Ketidakpastian adalah hantu dalam perekonomian. Sering
kali perilaku investor menjadi tak terkendali menghadapinya. Merespons
kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat alias The Fed, menaikkan suku bunga
referensi sebesar 0,25 persen menuju 0,75 hingga 1 persen, investor sama sekali
tidak gugup. Seakan mereka menghadapi situasi biasa saja.
Ketidakpastian memang bersifat relatif. Hari-hari
ini ketidakpastian bukanlah hantu yang menakutkan. Faktor utamanya,
perekonomian AS terlihat mulai membaik. Bank Sentral AS memiliki dua mandat
pokok, menjaga inflasi dan angka pengangguran. Inflasi Februari 2017 sebesar
2,7 persen, yang dibandingkan dengan tahun lalu sudah lebih tinggi daripada
target The Fed sebesar 2 persen. Jika efek kenaikan harga makanan dan energi
dikeluarkan, inflasi sebesar 2,2 persen. Hal itu menandakan perekonomian mulai
menggeliat. Sementara, angka pengangguran sudah menuju titik ideal atau full
employment. Sepanjang Februari 2017 telah terjadi penambahan lapangan kerja
sekitar 235.000 sehingga angka pengangguran turun menjadi 4,7 persen. Akibatnya,
tingkat upah naik sekitar 6 persen.
Oleh karena itu, kenaikan suku bunga adalah
keniscayaan, suatu langkah menuju ”situasi normal” kembali. Ekspektasi investor
terhadap kenaikan suku bunga melejit lebih dari 90 persen, persis sebelum
kebijakan diambil. Sudah lebih dari tujuh tahun suku bunga mendekati nol persen
dan inilah saatnya naik. Sebagai catatan, suku bunga tertinggi di AS dalam
beberapa dekade terakhir terjadi pada bulan Juni 1981, sekitar 19 persen.
Faktor lain adalah perkembangan politik di Eropa.
Partai anti-imigran kalah dalam pemilu di Belanda minggu lalu. Partai beraliran
moderat (kanan tengah) pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte unggul dalam
perhitungan exit polls. Situasi ini memberikan sedikit kelegaan. Publik
berharap perkembangan politik di Belanda akan memengaruhi hasil pemilu di
Perancis dan Jerman yang akan digelar tahun ini. Menguatnya gejala nasionalis
yang anti-keterbukaan, seperti Brexit dan hasil pemilu AS, menorehkan trauma
global.
Laporan tiga bulanan Dana Moneter Internasional,
World Economic Outlook (edisi 1/2017) berjudul A Shifting Global EconomicLanscape. Muncul situasi ambigu, perekonomian global sebenarnya mulai membaik,
tetapi situasi geopolitik justru semakin tak menentu. Secara umum, negara
berkembang seperti Indonesia menghadapi dua tantangan pokok, yakni risiko
jangka pendek (cyclical) dan jangka
panjang (struktural). Risiko pertama terkait dengan normalisasi kebijakan
moneter di AS yang berpotensi menimbulkan kepanikan serta pembalikan modal,
sedangkan risiko jangka panjang bersumber pada belum pulihnya ekspor serta
investasi swasta.
Terkait kenaikan suku bunga The Fed minggu lalu,
paling tidak risiko pertama tak terjadi. Justru sebaliknya, modal asing terus
mengalir ke pasar modal kita. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek
Indonesia justru mencetak rekor tertinggi dalam sejarah, pada level 5.540,
justru setelah kenaikan suku bunga The Fed. Selain faktor kepastian global yang
mulai tercipta, ada faktor domestik yang mendorong, seperti potensi kenaikan
peringkat investasi oleh Standard & Poor’s serta kinerja emiten yang bagus.
Indeks Pertambangan mencatat kenaikan paling tinggi
di antara kelompok industri lainnya, yang ditopang kenaikan harga komoditas.
Seiring masuknya modal asing, nilai tukar rupiah juga terjaga pada posisi Rp
13.300-an per dolar AS. Kekhawatiran penguatan indeks dollar AS dengan kenaikan
suku bunga The Fed tak terjadi.
Meskipun situasi tampak terjaga, ketidakpastian
belum hilang. Masih terlalu dini menganggap perekonomian global stabil.
Berbagai kejutan masih mungkin terjadi sehingga gejolak masih akan datang lagi.
Stabilitas adalah sesuatu yang kita butuhkan, tetapi sama sekali tak mencukupi.
Perekonomian kita harus terus ekspansi sehingga fokus harus bergeser pada
produktivitas.
Laporan triwulanan perekonomian Indonesia terbitan
Bank Dunia (edisi 1/2017) mengambil judul SustainingReform Momentum. Menghadapi kehadiran kembali ketidakpastian politik global
serta risiko guncangan keuangan, cara yang paling baik adalah melanjutkan
reformasi perekonomian domestik. Pertama,
melanjutkan paket kebijakan ekonomi yang berorientasi meningkatkan daya saing
dan produktivitas perekonomian domestik. Kedua,
melanjutkan konsolidasi fiskal serta perbaikan pengeluaran publik, untuk
menyokong reformasi struktural. Ketiga, secara khusus fokus pada kualitas
pembelajaran di sektor pendidikan.
Satu aspek penting untuk mengatasi persoalan
stabilitas sekaligus produktivitas dalam jangka panjang adalah pendalaman
sektor keuangan. Ketergantungan pada modal asing, khususnya jangka pendek,
merupakan salah satu masalah fundamental dan struktural yang kronis. Itulah
mengapa kita cenderung menjadi korban dari gejolak sektor keuangan global.
Pendalaman sektor keuangan dengan bantuan kemajuan teknologi digital bisa
menjadi kunci asal dikelola dengan benar. Arahnya bukan menambah atau mengganti
akses keuangan bagi yang sudah memilikinya, melainkan menambah akses yang belum
terlayani. Masalah inklusi keuangan menjadi isu sentral, apalagi di era
teknologi finansial ini.
A Prasetyantoko, Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
KOMPAS, 20 Maret 2017
Baca lebih lanjut perihal masalah inklusi keuangan:
No comments:
Post a Comment