Monday, December 11, 2017

Akankah Macron Berhasil?

Kemenangan Emmanuel Macron atas Marine Le Pen adalah berita baik yang ditunggu-tunggu oleh siapa pun yang menginginkan suatu masyarakat terbuka dan liberal demokratis ketimbang masyarakat yang nativis dan xenofobia. Namun, perlawanan terhadap populisme sayap kanan masih jauh dari kata selesai. Le Pen mengantongi lebih dari sepertiga suara dalam pemilu putaran kedua, meskipun selain partainya sendiri, yaitu Front Nasional, hanya ada satu partai lain—partai Nicolas Dupont-Aignan, Debout la France—yang memberikan dukungan pada pencalonan Le Pen.
Selain itu, tingkat partisipasi dalam pemilu turun drastis dibandingkan dengan pemilu presiden sebelumnya. Ini mengindikasikan banyaknya pemilih yang merasa tidak puas. Jika Macron gagal dalam lima tahun ke depan, akan terbuka peluang lebar bagi Le Pen untuk bangkit kembali, demikian pula kelompok nativis populis akan mempunyai lebih banyak pengaruh, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di belahan dunia yang lain. Sebagai seorang kandidat pada era antikemapanan ini, Macron terbantu oleh fakta bahwa dia tidak berasal dari partai politik tradisional. Namun, sebagai presiden, hal ini tak menguntungkan bagi dia. Gerakan politiknya, En Marche!, baru berjalan setahun. Dia harus mulai membangun basis mayoritas di legislatif dari nol setelah pemilu parlemen bulan depan.
Mewakili Eropa Lama
Pemikiran ekonomi Macron juga tidak mudah untuk dikarakterisasikan. Pada masa kampanye pemilu presiden, dia sering dituding tak memiliki konsep yang detail. Bagi banyak orang liberal dan ekstrem konservatif, Macron adalah seorang neoliberal, yang kebijakannya tidak jauh berbeda dengan kebijakan mainstream yang terbukti gagal di Eropa, yaitu penghematan, yang menjadikan benua tersebut berada dalam kebuntuan seperti sekarang.
Thomas Piketty, seorang ekonom Perancis, yang mendukung calon dari partai sosialis BenoÎt Hamon, menggambarkan Macron sebagai seseorang yang mewakili ”Eropa lama”. Pada kenyataannya, memang banyak program ekonomi Macron yang bernuansa neoliberal. Dia telah berjanji akan menurunkan tingkat pajak perusahaan dari 33,5 persen menjadi 25 persen, menurunkan jumlah pegawai negeri sipil sebanyak 120.000 orang, menjaga defisit fiskal pemerintah di bawah batas yang ditetapkan oleh Uni Eropa, yaitu 3 persen dari produk domestik bruto, serta meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja (istilah halus dari memudahkan perusahaan untuk memecat pekerja). Namun, dia juga berjanji untuk tetap memberikan tunjangan pensiun, dan model jaminan sosial yang dia sukai tampaknya adalah flexicurity yang diterapkan di negara-negara Skandinavia—yang merupakan kombinasi dari jaminan perlindungan dari sisi ekonomi yang tinggi dan insentif berbasis pasar. Namun, tidak ada dari hal-hal tersebut—terlebih dalam jangka pendek—yang akan mampu mengatasi tantangan utama pemerintahan Macron, yaitu penciptaan lapangan kerja.
Seperti yang ditulis oleh Martin Sandbu, lapangan kerja adalah prioritas utama pemilih Perancis dan hal ini harus menjadi prioritas utama pemerintahan baru. Sejak krisis melanda perekonomian negara di zona euro, tingkat pengangguran di Perancis tetap tinggi, yaitu pada angka 10 persen, bahkan hampir 25 persen untuk angkatan kerja di bawah usia 25 tahun. Sama sekali tidak ada bukti bahwa liberalisasi pasar tenaga kerja akan mampu mendongkrak tingkat penyerapan tenaga kerja, kecuali terjadi peningkatan agregat permintaan dalam perekonomian Perancis.
