Baru saja Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence
mengunjungi Indonesia. Salah satu hal yang disepakati setelah pertemuan dengan
Presiden Jokowi adalah kesepakatan untuk bagaimana pengaturan perdagangan dan
investasi bilateral berdasarkan prinsip saling menguntungkan (win-win solution). Namun, memaknakan
prinsip tersebut sementara ini dari kacamata AS sepertinya masih diwarnai proteksionisme
ala Presiden AS Donald Trump dalam arti pengaturan perdagangan internasional
yang terbuka, tetapi adil, dan akses untuk perusahaan-perusahaan AS.
Defisit perdagangan dan globalisasi yang tidak adil
selama ini dianggap penyebab pengangguran untuk berbagai jenis pekerjaan dan
sektor, pendapatan kelas menengah AS yang stagnan selama 20 tahun terakhir, dan
semua ini merugikan AS. Maka pendekatan AS saat ini adalah bagaimana menurunkan
defisit perdagangan barang yang besar dan tidak adil dan mencegah perusahaan-perusahaan
AS untuk investasi pabrik-pabrik di luar negeri, yang memberikan pekerjaan
kepada pekerja di negara lain (offshoring).
Neraca perdagangan jasa-jasa di mana AS mengalami surplus tidak banyak
disinggung maupun kemampuan bersaing yang diperoleh dari perusahaan AS dengan
melakukan offshoring tidak banyak disinggung.
Executive Order (EO) yang baru dikeluarkan akhir Maret akan
melakukan investigasi terhadap 16 negara di mana AS mempunyai defisit
perdagangan barang, termasuk Indonesia di peringkat ke-15 dan direncanakan akan
menerapkan pembatasan impor untuk menghadapi perdagangan yang tidak adil. Saat
ini pun beberapa produk Indonesia seperti kertas, udang, dan pelat besi baja
sudah dikenakan bea masuk anti dumping dan countervailing duty, dan sedang ada
petisi terhadap biodiesel Indonesia. Sementara Indonesia tidak ada kasus
terhadap AS.
Fokus pendekatan fair trade AS sesungguhnya
bertentangan dengan proses globalisasi yang berjalan maupun new globalization
yang akan lebih cepat lagi berada di tengah-tengah kita, di mana perdagangan
jasa dan pergerakan pengetahuan (knowledge) jadi keniscayaan. Justru kebijakan
fair trade yang akan dijalankan tak akan menghasilkan solusi win-win, apalagi
dalam konteks new globalization, dan bahkan akan merugikan AS.
Globalisasi, Revolusi Teknologi, dan "New
Globalization"
Sejak kata globalisasi mulai dipopulerkan awal
1980-an, diskusi mengenai proses global ini tak pernah berhenti. Tetapi,
kelihatannya pemahaman mengenai globalisasi ini masih harus terus diperbarui.
Terbukti kita masih terguncang ketika fenomena Brexit mengemuka dan Presiden
Trump dengan retorika anti globalisasinya menjadi pilihan rakyat AS.
Dalam bukunya, The
Great Convergence: Information Technology and the New Globalization,
Richard Baldwin percaya bahwa untuk mengerti implikasi dari proses globalisasi
yang terjadi saat ini, kita harus melihatnya sebagai bagian dari proses yang
berlangsung sejak ribuan tahun lalu ketika manusia memulai aktivitas produksi
dan perdagangan.
Baldwin-memberikan kuliah umum di Panglaykim
Memorial Lecture di CSIS, Jakarta, 2 Mei 2017-membagi sejarah produksi ekonomi
dan perdagangan hingga hari ini ke dalam tiga periode. Periode pertama adalah ketika produksi dan konsumsi harus berada
pada suatu tempat, di mana perdagangan sangatlah terbatas disebabkan tingginya
biaya transportasi. Periode kedua
adalah globalisasi gelombang pertama yang ditandai meningkatnya perdagangan
barang sejak abad ke-19 karena revolusi teknologi yang mampu menurunkan biaya
produksi dan transportasi dengan temuan mesin uap.
