Labirin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai "tempat yang penuh dengan jalan dan lorong yang
berliku-liku dan simpang siur" atau "sesuatu yang sangat rumit dan
berbelit-belit." Kondisi itulah yang dialami Presiden Joko Widodo (Jokowi)
disisa dua tahun pemerintahannya. Tahun depan bangsa Indonesia memasuki tahun
politik. Sebanyak 171 daerah akan menghelat pilkada secara serentak. Di saat
bersamaan, genderang tahapan Pemilihan Legislatif 2019 dan Pemilihan Presiden
2019 mulai ditabuh. Ini artinya, ada dua peristiwa politik dengan bobot
resonansi tinggi akan berlangsung pada sisa dua tahun kepemimpinan Presiden
Joko Widodo (Jokowi). Tahun politik akan menyita sebagian besar energi politik
elite pemerintahan. Pertama, Jokowi merupakan presiden yang menjabat periode
pertama. Meski belum secara resmi deklarasi pencalonan pada Pilpres 2019, namun
riak-riak konsolidasi ke arah sana makin benderang. Artinya, hampir bisa
dipastikan Jokowi akan kembali berlaga memperebutkan singgasana RI-1.
Besar kemungkinan konsentrasi Jokowi sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan akan terganggu. Energi Jokowi akan
terkuras dalam arena konsolidasi politik melihat posisinya belum aman dalam
urusan "tiket pencapresan". Berbega kasus misalnya dengan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu merupakan ketua umum Partai Demokrat. Ini
belum soal elektabilitas Jokowi yang kini masih di bawah kisaran 50 persen.
Secara elektoral, tingkat keterpilihan dengan angka tersebut bukanlah posisi
"aman". Konfigurasi peta politik ini tentu sedikit banyak akan
menguras energi Jokowi. Kedua, di antara 171 daerah yang menggelar hajatan
demokrasi, tidak sedikit di antaranya kandidat incumbent. Seperti halnya
Jokowi, besar kemungkinan konsentrasi mereka akan terbelah. Kondisi itu tentu
tidak menguntungkan Jokowi dalam upaya mempercepat segala agenda pembangunan.
Pasalnya, tanpa bersinergi dengan pemerintah daerah, target akselerasi
pembangunan sulit terealisasi.
Ketiga, sebagian besar pembantu presiden merupakan
pentolan orang-orang parpol, bahkan jumlahnya lebih dari 50 persen. Sudah
menjadi tradisi, para menteri kerap menjadi juru kampanye parpol dalam setiap
momentum pilkada ataupun pileg. Mereka dianggap mampu menjadi "magnet
elektoral" bagi publik sehingga diharapkan dapat membantu mendulang
lumbung suara partai. Itulah sejumlah tantangan penting yang perlu kita ingatkan
bersama. Memang harus diakui kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan
Jokowi selama tiga tahun mengalami kenaikan. Survei SMRC September 2017 lalu
mengungkapkan, sebesar 68 persen publik puas dengan kinerja Presiden Jokowi.
Jika dibandingkan tingkat kepuasan publik atas kinerja Presiden ke-6 SBY dengan
Jokowi pada periode masa kepemimpinan yang sama, kepuasan terhadap Jokowi lebih
tinggi.
Tantangan Ekonomi
Meski begitu, selama tiga tahun memimpin, Jokowi
juga tak bisa lepas dari catatan kekurangan, salah satunya persoalan ekonomi.
Meskipun kinerja sektor ekonomi terbilang ada kenaikan, namun kenaikannya masih
minim. Survei CSIS menyebut kepuasan bidang ekonomi hanya 56,9%. Bila
dibandingkan dengan kinerja ekonomi pemerintahan sebelumnya, angka yang
diperoleh Jokowi relatif masih rendah. Padahal sudah menjadi pengetahuan
bersama bahwa saat hajatan politik digelar, suasana penuh ketidakpastian kerap
menyelimuti. Suasana ketidakpastian akibat menyembulnya beragam polarisasi
politik jelas sangat tidak kondusif untuk sektor perekonomian. Pasalnya,
perekonomian yang sehat dan bergairah mensyaratkan adanya kepastian iklim
usaha.
Apalagi tahun 2018 sebagaimana tertuang dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, pemerintah punya target
pertumbuhan ekonomi di angka 5,4 persen. Kondisi ini mengisyaratkan bila
suasana tahun politik tidak mampu terkelola dengan baik, target pertumbuhan
ekonomi tersebut bukanlah target yang mudah dicapai. Sebaliknya, turbulensi
ekonomi yang pada gilirannya dapat berdampak pada krisis kepercayaan publik
terhadap kepemimpinan Jokowi bisa saja terjadi. Secara politik, hal itu jelas
sangat merugikan Jokowi karena bukan tidak mungkin kegagalan dalam sektor
ekonomi akan menjadi "batu sandungan" dalam meneruskan estafet
kepemimpinan di periode berikutnya.
Perkuat Soliditas
Sebagai pemegang kendali di republik ini, Presiden
Jokowi mesti pintar-pintar mengatur strategi dalam menghadapi tahun politik.
Salah satu upaya untuk mengoptimalkan kinerja di tahun politik adalah dengan
memperkuat soliditas di semua sektor pemerintahan. Soliditas dan kekompakan itu
perlu dimulai dari para pembantu presiden. Kegaduhan politik akibat manuver
sejumlah pembantu presiden belakangan mesti dihindari. Presiden Jokowi perlu
memberi peringatan tegas kepada segenap pembantunya supaya menciptakan iklim
kondusif mesti tahun politik tengah berlangsung. Di sisi lain, upaya Presiden
Jokowi membangun sinergi dengan pemerintahan daerah juga perlu diperkuat.
Sebab, meski kepala daerah secara struktur merupakan perpanjangan tangan
pemerintah pusat, namun faktanya kini dianggap terlalu otonom untuk bisa
mendukung agenda pemerintah pusat. Selama ini para kepala daerah lebih
cenderung menjalankan agendanya masing-masing. Dua tahun menjelang sisa
pemerintahan Jokowi, penyatuan visi antara pemerintah pusat, para menteri dan
kepala daerah, perlu kembali dilakukan. Selain sebagai upaya menggenjot target
kinerja masing-masing sektor, Presiden Jokowi perlu mereview kembali komitmen
segenap menteri dan kepala daerah untuk mensukseskan agenda-agenda pemerintahan
pusat. Sebab, komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan soliditas.
Tanpa itu, soliditas untuk menggonjot kinerja di tahun politik akan sulit
terealisasi.
Ali Rif'an,
Direktur Riset Monitor Indonesia
DETIKNEWS, 28 November 2017
No comments:
Post a Comment