Program Stimulus
Di sinilah peran komponen lain dari program ekonomi Macron bisa memainkan peran. Dia telah mengusulkan program stimulus untuk lima tahun senilai €50 miliar euro (54,4 miliar dollar AS), yang mencakup investasi pada infrastruktur dan teknologi ramah lingkungan, serta perluasan pelatihan bagi penganggur. Namun, karena nilai program stimulus ini hanya sedikit di atas 2 persen dari produk domestik bruto Perancis setiap tahun, kecil kemungkinan program stimulus ini akan memberikan banyak dampak pada tingkat pengangguran secara umum.
Gagasan Macron yang lebih ambisius adalah membuat lompatan besar menuju integrasi fiskal zona euro, dengan satu lembaga perbendaharaan dan menteri keuangan. Menurut Macron, integrasi fiskal semacam itu akan memungkinkan dilakukannya transfer fiskal secara permanen dari negara-negara dengan perekonomian yang kuat kepada negara yang tidak diuntungkan oleh diterapkannya kebijakan moneter tunggal di zona euro.
Anggaran zona euro akan dibiayai oleh kontribusi dari penerimaan pajak negara-negara yang menerapkan sistem tersebut. Sebuah parlemen zona euro yang terpisah akan melaksanakan fungsi pengawasan dan akuntabilitas. Unifikasi fiskal ini akan memungkinkan negara seperti Perancis untuk meningkatkan belanja infrastruktur dan meningkatkan penciptaan lapangan kerja tanpa harus melanggar batas atas pagu fiskal mereka.
Integrasi fiskal yang didukung dengan integrasi politik yang lebih dalam adalah hal yang masuk akal. Setidaknya, hal itu memberikan jalan yang masuk akal terhadap permasalahan yang melanda Uni Eropa saat ini. Namun, kebijakan Macron yang terang-terangan mendukung persatuan Eropa tidak hanya menyangkut permasalahan politik atau prinsip. Hal ini juga sangat penting untuk mendukung kesuksesan program ekonominya. Tanpa adanya fleksibilitas fiskal yang lebih besar atau transfer dari negara-negara lain di zona euro, sulit bagi Perancis untuk keluar dari permasalahan pengangguran dalam waktu dekat.
Dan, hal ini membawa kita pada Jerman. Reaksi awal Angela Merkel terhadap hasil pemilu Perancis tidaklah terlalu meyakinkan. Dia memberikan selamat kepada Macron sebagai ”seseorang yang membawa harapan bagi jutaan warga masyarakat Perancis”. Namun, dia juga mengatakan bahwa dia tak akan mempertimbangkan untuk mengubah peraturan fiskal zona euro. Bahkan, kalaupun Merkel (atau pemerintahan Jerman yang baru kelak di bawah Martin Schulz) lebih terbuka untuk melakukan hal tersebut, tetap ada persoalan dengan para pemilih di Jerman. Krisis zona euro tidak digambarkan sebagai permasalahan interdependensi, tetapi sebagai permasalahan moral—masyarakat Jerman yang hemat dan pekerja keras dihadapkan pada para debitor yang boros dan curang—para politisi Jerman akan mengalami kesulitan untuk meyakinkan para pemilih guna menyetujui proyek integrasi fiskal.
Mengantisipasi reaksi dari Jerman, Macron telah memberikan bantahan: ”Anda tidak bisa mengatakan bahwa saya sangat pro-Eropa yang kuat dan globalisasi, tetapi menentang keras gagasan transfer union.” Hal itu, menurut Macron, adalah sumber terjadinya disintegrasi dan politik reaksioner: ”Tanpa adanya transfer fiskal, sama saja Anda mencegah mereka yang di pinggiran untuk berkonvergensi dan itu akan menciptakan divergensi politik ke arah ekstremisme.”
Perancis mungkin memang bukan kelompok yang terpinggirkan di Eropa, tetapi pesan Macron kepada Jerman sangat jelas: apakah Anda akan membantu saya dan kita akan membangun perserikatan yang sesungguhnya—yang mencakup perekonomian, fiskal, dan pada akhirnya persatuan politik—atau kita akan terlindas serangan dari para ekstremis.
