Showing posts with label Hubungan Internasional. Show all posts
Showing posts with label Hubungan Internasional. Show all posts

Monday, December 11, 2017

Pengelak Tanggung Jawab Nasional

Oktober lalu, Perdana Menteri Inggris Theresa May mengejutkan banyak orang ketika dia memperolok ide kewarganegaraan global. ”Jika Anda berpikir bahwa Anda adalah warga negara global, maka Anda bukan warga negara mana pun,” ujar May. Pernyataan May disambut cercaan dan kekhawatiran oleh media massa finansial dan komentator liberal. ”Bentuk kewarganegaraan yang paling bermanfaat saat ini adalah yang didedikasikan bukan hanya untuk kemakmuran sekelompok kecil orang, melainkan untuk seisi planet Bumi,” komentar seorang analis.
The Economist menyebut pernyataan itu sebagai perubahan yang tak liberal. Seorang akademisi menuduh May menolak nilai kebebasan dan kesetaraan serta mengecam pidato May mirip dengan cara pandang anti semitis tahun 1933.
Saya tahu warga negara global itu apa. Saya selalu melihatnya saat becermin. Saya tumbuh besar di satu negara, kini tinggal di negara yang berbeda, dan saya punya paspor dari kedua negara itu. Saya menulis tentang ekonomi global dan pekerjaan saya membawa saya ke tempat yang sangat jauh. Saya menghabiskan lebih banyak waktu bepergian ke negara lain dibandingkan dengan di dua negara di mana saya merupakan warga negaranya.
Kebanyakan dari teman kerja saya juga terlahir di negara lain. Saya membaca berita internasional dan jarang membaca koran lokal. Saat membicarakan olahraga, saya tidak tahu bagaimana perkembangan tim dari negara saya, tetapi saya adalah penggemar sepak bola dari negara lain.
Pernyataan PM May mengejutkan saya. Terdapat kebenaran dari pernyataan itu. Sebuah ketidakpedulian yang menggambarkan bagaimana kita, elite keuangan, politik, dan teknokrat menjauhkan diri dari masyarakat sehingga mereka tidak memercayai kita.
Makna Warga Negara
Kita bisa memulai pembahasan ini dari arti kata ”warga negara”. Kamus bahasa Inggris Oxford mendefinisikan warga negara sebagai ”orang yang diakui secara hukum sebagai warga oleh negara atau persemakmuran”. Untuk menjadi warga negara, diperlukan pengakuan dari institusi yang memiliki kewenangan, yaitu negara atau persemakmuran. Negara memiliki kewenangan itu, tetapi dunia tidak. Pendukung konsep kewarganegaraan global mengakui tak bermaksud mengartikan konsep ini secara harfiah. Yang mereka maksud adalah kewarganegaraan secara figuratif. Mereka beranggapan revolusi teknologi dalam globalisasi komunikasi dan ekonomi telah menghubungkan masyarakat dari banyak negara.
Dunia menyempit dan kita harus memikirkan dampak global dari tindakan yang kita ambil. Selain itu, kita memiliki beberapa identitas yang saling bersinggungan. Kewarganegaraan global tak harus dan tidak perlu menghalangi tanggung jawab keagamaan dan nasional yang diemban oleh seseorang.
Apa yang dilakukan oleh warga negara global? Kewarganegaraan secara harfiah mencakup interaksi dan deliberasi dengan warga negara lain dalam komunitas politis. Ini berarti menjadikan pembuat keputusan bertanggung jawab atas keputusan mereka dan berpartisipasi dalam politik untuk memengaruhi kebijakan. Dalam prosesnya, ide yang ada mengenai hal yang penting bagi masyarakat dan cara untuk mencapainya akan diuji dengan ide lain dari warga negara lain.
Warga negara global tak memiliki hak dan tanggung jawab di atas. Tiada pemimpin yang perlu mempertanggungjawabkan tindakan dan memberikan pembenaran terhadap tindakan mereka. Skenario terbaik adalah warga negara global akan membentuk komunitas dengan orang yang sepemikiran dari negara lain.
Tentu warga negara global memiliki akses pada sistem politik dalam negeri untuk mendorong idenya. Namun, wakil rakyat dipilih untuk melakukan hal yang menjadi kepentingan konstituennya. Pemerintah bertugas menjaga kepentingan nasional. Ini tak menutup kemungkinan konstituen bisa bertindak untuk kepentingan bersama dan mempertimbangkan dampak kebijakan yang mereka ambil terhadap dampaknya bagi negara lain.
Apa yang terjadi jika kepentingan warga lokal bertentangan dengan kepentingan orang asing? Ini menimbulkan rasa tidak suka kepada kaum elite perkotaan.
Kepentingan Global
Warga negara global khawatir kepentingan global bisa dirugikan jika pemerintah mulai bertindak sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kekhawatiran ini muncul sehubungan permasalahan global, misalnya perubahan iklim dan pandemik. Namun, dari segi ekonomi–pajak, perdagangan, kebijakan, kestabilan keuangan, manajemen fiskal, dan moneter–apa yang baik dalam perspektif global juga baik dari perspektif domestik. Ekonomi mengajarkan, negara harus mempertahankan keterbukaan ekonomi, peraturan yang baik dan bijaksana, serta kebijakan kerja penuh waktu, tidak hanya karena ini baik untuk negara lain, tetapi bisa meningkatkan perekonomian domestik.
Kegagalan kebijakan, misalnya proteksionisme, mungkin terjadi. Namun, hal ini mencerminkan pengaturan domestik yang buruk, bukan kurangnya rasa kosmopolitanisme. Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan pembuat keputusan untuk meyakinkan konstituen mereka akan manfaat dari kebijakan atau dari ketidakinginan mereka untuk membuat penyesuaian untuk memastikan bahwa semua orang mendapatkan keuntungan.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard; Penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”

