Pada awal tahun ini, ada baiknya kita mengamati
perkembangan keterhubungan antar negara alias konektivitas fisik lintas batas. Pada awal 1990-an, kita mengamati meningkatnya
kemudahan perpindahan uang dan informasi lintas batas sejalan dengan
konektivitas di dunia maya. Adapun tahun 2017 ini yang akan meningkat adalah
konektivitas fisik lintas batas yang menciptakan jalur-jalur baru perpindahan
barang dan manusia. Sejak 2015, sejumlah proyek infrastruktur berkembang pesat
di wilayah darat bahkan terjadi kombinasi pengembangan sejumlah wilayah tak
berpantai dengan pelabuhan-pelabuhan baru. Tampaknya istilah ”kutukan daerah
tak berpantai” segera berakhir.
Indonesia harus memastikan konektivitas di laut kita
tidak kalah saing dengan proyek-proyek konektivitas yang baru tersebut.
Setidaknya ada empat pemain penting dalam meningkatnya konektivitas baru ini:
China, India, Rusia, dan Iran. Keempat negara ini menjadi saksi betapa
konektivitas menjadi hal penting yang membantu peningkatan kesejahteraan
penduduknya. Di keempat negara tersebut, wilayah-wilayah tak berpantai
(land-locked areas) terus berbenah diri menjadi pusat-pusat industri, bisnis,
dan keuangan. Sebutlah daerah Lanzhou dan Urumqi di China, atau Bishkek dan
Almaty di Kyrgyzstan, Dushanbe di Tajikistan, Samarkand di Uzbekistan, Asgabat
di Turkmenistan, Kabul dan Mazar-e Sharif di Afghanistan. Kemudian juga
Teheran, Isfahan dan Shiraz di Iran.
Di India, ada tekad kuat untuk keluar dari
keterbatasan transportasi darat yang menghubungkan kota-kota sibuk mereka, baik
antarkota di dalam maupun dengan luar negeri. Keempat negara ini kemudian
melihat peluang dari negara-negara yang biasanya ”dipunggungi” oleh
negara-negara besar entah karena berseberangan ideologi, kepentingan, maupun
jalur pertemanan. Mereka yang terpinggirkan saling sepakat untuk membantu
bangkit. Berawal dari kesepakatan-kesepakatan bilateral, trilateral, dan
quadrilateral akhirnya berkembang pula perjanjian regional mini dengan
target-target peningkatan konektivitas demi percepatan pertumbuhan ekonomi. Ada
empat proyek yang digerakkan oleh keempat negara ini.
Pertama, One-Belt-One-Road yang dimotori oleh China.
Kedua, Golden Quadrilateral yang dimotori oleh India. Ketiga, North-South
Transport Corridor yang dimotori oleh India, Rusia, Iran, dan negara-negara
Asia Tengah. Keempat, negara-negara Asia Tengah juga berbenah diri memperbaiki
konektivitas antara mereka (Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakstan) dengan kawasan
lain di Teluk (Oman) dan di daratan Asia (China, India, dan Pakistan),
contohnya melalui Kesepakatan Ashgabat yang membangun koridor transpor dan
transit internasional.
Yang menarik adalah bahwa keempat proyek ini saling
berkelindan. Garis batas darat dan laut yang dulu kerap menjadi sumber konflik
dengan tetangga kini sedang berkembang menjadi sumber pertumbuhan. Pertemuan
budaya menjadi daya tarik untuk memperkuat peranan kota sebagai hub alias
tempat penghubung ke wilayah-wilayah lain. Tantangan keamanan seperti yang kini
masih dihadapi Iran dan Afghanistan bahkan tidak menyurutkan langkah
negara-negara lain untuk berelasi dengan mereka.
Perkembangan proyek-proyek ini masih harus dipantau
lebih lanjut dan semoga informasi dari pihak Indonesia yang ada di lapangan
dapat menyusul mendukung analisis awal dari saya ini. Dari informasi yang
terkumpul tampak bahwa keempat proyek ini berjalan terus dengan relatif lancar.
Negara-negara di Asia Timur dan Asia Selatan mendapatkan kerja sama dari
lembaga Perserikatan Bangsa- Bangsa UN-ESCAP untuk meningkatkan dialog
pembiayaan program-program infrastruktur. Asian Development Bank (ADB)
mengucurkan jutaan dolar untuk membangun jaringan infrastruktur jalan raya dan
kereta api di Afghanistan.
ADB menjadi bagian dari kerja sama CAREC (Central
Asia Regional Economic Cooperation) yang dibangun oleh 10 negara untuk
meningkatkan pembangunan proyek energi, transportasi, dan fasilitasi
perdagangan di Asia Tengah. Nilai proyek CAREC mencapai 16 miliar dolar untuk
membangun keterhubungan antara Afghanistan, Azerbaijan, China, Kazakstan,
Republik Kyrgyzstan, Mongolia, Tajikistan, Pakistan, Turkmenistan, dan
Uzbekistan. India dengan perlahan namun pasti, juga membenahi perekonomiannya.
