Akhirnya bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku
bunga acuan (The Fed Fund Rate/FFR) 25 basis poin dari 0,75 persen menjadi 1
persen pada 15 Maret 2017 atau 16 Maret 2017 waktu Indonesia. Bahkan, FFR
diprediksi akan naik tiga kali pada 2017. Inilah yang menjadi pusat perhatian
mata pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Mengapa? Karena kenaikan FFR
bisa memengaruhi suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI 7-Days RR),
suku bunga deposito, suku bunga kredit, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,
cadangan devisa, bahkan modal keluar dari pasar keuangan.
Lantas, bagaimana arah BI 7-Days RR ke depan?Sidang
Dewan Gubernur Bank Sentral AS, 13-14 Desember 2016, telah memutuskan kenaikan
FFR 25 basis poin (bps) dari 0,50 persen menjadi 0,75 persen yang bisa
memengaruhi tingkat BI 7-Days RR. Tetapi, BI tetap mempertahankannya pada level
4,75 persen pada Sidang Dewan Gubernur BI pada medio Desember 2016 serta
Januari, Februari, dan Maret 2017.
Pun BI mempertahankan suku bunga deposit facility 4
persen dan lending facility 5,5 persen. Deposit facility adalah fasilitas
simpanan bank di bank sentral. Sebaliknya, lending facility fasilitas pinjaman
dari bank sentral kepada bank yang perlu tambahan likuiditas harian. Hal itu
bertujuan untuk mengantisipasi berbagai potensi risiko global dan dalam negeri.
Aneka Implikasi
Terbuka kemungkinan BI tak akan mampu terus-menerus
mempertahankan suku bunga acuan, terlebih ketika rencana kenaikan FFR menjadi
kenyataan. Saya prediksi FFR akan mendaki lagi pada kuartal II-2017 dengan
syarat indikator ekonomi AS kian membaik. Sebut saja pertumbuhan ekonomi yang
makin subur, tingkat pengangguran membaik, jumlah pengangguran menurun, dan
tawaran lowongan kerja naik.Berdasarkan pertimbangan itu, kemungkinan besar FFR
hanya akan naik dua kali pada 2017.
Mengapa? Lantaran inilah tahun orientasi bagi Trump
setelah program kerja 100 hari sebagai pengusaha yang langsung menjadi orang nomor
wahid di AS.Dengan bahasa lebih lugas, ia masih butuh banyak waktu untuk
menyesuaikan segala kebijakannya yang radikal dengan birokrasi, parlemen, dan
UU yang memagarinya. Contoh konkret, larangan imigran masuk ke AS selama tiga
bulan dari tujuh negara (Iran, Irak, Suriah, Yaman, Lebanon, Sudan, dan
Somalia) akhirnya dilawan Mahkamah Agung sehingga tidak bisa jalan. Alhasil,
setiap kenaikan FFR saya prediksi berkisar 25 bps. Sekali lagi, itu sejauh The
Fed menilai indikator ekonomi AS menunjukkan perbaikan cukup signifikan.
Lalu, apa implikasi kenaikan FFR bagi Indonesia?
Pertama, manakala FFR naik terus, BI 7-Days RR bisa jadi terpaksa naik.
Sekalipun FFR diprediksi ”hanya” akan naik dua kali, tak ada jaminan BI 7-Days
RR pun akan naik dua kali atau bahkan bisa lebih sehingga bisa mencapai kisaran
5-6 persen 2017. Hal itu juga amat bergantung pada inflasi dan nilai tukar
rupiah.Akibatnya, penurunan suku bunga deposito yang terjadi selama ini akan
terhambat. Padahal, selama ini suku bunga deposito sudah turun cukup tajam 146
bps (1,46 persen) untuk tenor satu bulan karena biaya dana (cost of fund) sudah turun pula.
Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 16
Februari 2017 menunjukkan suku bunga rata-rata deposito (rupiah) bank umum
turun signifikan secara tahunan dari 7,58 persen per Desember 2015 menjadi 6,45
persen per Desember 2016 untuk tenor satu bulan. Untuk tenor tiga bulan, suku
bunga rata-rata deposito turun dari 8,15 persen menjadi 6,79 persen dan dari
8,54 persen menjadi 7,08 persen (enam bulan). Untuk tenor 12 bulan, bunga
rata-rata deposito turun dari 8,58 persen menjadi 7,35 persen pada periode
sama. Sebaliknya, suku bunga rata-rata kredit bank umum turun lebih rendah
paling tinggi 110 bps (1,10 persen) untuk kredit modal kerja dan 91 bps (0,91
persen) untuk kredit investasi. Sementara suku bunga rata-rata kredit untuk
kredit konsumsi hanya 29 bps (0,29 persen).
Perbedaan penurunan antara suku bunga deposito dan
kredit itu mendorong margin bunga bersih (net interest margin/ NIM) bank umum
justru naik 24 bps (0,24 persen) dari 5,39 persen per Desember 2015 menjadi
5,63 persen per Desember 2016. Inilah berkah dalam musibah (blessing indisguise), terutama bagi bank
nasional papan atas untuk meraih keuntungan berupa kenaikan margin bunga bersih
dalam ekonomi yang sedang lesu saat ini.Lihat saja, NIM kelompok bank umum
kegiatan usaha (BUKU) 1 dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun naik dari
6,14 persen per Desember 2015 menjadi 6,30 persen per Desember 2016, BUKU 2
(modal inti Rp 1 triliun hingga kurang dari Rp 5 triliun) dari 4,74 persen
menjadi 5,08 persen. Demikian pula NIM BUKU 3 (modal inti Rp 5 triliun hingga
kurang dari Rp 30 triliun), meningkat dari 4,49 persen menjadi 4,77 persen dan
BUKU 4 (modal inti di atas Rp 30 triliun) dari 6,36 persen menjadi 6,50 persen.