KOMPAS, 14 Februari 2017

Sejauh Mana Integrasi Eropa Ditoleransi

Bulan ini Uni Eropa merayakan HUT Ke-60 Perjanjian Roma yang merupakan landasan terbentuknya Komunitas Ekonomi Eropa. Namun, hal ini bukanlah satu-satunya alasan Uni Eropa melakukan perayaan. Setelah berabad-abad benua ini mengalami peperangan, ketidakstabilan, dan pembantaian massal, Eropa akhirnya berada dalam keadaan damai dan demokratis. Uni Eropa telah berhasil menjadikan 11 negara bekas Uni Soviet tergabung dalam organisasi mereka dan sukses menuntun proses transisi negara tersebut dari masa-masa pemerintahan komunis. Saat kesenjangan melanda banyak negara, negara anggota Uni Eropa mencatat tingkat kesenjangan pendapatan terendah di dunia.
Lima Jalur Masa Depan
Namun, semua hal itu hanyalah prestasi masa lalu. Saat ini, Uni Eropa dalam krisis eksistensial mendalam dan masa depannya dipertanyakan. Gejalanya bisa dilihat: peristiwa Brexit, tingginya tingkat pengangguran di kalangan usia muda di Yunani dan Spanyol, utang dan stagnasi perekonomian di Italia, bangkitnya gerakan populis, serta pukulan berat terkait isu imigran dan mata uang euro. Semua itu kian mempertegas betapa mendesaknya dilakukan perombakan terhadap kelembagaan di Uni Eropa.
Oleh karena itu, peluncuran dokumen resmi tentang masa depan Eropa oleh Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker menjadi momentum yang sangat pas. Juncker mengurai lima jalur yang bisa ditempuh Uni Eropa: meneruskan agenda yang ada, fokus terhadap blok perdagangan, membolehkan sejumlah negara melakukan integrasi lebih cepat daripada negara lain, mempertajam agenda, serta secara ambisius mendorong terjadinya keseragaman dan integrasi penuh negara anggota.
Sulit untuk tidak bersimpati kepada Juncker. Tak banyak yang bisa dilakukan Juncker pada saat para politisi Eropa disibukkan oleh pergulatan di dalam negeri, sementara institusi Uni Eropa di Brussels sendiri juga menjadi sasaran ketidakpuasan publik. Namun, tetap saja laporan Juncker tersebut mengecewakan. Laporan itu melupakan tantangan utama yang harus dihadapi dan diatasi Uni Eropa.
Jika menghendaki demokrasi Eropa kembali sehat, integrasi ekonomi dan politik tidak boleh dibiarkan jalan sendiri-sendiri. Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan, mempercepat integrasi politik agar bisa menyusul integrasi ekonomi atau memperlambat integrasi ekonomi. Selama keputusan untuk memilih satu dari dua hal tersebut belum dilakukan, Uni Eropa akan terus dalam keadaan disfungsional.
Ketika dihadapkan pada kedua pilihan itu, negara anggota Uni Eropa cenderung berada pada posisi berbeda-beda sehubungan dengan integrasi ekonomi dan politik. Ini berarti bahwa Eropa harus mempunyai fleksibilitas dan kondisi institusi yang dapat mengakomodasi perbedaan ini.
Sejak awal, Eropa dibangun berdasarkan argumentasi fungsional di mana integrasi politik akan mengikuti integrasi ekonomi. Laporan resmi dari Juncker dibuka dengan kutipan yang dikemukakan pendiri Komunitas Ekonomi Eropa (dan Perdana Menteri Perancis) pada 1950 Robert Schuman: ”Eropa tidak akan terbentuk sekali jadi atau berdasarkan satu rencana tunggal. Eropa akan dibangun melalui pencapaian konkret, dengan pertama-tama menciptakan solidaritas de facto.”
Dengan membangun mekanisme kerja sama ekonomi lebih dulu, itu akan menjadi landasan bagi terbentuknya kelembagaan politik bersama. Pada awalnya pendekatan ini cukup berhasil. Pendekatan ini memungkinkan integrasi ekonomi selangkah lebih maju dibandingkan dengan integrasi politik kendati selang antara satu dan lainnya tak terlalu jauh.
Pada 1980-an, Uni Eropa membuat lompatan menuju kondisi yang belum pernah dialami sebelumnya. Uni Eropa mengadopsi sebuah agenda pasar tunggal yang ambisius dengan tujuan menyatukan perekonomian Eropa, memangkas kebijakan nasional yang dirasa menghambat pergerakan bebas barang, jasa, orang, dan modal. Euro yang ditetapkan sebagai mata uang tunggal negara anggota Uni Eropa adalah tahapan logis selanjutnya dari agenda tersebut.
Ketidakseimbangan
Agenda baru Uni Eropa didorong beberapa faktor. Banyak ekonom dan teknokrat beranggapan bahwa pemerintahan di Eropa terlalu intervensionis. Mereka meyakini integrasi ekonomi mendalam dan mata uang tunggal akan mampu menjadikan negara anggota lebih disiplin. Menurut sudut pandang ini, ketidakseimbangan antara integrasi ekonomi dan politik dalam proses integrasi adalah bagian dari proses wajar dan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Namun, banyak politisi yang menyadari bahwa ketidakseimbangan ini menyimpan masalah. Namun, mereka berasumsi bahwa fungsionalisme akan menyelesaikan persoalan yang mungkin timbul: suatu institusi quasi-federal yang diperlukan untuk mendukung blok perdagangan akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
Negara besar di Eropa mempunyai peranan penting dalam hal ini. Perancis berpendapat bahwa memindahkan otoritas ekonomi kepada birokrat di Brussels akan meningkatkan kekuatan nasional dan wibawa Perancis. Jerman, yang ingin mendapatkan dukungan Perancis terkait reunifikasi Jerman, juga menyetujui hal tersebut.
Ada satu alternatif lain. Eropa bisa saja membiarkan suatu model sosial yang seragam untuk berkembang bersamaan dengan integrasi ekonomi. Model ini mensyaratkan bukan integrasi pasar, melainkan integrasi kebijakan sosial, institusi pasar tenaga kerja, dan pengaturan fiskal. Keragaman model sosial di Eropa dan sulitnya mencapai kesepakatan terkait peraturan bersama akan menjadi semacam rem alamiah terhadap kecepatan dan cakupan integrasi.
Bukannya menjadi sesuatu yang merugikan, hal itu justru menjadi semacam mekanisme korektif yang diperlukan terkait kecepatan dan cakupan integrasi yang diharapkan. Hal ini mungkin akan berujung pada keanggotaan Uni Eropa yang lebih kecil, lebih terintegrasi, atau bisa saja berujung pada jumlah anggota yang sama dengan yang ada sekarang, tetapi lebih tidak ambisius dalam hal ekonominya.
Saat ini mungkin sudah terlambat untuk mencoba mengintegrasikan fiskal dan politik Uni Eropa. Tak sampai satu dari setiap lima warga Eropa yang ingin menyerahkan kekuasaan berpindah dari pemerintahan negara kepada otoritas di Brussels. Mereka yang optimistis mungkin berpendapat bahwa ini bukan karena ketidaksukaan kepada Brussels ataupun Strasbourg, melainkan lebih karena masyarakat mengasosiasikan integrasi Eropa pada teknokrat yang terlalu fokus pada blok perdagangan dan tidak ada model alternatif. Mungkin para pemimpin baru dan formasi politik yang ada dapat membuat model alternatif dan meningkatkan ketertarikan terhadap proyek Eropa yang telah direformasi. Orang yang pesimistis berharap bahwa di suatu tempat di Berlin atau Paris, di sebuah sudut yang gelap, para ekonom dan pengacara diam-diam mempersiapkan rencana cadangan jika persekutuan ekonomi yang lebih longgar tak dapat lagi dicegah.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard; Penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”

KOMPAS, 23 Maret 2017

Akankah Macron Berhasil?

