexicurity yang diterapkan di negara-negara Skandinavia—yang merupakan kombinasi dari jaminan perlindungan dari sisi ekonomi yang tinggi dan insentif berbasis pasar. Namun, tidak ada dari hal-hal tersebut—terlebih dalam jangka pendek—yang akan mampu mengatasi tantangan utama pemerintahan Macron, yaitu penciptaan lapangan kerja.
Seperti yang ditulis oleh Martin Sandbu, lapangan kerja adalah prioritas utama pemilih Perancis dan hal ini harus menjadi prioritas utama pemerintahan baru. Sejak krisis melanda perekonomian negara di zona euro, tingkat pengangguran di Perancis tetap tinggi, yaitu pada angka 10 persen, bahkan hampir 25 persen untuk angkatan kerja di bawah usia 25 tahun. Sama sekali tidak ada bukti bahwa liberalisasi pasar tenaga kerja akan mampu mendongkrak tingkat penyerapan tenaga kerja, kecuali terjadi peningkatan agregat permintaan dalam perekonomian Perancis.
Program Stimulus
Di sinilah peran komponen lain dari program ekonomi Macron bisa memainkan peran. Dia telah mengusulkan program stimulus untuk lima tahun senilai €50 miliar euro (54,4 miliar dollar AS), yang mencakup investasi pada infrastruktur dan teknologi ramah lingkungan, serta perluasan pelatihan bagi penganggur. Namun, karena nilai program stimulus ini hanya sedikit di atas 2 persen dari produk domestik bruto Perancis setiap tahun, kecil kemungkinan program stimulus ini akan memberikan banyak dampak pada tingkat pengangguran secara umum.
Gagasan Macron yang lebih ambisius adalah membuat lompatan besar menuju integrasi fiskal zona euro, dengan satu lembaga perbendaharaan dan menteri keuangan. Menurut Macron, integrasi fiskal semacam itu akan memungkinkan dilakukannya transfer fiskal secara permanen dari negara-negara dengan perekonomian yang kuat kepada negara yang tidak diuntungkan oleh diterapkannya kebijakan moneter tunggal di zona euro.
Anggaran zona euro akan dibiayai oleh kontribusi dari penerimaan pajak negara-negara yang menerapkan sistem tersebut. Sebuah parlemen zona euro yang terpisah akan melaksanakan fungsi pengawasan dan akuntabilitas. Unifikasi fiskal ini akan memungkinkan negara seperti Perancis untuk meningkatkan belanja infrastruktur dan meningkatkan penciptaan lapangan kerja tanpa harus melanggar batas atas pagu fiskal mereka.
Integrasi fiskal yang didukung dengan integrasi politik yang lebih dalam adalah hal yang masuk akal. Setidaknya, hal itu memberikan jalan yang masuk akal terhadap permasalahan yang melanda Uni Eropa saat ini. Namun, kebijakan Macron yang terang-terangan mendukung persatuan Eropa tidak hanya menyangkut permasalahan politik atau prinsip. Hal ini juga sangat penting untuk mendukung kesuksesan program ekonominya. Tanpa adanya fleksibilitas fiskal yang lebih besar atau transfer dari negara-negara lain di zona euro, sulit bagi Perancis untuk keluar dari permasalahan pengangguran dalam waktu dekat.
Dan, hal ini membawa kita pada Jerman. Reaksi awal Angela Merkel terhadap hasil pemilu Perancis tidaklah terlalu meyakinkan. Dia memberikan selamat kepada Macron sebagai ”seseorang yang membawa harapan bagi jutaan warga masyarakat Perancis”. Namun, dia juga mengatakan bahwa dia tak akan mempertimbangkan untuk mengubah peraturan fiskal zona euro. Bahkan, kalaupun Merkel (atau pemerintahan Jerman yang baru kelak di bawah Martin Schulz) lebih terbuka untuk melakukan hal tersebut, tetap ada persoalan dengan para pemilih di Jerman. Krisis zona euro tidak digambarkan sebagai permasalahan interdependensi, tetapi sebagai permasalahan moral—masyarakat Jerman yang hemat dan pekerja keras dihadapkan pada para debitor yang boros dan curang—para politisi Jerman akan mengalami kesulitan untuk meyakinkan para pemilih guna menyetujui proyek integrasi fiskal.