Produksi, pengetahuan, dan inovasi tetap di
negara-negara yang akhirnya jadi negara "maju" melalui
industrialisasi dan peningkatan pesat dari pendapatan yang terjadi menyebabkan
ketimpangan antara negara "maju" dan berkembang. Pihak lain yang
terkalahkan adalah pekerja tidak terampil yang tidak bisa bersaing dengan
produksi yang menggunakan tenaga mesin dan produksi secara massal. Tetapi,
banyak pihak lain yang diuntungkan, yaitu tenaga terampil yang mulai muncul,
dan terjadinya spesialisasi keterampilan, inovasi, dan produktivitas yang terus
berkembang, dan konsumen yang dapat mengonsumsi produk yang tak diproduksi di
negaranya.
Periode ketiga terjadi ketika perdagangan semakin didominasi arus
pertukaran ide, pengetahuan dan jasa, yang merupakan bagian dari globalisasi
gelombang kedua. Di sini perdagangan bukan lagi mengenai barang, melainkan
lebih dalam bentuk pekerjaan dan bagian dari proses produksi yang dilakukan
offshore atau dikerjakan di negara lain karena biaya tenaga kerja yang lebih
rendah. Globalisasi kedua sejak tahun 1970-an dimungkinkan karena perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mempermudah pertukaran
pengetahuan dan informasi, dan koordinasi global
value chain yang kompleks dan berlokasi di berbagai tempat.
Pada gelombang kedua globalisasi, pihak yang
terkalahkan adalah para pekerja yang sebelumnya mendapat keuntungan, terutama
yang berada di negara maju. Dengan kemajuan teknologi informasi, tidak hanya
barang, tetapi juga pekerjaan dapat dikirimkan ke luar negeri, khususnya ke
negara berkembang. Karena biaya mengirim orang yang punya pengetahuan masih
relatif mahal, terjadi juga konsentrasi bagian-bagian global value chain di
beberapa negara saja dan sebagian besar di Asia Timur.
Partisipasi Indonesia dalam GVC tidak tinggi seperti
di China atau beberapa negara ASEAN lain, tetapi Indonesia tetap diuntungkan
oleh permintaan komoditas yang terjadi karena pertumbuhan pesat di Asia Timur.
Pekerja dan kelas menengah di negara-negara yang bisa tumbuh karena produksi
offshore dan mengalami percepatan proses industrialisasi, mengalami pertumbuhan
tinggi (sebesar sekitar 80 persen selama 20 tahun terakhir).
Bagaimana ceritanya di negara maju? Kelompok yang
kehilangan pekerjaan karena offshoring dan kelompok kelas menengah dan bawah
yang pendapatannya stagnan dalam 20 tahun terakhir inilah yang merasa dirugikan
dengan globalisasi. Mereka adalah target yang ingin diberikan
"keadilan" oleh pendekatan kebijakan Trump saat ini walaupun
sesungguhnya penjelasan pengangguran di level tidak terampil dan padat karya 80
persen karena perubahan teknologi (seperti otomasi dan robotik) dan hanya 20
persen karena persaingan yang terjadi melalui perjanjian perdagangan.
Adapun sumber pengetahuan dan inovasi tetap di
negara maju, dan pemiliknya mengalami peningkatan pendapatan yang besar atau
sekitar 70 persen dalam 20 tahun terakhir ini. Maka terjadi ketimpangan
pendapatan di AS. Dengan globalisasi gelombang kedua, juga terjadi "convergence" pendapatan antara
negara maju dan sedang berkembang (walaupun tidak semua negara sedang
berkembang).
Masa Depan Globalisasi
Globalisasi akan terus berlanjut, tetapi dengan
wajah berbeda. Baldwin dan banyak pihak lain memprediksi dunia akan memasuki
gelombang ketiga globalisasi dengan revolusi teknologi yang berikutnya.