Kemenangan Emmanuel Macron atas Marine Le Pen adalah berita baik yang ditunggu-tunggu oleh siapa pun yang menginginkan suatu masyarakat terbuka dan liberal demokratis ketimbang masyarakat yang nativis dan xenofobia. Namun, perlawanan terhadap populisme sayap kanan masih jauh dari kata selesai. Le Pen mengantongi lebih dari sepertiga suara dalam pemilu putaran kedua, meskipun selain partainya sendiri, yaitu Front Nasional, hanya ada satu partai lain—partai Nicolas Dupont-Aignan, Debout la France—yang memberikan dukungan pada pencalonan Le Pen.
Selain itu, tingkat partisipasi dalam pemilu turun drastis dibandingkan dengan pemilu presiden sebelumnya. Ini mengindikasikan banyaknya pemilih yang merasa tidak puas. Jika Macron gagal dalam lima tahun ke depan, akan terbuka peluang lebar bagi Le Pen untuk bangkit kembali, demikian pula kelompok nativis populis akan mempunyai lebih banyak pengaruh, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di belahan dunia yang lain. Sebagai seorang kandidat pada era antikemapanan ini, Macron terbantu oleh fakta bahwa dia tidak berasal dari partai politik tradisional. Namun, sebagai presiden, hal ini tak menguntungkan bagi dia. Gerakan politiknya, En Marche!, baru berjalan setahun. Dia harus mulai membangun basis mayoritas di legislatif dari nol setelah pemilu parlemen bulan depan.
Mewakili Eropa Lama
Pemikiran ekonomi Macron juga tidak mudah untuk dikarakterisasikan. Pada masa kampanye pemilu presiden, dia sering dituding tak memiliki konsep yang detail. Bagi banyak orang liberal dan ekstrem konservatif, Macron adalah seorang neoliberal, yang kebijakannya tidak jauh berbeda dengan kebijakan mainstream yang terbukti gagal di Eropa, yaitu penghematan, yang menjadikan benua tersebut berada dalam kebuntuan seperti sekarang.
Thomas Piketty, seorang ekonom Perancis, yang mendukung calon dari partai sosialis BenoÎt Hamon, menggambarkan Macron sebagai seseorang yang mewakili ”Eropa lama”. Pada kenyataannya, memang banyak program ekonomi Macron yang bernuansa neoliberal. Dia telah berjanji akan menurunkan tingkat pajak perusahaan dari 33,5 persen menjadi 25 persen, menurunkan jumlah pegawai negeri sipil sebanyak 120.000 orang, menjaga defisit fiskal pemerintah di bawah batas yang ditetapkan oleh Uni Eropa, yaitu 3 persen dari produk domestik bruto, serta meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja (istilah halus dari memudahkan perusahaan untuk memecat pekerja). Namun, dia juga berjanji untuk tetap memberikan tunjangan pensiun, dan model jaminan sosial yang dia sukai tampaknya adalah flexicurity yang diterapkan di negara-negara Skandinavia—yang merupakan kombinasi dari jaminan perlindungan dari sisi ekonomi yang tinggi dan insentif berbasis pasar. Namun, tidak ada dari hal-hal tersebut—terlebih dalam jangka pendek—yang akan mampu mengatasi tantangan utama pemerintahan Macron, yaitu penciptaan lapangan kerja.
Seperti yang ditulis oleh Martin Sandbu, lapangan kerja adalah prioritas utama pemilih Perancis dan hal ini harus menjadi prioritas utama pemerintahan baru. Sejak krisis melanda perekonomian negara di zona euro, tingkat pengangguran di Perancis tetap tinggi, yaitu pada angka 10 persen, bahkan hampir 25 persen untuk angkatan kerja di bawah usia 25 tahun. Sama sekali tidak ada bukti bahwa liberalisasi pasar tenaga kerja akan mampu mendongkrak tingkat penyerapan tenaga kerja, kecuali terjadi peningkatan agregat permintaan dalam perekonomian Perancis.
Program Stimulus
Di sinilah peran komponen lain dari program ekonomi Macron bisa memainkan peran. Dia telah mengusulkan program stimulus untuk lima tahun senilai €50 miliar euro (54,4 miliar dollar AS), yang mencakup investasi pada infrastruktur dan teknologi ramah lingkungan, serta perluasan pelatihan bagi penganggur. Namun, karena nilai program stimulus ini hanya sedikit di atas 2 persen dari produk domestik bruto Perancis setiap tahun, kecil kemungkinan program stimulus ini akan memberikan banyak dampak pada tingkat pengangguran secara umum.
Gagasan Macron yang lebih ambisius adalah membuat lompatan besar menuju integrasi fiskal zona euro, dengan satu lembaga perbendaharaan dan menteri keuangan. Menurut Macron, integrasi fiskal semacam itu akan memungkinkan dilakukannya transfer fiskal secara permanen dari negara-negara dengan perekonomian yang kuat kepada negara yang tidak diuntungkan oleh diterapkannya kebijakan moneter tunggal di zona euro.
Anggaran zona euro akan dibiayai oleh kontribusi dari penerimaan pajak negara-negara yang menerapkan sistem tersebut. Sebuah parlemen zona euro yang terpisah akan melaksanakan fungsi pengawasan dan akuntabilitas. Unifikasi fiskal ini akan memungkinkan negara seperti Perancis untuk meningkatkan belanja infrastruktur dan meningkatkan penciptaan lapangan kerja tanpa harus melanggar batas atas pagu fiskal mereka.
Integrasi fiskal yang didukung dengan integrasi politik yang lebih dalam adalah hal yang masuk akal. Setidaknya, hal itu memberikan jalan yang masuk akal terhadap permasalahan yang melanda Uni Eropa saat ini. Namun, kebijakan Macron yang terang-terangan mendukung persatuan Eropa tidak hanya menyangkut permasalahan politik atau prinsip. Hal ini juga sangat penting untuk mendukung kesuksesan program ekonominya. Tanpa adanya fleksibilitas fiskal yang lebih besar atau transfer dari negara-negara lain di zona euro, sulit bagi Perancis untuk keluar dari permasalahan pengangguran dalam waktu dekat.
Dan, hal ini membawa kita pada Jerman. Reaksi awal Angela Merkel terhadap hasil pemilu Perancis tidaklah terlalu meyakinkan. Dia memberikan selamat kepada Macron sebagai ”seseorang yang membawa harapan bagi jutaan warga masyarakat Perancis”. Namun, dia juga mengatakan bahwa dia tak akan mempertimbangkan untuk mengubah peraturan fiskal zona euro. Bahkan, kalaupun Merkel (atau pemerintahan Jerman yang baru kelak di bawah Martin Schulz) lebih terbuka untuk melakukan hal tersebut, tetap ada persoalan dengan para pemilih di Jerman. Krisis zona euro tidak digambarkan sebagai permasalahan interdependensi, tetapi sebagai permasalahan moral—masyarakat Jerman yang hemat dan pekerja keras dihadapkan pada para debitor yang boros dan curang—para politisi Jerman akan mengalami kesulitan untuk meyakinkan para pemilih guna menyetujui proyek integrasi fiskal.
Mengantisipasi reaksi dari Jerman, Macron telah memberikan bantahan: ”Anda tidak bisa mengatakan bahwa saya sangat pro-Eropa yang kuat dan globalisasi, tetapi menentang keras gagasan transfer union.” Hal itu, menurut Macron, adalah sumber terjadinya disintegrasi dan politik reaksioner: ”Tanpa adanya transfer fiskal, sama saja Anda mencegah mereka yang di pinggiran untuk berkonvergensi dan itu akan menciptakan divergensi politik ke arah ekstremisme.”
Perancis mungkin memang bukan kelompok yang terpinggirkan di Eropa, tetapi pesan Macron kepada Jerman sangat jelas: apakah Anda akan membantu saya dan kita akan membangun perserikatan yang sesungguhnya—yang mencakup perekonomian, fiskal, dan pada akhirnya persatuan politik—atau kita akan terlindas serangan dari para ekstremis.
Dalam hal ini, Macron memang benar. Demi Perancis, Eropa, dan negara-negara lain di dunia, kita harus berharap bahwa kemenangan Macron akan diikuti oleh perubahan dari pihak Jerman sendiri.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard;  Penulis Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science
KOMPAS, 17 Mei 2017
Terlambat Memberikan Kompensasi
Tampaknya sebuah konsensus baru telah muncul di antara para pemimpin dan elite pengambil kebijakan dunia mengenai bagaimana mengatasi serangan balik kubu anti globalisasi, sebuah isu yang dieksploitasi dengan baik oleh kalangan populis seperti Donald Trump. Hilang sudah keyakinan bahwa globalisasi akan mendatangkan manfaat bagi semua orang. Saat ini kalangan elite mengakui kita harus menerima kenyataan bahwa globalisasi tidak hanya menghasilkan ”pemenang” (mereka yang diuntungkan globalisasi), tetapi juga ”pecundang” (mereka yang dirugikan oleh globalisasi).
Respons yang benar adalah tidak dengan membalikkan arah globalisasi, tetapi memastikan bahwa orang yang dirugikan mendapat kompensasi. Konsensus baru ini diutarakan oleh Nouriel Roubini: penolakan terhadap globalisasi ”dapat diredam dan dikelola melalui kebijakan yang memberikan kompensasi terhadap kerugian dan biaya yang harus ditanggung para pekerja”. ”Hanya dengan menerapkan kebijakan seperti itulah kelompok yang dirugikan dalam globalisasi akan merasa bahwa mereka juga pada akhirnya akan diuntungkan.”
Argumen ini terdengar sangat masuk akal, baik secara ekonomi maupun politis. Ekonom tahu betul bahwa liberalisasi perdagangan akan menyebabkan redistribusi pendapatan dan kerugian absolut bagi kelompok masyarakat tertentu meski secara keseluruhan kue ekonomi negara tersebut membesar. Oleh karena itu, perjanjian perdagangan hanya dapat meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa jika orang yang diuntungkan globalisasi bisa mengompensasi mereka yang dirugikan. Pemberian kompensasi juga menjamin adanya dukungan terhadap keterbukaan perdagangan dari konstituen yang lebih luas dan ini merupakan hal yang baik dalam sudut pandang politik.
Negara Kesejahteraan
Sebelum munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state), ketegangan antara keterbukaan dan redistribusi diselesaikan melalui emigrasi pekerja dalam skala besar atau dengan menerapkan kembali kebijakan proteksi dalam perdagangan, khususnya di bidang pertanian. Munculnya negara kesejahteraan, hambatan ini kian mengecil sehingga liberalisasi perdagangan dapat dilakukan dengan skala lebih besar.
Dewasa ini, negara maju yang paling terpapar perekonomian global adalah juga negara yang paling ekstensif menerapkan program jaring pengaman dan asuransi sosial atau disebut negara kesejahteraan. Penelitian di Eropa menunjukkan, negara yang mengalami kekalahan dalam globalisasi cenderung menerapkan program sosial yang aktif dan intervensi di pasar tenaga kerja.
Jika penolakan terhadap perdagangan bebas di Eropa belum begitu terlihat, hal ini lebih karena perlindungan sosial masih sangat kuat meski kian melonggar dalam beberapa tahun terakhir. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara kesejahteraan dan perekonomian terbuka adalah dua sisi dari koin yang sama di hampir sepanjang abad ke-20.
Dibandingkan dengan kebanyakan negara Eropa, Amerika Serikat (AS) adalah pemain baru globalisasi. Hingga baru-baru ini pasar domestik AS yang besar dan wilayah geografisnya yang cukup terisolasi menerapkan kebijakan proteksi yang relatif ketat dari impor, khususnya impor dari negara berupah buruh murah. Secara tradisional, AS termasuk dalam negara kesejahteraan yang lemah.
Ketika AS mulai membuka diri terhadap impor dari Meksiko, China, dan negara berkembang lainnya pada 1980-an, banyak yang mengira bahwa mereka akan menjadi seperti Eropa. Namun, karena pengaruh paham Reaganite dan ide fundamentalisme pasar, AS justru berkembang ke arah yang berlawanan dengan Eropa.
Seperti dikatakan Larry Mishel, Presiden Economic Policy Institute, ”Mengabaikan kelompok yang dirugikan oleh globalisasi adalah sebuah tindakan yang disengaja.” Pada 1981, bantuan penyesuaian perdagangan (TAA) adalah salah satu program yang diserang oleh Reagan dengan cara memotong pembayaran kompensasi mingguan program tersebut.
Hal itu berlanjut pada pemerintahan berikutnya di bawah Partai Demokrat. Mengutip Mishel, ”Jika para pendukung perdagangan bebas betul peduli kepada pekerja, mereka akan mendukung serangkaian kebijakan yang mendukung pertumbuhan gaji yang kuat seperti menumbuhkan lapangan kerja, perundingan bersama, standar kerja yang tinggi, pertumbuhan upah minimum, dan lainnya.” Dan hal ini bisa dilakukan ”sebelum memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara dengan buruh murah”.
Membalik Haluan?
Dapatkah AS mengubah arah dan mengikuti pemahaman umum yang belakangan ini muncul? Tahun 2007, ilmuwan politik Ken Scheve dan ekonom Matt Slaughter menyerukan perlunya ”sebuah Kesepakatan Baru (New Deal) untuk globalisasi” di AS, orang mungkin akan mengaitkan ”kerja sama dengan negara lain dengan redistribusi pendapatan yang substansial”. Di AS, menurut mereka, hal itu berarti memberlakukan sistem pajak federal yang jauh lebih progresif. Slaughter adalah mantan pejabat di masa pemerintahan Presiden George W Bush dari Partai Republik. Ini adalah sebuah indikasi betapa terpolarisasinya iklim politik di AS. Terasa sulit untuk membayangkan proposal semacam itu bisa muncul dari seorang anggota Partai Republik pada saat ini.
Upaya Trump dan sekutunya di Kongres untuk menghapuskan program asuransi kesehatan yang merupakan program andalan Presiden Barack Obama adalah refleksi komitmen dari Partai Republik untuk mengurangi, bukan memperluas, perlindungan sosial. Konsensus, terkait perlunya pemberian kompensasi kepada kelompok yang dirugikan oleh globalisasi, yang ada dewasa ini menganggap bahwa kelompok yang diuntungkan dalam globalisasi digerakkan oleh kepentingan pribadi. Bahwa membeli dari orang yang dirugikan oleh globalisasi adalah hal yang penting untuk mempertahankan keterbukaan ekonomi.
Pemerintahan Trump mengungkapkan sebuah persepsi alternatif di mana globalisasi, setidaknya dalam bentuk yang ada sekarang, cenderung mendukung kelompok yang memiliki keterampilan dan aset yang bisa mengambil manfaat dari keterbukaan perdagangan dan kian merongrong apa pun pengaruh yang dimiliki oleh kelompok yang dirugikan oleh globalisasi. Trump telah menunjukkan bagaimana ketidakpuasan terhadap globalisasi dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mencapai agenda yang menjadi kepentingan kaum elite yang tak ada hubungannya sama sekali dengan perdagangan.
Politik kompensasi ini selalu menjadi subyek permasalahan yang oleh para ekonom disebut dengan ”inkonsistensi waktu”. Sebelum sebuah kebijakan baru diberlakukan, misalnya saja perjanjian dagang, maka penerima manfaat perjanjian cenderung menjanjikan kompensasi. Namun, setelah kebijakan ini berjalan, mereka tak lagi merasa berkepentingan untuk menindaklanjuti. Hal ini bisa saja mengingat ongkos mahal yang harus dibayar untuk membalikkan keadaan atau karena kini perimbangan kekuasaan berpihak kepada mereka.
Waktu yang tepat untuk memberikan kompensasi sudah terbuka dan kita sia-siakan. Kalaupun kompensasi adalah sebuah pilihan yang mungkin diambil dua dekade lalu, hal ini tidak lagi menjadi respons praktis terhadap dampak buruk globalisasi. Untuk bisa merangkul mereka yang dirugikan oleh globalisasi, kita perlu mempertimbangkan mengubah aturan globalisasi yang ada.
Dani Rodrik, Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard;  Penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”