Mengantisipasi reaksi dari Jerman, Macron telah memberikan bantahan: ”Anda tidak bisa mengatakan bahwa saya sangat pro-Eropa yang kuat dan globalisasi, tetapi menentang keras gagasan transfer union.” Hal itu, menurut Macron, adalah sumber terjadinya disintegrasi dan politik reaksioner: ”Tanpa adanya transfer fiskal, sama saja Anda mencegah mereka yang di pinggiran untuk berkonvergensi dan itu akan menciptakan divergensi politik ke arah ekstremisme.”
Perancis mungkin memang bukan kelompok yang terpinggirkan di Eropa, tetapi pesan Macron kepada Jerman sangat jelas: apakah Anda akan membantu saya dan kita akan membangun perserikatan yang sesungguhnya—yang mencakup perekonomian, fiskal, dan pada akhirnya persatuan politik—atau kita akan terlindas serangan dari para ekstremis.
Dalam hal ini, Macron memang benar. Demi Perancis, Eropa, dan negara-negara lain di dunia, kita harus berharap bahwa kemenangan Macron akan diikuti oleh perubahan dari pihak Jerman sendiri.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard;  Penulis Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science
KOMPAS, 17 Mei 2017
Terlambat Memberikan Kompensasi
Tampaknya sebuah konsensus baru telah muncul di antara para pemimpin dan elite pengambil kebijakan dunia mengenai bagaimana mengatasi serangan balik kubu anti globalisasi, sebuah isu yang dieksploitasi dengan baik oleh kalangan populis seperti Donald Trump. Hilang sudah keyakinan bahwa globalisasi akan mendatangkan manfaat bagi semua orang. Saat ini kalangan elite mengakui kita harus menerima kenyataan bahwa globalisasi tidak hanya menghasilkan ”pemenang” (mereka yang diuntungkan globalisasi), tetapi juga ”pecundang” (mereka yang dirugikan oleh globalisasi).
Respons yang benar adalah tidak dengan membalikkan arah globalisasi, tetapi memastikan bahwa orang yang dirugikan mendapat kompensasi. Konsensus baru ini diutarakan oleh Nouriel Roubini: penolakan terhadap globalisasi ”dapat diredam dan dikelola melalui kebijakan yang memberikan kompensasi terhadap kerugian dan biaya yang harus ditanggung para pekerja”. ”Hanya dengan menerapkan kebijakan seperti itulah kelompok yang dirugikan dalam globalisasi akan merasa bahwa mereka juga pada akhirnya akan diuntungkan.”
Argumen ini terdengar sangat masuk akal, baik secara ekonomi maupun politis. Ekonom tahu betul bahwa liberalisasi perdagangan akan menyebabkan redistribusi pendapatan dan kerugian absolut bagi kelompok masyarakat tertentu meski secara keseluruhan kue ekonomi negara tersebut membesar. Oleh karena itu, perjanjian perdagangan hanya dapat meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa jika orang yang diuntungkan globalisasi bisa mengompensasi mereka yang dirugikan. Pemberian kompensasi juga menjamin adanya dukungan terhadap keterbukaan perdagangan dari konstituen yang lebih luas dan ini merupakan hal yang baik dalam sudut pandang politik.
Negara Kesejahteraan
Sebelum munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state), ketegangan antara keterbukaan dan redistribusi diselesaikan melalui emigrasi pekerja dalam skala besar atau dengan menerapkan kembali kebijakan proteksi dalam perdagangan, khususnya di bidang pertanian. Munculnya negara kesejahteraan, hambatan ini kian mengecil sehingga liberalisasi perdagangan dapat dilakukan dengan skala lebih besar.
Dewasa ini, negara maju yang paling terpapar perekonomian global adalah juga negara yang paling ekstensif menerapkan program jaring pengaman dan asuransi sosial atau disebut negara kesejahteraan. Penelitian di Eropa menunjukkan, negara yang mengalami kekalahan dalam globalisasi cenderung menerapkan program sosial yang aktif dan intervensi di pasar tenaga kerja.