Tidak hanya pembenahan sistem keuangan, birokrasi, dan ekonomi makro, India juga
memperkuat jaringan infrastrukturnya.
India melihat dirinya sebagai hub antara Asia dengan
Afrika dan Eropa. Golden Quadrilateral (GQ) di India adalah contohnya. Proyek
GQ adalah proyek jalan tol terbesar di India dengan target membangun jalur
terpanjang nomor lima di dunia (atau 5.846 km) yang menghubungkan Delhi,
Mumbai, Chennai, dan Kolkata. Proyek ini diluncurkan oleh Perdana Menteri Atal
Bihari Vajpayee pada 2011 meskipun perencanaannya sudah usai sejak 1999. Rusia
juga tekun menabung dengan investasi besar untuk infrastruktur di Asia Tengah
dan menghubungkannya dengan Teluk dan Asia-Pasifik. Ada 325 proyek
infrastruktur yang ditargetkan selesai hingga 2030 dengan total investasi 969
miliar dolar.
North-South Transport Corridor menargetkan
konektivitas antara Moskow dan Astrakhan di Rusia dengan Teheran, Bandar Anzali
dan Bandar Abbas di Iran, Baku di Azerbaijan, serta Mumbai di India. Target
Rusia adalah menghubungkan Rusia dengan pelabuhan- pelabuhan strategis di Asia,
Timur Tengah dan Afrika. Iran adalah partisipan aktif dalam skema-skema
infrastruktur yang dikembangkan Rusia, India dan negara-negara Asia Tengah.
Mereka bercitacita mengambil peluang secepat- cepatnya setelah diangkatnya
embargo ekonomi dari Amerika Serikat untuk mengembangkan konektivitas Iran
dengan India, Azerbaijan, dan Rusia, baik melalui darat maupun laut.
Pelabuhan Chabahar di Iran bagian selatan yang
berada di Teluk Oman dibangun menjadi pelabuhan laut dalam dengan kesepakatan
antara India dan Iran demi memperbaiki layanan laut Iran yang selama ini
terlalu padat. Chabahar juga berkembang sebagai zona perdagangan bebas. Rute
Chabahar sangat strategis di Samudera Hindia. Kota Bandar Abbas di selatan Iran
yang berada di Selat Hormuz juga dibuka untuk rangkaian kerja sama konektivitas
tersebut. Iran juga bergegas memperbaiki konektivitas udaranya dengan
memperbarui armada pesawat komersialnya, yakni dengan menganggarkan pembelian
80 pesawat Boeing dan 17 pesawat Airbus.
Artinya kalau di dalam negeri kita terlalu fokus
pada kekhawatiran terhadap China, maka kita luput melihat gambar besar yang
jauh lebih perlu diantisipasi. China dengan proyek One Belt One Road memang
menginvestasikan jumlah dana yang fantastis, 113 miliar dolar; tidak hanya
untuk jalan raya dan jalur kereta api, tetapi juga jalur pipa minyak bumi dan
gas bumi, jalur listrik, jalur internet, dan jalur dagang lewat laut. Ambisinya
adalah menghubungkan China di darat dan di laut sampai ke tempat-tempat terjauh
seperti Eropa dan Afrika, mengakhiri isolasi kota-kota tak berpantai yang
selama ini kurang terhubung dengan dunia global.
Bandingkan cita-cita dan investasi China dengan
negara-negara lain yang saya sebut di atas. Tidak kalah fantastis bukan?
Infrastruktur memang agenda besar 2017, tetapi jangan lupa bahwa infrastruktur
yang dikembangkan berbagai negara bukanlah yang sifatnya inward looking alias
melihat ke dalam, melainkan yang sifatnya outward looking alias melihat ke luar
negeri. Untuk Indonesia, kita menyambut baik inisiatif Presiden Joko Widodo
ketika menghidupkan semangat maritim, namun melihat skema-skema infrastruktur
yang dikembangkan negara-negara lain, kita tak punya waktu panjang untuk
bergegas mempercepat langkah.
Keterbatasan anggaran di dalam negeri sebenarnya
dapat diatasi dengan mengembangkan skema-skema ambisius yang dapat menarik
investor untuk tidak melupakan betapa menguntungkannya jalur-jalur laut di
Nusantara dan ASEAN. Jika di negara-negara lain tadi yang dikembangkan terutama
jalur perdagangan, sejumlah sektor lain yang kompetitif di Tanah Air seperti
perbankan, properti, jasa-jasa terkait di sektor-sektor perhubungan dan
perikanan patut didorong untuk mengambil manfaat dari berkembangnya pusatpusat
pertumbuhan baru di Asia Tengah, India, Iran, Rusia, dan kota-kota yang dibuka
oleh China.
Jalur diplomasi yang sudah dibuka di Asia Tengah,
Timur Tengah, dan negara-negara Afrika di Samudera Hindia dapat digiatkan untuk
meraih cita-cita tersebut. Saya yakin 2017 adalah waktunya optimistis bagi
Indonesia, khususnya kalau kita membuka mata lebih lebar memanfaatkan segala
peluang yang terbuka.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional
KORAN SINDO, 04 Januari 2017
No comments:
Post a Comment