Dalam hal ini, Macron memang benar. Demi Perancis, Eropa, dan negara-negara lain di dunia, kita harus berharap bahwa kemenangan Macron akan diikuti oleh perubahan dari pihak Jerman sendiri.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard;  Penulis Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science
KOMPAS, 17 Mei 2017
Terlambat Memberikan Kompensasi
Tampaknya sebuah konsensus baru telah muncul di antara para pemimpin dan elite pengambil kebijakan dunia mengenai bagaimana mengatasi serangan balik kubu anti globalisasi, sebuah isu yang dieksploitasi dengan baik oleh kalangan populis seperti Donald Trump. Hilang sudah keyakinan bahwa globalisasi akan mendatangkan manfaat bagi semua orang. Saat ini kalangan elite mengakui kita harus menerima kenyataan bahwa globalisasi tidak hanya menghasilkan ”pemenang” (mereka yang diuntungkan globalisasi), tetapi juga ”pecundang” (mereka yang dirugikan oleh globalisasi).
Respons yang benar adalah tidak dengan membalikkan arah globalisasi, tetapi memastikan bahwa orang yang dirugikan mendapat kompensasi. Konsensus baru ini diutarakan oleh Nouriel Roubini: penolakan terhadap globalisasi ”dapat diredam dan dikelola melalui kebijakan yang memberikan kompensasi terhadap kerugian dan biaya yang harus ditanggung para pekerja”. ”Hanya dengan menerapkan kebijakan seperti itulah kelompok yang dirugikan dalam globalisasi akan merasa bahwa mereka juga pada akhirnya akan diuntungkan.”
Argumen ini terdengar sangat masuk akal, baik secara ekonomi maupun politis. Ekonom tahu betul bahwa liberalisasi perdagangan akan menyebabkan redistribusi pendapatan dan kerugian absolut bagi kelompok masyarakat tertentu meski secara keseluruhan kue ekonomi negara tersebut membesar. Oleh karena itu, perjanjian perdagangan hanya dapat meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa jika orang yang diuntungkan globalisasi bisa mengompensasi mereka yang dirugikan. Pemberian kompensasi juga menjamin adanya dukungan terhadap keterbukaan perdagangan dari konstituen yang lebih luas dan ini merupakan hal yang baik dalam sudut pandang politik.
Negara Kesejahteraan
Sebelum munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state), ketegangan antara keterbukaan dan redistribusi diselesaikan melalui emigrasi pekerja dalam skala besar atau dengan menerapkan kembali kebijakan proteksi dalam perdagangan, khususnya di bidang pertanian. Munculnya negara kesejahteraan, hambatan ini kian mengecil sehingga liberalisasi perdagangan dapat dilakukan dengan skala lebih besar.
Dewasa ini, negara maju yang paling terpapar perekonomian global adalah juga negara yang paling ekstensif menerapkan program jaring pengaman dan asuransi sosial atau disebut negara kesejahteraan. Penelitian di Eropa menunjukkan, negara yang mengalami kekalahan dalam globalisasi cenderung menerapkan program sosial yang aktif dan intervensi di pasar tenaga kerja.
Jika penolakan terhadap perdagangan bebas di Eropa belum begitu terlihat, hal ini lebih karena perlindungan sosial masih sangat kuat meski kian melonggar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara kesejahteraan dan perekonomian terbuka adalah dua sisi dari koin yang sama di hampir sepanjang abad ke-20.
Dibandingkan dengan kebanyakan negara Eropa, Amerika Serikat (AS) adalah pemain baru globalisasi. Hingga baru-baru ini pasar domestik AS yang besar dan wilayah geografisnya yang cukup terisolasi menerapkan kebijakan proteksi yang relatif ketat dari impor, khususnya impor dari negara berupah buruh murah. Secara tradisional, AS termasuk dalam negara kesejahteraan yang lemah.
Ketika AS mulai membuka diri terhadap impor dari Meksiko, China, dan negara berkembang lainnya pada 1980-an, banyak yang mengira bahwa mereka akan menjadi seperti Eropa. Namun, karena pengaruh paham Reaganite dan ide fundamentalisme pasar, AS justru berkembang ke arah yang berlawanan dengan Eropa.