Jika penolakan terhadap perdagangan bebas di Eropa belum begitu terlihat, hal ini lebih karena perlindungan sosial masih sangat kuat meski kian melonggar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara kesejahteraan dan perekonomian terbuka adalah dua sisi dari koin yang sama di hampir sepanjang abad ke-20.
Dibandingkan dengan kebanyakan negara Eropa, Amerika Serikat (AS) adalah pemain baru globalisasi. Hingga baru-baru ini pasar domestik AS yang besar dan wilayah geografisnya yang cukup terisolasi menerapkan kebijakan proteksi yang relatif ketat dari impor, khususnya impor dari negara berupah buruh murah. Secara tradisional, AS termasuk dalam negara kesejahteraan yang lemah.
Ketika AS mulai membuka diri terhadap impor dari Meksiko, China, dan negara berkembang lainnya pada 1980-an, banyak yang mengira bahwa mereka akan menjadi seperti Eropa. Namun, karena pengaruh paham Reaganite dan ide fundamentalisme pasar, AS justru berkembang ke arah yang berlawanan dengan Eropa.
Seperti dikatakan Larry Mishel, Presiden Economic Policy Institute, ”Mengabaikan kelompok yang dirugikan oleh globalisasi adalah sebuah tindakan yang disengaja.” Pada 1981, bantuan penyesuaian perdagangan (TAA) adalah salah satu program yang diserang oleh Reagan dengan cara memotong pembayaran kompensasi mingguan program tersebut.
Hal itu berlanjut pada pemerintahan berikutnya di bawah Partai Demokrat. Mengutip Mishel, ”Jika para pendukung perdagangan bebas betul peduli kepada pekerja, mereka akan mendukung serangkaian kebijakan yang mendukung pertumbuhan gaji yang kuat seperti menumbuhkan lapangan kerja, perundingan bersama, standar kerja yang tinggi, pertumbuhan upah minimum, dan lainnya.” Dan hal ini bisa dilakukan ”sebelum memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara dengan buruh murah”.
Membalik Haluan?
Dapatkah AS mengubah arah dan mengikuti pemahaman umum yang belakangan ini muncul? Tahun 2007, ilmuwan politik Ken Scheve dan ekonom Matt Slaughter menyerukan perlunya ”sebuah Kesepakatan Baru (New Deal) untuk globalisasi” di AS, orang mungkin akan mengaitkan ”kerja sama dengan negara lain dengan redistribusi pendapatan yang substansial”. Di AS, menurut mereka, hal itu berarti memberlakukan sistem pajak federal yang jauh lebih progresif. Slaughter adalah mantan pejabat di masa pemerintahan Presiden George W Bush dari Partai Republik. Ini adalah sebuah indikasi betapa terpolarisasinya iklim politik di AS. Terasa sulit untuk membayangkan proposal semacam itu bisa muncul dari seorang anggota Partai Republik pada saat ini.
Upaya Trump dan sekutunya di Kongres untuk menghapuskan program asuransi kesehatan yang merupakan program andalan Presiden Barack Obama adalah refleksi komitmen dari Partai Republik untuk mengurangi, bukan memperluas, perlindungan sosial. Konsensus, terkait perlunya pemberian kompensasi kepada kelompok yang dirugikan oleh globalisasi, yang ada dewasa ini menganggap bahwa kelompok yang diuntungkan dalam globalisasi digerakkan oleh kepentingan pribadi. Bahwa membeli dari orang yang dirugikan oleh globalisasi adalah hal yang penting untuk mempertahankan keterbukaan ekonomi.
Pemerintahan Trump mengungkapkan sebuah persepsi alternatif di mana globalisasi, setidaknya dalam bentuk yang ada sekarang, cenderung mendukung kelompok yang memiliki keterampilan dan aset yang bisa mengambil manfaat dari keterbukaan perdagangan dan kian merongrong apa pun pengaruh yang dimiliki oleh kelompok yang dirugikan oleh globalisasi. Trump telah menunjukkan bagaimana ketidakpuasan terhadap globalisasi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mencapai agenda yang menjadi kepentingan kaum elite yang tak ada hubungannya sama sekali dengan perdagangan.