KOMPAS, 28 April 2017

Sunday, December 10, 2017

Adu Cepat Laju Infrastruktur di 2017

Pada awal tahun ini, ada baiknya kita mengamati perkembangan keterhubungan antar negara alias konektivitas fisik lintas batas. Pada awal 1990-an, kita mengamati meningkatnya kemudahan perpindahan uang dan informasi lintas batas sejalan dengan konektivitas di dunia maya. Adapun tahun 2017 ini yang akan meningkat adalah konektivitas fisik lintas batas yang menciptakan jalur-jalur baru perpindahan barang dan manusia. Sejak 2015, sejumlah proyek infrastruktur berkembang pesat di wilayah darat bahkan terjadi kombinasi pengembangan sejumlah wilayah tak berpantai dengan pelabuhan-pelabuhan baru. Tampaknya istilah ”kutukan daerah tak berpantai” segera berakhir.
Indonesia harus memastikan konektivitas di laut kita tidak kalah saing dengan proyek-proyek konektivitas yang baru tersebut. Setidaknya ada empat pemain penting dalam meningkatnya konektivitas baru ini: China, India, Rusia, dan Iran. Keempat negara ini menjadi saksi betapa konektivitas menjadi hal penting yang membantu peningkatan kesejahteraan penduduknya. Di keempat negara tersebut, wilayah-wilayah tak berpantai (land-locked areas) terus berbenah diri menjadi pusat-pusat industri, bisnis, dan keuangan. Sebutlah daerah Lanzhou dan Urumqi di China, atau Bishkek dan Almaty di Kyrgyzstan, Dushanbe di Tajikistan, Samarkand di Uzbekistan, Asgabat di Turkmenistan, Kabul dan Mazar-e Sharif di Afghanistan. Kemudian juga Teheran, Isfahan dan Shiraz di Iran.
Di India, ada tekad kuat untuk keluar dari keterbatasan transportasi darat yang menghubungkan kota-kota sibuk mereka, baik antarkota di dalam maupun dengan luar negeri. Keempat negara ini kemudian melihat peluang dari negara-negara yang biasanya ”dipunggungi” oleh negara-negara besar entah karena berseberangan ideologi, kepentingan, maupun jalur pertemanan. Mereka yang terpinggirkan saling sepakat untuk membantu bangkit. Berawal dari kesepakatan-kesepakatan bilateral, trilateral, dan quadrilateral akhirnya berkembang pula perjanjian regional mini dengan target-target peningkatan konektivitas demi percepatan pertumbuhan ekonomi. Ada empat proyek yang digerakkan oleh keempat negara ini.
Pertama, One-Belt-One-Road yang dimotori oleh China. Kedua, Golden Quadrilateral yang dimotori oleh India. Ketiga, North-South Transport Corridor yang dimotori oleh India, Rusia, Iran, dan negara-negara Asia Tengah. Keempat, negara-negara Asia Tengah juga berbenah diri memperbaiki konektivitas antara mereka (Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakstan) dengan kawasan lain di Teluk (Oman) dan di daratan Asia (China, India, dan Pakistan), contohnya melalui Kesepakatan Ashgabat yang membangun koridor transpor dan transit internasional.
Yang menarik adalah bahwa keempat proyek ini saling berkelindan. Garis batas darat dan laut yang dulu kerap menjadi sumber konflik dengan tetangga kini sedang berkembang menjadi sumber pertumbuhan. Pertemuan budaya menjadi daya tarik untuk memperkuat peranan kota sebagai hub alias tempat penghubung ke wilayah-wilayah lain. Tantangan keamanan seperti yang kini masih dihadapi Iran dan Afghanistan bahkan tidak menyurutkan langkah negara-negara lain untuk berelasi dengan mereka.
Perkembangan proyek-proyek ini masih harus dipantau lebih lanjut dan semoga informasi dari pihak Indonesia yang ada di lapangan dapat menyusul mendukung analisis awal dari saya ini. Dari informasi yang terkumpul tampak bahwa keempat proyek ini berjalan terus dengan relatif lancar. Negara-negara di Asia Timur dan Asia Selatan mendapatkan kerja sama dari lembaga Perserikatan Bangsa- Bangsa UN-ESCAP untuk meningkatkan dialog pembiayaan program-program infrastruktur. Asian Development Bank (ADB) mengucurkan jutaan dolar untuk membangun jaringan infrastruktur jalan raya dan kereta api di Afghanistan.
ADB menjadi bagian dari kerja sama CAREC (Central Asia Regional Economic Cooperation) yang dibangun oleh 10 negara untuk meningkatkan pembangunan proyek energi, transportasi, dan fasilitasi perdagangan di Asia Tengah. Nilai proyek CAREC mencapai 16 miliar dolar untuk membangun keterhubungan antara Afghanistan, Azerbaijan, China, Kazakstan, Republik Kyrgyzstan, Mongolia, Tajikistan, Pakistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. India dengan perlahan namun pasti, juga membenahi perekonomiannya. Tidak hanya pembenahan sistem keuangan, birokrasi, dan ekonomi makro, India juga memperkuat jaringan infrastrukturnya.
India melihat dirinya sebagai hub antara Asia dengan Afrika dan Eropa. Golden Quadrilateral (GQ) di India adalah contohnya. Proyek GQ adalah proyek jalan tol terbesar di India dengan target membangun jalur terpanjang nomor lima di dunia (atau 5.846 km) yang menghubungkan Delhi, Mumbai, Chennai, dan Kolkata. Proyek ini diluncurkan oleh Perdana Menteri Atal Bihari Vajpayee pada 2011 meskipun perencanaannya sudah usai sejak 1999. Rusia juga tekun menabung dengan investasi besar untuk infrastruktur di Asia Tengah dan menghubungkannya dengan Teluk dan Asia-Pasifik. Ada 325 proyek infrastruktur yang ditargetkan selesai hingga 2030 dengan total investasi 969 miliar dolar.
North-South Transport Corridor menargetkan konektivitas antara Moskow dan Astrakhan di Rusia dengan Teheran, Bandar Anzali dan Bandar Abbas di Iran, Baku di Azerbaijan, serta Mumbai di India. Target Rusia adalah menghubungkan Rusia dengan pelabuhan- pelabuhan strategis di Asia, Timur Tengah dan Afrika. Iran adalah partisipan aktif dalam skema-skema infrastruktur yang dikembangkan Rusia, India dan negara-negara Asia Tengah. Mereka bercitacita mengambil peluang secepat- cepatnya setelah diangkatnya embargo ekonomi dari Amerika Serikat untuk mengembangkan konektivitas Iran dengan India, Azerbaijan, dan Rusia, baik melalui darat maupun laut.
Pelabuhan Chabahar di Iran bagian selatan yang berada di Teluk Oman dibangun menjadi pelabuhan laut dalam dengan kesepakatan antara India dan Iran demi memperbaiki layanan laut Iran yang selama ini terlalu padat. Chabahar juga berkembang sebagai zona perdagangan bebas. Rute Chabahar sangat strategis di Samudera Hindia. Kota Bandar Abbas di selatan Iran yang berada di Selat Hormuz juga dibuka untuk rangkaian kerja sama konektivitas tersebut. Iran juga bergegas memperbaiki konektivitas udaranya dengan memperbarui armada pesawat komersialnya, yakni dengan menganggarkan pembelian 80 pesawat Boeing dan 17 pesawat Airbus.
Artinya kalau di dalam negeri kita terlalu fokus pada kekhawatiran terhadap China, maka kita luput melihat gambar besar yang jauh lebih perlu diantisipasi. China dengan proyek One Belt One Road memang menginvestasikan jumlah dana yang fantastis, 113 miliar dolar; tidak hanya untuk jalan raya dan jalur kereta api, tetapi juga jalur pipa minyak bumi dan gas bumi, jalur listrik, jalur internet, dan jalur dagang lewat laut. Ambisinya adalah menghubungkan China di darat dan di laut sampai ke tempat-tempat terjauh seperti Eropa dan Afrika, mengakhiri isolasi kota-kota tak berpantai yang selama ini kurang terhubung dengan dunia global.
Bandingkan cita-cita dan investasi China dengan negara-negara lain yang saya sebut di atas. Tidak kalah fantastis bukan? Infrastruktur memang agenda besar 2017, tetapi jangan lupa bahwa infrastruktur yang dikembangkan berbagai negara bukanlah yang sifatnya inward looking alias melihat ke dalam, melainkan yang sifatnya outward looking alias melihat ke luar negeri. Untuk Indonesia, kita menyambut baik inisiatif Presiden Joko Widodo ketika menghidupkan semangat maritim, namun melihat skema-skema infrastruktur yang dikembangkan negara-negara lain, kita tak punya waktu panjang untuk bergegas mempercepat langkah.
Keterbatasan anggaran di dalam negeri sebenarnya dapat diatasi dengan mengembangkan skema-skema ambisius yang dapat menarik investor untuk tidak melupakan betapa menguntungkannya jalur-jalur laut di Nusantara dan ASEAN. Jika di negara-negara lain tadi yang dikembangkan terutama jalur perdagangan, sejumlah sektor lain yang kompetitif di Tanah Air seperti perbankan, properti, jasa-jasa terkait di sektor-sektor perhubungan dan perikanan patut didorong untuk mengambil manfaat dari berkembangnya pusatpusat pertumbuhan baru di Asia Tengah, India, Iran, Rusia, dan kota-kota yang dibuka oleh China.
Jalur diplomasi yang sudah dibuka di Asia Tengah, Timur Tengah, dan negara-negara Afrika di Samudera Hindia dapat digiatkan untuk meraih cita-cita tersebut. Saya yakin 2017 adalah waktunya optimistis bagi Indonesia, khususnya kalau kita membuka mata lebih lebar memanfaatkan segala peluang yang terbuka.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional
KORAN SINDO, 04 Januari 2017

