Menjelang akhir minggu ini, Amerika Serikat (AS)
akan melantik presiden barunya, Donald Trump. Terlepas dari gaduhnya suasana di
dalam negeri terkait gaya komunikasi Presiden Trump, termasuk yang baru-baru
ini disampaikan oleh bintang film Hollywood Meryl Streep, kenyataan haruslah
dihadapi publik bahwa AS sudah memilih prioritas tertentu dengan memilih
Presiden Trump sebagai nakhodanya. ”Making
America Great Again”, Membuat Amerika Besar Lagi. Demikian target Presiden
Donald Trump. Dari gaya komunikasinya, Trump ingin melaju dengan
agenda-agendanya dan mengesampingkan kritik segala pihak tentang caranya
memimpin. Meskipun teorinya sekarang adalah masih masa-masa bulan madu,
kedalaman perbedaan pendapat antara kubu pendukung Trump dan kubu yang
anti-Trump membutuhkan jembatan waktu yang lebih panjang. Tidak ada ”bisnis
seperti biasa” dalam politik luar negeri AS, khususnya terkait kebijakan
ekonomi.
Masih sedikit hasil riset atau pendapat yang dapat
secara pasti menjelaskan kebijakan ekonomi Donald Trump atau Trumponomics
secara detail. Hal ini disebabkan dalam masa kampanye lalu, Donald Trump
menyampaikan proposal kebijakan yang saling tidak konsisten demi merebut suara
rakyat Amerika. Tiadanya konsistensi itu menyebabkan luasnya ruang untuk
melalukan multiinterpretasi dan spekulasi tentang langkah nyata apa yang akhirnya
akan diambil oleh Trump. Meski demikian, hal-hal yang diucapkannya berulang
kali secara konsisten adalah reformasi pajak, yaitu dengan mengurangi pajak
perusahaan dan perorangan dan meningkatkan belanja fiskal di sektor
infrastruktur. Trump juga akan mengurangi belanja sosial baik dengan mengurangi
anggaran atau menyerahkannya kepada pihak swasta. Hal yang juga menjadi
kontroversi dalam minggu terakhir kampanye dan mendapat perlawanan dari Partai
Demokrat adalah rencana untuk menghapuskan Obamacare yang selama ini telah
memberikan kepastian jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di AS. Apabila
sesuai dengan janjinya di masa kampanye, kemungkinan jaminan kesehatan akan
kembali dikelola oleh pihak swasta.
Kebijakan reformasi pajak Trump bila dilakukan
sesuai janji kampanyenya sudah pasti akan menimbulkan defisit dalam anggaran
belanja negara. Logika sederhananya, pendapatan negara dikurangi tetapi
pembelanjaan, khususnya untuk infrastruktur, akan digenjot habis.
Pertanyaannya, dari mana uang untuk menutupi defisit belanja akan jadi
menentukan kebijakan ekonomi AS baik di dalam dan luar negeri. Kebijakan ini
juga akan merembet kepada kebijakan politik luar negeri terutama terkait dengan
kerja sama antar negara dan hal-hal lain yang tidak terkait dengan ekonomi
secara langsung, seperti krisis di Timur Tengah, penguatan pengaruh AS di
Asia-Pasifik atau juga Eropa. Secara ekonomis, danauntuk menambal lubang
defisit dapat diperoleh dengan menerbitkan surat utang negara atau obligasi.
Surat utang tidak menarik kalau suku bunganya tidak kompetitif terutama
dibandingkan dengan negara-negara emerging market termasuk Indonesia.
Momen kenaikan ini yang akan ditunggu-tunggu oleh
para pengambil keputusan di negara-negara lain terutama negara emerging market
di mana uang dari negara maju berkumpul. Apabila Bank Sentral AS menaikkan suku
bunga yang dapat menarik uang dari negara emerging market, tentu ini akan
menjadi masalah. Walaupun akan kebanjiran investasi, nilai tukar dolar juga
akan menguat secara perlahan-lahan.
Keadaan itu juga akan menyulitkan Amerika Sendiri
karena akan membuat ekspornya menjadi tidak kompetitif. Dalam konteks dan
dinamika ini, rencana detail Trumponomics sebagai langkah antisipasi menjadi
penting untuk kita amati. Meski demikian, dalam beberapa minggu setelah
pengumuman kemenangannya ada beberapa komentar yang dapat menjadi bahan dalam
menilai Trumponmics ke depan.