Politik kompensasi ini selalu menjadi subyek permasalahan yang oleh para ekonom disebut dengan ”inkonsistensi waktu”. Sebelum sebuah kebijakan baru diberlakukan, misalnya saja perjanjian dagang, maka penerima manfaat perjanjian cenderung menjanjikan kompensasi. Namun, setelah kebijakan ini berjalan, mereka tak lagi merasa berkepentingan untuk menindaklanjuti. Hal ini bisa saja mengingat ongkos mahal yang harus dibayar untuk membalikkan keadaan atau karena kini perimbangan kekuasaan berpihak kepada mereka.
Waktu yang tepat untuk memberikan kompensasi sudah terbuka dan kita sia-siakan. Kalaupun kompensasi adalah sebuah pilihan yang mungkin diambil dua dekade lalu, hal ini tidak lagi menjadi respons praktis terhadap dampak buruk globalisasi. Untuk bisa merangkul mereka yang dirugikan oleh globalisasi, kita perlu mempertimbangkan mengubah aturan globalisasi yang ada.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard;  Penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”

KOMPAS, 28 April 2017

Cara Melawan Demagog Populis

Pada sebuah konferensi yang saya hadiri baru-baru ini, saya duduk di samping seorang pakar kebijakan perdagangan Amerika Serikat terkemuka. Kami mulai berdiskusi mengenai Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang oleh Presiden Donald Trump dianggap sebagai penyebab sengsaranya buruh di Amerika Serikat dan ia coba untuk negosiasi ulang. ”Saya tidak pernah melihat NAFTA sebagai sebuah masalah besar,” kata ekonom tersebut. Saya tercengang. Pakar tersebut adalah salah seorang pendukung NAFTA yang paling terkemuka pada saat perjanjian tersebut disepakati seperempat abad yang lalu. Dia dan para ekonom perdagangan lainnya telah memainkan peran besar dalam mendapatkan dukungan publik AS terhadap perjanjian tersebut. ”Saya mendukung NAFTA karena saya kira hal ini akan membuka jalan bagi perjanjian-perjanjian perdagangan lebih lanjut lainnya,” ujar ekonom tersebut.
Beberapa minggu kemudian, saya menghadiri jamuan makan malam di Eropa, dengan salah satu pembicaranya adalah mantan menteri keuangan salah satu negara yang termasuk dalam zona euro. Topik pembicaraan ketika itu adalah bangkitnya populisme.
Trilema
Mantan menteri tersebut telah meninggalkan dunia politik dan ia menggunakan kata-kata yang tajam ketika membicarakan tentang apa yang ia pikir sebagai kesalahan yang dilakukan para elite pengambil kebijakan di Eropa. ”Kita menuduh kaum populis membuat janji-janji yang tidak akan bisa mereka tepati, tetapi kita seharusnya melihat diri kita sendiri,” katanya.
Pada awal jamuan makan itu, saya mendiskusikan apa yang saya sebut sebagai trilema, di mana kedaulatan nasional, demokrasi, dan globalisasi yang kelewat batas (hyper-globalization) tidak mungkin dapat dicapai pada saat yang sama. Kita harus memilih dua dari tiga hal tersebut.
Mantan politikus tersebut berbicara dengan penuh semangat: ”Kaum populis adalah yang paling tidak jujur. Mereka mengetahui dengan jelas pilihan apa yang mereka ambil; mereka menginginkan negara bangsa (nation-state), dan bukan globalisasi yang kelewat batas atau pasar tunggal Eropa. Namun, kita berkata bahwa kita bisa memiliki ketiga hal itu pada saat yang bersamaan. Kita membuat janji yang tidak bisa kita penuhi.”
Kita tidak akan pernah tahu apakah kejujuran ekstra dari para politisi atau teknokrat akan membuat kita terhindar dari kebangkitan demagog nativis, seperti Trump atau Marine Le Pen di Perancis. Yang jelas, ada akibat dari kurangnya keterbukaan di masa lalu yang telah menyebabkan gerakan politik sentris kehilangan kredibilitas mereka. Dan, hal ini telah lebih menyulitkan para elite dalam menjembatani kesenjangan antara mereka dan masyarakat biasa yang merasa telah ditinggalkan para elite.
