Kemajuan teknologi informasi secara radikal dalam
beberapa tahun terakhir memang mencengangkan. Salah satunya, fenomena big data,
kumpulan data yang jumlahnya amat besar, yang berkembang sedemikian cepat
(detik demi detik), dalam beragam format. Data ini bersifat mentah, belum
terstruktur sebagaimana data sekunder yang kita kenal dari lembaga formal sehingga
memerlukan upaya lanjutan agar bisa ”layak saji”. Sepintas, data besar ini
hanya kumpulan angka dan informasi. Namun, pihak lain bisa menjadikannya
sebagai basis untuk berbisnis.
Sebenarnya, secara prinsip hal itu sudah terjadi di
masa lalu. Misalnya, data nomor telepon seluler dan alamat surat elektronik
nasabah kartu kredit bisa dipakai untuk mempromosikan produk baru bank. Namun,
akhir-akhir ini penambahan data lebih cepat lagi. Data tidak hanya berasal dari
nasabah bank, tetapi juga dari beraneka transaksi perdagangan dalam jaringan
(daring), termasuk penumpang taksi dan ojek daring. Data ini terus tumbuh.
Fenomena big data memantik diskursus: apakah
kehadirannya akan membawa manfaat besar berupa kenaikan produktivitas, atau
tidak? Aliran utama tentu saja berpendapat, big data bisa dimanfaatkan untuk
memperbesar volume dan mempercepat transaksi. Logikanya, lebih mudah mengakses
pelanggan sehingga peluang untuk menaikkan transaksi kian besar.
Itulah sebabnya, kini muncul banyak situs
perdagangan elektronik (e-dagang). Ketika baru-baru ini bisnis ritel mulai
terlihat tanda stagnan, bahkan melambat pada triwulan I-2017, banyak analisis
yang mengaitkan dengan fenomena transaksi daring. Kini, kian banyak orang yang
bertransaksi kebutuhan sehari-hari secara daring, menggantikan aktivitas
mengunjungi toko dan mal. Namun, kita tidak bisa buru-buru menyimpulkan
transaksi daring bakal segera menggantikan transaksi konvensional di toko/mal.
Jalan masih panjang untuk membuktikannya. Namun, ada pula yang skeptis, termasuk
ekonom peraih Nobel, Paul Krugman. Krugman mengatakan, sabar saja dulu. Masih
perlu waktu untuk membuktikan itu. Big data tidak serta-merta akan membawa
pengaruh yang besar pada perekonomian, tidak seperti dulu ketika ditemukan
listrik (”The Dynamo and Big Data”,
The New York Times, 18/8/2013).
Belakangan, Krugman memperkaya analisisnya (”The Big Meh”, The New York Times,
25/5/2015). Dia mempertanyakan, apakah kemajuan teknologi secara pesat otomatis
menaikkan produktivitas? Tampaknya tidak. Buktinya, dalam beberapa tahun
terakhir, perekonomian global malah menunjukkan gejala lesu. Padahal, kita kini
hidup pada zaman yang disebutnya secara jenaka sebagai era ”iPhones, iPad, dan
iDontKnows”….
Lalu, kenapa terjadi paradoks produktivitas,
perekonomian tidak melesat cepat seiring dahsyatnya kemajuan teknologi? Krugman
mengajukan tesisnya, kemajuan teknologi hanya menyenang-nyenangkan dirinya
untuk bisa menonton konser musisi favoritnya melalui live streaming, tetapi
tidak berpengaruh terhadap produk domestik bruto (PDB). Kemungkinan lain,
sebenarnya kita mendambakan mobil yang bisa terbang untuk mengatasi kemacetan,
tetapi yang ditemukan adalah teknologi ”mengetik 140 karakter” alias Twitter!
Saya mengamati fenomena menarik industri bioskop.
Pada 1990-an, mayoritas bioskop di Indonesia gulung tikar. Penyebabnya,
ditemukan teknologi video cakram (VCD, laser disc, DVD, dan blu ray) yang bisa
diputar di rumah setiap saat. Orang tak perlu pergi ke bioskop dan video bisa
diputar ulang semaunya. Lalu, matikah bisnis bioskop kita?
Ternyata tidak. Seiring pertumbuhan mal, bioskop
tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menyatu dengan mal. Sensasi menonton bioskop
di gedung tidak bisa sepenuhnya disubstitusi dengan menonton video cakram.
Kota-kota yang semula bioskopnya mati kini hidup lagi, sepanjang kota itu
memiliki mal. Jadi, tidak benar juga jika dikatakan munculnya teknologi baru
akan otomatis mematikan cara transaksi konvensional.
Akan tetapi, bagaimana dengan fenomena kinerja
bisnis ritel yang mulai stagnan karena maraknya transaksi daring? Itu belum
bisa dianggap kejadian permanen. Transaksi daring merupakan ”sebuah pukulan
yang agak mengganggu transaksi konvensional”, saya rasa pernyataan itu benar.
Namun, tidak berarti transaksi konvensional ”habis”.
Soal paradoks produktivitas, saya meyakini hal itu
dalam jangka panjang tidak ada. Temuan teknologi baru dan big data mungkin
belum berdampak langsung terhadap PDB dalam jangka pendek. Bisa pula karena PDB
global pada hari-hari ini masih lebih dipengaruhi variabel lain, misalnya
ketidakpastian kebijakan ekonomi Amerika Serikat, harga komoditas yang susah
ditebak arahnya, konflik dan tekanan politik, kondisi demografi (membesarnya
jumlah penduduk lanjut usia di negara maju), dan banyak lagi. Perkembangan PDB
global pun dipengaruhi banyak faktor, bukan cuma faktor teknologi dan big data.
Menyikapi fenomena big data akhir-akhir ini, itu
sebuah keniscayaan. Arus besar ini tak mungkin kita hindari. Contohnya,
penggunaan bitcoin juga sebuah keniscayaan. Namun, kondisi sektor finansial dan
perekonomian Indonesia secara keseluruhan belum memungkinkan kita terlibat
terlalu jauh. Kita tidak mungkin menjadi pionir. Dengan PDB per kapita 3.600
dollar AS, kita tidak bisa berada di garis terdepan, seperti negara yang PDB
per kapitanya di atas 50.000 dollar AS, misalnya AS. Semua ada masanya dan
berproses. Oleh karena itu, kita nikmati tahap-tahap itu dengan mengedepankan
kehati-hatian dan kecermatan.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 08 Mei 2017
No comments:
Post a Comment