Seperti dikatakan Larry Mishel, Presiden Economic Policy Institute, ”Mengabaikan kelompok yang dirugikan oleh globalisasi adalah sebuah tindakan yang disengaja.” Pada 1981, bantuan penyesuaian perdagangan (TAA) adalah salah satu program yang diserang oleh Reagan dengan cara memotong pembayaran kompensasi mingguan program tersebut.
Hal itu berlanjut pada pemerintahan berikutnya di bawah Partai Demokrat. Mengutip Mishel, ”Jika para pendukung perdagangan bebas betul peduli kepada pekerja, mereka akan mendukung serangkaian kebijakan yang mendukung pertumbuhan gaji yang kuat seperti menumbuhkan lapangan kerja, perundingan bersama, standar kerja yang tinggi, pertumbuhan upah minimum, dan lainnya.” Dan hal ini bisa dilakukan ”sebelum memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara dengan buruh murah”.
Membalik Haluan?
Dapatkah AS mengubah arah dan mengikuti pemahaman umum yang belakangan ini muncul? Tahun 2007, ilmuwan politik Ken Scheve dan ekonom Matt Slaughter menyerukan perlunya ”sebuah Kesepakatan Baru (New Deal) untuk globalisasi” di AS, orang mungkin akan mengaitkan ”kerja sama dengan negara lain dengan redistribusi pendapatan yang substansial”. Di AS, menurut mereka, hal itu berarti memberlakukan sistem pajak federal yang jauh lebih progresif. Slaughter adalah mantan pejabat di masa pemerintahan Presiden George W Bush dari Partai Republik. Ini adalah sebuah indikasi betapa terpolarisasinya iklim politik di AS. Terasa sulit untuk membayangkan proposal semacam itu bisa muncul dari seorang anggota Partai Republik pada saat ini.
Upaya Trump dan sekutunya di Kongres untuk menghapuskan program asuransi kesehatan yang merupakan program andalan Presiden Barack Obama adalah refleksi komitmen dari Partai Republik untuk mengurangi, bukan memperluas, perlindungan sosial. Konsensus, terkait perlunya pemberian kompensasi kepada kelompok yang dirugikan oleh globalisasi, yang ada dewasa ini menganggap bahwa kelompok yang diuntungkan dalam globalisasi digerakkan oleh kepentingan pribadi. Bahwa membeli dari orang yang dirugikan oleh globalisasi adalah hal yang penting untuk mempertahankan keterbukaan ekonomi.
Pemerintahan Trump mengungkapkan sebuah persepsi alternatif di mana globalisasi, setidaknya dalam bentuk yang ada sekarang, cenderung mendukung kelompok yang memiliki keterampilan dan aset yang bisa mengambil manfaat dari keterbukaan perdagangan dan kian merongrong apa pun pengaruh yang dimiliki oleh kelompok yang dirugikan oleh globalisasi. Trump telah menunjukkan bagaimana ketidakpuasan terhadap globalisasi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mencapai agenda yang menjadi kepentingan kaum elite yang tak ada hubungannya sama sekali dengan perdagangan.
Politik kompensasi ini selalu menjadi subyek permasalahan yang oleh para ekonom disebut dengan ”inkonsistensi waktu”. Sebelum sebuah kebijakan baru diberlakukan, misalnya saja perjanjian dagang, maka penerima manfaat perjanjian cenderung menjanjikan kompensasi. Namun, setelah kebijakan ini berjalan, mereka tak lagi merasa berkepentingan untuk menindaklanjuti. Hal ini bisa saja mengingat ongkos mahal yang harus dibayar untuk membalikkan keadaan atau karena kini perimbangan kekuasaan berpihak kepada mereka.
Waktu yang tepat untuk memberikan kompensasi sudah terbuka dan kita sia-siakan. Kalaupun kompensasi adalah sebuah pilihan yang mungkin diambil dua dekade lalu, hal ini tidak lagi menjadi respons praktis terhadap dampak buruk globalisasi. Untuk bisa merangkul mereka yang dirugikan oleh globalisasi, kita perlu mempertimbangkan mengubah aturan globalisasi yang ada.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard;  Penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”

KOMPAS, 28 April 2017

No comments:

Das Kapital

Das Kapital by Karl Marx My rating: 5 of 5 stars Karl Marx's Capital can be read as a work of economics, sociology and history. He...