Pertama, terkait Perdagangan.
AS prinsipnya merasa harus mengakhiri defisit dalam
neraca perdagangannya, terutama terhadap China. Sampai hari ini wacana yang
berkembang di AS adalah agar AS membalikkan defisitnya. Yakni dengan mengadukan
segala kecurangan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku pasar lain, khususnya
model-model yang ditudingkan kepada China seperti overproduksi, mengendalikan
nilai tukar mata uang, menerapkan hambatan non-tariff. Tak heran Robert
Lighthizer yang berpengalaman sebagai penasihat hukum bidang perdagangan
dikabarkan akan ditunjuk sebagai Wakil AS untuk Perdagangan (US Trade
Representative). Karena nasib Trans Pacific Partnership belum jelas, target
Presiden Obama untuk menjadikan AS sebagai penentu aturan main perdagangan di
tingkat global belum jelas juga.
Hal ini menarik untuk dicermati negara seperti kita
karena dikotomi surplus dan defisit yang dianut oleh AS sangat dikaitkan dengan
nilai ekspor impor barang dan jasa. Ada sisi yang kemungkinan akan diabaikan
atau minimal tidak mendapat perhatian besar, yakni terkait pola konsumsi
masyarakat AS. Defisit dapat pula timbul karena masyarakat lebih senang membeli
dari luar negeri atau membeli daripada memproduksi sendiri. Jadi, kita juga
perlu jeli mengolah dan meningkatkan permintaan dari publik AS. Hal ini dapat
lebih menguntungkan daripada harus menghadapi tuntutan hukum urusan perdagangan
dari para pengacara AS. Aksi hukum terkait upaya menurunkan defisit dapat
teratasi jika konsumen mengutarakan pilihannya akan suatu produk atau jasa. Hal
lain yang juga menarik dicatat adalah dorongan untuk membalas hambatan
non-tariff dengan hambatan yang sejenis atau membawanya ke meja pengadilan.
Dari sisi ini, setidaknya ada dua hal utama yang
sebenarnya penting untuk dikembangkan, yakni inovasi yang mendukung peningkatan
daya saingprodukataujasadankeberpihakan negara pada riset yang akan
menghasilkan produk dan jasa berdaya saing tinggi. Aksi saling tuding terkait
hambatan non-tariff dapat teratasi jika suatu negara lebih kompetitif di bidang
inovasi dan riset. Sejumlah negara dari emerging market bergegas di bidang ini,
antara lain India dan China.
Kedua, terkait Daya Tarik Produksi.
AS pada prinsipnya menginginkan lebih banyak
perusahaan yang beroperasi dari AS. Cara yang digunakan adalah pemberian
insentif pemotongan pajak bagi korporasi, dari 35% menjadi 15%. Potongan pajak
tersebut diklaim akan meningkatkan laba perusahaan hingga 20%; suatu skema yang
seharusnya menarik bagi perusahaan- perusahaan. Untuk pajak pribadi, kabarnya
akan ada penurunan tarif pajak bagi mereka yang berpenghasilan tinggi dan
biasanya harus menanggung pajak 35-40%.
Mereka ini dikabarkan hanya perlu membayar pajak 33%
saja dari penghasilan bulanannya. Karena parlemen di AS punya hak untuk
memengaruhi kebijakan Presiden Trump terkait pemotongan pajak ini, program
tersebut diprediksi tidak akan diterapkan sampai setidaknya menjelang akhir
tahun. Kabarnya parlemen akan mengajukan pajak atas barangbarang impor, yang
artinya konsumen di Amerika bisa jadi punya lebih sedikit pilihan belanja. Memang
tidak ada yang tahu persis apa saja komponen Trumponomics yang sesungguhnya
akan berlaku. Namun, di Indonesia yang penting adalah membuka opsi-opsi lain
agar apa pun pilihan Trump, perekonomian kita dapat terus tumbuh. Amerika
Serikat butuh waktu selama setahun ini untuk melakukan penyesuaian di berbagai
lini sampai program-program Trump bisa sungguh terlaksana.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional
KORAN SINDO, 11 Januari 2017
No comments:
Post a Comment