Banyak elite yang merasa bingung karena orang yang miskin atau para pekerja mau memilih kandidat seperti Trump, meskipun kebijakan perekonomian yang akan diambil Hillary Clinton terbukti lebih mungkin untuk menguntungkan mereka. Untuk menjelaskan paradoks ini, mereka menyebut bahwa ketidaktahuan, irasionalitas, atau rasisme para pemilih sebagai penyebabnya.
Informasi Asimetris
Namun, terdapat penjelasan lain, sebuah penjelasan yang konsisten dengan rasionalitas dan kepentingan pribadi. Ketika politisi kehilangan kredibilitas mereka, wajar jika para pemilih tidak menghiraukan janji yang mereka katakan. Para pemilih lebih tertarik pada kandidat yang antikemapanan dan dianggap tidak akan mengambil kebijakan seperti yang ada saat ini. Dalam bahasa yang digunakan para ekonom, para politisi sentris menghadapi permasalahan informasi asimetris. Mereka berkata bahwa mereka adalah reformis, tetapi mengapa para pemilih harus percaya bahwa mereka berbeda dari para politisi lain yang sebelumnya menjanjikan banyaknya manfaat globalisasi dan mengabaikan penderitaan mereka?
Dalam kasus Clinton, hubungan dekatnya dengan para globalis di Partai Demokrat dan dengan sektor finansial telah menambah permasalahan baginya. Kampanyenya menjanjikan perjanjian perdagangan yang adil dan menolak Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), tetapi apakah ia benar-benar percaya akan hal-hal tersebut? Apalagi mengingat bahwa dia adalah mantan menteri luar negeri AS dan ia dulu sangat mendukung TPP.
Inilah yang para ekonom sebut sebagai pooling equilibrium. Politisi konvensional dan reformis terlihat serupa sehingga mendapatkan tanggapan yang sama dari para pemilih. Mereka kehilangan dukungan ke para populis dan demagog terlihat lebih meyakinkan ketika mereka berjanji untuk mengubah sistem yang ada sekarang. Melihat tantangan sebagai permasalahan informasi asimetris juga mengisyaratkan sebuah solusi. Penyatuan kesetimbangan dapat dicegah jika para politisi reformis dapat memberikan ”sinyal” kepada para pemilih mengenai ”jati diri mereka yang sebenarnya”.
Memberikan sinyal dalam hal ini mempunyai sebuah konteks khusus. Hal ini berarti melakukan tindakan yang cukup ekstrem yang tidak ingin dilakukan oleh para politisi konvensional, tetapi tidak seekstrem hingga menjadikan mereka sebagai politisi populis dan tidak mencapai tujuan mereka. Bagi seseorang seperti Clinton, dengan asumsi bahwa ia benar-benar berubah, memberikan sinyal berarti mengumumkan bahwa ia tidak lagi akan menerima dana dari Wall Street atau tidak akan menandatangani perjanjian perdagangan lainnya jika terpilih.
Dengan kata lain, para politisi sentris yang ingin menyaingi popularitas demagog harus berhati-hati dalam mengambil tindakan. Jika melakukan hal ini terdengar sebagai sesuatu yang sulit dilakukan, ini merupakan indikasi tantangan yang dihadapi oleh para politisi tersebut. Mencapai hal ini mungkin membutuhkan wajah baru dan politisi yang lebih muda, yang belum tercemar dengan cara pandang pendahulu mereka yang globalis dan fundamentalis pasar.
Hal ini juga memerlukan pengakuan bahwa politisi dipilih untuk mendorong kepentingan nasional. Dan, hal ini berarti bahwa mereka harus mau mengkritisi prinsip-prinsip otoritas yang berkuasa—khususnya mengenai kebebasan yang dimiliki oleh institusi finansial, bias terhadap kebijakan penghematan, pandangan mengenai peran pemerintah dalam perekonomian, pergerakan bebas modal di seluruh dunia, dan pengagung- agungan perdagangan internasional.