Ini salah satu sebab bank nasional tetap mampu menggapai laba tinggi meski
dalam kondisi prihatin.
Padahal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang
berupaya keras supaya bank nasional menurunkan NIM hingga 4-5 persen di tengah
rata-rata industri 5,63 persen saat ini. Untuk itu, OJK menawarkan insentif
berupa kemudahan dalam membuka kantor baru. Ajakan itu bertujuan agar bank
nasional mampu bersaing dengan bank-bank di negara ASEAN dengan NIM 2-4 persen.
Namun, dalam kondisi ekonomi yang kurang bergairah ini, insentif itu kurang
menarik, mengingat kini bukan saatnya untuk menambah kantor, melainkan untuk
berbenah diri.
Kedua, pelan tetapi pasti kenaikan BI 7- Days RR akan
mendorong kenaikan bunga deposito. Sepanjang 2016, pertumbuhan dana pihak
ketiga (DPK) 9,25 persen, lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit 7,58
persen.Meski DPK mulai naik, itu simbol likuiditas perbankan nasional masih
ketat. Dapat diduga ada beberapa alasan, yakni deposan kelas kakap, seperti
BUMN, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, menarik sebagian dana mereka
karena suku bunga deposito makin tipis. Tambah lagi aturan OJK mewajibkan dana
pensiun pemberi kerja dan perusahaan asuransi jiwa menempatkan minimal 20
persen ke Surat Berharga Negara (SBN) paling lambat 31 Desember 2016 dan 30
persen pada 31 Desember 2017.
Ketiga, ketatnya likuiditas itu bisa membuat bunga
deposito kembali menebal yang bisa mendorong terjadinya perang suku bunga
deposito. Celakanya, perang itu akan membuat suku bunga kredit enggan turun, tetapi
naik meski pelan namun pasti. Akibat logisnya, target suku bunga kredit single
digit alias di bawah 10 persen yang dicanangkan pemerintah sulit terwujud.
Pemerintah berharap suku bunga kredit yang lebih terjangkau akan menarik sektor
riil untuk lebih banyak menikmati kredit perbankan guna ekspansi usaha sehingga
menyuburkan pertumbuhan ekonomi. Namun, harapan itu belum menjadi kenyataan.
Itu menunjukkan suku bunga kredit yang terjangkau
ternyata bukan satu-satunya faktor yang menarik bagi sektor riil. Sejatinya,
pemerintah sudah meluncurkan selusin lebih paket kebijakan ekonomi, tetapi
sebagian besar belum menyentuh langsung kebutuhan dasar sektor riil. Selain
itu, harus diakui penurunan gairah ekonomi mendorong produsen mengerem
produknya. Gejala itu tersirat pada kredit kepada nasabah yang belum ditarik
(undisbursed loan) yang naik 6,95 persen dari Rp 1.219,52 triliun per Desember
2015 menjadi Rp 1.304,24 triliun per Desember 2016. Bahkan, kredit pada bank
lain yang belum ditarik terbang tinggi 64,28 persen dari Rp 7,53 triliun ke Rp
12,37 triliun.
Keempat, kenaikan BI 7-Days RR pun dapat mendorong dana
panas keluar dari pasar keuangan. Dengan demikian, posisi BI seolah berada di
jalan labirin. Artinya, sikap mempertahankan, apalagi menurunkan atau menaikkan
bunga acuan akan menjadi sorotan tajam banyak kalangan.
Ketika kenaikan BI 7-Days RR dinilai ”terlalu kecil”
oleh investor asing, hal itu bisa mengakibatkan dana panas kian kencang terbang
kembali ke AS atau mencari pasar yang menawarkan margin yang lebih gurih.
Tengok saja, negara berkembang lain menawarkan suku bunga acuan yang lebih
tinggi, seperti Argentina 24,75 persen, Venezuela 22,48 persen, Mesir 14,75
persen, Nigeria 14 persen, Brasil 13 persen, Kazakhstan 12 persen, Afrika
Selatan 7 persen, Banglades 6,75 persen, Vietnam 6,50 persen, dan India 6,25
persen, bandingkan dengan Indonesia 4,75 persen.
Kelima, terkurasnya dana asing di pasar keuangan bisa
mendorong nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah. Ujungnya, BI harus
melakukan intervensi pasar dengan menggelontorkan dana. Langkah ini akan
menekan cadangan devisa yang kini mencapai 119,86 miliar dollar AS per akhir
Februari 2017 menebal dari 116,89 miliar dollar AS per akhir Januari 2017.
Menanti Langkah Sakti
Oleh karena itu, bank sentral dituntut memainkan
peran penting sebagai pendekar moneter yang sakti. Dengan bahasa lebih bening,
langkah BI harus lebih strategis dalam menetapkanBI 7-Days RR. Putusan BI dalam
mempertahankan, menurunkan atau menaikkan bunga acuan wajib mempertimbangkan
empat mata angin, yakni aneka implikasidi atas dan kondisi ekonomi dalam
negeri. Ingat pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA, kenaikan harga BBM,
dan tarif pengurusan kendaraan bermotor dapat memicu laju inflasi. Pun BI wajib
mempertimbangkan aneka kondisi global yang terus berubah, seperti efek Trump,
langkah antisipatif China terhadap ancaman perdagangan AS yang proteksionis,
dan efek Brexit. Langkah BI yang diharapkan ramah pasar (market friendly) dan searah dengan langkah pendekar fiskal akan menjadi
salah satu pilar dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan
KOMPAS, 21 Maret 2017
No comments:
Post a Comment