Le Pen dan Bumerang Politik SARA di Prancis

TEMAN saya, warga negara Indonesia, yang telah bekerja di Kota Paris selama lebih dari lima tahun menjadi sangat khawatir dengan hasil pemilu dua minggu lalu di Prancis, khususnya karena keunggulan Marine Le Pen dari Partai Front Nasional. Marine Le Pen, menurut dia, dipandang sebagai kandidat yang tidak punya jalan keluar atas masalah yang ada di Prancis, tetapi pandai menggunakan sentimen antiminoritas, anti terhadap imigran, dan anti terhadap EU dalam setiap diskusinya.
Le Pen menggunakan isu SARA dan menunjuk para imigran, khususnya umat muslim, sebagai penyebab dari pelambatan ekonomi dan peningkatan pengangguran yang relatif tinggi. Provokasi semacam itu sulit dibendung karena dalam beberapa tahun terakhir ini Prancis memang diserang oleh aksi teroris yang berafiliasi kepada ISIS. Meskipun ia kalah dari Macron pada putaran pertama, secara umum agenda para kandidat telah cenderung bergerak ke kanan dan intoleransi semakin menguat di antara warga Prancis.
Siapakah Marine Le Pen? Apakah beda model politik Marine Le Pen dari pemimpin Partai Front Nasional terdahulu dan partai-partai mainstream di Prancis? Marine Le Pen adalah putri Jean Le Pen, pendiri Front Nasional, satu di antara partai politik sayap kanan di Prancis yang didirikan pada 1974. Jean Le Pen sangat populer karena ia selalu mencoba keberuntungan untuk menjadi calon presiden dalam setiap kesempatan pemilihan presiden sejak 1974, 1988, 1995, 2002, hingga 2007.
Kemenangannya terhadap Jacques Chirac dari Partai Konservatif yang fenomenal pada putaran pertama pemilihan presiden pada 2002 membuat ia semakin percaya diri walaupun akhirnya ia kalah pada putaran kedua karena partai Sosialis dan partai kecil lain bekerja untuk memenangkan Chirac dan mencegah Le Pen menang. Jumlah pemilih pada putaran kedua tahun itu lebih banyak dibandingkan putaran pertama sebagai hasil mobilisasi penuh partai-partai yang sudah mapan. Meski demikian, popularitasnya pada putaran pertama itu pun tidak dapat menyelamatkan dirinya dari kudeta yang dilakukan oleh putrinya sendiri pada 2011. Marine Le Pen tidak menyukai sikap ayahnya yang sangat provokatif, intoleran, dan tidak diplomatis, serta dianggap membuat suara partai tidak tumbuh. Sebab itu, ia menyingkirkan ayahnya dan tampil sebagai pemimpin partai di Front Nasional yang baru. Tindakan politik tersebut tepat dan menguntungkan bagi Front Nasional.
Marine Le Pen membawa Front Nasional jauh “lebih moderat” dalam ukuran sayap kanan sehingga dapat menghimpun para pemilih yang tidak suka terhadap gaya kepemimpinan Jean Le Pen. Marine melakukan pembenahan di dalam partai. Ia mengurangi figur-figur yang dianggap sebagai tokoh sayap kanan ekstrem, bigot, pendukung NAZI atau anti-Yahudi. Ia melakukan strukturisasi partai dengan mengisi kepengurusan dengan orang-orang yang lebih muda, modern, berpendidikan, dan santun.
Ia bahkan memilih Florian Phillipot sebagai wakilnya yang berusia 31 tahun dan baru tamat dari perguruan tinggi elite Ecole Nationale d’Administration. Perubahan ini terutama untuk menyasar pemilih muda dari sayap kiri dan kanan.
Strategi untuk membawa Front Nasional lebih “moderat” tidak berati mengurangi garis politik partai yang sangat populis dan kanan ini. Secara politik, kebijakan Front Nasional adalah menolak keanggotaan Prancis dalam masyarakat Uni Eropa (EU), menolak Eurozone, menolak Schengen Area, pendekatan yang keras terhadap pelanggaran hukum, dan penolakan terhadap kebebasan bergerak bagi pendatang baik yang berasal dari negara-negara anggota EU dan khususnya pendatang di luar EU.
Marine hanya mencoba untuk mengimbangi garis politiknya populis kanan, tetapi berusaha untuk mencitrakan partainya sebagai partai yang peduli dengan kelompok masyarakat lain, modern, dan progresif. Ia bahkan tidak segan-segan mengancam membawa ke pengadilan apabila ada orang yang menuduh Front Nasional sebagai partainya sayap kanan ekstrem di Prancis.
Strategi itu berhasil. Marine Le Pen mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi calon presiden setiap kali ada kesempatan untuk mengikutinya. Ia adalah kandidat dengan perolehan suara banyak ketiga di bawah François Hollande dan petahana Presiden Nicolas Sarkozy pada 2012. Ia memperoleh 17% atau sekitar 6,42 juta suara. Perolehannya lebih tinggi dari yang dicapai oleh ayahnya pada 2002. Jean Le Pen saat itu hanya memperoleh 4,8 juta atau sekitar 16,8%. Bintangnya pun terus bersinar hingga menempatkan diri sebagai unggulan kedua di bawah Emmanuel Macron dari sayap tengah pada putaran pertama presiden Prancis dua minggu lalu.
Kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Front Nasional bukanlah sebuah kejutan. Para pengamat sudah sejak jauh-jauh hari meramalkan bahwa Front Nasional akan berhasil mengubah dirinya dari partai gurem menjadi partai mainstream di Prancis. Kemenangan Marine dan Macron dalam Pilpres Prancis 2017 ini juga telah menjadi catatan sejarah penting di Prancis. Dalam pilpres tahun ini mereka telah mengalahkan dua partai besar dan mapan yang selalu ada dalam sejarah pemilu yaitu Partai Sosialis dan Partai Konservatif (Union pour un Mouvement Populaire-UMP).
Mengapa Front Nasional dapat membesar dan mengalahkan ideologi dua partai besar di Prancis? Mehdi Hasan, seorang jurnalis di Washington DC, mengatakan di The Intercept bahwa penguatan Front Nasional bukan hanya karena reformasi internal yang dilakukan oleh Marine sejak 2011, melainkan juga karena politisi dari Partai Konservatif dan Sosialis yang ikut memainkan isu SARA sejak lama untuk mendulang suara dan dengan dalih membendung Le Pen agar tidak mendominasi suara anti-imigran yang sedang berkembang.
Politik SARA yang Jadi Bumerang
Contohnya adalah Presiden Mitterrand (Partai Sosialis) yang mengatakan bahwa Prancis telah melampaui “ambang toleransi” terhadap imigrasi. Meskipun kemudian Mitterand menarik pernyataannya tersebut, Perdana Menterinya yang juga dari Partai Sosialis, Edith Cresson, memunculkan kegaduhan ketika menyarankan agar imigran ilegal dideportasi dengan dipesankan pesawat khusus.
Wartawan dari Uni Eropa Cathryn Cluver menjelaskan bahwa pernyataan Mitterand pada akhir 1980-an itu mengejutkan karena selama sepuluh tahun sebelumnya Mitterand dikenal sebagai presiden sosialis pertama di Prancis yang memberi nuansa kemanusiaan pada kebijakan imigrasi di Prancis. Antara 1981-1986 justru ada banyak peraturan imigrasi yang mendukung imigrasi secara legal.
Penerus Mitterand, Jacques Chirac, mantan perdana menteri Prancis pada 1991, rupanya bertugas mengembalikan suara Partai Sosialis yang tergerus oleh Front Nasional. Karena itu, Chirac mengamini pernyataan bahwa seluruh pekerja Prancis sudah lelah dengan imigran yang “malodorant et bruyant” (berbau dan berisik).
Kaum imigran di Eropa, yang umumnya dari Arab dan Afrika, dikonotasikan bau karena aroma masakannya dan berisik karena kerap berkelahi dengan polisi. Pada masa itu pula mantan Presiden Valery Giscard d’Estaing (Partai Konservatif/UMP) memperingatkan masyarakat akan “bahaya invasi” imigran.
Isu SARA diangkat lagi oleh Nikolas Sarkozy yang meluncurkan “Debat Nasional tentang Identitas Nasional” pada 2009. Ia mengumumkan larangan berkerudung yang sebenarnya hanya berlaku pada 2.000 perempuan dari total 2 juta perempuan muslim di Prancis pada 2010, juga berkoar bahwa daging halal adalah “isu yang paling dibincangkan di Prancis” pada 2012. Sarkozy pula yang menyebut Partai Front Nasional sebagai partai demokratis dan menyebutnya “cocok untuk Republik”.
Kondisi di atas mengingatkan kita pada situasi yang dihadapi juga di Tanah Air. Politisi yang mapan dari dua partai besar di Prancis tidak pernah membayangkan bahwa strategi mereka untuk memainkan isu SARA ternyata justru melapangkan jalan bagi Le Pen untuk menjadi lebih populer.
Diskriminasi dan konflik sosial di antara warga Prancis dan imigran semakin tajam. Bibit radikalisme dan terorisme tidak hanya subur di antara warga imigran muslim, tetapi juga warga Prancis. Kekerasan seperti lingkaran setan yang semakin lama semakin rumit dan kompleks untuk diuraikan.
Perkembangan politik SARA di Prancis patut menjadi pertimbangan politisi dan pemilih di Indonesia saat pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden. Memenangkan suara mayoritas hari ini bisa jadi bumerang bagi stabilitas sosial pada tahun-tahun selanjutnya.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional;