Bagi khalayak ramai, retorika pemimpin yang seperti di atas sering kali terdengar mengejutkan dan ekstrem. Namun, hal ini diperlukan untuk merayu kembali para pemilih dari demagog populis. Para politisi ini menawarkan sebuah hal yang inklusif, dibandingkan dengan nativis, sebuah konsepsi mengenai identitas nasional, dan prinsip politik mereka harus tetap berada dalam ranah demokrasi liberal. Segala hal yang lain harus tetap mereka lakukan.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard; Penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”

KOMPAS, 28 November 2017

Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Industrialisasi?

Meskipun harga komoditas di pasar global rendah, banyak negara yang tergolong paling miskin di dunia dan selama ini sangat bergantung pada ekspor komoditas mampu menunjukkan kinerja ekonomi yang baik. Pertumbuhan perekonomian negara di Sub-Sahara Afrika melambat secara drastis sejak 2015, tetapi hal ini lebih mencerminkan persoalan spesifik di tiga negara dengan perekonomian terbesar di wilayah itu: Nigeria, Angola, dan Afrika Selatan. Etiopia, Pantai Gading, Tanzania, Senegal, Burkina Faso, dan Rwanda diproyeksikan mencapai pertumbuhan 6 persen atau lebih tinggi lagi pada tahun ini. Di Asia, hal yang sama terjadi pada India, Myanmar, Banglades, Laos, Kamboja, dan Vietnam.
Hal ini merupakan sebuah kabar baik, tetapi membingungkan. Negara berkembang yang berhasil mencapai pertumbuhan pesat dan berkesinambungan tanpa bergantung pada kenaikan harga sumber daya alam pada umumnya mampu mencapai itu karena kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor yang ditempuhnya. Meski demikian, hanya sedikit dari negara-negara itu yang mengalami industrialisasi. Porsi manufaktur di negara berpendapatan rendah di Sub-Sahara Afrika umumnya berada di angka stagnan, di beberapa negara bahkan mengalami penurunan. Dan, meski banyak sorotan mengenai ”produk buatan India” (Make in India), yang merupakan salah satu slogan penting Perdana Menteri Narendra Modi, tak banyak indikasi yang menunjukkan terjadinya industrialisasi yang pesat di negara tersebut.
Peran Manufaktur
Manufaktur menjadi kunci penting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi bagi negara berpendapatan rendah karena tiga hal. Pertama, tidak sulit untuk mengadopsi teknologi dari luar negeri dan menciptakan lapangan kerja dengan produktivitas tinggi. Kedua, pekerjaan manufaktur tidak memerlukan keterampilan tinggi: petani dapat bertransformasi menjadi pekerja pabrik hanya dengan investasi kecil untuk pelatihan keterampilan. Ketiga, permintaan terhadap produk manufaktur tak dibatasi pendapatan dalam negeri yang rendah: produksi dapat dikembangkan tanpa batas, melalui ekspor. Namun, keadaan berubah. Banyak fakta di lapangan menunjukkan terjadinya pergeseran manufaktur, menjadi semakin skill-intensive atau menuntut keterampilan tinggipekerjanya, dalam beberapa dekade terakhir.
Seiring dengan globalisasi, semakin sulit bagi negara pendatang baru untuk memasuki dunia manufaktur secara besar-besaran dan meniru kesuksesan negara manufaktur besar di Asia. Kecuali segelintir negara eksportir, negara-negara berkembang telah mengalami deindustrialisasi secara dini. Peluang menjadikan manufaktur sebagai jembatan lompatan menuju pertumbuhan tinggi, dengan demikian, telah dirampas dari negara-negara berkembang yang terbelakang.
Model Pertumbuhan
Lalu, bagaimana menjelaskan peningkatan pertumbuhan di negara termiskin di dunia? Apakah negara ini menemukan sebuah model pertumbuhan baru? Dalam penelitian yang dilakukan baru-baru ini, Xinshen Diao dari International Food Policy Research Institute, Margaret McMillan dari Universitas Tufts, dan saya menganalisis pola pertumbuhan di antara negara yang baru-baru ini mengalami pertumbuhan tinggi. Fokus kami adalah melihat pola perubahan struktural yang dialami oleh negara-negara tersebut. Kami kemudian mendokumentasikan temuan-temuan paradoksial ini.