Digitalisasi dan teknologi akan mengubah cara produksi barang dan jasa-jasa
(misalnya 3-D printing, robotik) dan cara kita memperdagangkan barang dan
jasa-jasa (seperti e-commerce). Biaya
"menghadirkan orang"
menjadi lebih murah karena tak perlu terjadi pergerakan secara fisik. Seperti
juga murahnya pengiriman barang dan pengetahuan telah mendorong globalisasi
gelombang pertama dan kedua, maka globalisasi baru ini akan lebih cepat, lebih
mendadak, dan lebih tidak pasti. Implikasinya terhadap kondisi ekonomi dunia
juga akan sangat masif.
Saat ini kebanyakan kita masih memahami globalisasi
seperti pada gelombang pertama di abad ke-20. Berbagai kebijakan sosial ekonomi
juga masih didasarkan pemahaman lama ini. Akibatnya kita semua kaget ketika
implikasinya jauh dari yang diharapkan, dan berbagai kebijakan yang dibuat
untuk mengurangi dampak negatifnya tak efektif. Padahal, ada paradigma baru
proses globalisasi yang berarti pengambilan kebijakan sosial dan ekonomi harus
juga berubah.
Dengan gelombang globalisasi persaingan terjadi
antarpekerja, terutama yang biaya lebih rendah ditemukan di negara sedang
berkembang. Tetapi, pengetahuan dan inovasi, pekerjaan yang terampil dan
intensif ilmu pengetahuan, tetap berada di negara maju dan perusahaan atau
pemilik ilmu pengetahuan tetap dapat manfaat dengan memproduksi produk yang
bersaing dengan biaya lebih rendah karena kemungkinan offshore dan impor kembali ke AS-untuk menjadi produk final dengan
bagian high-end (high value) seperti penelitian, pengembangan dan inovasi, dan HAKI
maupun brand-tetap di AS.
Dengan memahami globalisasi yang sudah dan akan
terus terjadi, justru jika impor dibatasi dengan pendekatan Trump saat ini,
yang akan dirugikan adalah ekspor karena impor jadi lebih mahal-daya saing
ekspor AS terpengaruh. Selain itu, biaya produk terkait akan lebih mahal untuk
konsumen. Dan, jika bagian produksi yang bisa dilakukan offshore diminta kembali atau dicegah untuk keluar, yang terjadi
bukan penciptaan lapangan kerja karena pekerjaan yang direlokasi yang padat
karya dan rutin. Kemungkinan besar yang akan terjadi, penggunaan mesin atau
robot untuk menggantikan offshoring.
Maka justru menyalahkan negara asing yang tak adil dan menolak perjanjian-
perjanjian perdagangan yang ada untuk menolak new globalization yang tak adil akan merugikan AS dan tak
menciptakan lapangan pekerjaan yang diharapkan.
Solusi win-win adalah globalisasi dan arus
perdagangan, investasi, modal, pengetahuan dan orang yang terjadi akan ada yang
rugi dan untung, dan yang penting adalah mendesain program-program yang
mengatasi yang mengalami kerugian-bukan menolak new globalization. Program
seperti melakukan pelatihan ulang, memberi keterampilan yang lebih sesuai
dengan new globalization, diberi
dukungan untuk jadi wirausaha dan dukungan lain yang langsung membantu individu
yang terpengaruh akan lebih tepat. Bukan perlindungan terhadap sektor atau
jenis pekerjaan tertentu.
Memang kenyataan politik dan keterbatasan anggaran
sering kali menghasilkan yang berbeda, dan instrumen dari old globalization
seperti bea masuk dan hambatan dianggap paling mudah dilaksanakan. Padahal,
hasilnya merugikan dan tidak mengembalikan pekerjaan. Ini solusi lose-lose yang
harus dihindari. Semoga AS dan Trump menyadari hal ini, dan kita di Indonesia
juga menyimak dan mengantisipasi dinamika new
globalization.
Mari Pangestu, Profesor Ekonomi Internasional FEB-UI
KOMPAS, 02 Mei 2017
No comments:
Post a Comment