KORAN SINDO, 03 Mei 2017

Geliat Anti globalisasi dalam Pemilu Eropa

Tahun 2017 adalah tahun yang penting bagi Benua Eropa. Pasalnya, tahun ini akan ada berbagai pemilihan umum yang akan menyoroti perseteruan antara politisi mapan (political establishment) dan politisi oportunis yang bergerak karena ketidakpuasan masyarakat. Ada pemilihan presiden dan parlemen di Prancis, Hungaria, Slovenia, dan Jerman; pemilihan umum di Belanda, Norwegia, dan Republik Ceko; serta pemilu lokal di Portugal dan Irlandia. Ada tiga negara yang penting untuk diperhatikan karena akan memengaruhi arah perkembangan Eropa, yakni Jerman, Prancis, dan Belanda.
Prancis menjadi penting karena negara tersebut adalah salah satu pemegang hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB. Bayangkan apabila negara pemegang hak veto di DK PBB dikuasai pemerintahan yang sangat kanan dan populis. Saat ini sudah terjadi pada Amerika Serikat dan Inggris. Jerman dan Belanda juga penting bagi Uni Eropa karena perekonomian mereka yang stabil dan besar di antara negara-negara anggota Eropa lain selain Inggris. Pemilihan umum di Eropa tahun ini menjadi menarik dibandingkan periode sebelumnya karena beberapa partai populis di negara-negara tersebut semakin meningkat perolehan kursinya.
Brexit dan Trump adalah fenomena yang telah menginspirasi partai kanan populis di Eropa untuk bergerak maju, tetapi sekaligus bisa mengubur inspirasi itu apabila belum ada dampak signifikan yang dihasilkan dari Brexit dan kebijakan proteksionis Trump dalam jangka waktu dekat. Belanda adalah negara yang akan mengadakan pemilu pada Maret.
Ipsos Mori, sebuah lembaga survei di Belanda, melaporkan awal bulan ini bahwa Party for Freedom (PVV) yang dipimpin oleh Geert Wilders akan memenangkan kursi legislatif apabila pemilu diadakan pada saat survei dilakukan. Pemilu di Belanda akan membicarakan tema-tema tentang bagaimana mengurangi atau berhenti menolong negaranegara EU yang melemahkan euro seperti Rumania, Yunani, dan negara dengan perekonomian kecil lainnya. Partai ini mungkin partai yang secara terang dan terbuka menentang keberadaan muslim di Eropa dan khususnya Belanda. Partainya telah membuat manifesto deislamisasi Belanda denganbeberapausulnya, antara lain menutup pusat peng-ungsian, menutup sekolah-sekolah muslim, menutup perbatasan dan melarang seluruh migran dari negara berpendudukmuslim tanpa kecuali, dan seruan-seruan provokasi lainnya.
Prancis adalah negara yang akan mengadakan pemilihan presiden pada 23 April 2017, dan akan dilanjutkan pada 7 Mei 2017 apabila tidak ada di antara para kandidat yang menang satu putaran dalam pemilihan pertama. Presiden Prancis saat ini François Hollande yang berasal dari Partai Sosialis sebenarnya masih punya jatah untuk maju dalam periode ke-2.
Hak ini terpaksa ia tangguhkan karena popularitasnya semakin menurun dengan semakin tingginya kasus-kasus terorisme yang terjadi belakangan ini dan dukungan Partai Sosialis atas kebijakan Uni Eropa yang mengizinkan pengungsi untuk masuk. Benoit Hamon yang telah memenangkan nominasi dalam Partai Sosialis akan menggantikan Hollande. Kemungkinan Prancis akan mengikuti jejak Inggris dan Amerika dalam menerapkan kebijakan yang proteksionis dan antipendatang (baik pengungsi atau bukan) bisa menjadi kenyataan. Survei yang dilakukan oleh Kantar Sofres tahun lalu mengumumkan Marine Le Penn dari Front Nasional, partai yang Far-Right akan memenangkan putaran pertama, namun ia akan dikalahkan oleh Francois Fillon dari Partai Konservatif yang diprediksi akan memenangkan putaran kedua.
Emmanuel Macron dari Partai Tengah juga berpeluang untuk memenangkan putaran kedua apabila ia berhadapan dengan Fillon. Tema pokok yang menjadi materi kampanye dan pertanyaan masyarakat di Prancis adalah apakah nilai-nilai sekuler Prancis cocok dengan penduduk muslim di Prancis (Wall Street Journal, 16/11/2016). Marine Le Penn saat ini berada di atas angin Partai Konservatif dan Liberal berkat kampanyenya untuk menolak pengungsi dan globalisasi. Sebaliknya, Partai Sosialis yang mendukung globalisasi dan pengungsi, semakin hari semakin turun popularitasnya. Pertanyaannya kemudian apakah partai yang berhaluan sosialis, konservatif, dan liberal akan bergerak ke tengah untuk mengimbangi suara Le Penn atau tetap pada prinsipnya.
Angela Merkel akan memasuki masa kepemimpinan ke- 4 sebagai kanselir Jerman apabila ia tidak mengundurkan diri. Jerman tidak memiliki batas periode kepemimpinan sebagai kanselir. Masyarakat Jerman masih mempercayai kepemimpinan Merkel. Survei mengenai popularitas dan elektabilitasnya tetap tertinggi, walaupun menurun dalam beberapa terakhir karena prinsipnya untuk tetap menerimapengungsidari Timur Tengah.
Popularitasnya saat ini telah sedikitnya menyelamatkan Jerman dari semakin menguatnya Partai Alternatif untuk Jerman (Alternative for Germany) yang dipimpin oleh Frauke Petry yang berhaluan populis kanan dan skeptis terhadap EU. Menurunnya popularitas Merkel menguntungkan buat kompetitor terdekatnya, Partai Sosial Demokrat yang dipimpin Martin Schulz.
German broadcaster ARD mengungkapkan hasil polling-nya minggu lalu yang menempatkan Schulz sebagai kandidat yang berpotensi menggantikan Merkel karena terus secara konsisten mendapat tambahan suara. Apabila kecenderungan ini terus berlanjut hingga pemilihan umum September nanti, posisi Schulz akan kuat.
Rangkaian pemilihan umum baik presiden maupun parlemen akan menjadi ujian bagi Masyarakat Uni Eropa apakah mereka dapat bertahan dalam menghadapi gelombang politisi oportunis yang menunggangi ketidakpuasan massal masyarakat terhadap struktur politik saat ini. EU dianggap sebagai lembaga supranasional yang terlalu mengintervensi politik dalam negeri masing-masing negara anggota.
Sama halnya dengan seruan yang dilontarkan oleh Trump, kelompok-kelompok antikemapanan menuding globalisasi menjadi sumber dari ketimpangan di dalam negeri. Nilai-nilai solidaritas yang menjadi dasar dari terbentuknya Masyarakat Uni Eropa dipertanyakan karena dibenturkan dengan fenomena menguatnya terorisme dan radikalisasi yang mengakibatkan beberapa negara rentan dengan serangan aksi-aksi kejahatan teroris.
Perubahan yang terjadi di Eropa dapat berdampak langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian kita. Perdagangan EU dan Indonesia saat ini masih berada di bawah perdagangan regional ASEAN-EU dan belum ada perjanjian bilateral langsung.
EU selama ini mendorong dalam kampanye perdagangannya menginginkan sebuah kerja sama yang saling menguntungkan dan bersama-sama menghilangkan efek negatif dari globalisasi dengan cara memastikan keuntungan yang didapatkan oleh negara-negara berkembang yang terlibat kerja sama dengan mereka.
Nilai-nilai ini mungkin akan menjadi terkompromikan apabila EU cenderung untuk mendorong proteksionisme untuk melindungi dampak negatif globalisasi bagi kepentingan dalam negeri mereka sendiri.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional;