Pertama, perubahan struktural yang mendorong pertumbuhan merupakan bagian signifikan dari negara-negara berpenghasilan rendah, seperti Etiopia, Malawi, Senegal, dan Tanzania, dalam beberapa tahun terakhir meskipun tidak ada industrialisasi. Kaum pekerja telah berpindah dari lapangan kerja di sektor pertanian dengan tingkat produktivitas rendah ke sektor-sektor kegiatan lain yang memiliki produktivitas lebih tinggi, tetapi sebagian besar kegiatan ini pada umumnya di sektor jasa, dan bukan manufaktur.
Kedua, perubahan struktural yang pesat di negara-negara ini berlangsung dibarengi dengan pertumbuhan produktivitas yang negatif di sektor-sektor nonpertanian. Atau, dengan kata lain, meskipun bidang jasa yang menyediakan lapangan kerja baru menunjukkan produktivitas yang cukup tinggi pada awalnya, tingkat produktivitas ini akan semakin menurun seiring dengan perkembangan sektor tersebut. Pola ini berkebalikan dengan yang terjadi di Asia Timur, seperti Korea Selatan dan China, di mana perubahan struktural dan pertumbuhan produktivitas kerja di luar sektor pertanian telah memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan secara keseluruhan.
Perbedaan ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa perluasan sektor perkotaan dan modern di negara-negara yang baru-baru ini mengalami pertumbuhan tinggi didorong oleh permintaan dalam negeri dibandingkan dengan industrialisasi yang berorientasi ekspor.
Model pertumbuhan di negara-negara Afrika ini tampaknya disokong oleh dampak agregat positif permintaan yang berasal baik dari luar negeri maupun dari pertumbuhan produktivitas dalam bidang pertanian. Misalnya, di Etiopia, investasi sektor publik dalam bidang irigasi, transportasi, dan listrik telah menghasilkan peningkatan drastis dalam produktivitas pertanian dan pendapatan. Hal ini menyebabkan dorongan pertumbuhan, perubahan struktural, yang terjadi seiring dengan peningkatan permintaan yang merambah di luar sektor pertanian. Namun, produktivitas pekerja di luar sektor pertanian menurun sebagai efek samping dari menurunnya keuntungan investasi dan masuknya perusahaan yang kurang produktif.
Temuan ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan pentingnya pertumbuhan produktivitas yang pesat dalam bidang pertanian, yang umumnya merupakan sektor tradisional. Penelitian kami menunjukkan bahwa pertanian di Afrika telah memainkan peranan penting tidak hanya bagi pertumbuhan bidang itu saja, tetapi juga menjadi pendorong perubahan struktural yang meningkatkan pertumbuhan.
Diversifikasi ke produk yang tidak tradisional dan penggunaan teknik produksi baru dapat mengubah pertanian menjadi aktivitas yang kuasi-modern. Namun, terdapat batasan terhadap seberapa jauh hal ini dapat memajukan perekonomian. Hal itu, antara lain, akibat elastisitas pendapatan terhadap permintaan produk pertanian yang rendah. Arus keluar tenaga kerja dari sektor pertanian menjadi hal yang tak terelakkan dalam proses pembangunan. Tenaga kerja yang keluar dari sektor ini harus bisa diserap oleh lapangan pekerjaan modern. Dan, jika produktivitas sektor modern tidak meningkat, pertumbuhan perekonomian secara umum akan menjadi stagnan. Kontribusi yang diberikan oleh komponen perubahan struktural terbatas jika sektor modern tidak mengalami pertumbuhan produktivitas yang pesat.
Negara-negara berpendapatan rendah di Afrika dapat mempertahankan pertumbuhan produktivitas yang moderat di masa depan dengan didukung peningkatan sumber daya manusia dan tata kelola pemerintah yang stabil. Konvergensi berkelanjutan dengan tingkat pendapatan negara maju bisa dicapai. Namun, bukti menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan yang diakibatkan oleh perubahan struktural yang pesat adalah sebuah pengecualian dan mungkin tidak akan bertahan lama.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard;  Penulis Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science

KOMPAS, 24 Oktober 2017

Das Kapital

Das Kapital by Karl Marx My rating: 5 of 5 stars Karl Marx's Capital can be read as a work of economics, sociology and history. He...