KORAN SINDO, 08 Februari 2017

Uni Eropa di Persimpangan Jalan

KEMENANGAN Alexander Van der Bellen dari Partai Hijau di Austria mengalahkan Hofer, seorang politisi dan pemimpin Partai Kebebasan dari sayap kanan pada minggu lalu belum dapat membuat para pejabat tinggi Di Uni-Eropa bernapas lega. Karena di hari yang sama saat Perdana Menteri Italia, Matteo Renzi, mengalami kekalahan dari referendum yang menuntut pengurangan wewenang parlemen di Italia. Sejatinya apabila Matteo Renzi dapat memenangkan referendum untuk mengurangi wewenang parlemen dalam keputusan-keputusan eksekutif, maka Perdana Menteri dapat mengambil kebijakan ekonomi-politik yang lebih mendukung penguatan Uni Eropa. Di sisi lain, hal itu juga dapat mengurangi tekanan dari kelompok sayap kanan yang selalu mengerem kebijakan-kebijakan yang Pro-Uni Eropa di Parlemen.
Gejala-gejala Eropa yang akan berubah haluan menjadi lebih Kanan telah terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Kemenangan-kemenangan kecil partai dan organisasi sayap kanan di satu negara dikhawatirkan akan memiliki efek menambah kepercayaan diri kelompok sayap Kanan di negara lain.
Sayap Kanan di Eropa saat ini cenderung mendukung kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis, lebih nasionalistik dalam ranah politik dan cenderung anti-imigran dalam mengatasi masalah krisis pengungsi. Selain Italia dan Austria yang secara formal menunjukkan penguatan sayap kanan, negara-negara lain di Eropa juga memiliki kecenderungan sama dilihat dari meningkatnya proporsi jumlah kursi dari tahun ke tahun untuk partai Kanan. Contoh adalah Front Perancis Bersatu di bawah pimpinan Marine Le Pen yang meningkat perolehan kursinya dari 4,3% di tahun 2007 menjadi 13,6% di tahun 2012. Perolehan kursi yang meningkat itu terjadi setelah Marine Le Penn mengurangi kampanye “rasisme dan xenopobia” sehingga mendapat tambahan suara dari golongan kiri-tengah.
Di Belanda, Party for Freedom yang dipimpin oleh Greet Wilders juga mengalami pertumbuhan kekuatan parlemen yang signfikan. Walaupun perolehan kursinya sempat menurun pada tahun 2010 akibat perselisihan di dalam partai, Party for Freedom Belanda ini meningkat perolehan kursinya dari 5,9% di tahun 2006 menjadi 10,1% di tahun 2012.
Di antara dua negara tersebut, Hungaria, Polandia dan Swiss adalah negara-negara yang memiliki partai sayap kanan yang cenderung menguat dalam beberapa pemilihan umum terakhir selain Inggris yang sudah keluar EU. Saya sendiri secara pribadi belum berani untuk menyimpulkan mengapa Eropa saat ini cenderung bergerak ke Kanan. Dari sisi indikator ekonomi, Uni Eropa (EU) secara umum mengalami peningkatan. Pendapatan perkapita negara-negara EU secara rata-rata adalah 28.800 Euro di tahun 2015. Dengan catatan, ada negara dengan penghasilan sangat besar seperti Luxemburg dengan pendapatan per kapita sebesar 89.900 Euro hingga Bulgaria yang terkecil sebesar 6.300 Euro.
Ada asumsi yang mengatakan bahwa sayap Kanan menguat karena hilangnya pekerjaan akibat masuknya para pengungsi. Namun, apabila kita lihat datanya, dari sisi pengangguran, negara-negara yang memiliki kecenderungan menguat sayap Kanannya sangat bervariasi dalam tingkat pengangguran.
Sehingga belum tentu pengangguran yang tinggi menjadi faktor pemicu tumbuh dan berkembangnya partai sayap Kanan. Contoh, secara berturut-turut tingkat pengangguran terhadap angkatan kerja berdasarkan EuroStat, 2015: Jerman (4,6%), Inggris (ex-EU 5,3%), Prancis (10,4%), Italia (11,9%), Belanda (6,9%), Spanyol (22,1%) dan Portugis (12,6%). Sebagai perbandingan, angka pengangguran terhadap angkatan Kerja di Indonesia pada tahun 2015 adalah 6,2%.
Tingkat pengangguran yang cukup tinggi di Prancis dan Italia mungkin menjadi penyebab menguatnya sentimen anti EU. Tetapi hal ini tidak terjadi di Spanyol dan Portugis yang bahkan memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi dari dua negara tersebut. Demikian pula, Jerman dan Inggris yang memiliki tingkat pengangguran paling kecil tidak menjamin kebal dari virus pengaruh gagasan Sayap Kanan. Inggris bahkan keluar dari EU akibat pengaruh tersebut.
Kesimpulan sementara yang dapat diterima saat ini terhadap menguatnya Sayap Kanan di Eropa adalah gagasan khayalan (delusional) tentang akan lebih sejahteranya negara-negara Eropa bila berdiri sendiri. Atau bila negara-negara anggota mendapatkan kembali wewenang mereka untuk memerintah.
Seperti kita ketahui bersama bahwa EU bukan sekadar forum atau asosiasi seperti ASEAN. Namun EU telah menjelma menjadi Super-State yang memiliki tujuh lembaga sebagai tempat untuk menghasilkan keputusan bersama yang kemudian wajib dilaksanakan oleh negara-negara anggota EU.
Tujuh lembaga tersebut adalah European Council, the Council of the European Union, the European Parliament, the European Commission, the Court of Justice of the European Union, the European Central Bank, dan the European Court of Auditors. Para pemimpin Sayap Kanan berkampanye dan menyakinkan bahwa apabila mereka mengurangi wewenang atau kapasitas EU atau bahkan keluar dari EU, masyarakat akan lebih sejahtera.
Partai-partai sayap kanan di Eropa mungkin masih membutuhkan waktu 1 atau 2 kali periode pemilihan umum untuk dapat memimpin di negaranya masing-masing. Namun secara politik kemungkinan politik dalam negeri di kawasan itu akan bergerak dari Kiri Tengah menjadi Kanan-Tengah demi mencegah Partai Sayap Kanan (Far-Right) semakin menguat. Apabila hal itu terjadi ada beberapa skenario yang mungkin bisa terjadi di dalam jangka pendek.
Skenario pertama adalah ketika terjadi resistensi dan pembatasan bagi pencari suaka padahal solusi konflik di negara-negara yang bermasalah belumlah terbentuk. Inggris yang sudah tidak terikat pada EU misalnya merasa tidak perlu lagi membuka garis perbatasannya bagi para pencari suaka.
Namun EU juga harus menelan pil pahit dari Turki yang mengancam akan membuka perbatasannya bagi para imigran untuk masuk ke Eropa. Pertentangan kebijakan berujung pada pengabaian masalah HAM dan kemanusiaan, bahkan stigmatisasi pada kaum imigran dan pendatang. Hal ini akan menyebabkan masalah atau krisis kemanusiaan di Timur Tengah akan semakin mendalam dan membutuhkan kepemimpinan baru untuk menyelesaikannya.
Skenario kedua adalah mengingat bahwa di Austria sudah tercetus pernyataan oleh partai sayap kanan bahwa Political Islam adalah fasisme baru. Jika para elit politik dapat mengelola isu dengan baik, maka pernyataan seperti itu akan ditentang melalui mekanisme pemilu, antara lain dengan menguatkan kelompok-kelompok politik di jalur Kanan-Tengah agar kelompok-kelompok Kanan kehilangan pendukung.
Tetapi jika isu seperti ini tidak dikelola dengan baik, benturannya lagi-lagi akan berkembang di tataran masyarakat, mengoyak stabilitas relasi antarkelompok-kelompok masyarakat. Pertentangan politik yang menggunakan retorika agama adalah awal dari destabilitas sosial yang kerap berujung pada ketegangan bahkan kehancuran rezim berkuasa.
Ini tantangan besar untuk mendidik publik agar perkembangan negatif di belahan dunia lain tidak sampai diimpor juga ke dalam negeri.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional;

KORAN SINDO, 07 Desember 2016

Menyikapi Trumponomics

Menjelang akhir minggu ini, Amerika Serikat (AS) akan melantik presiden barunya, Donald Trump. Terlepas dari gaduhnya suasana di dalam negeri terkait gaya komunikasi Presiden Trump, termasuk yang baru-baru ini disampaikan oleh bintang film Hollywood Meryl Streep, kenyataan haruslah dihadapi publik bahwa AS sudah memilih prioritas tertentu dengan memilih Presiden Trump sebagai nakhodanya. ”Making America Great Again”, Membuat Amerika Besar Lagi. Demikian target Presiden Donald Trump. Dari gaya komunikasinya, Trump ingin melaju dengan agenda-agendanya dan mengesampingkan kritik segala pihak tentang caranya memimpin. Meskipun teorinya sekarang adalah masih masa-masa bulan madu, kedalaman perbedaan pendapat antara kubu pendukung Trump dan kubu yang anti-Trump membutuhkan jembatan waktu yang lebih panjang. Tidak ada ”bisnis seperti biasa” dalam politik luar negeri AS, khususnya terkait kebijakan ekonomi.
Masih sedikit hasil riset atau pendapat yang dapat secara pasti menjelaskan kebijakan ekonomi Donald Trump atau Trumponomics secara detail. Hal ini disebabkan dalam masa kampanye lalu, Donald Trump menyampaikan proposal kebijakan yang saling tidak konsisten demi merebut suara rakyat Amerika. Tiadanya konsistensi itu menyebabkan luasnya ruang untuk melalukan multiinterpretasi dan spekulasi tentang langkah nyata apa yang akhirnya akan diambil oleh Trump. Meski demikian, hal-hal yang diucapkannya berulang kali secara konsisten adalah reformasi pajak, yaitu dengan mengurangi pajak perusahaan dan perorangan dan meningkatkan belanja fiskal di sektor infrastruktur. Trump juga akan mengurangi belanja sosial baik dengan mengurangi anggaran atau menyerahkannya kepada pihak swasta. Hal yang juga menjadi kontroversi dalam minggu terakhir kampanye dan mendapat perlawanan dari Partai Demokrat adalah rencana untuk menghapuskan Obamacare yang selama ini telah memberikan kepastian jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di AS. Apabila sesuai dengan janjinya di masa kampanye, kemungkinan jaminan kesehatan akan kembali dikelola oleh pihak swasta.
Kebijakan reformasi pajak Trump bila dilakukan sesuai janji kampanyenya sudah pasti akan menimbulkan defisit dalam anggaran belanja negara. Logika sederhananya, pendapatan negara dikurangi tetapi pembelanjaan, khususnya untuk infrastruktur, akan digenjot habis. Pertanyaannya, dari mana uang untuk menutupi defisit belanja akan jadi menentukan kebijakan ekonomi AS baik di dalam dan luar negeri. Kebijakan ini juga akan merembet kepada kebijakan politik luar negeri terutama terkait dengan kerja sama antar negara dan hal-hal lain yang tidak terkait dengan ekonomi secara langsung, seperti krisis di Timur Tengah, penguatan pengaruh AS di Asia-Pasifik atau juga Eropa. Secara ekonomis, danauntuk menambal lubang defisit dapat diperoleh dengan menerbitkan surat utang negara atau obligasi. Surat utang tidak menarik kalau suku bunganya tidak kompetitif terutama dibandingkan dengan negara-negara emerging market termasuk Indonesia.
Momen kenaikan ini yang akan ditunggu-tunggu oleh para pengambil keputusan di negara-negara lain terutama negara emerging market di mana uang dari negara maju berkumpul. Apabila Bank Sentral AS menaikkan suku bunga yang dapat menarik uang dari negara emerging market, tentu ini akan menjadi masalah. Walaupun akan kebanjiran investasi, nilai tukar dolar juga akan menguat secara perlahan-lahan.
Keadaan itu juga akan menyulitkan Amerika Sendiri karena akan membuat ekspornya menjadi tidak kompetitif. Dalam konteks dan dinamika ini, rencana detail Trumponomics sebagai langkah antisipasi menjadi penting untuk kita amati. Meski demikian, dalam beberapa minggu setelah pengumuman kemenangannya ada beberapa komentar yang dapat menjadi bahan dalam menilai Trumponmics ke depan.
Pertama, terkait Perdagangan.
AS prinsipnya merasa harus mengakhiri defisit dalam neraca perdagangannya, terutama terhadap China. Sampai hari ini wacana yang berkembang di AS adalah agar AS membalikkan defisitnya. Yakni dengan mengadukan segala kecurangan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku pasar lain, khususnya model-model yang ditudingkan kepada China seperti overproduksi, mengendalikan nilai tukar mata uang, menerapkan hambatan non-tariff. Tak heran Robert Lighthizer yang berpengalaman sebagai penasihat hukum bidang perdagangan dikabarkan akan ditunjuk sebagai Wakil AS untuk Perdagangan (US Trade Representative). Karena nasib Trans Pacific Partnership belum jelas, target Presiden Obama untuk menjadikan AS sebagai penentu aturan main perdagangan di tingkat global belum jelas juga.
Hal ini menarik untuk dicermati negara seperti kita karena dikotomi surplus dan defisit yang dianut oleh AS sangat dikaitkan dengan nilai ekspor impor barang dan jasa. Ada sisi yang kemungkinan akan diabaikan atau minimal tidak mendapat perhatian besar, yakni terkait pola konsumsi masyarakat AS. Defisit dapat pula timbul karena masyarakat lebih senang membeli dari luar negeri atau membeli daripada memproduksi sendiri. Jadi, kita juga perlu jeli mengolah dan meningkatkan permintaan dari publik AS. Hal ini dapat lebih menguntungkan daripada harus menghadapi tuntutan hukum urusan perdagangan dari para pengacara AS. Aksi hukum terkait upaya menurunkan defisit dapat teratasi jika konsumen mengutarakan pilihannya akan suatu produk atau jasa. Hal lain yang juga menarik dicatat adalah dorongan untuk membalas hambatan non-tariff dengan hambatan yang sejenis atau membawanya ke meja pengadilan.
Dari sisi ini, setidaknya ada dua hal utama yang sebenarnya penting untuk dikembangkan, yakni inovasi yang mendukung peningkatan daya saingprodukataujasadankeberpihakan negara pada riset yang akan menghasilkan produk dan jasa berdaya saing tinggi. Aksi saling tuding terkait hambatan non-tariff dapat teratasi jika suatu negara lebih kompetitif di bidang inovasi dan riset. Sejumlah negara dari emerging market bergegas di bidang ini, antara lain India dan China.
Kedua, terkait Daya Tarik Produksi.
AS pada prinsipnya menginginkan lebih banyak perusahaan yang beroperasi dari AS. Cara yang digunakan adalah pemberian insentif pemotongan pajak bagi korporasi, dari 35% menjadi 15%. Potongan pajak tersebut diklaim akan meningkatkan laba perusahaan hingga 20%; suatu skema yang seharusnya menarik bagi perusahaan- perusahaan. Untuk pajak pribadi, kabarnya akan ada penurunan tarif pajak bagi mereka yang berpenghasilan tinggi dan biasanya harus menanggung pajak 35-40%.
Mereka ini dikabarkan hanya perlu membayar pajak 33% saja dari penghasilan bulanannya. Karena parlemen di AS punya hak untuk memengaruhi kebijakan Presiden Trump terkait pemotongan pajak ini, program tersebut diprediksi tidak akan diterapkan sampai setidaknya menjelang akhir tahun. Kabarnya parlemen akan mengajukan pajak atas barangbarang impor, yang artinya konsumen di Amerika bisa jadi punya lebih sedikit pilihan belanja. Memang tidak ada yang tahu persis apa saja komponen Trumponomics yang sesungguhnya akan berlaku. Namun, di Indonesia yang penting adalah membuka opsi-opsi lain agar apa pun pilihan Trump, perekonomian kita dapat terus tumbuh. Amerika Serikat butuh waktu selama setahun ini untuk melakukan penyesuaian di berbagai lini sampai program-program Trump bisa sungguh terlaksana.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional

KORAN SINDO, 11 Januari 2017

Das Kapital

Das Kapital by Karl Marx My rating: 5 of 5 stars Karl Marx's Capital can be read as a work of economics, sociology and history. He...