Mungkin, sudut pandang paling “tepat” menilai aspek
politik-ekonomi tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla adalah dengan melihat sejauh mana negara mampu memetik keuntungan
secara maksimal dalam pola permainan tata “baru” ekonomi internasional dan
pendalaman kehadiran negara ke dalam percaturan ekonomi nasional. Yang pertama
adalah lapangan di mana negara harus berhadapan dengan sekian banyak variabel
yang tak bisa dikontrol (uncontrolable
variables). Yang kedua lapangan di mana negara memegang kontrol utama.
Usaha menjelaskan keduanya akan memberikan pemahaman obyektif tentang
keberadaan politik-ekonomi Indonesia di bawah Jokowi-JK.
Rezim Globalisme Terbelah?
Tentu, frasa “rezim globalisme terbelah” (fractured
globalism regime) ini tidak tepat benar dikenakan di sini. Hanya saja, saya
terinspirasi menggunakannya setelah membaca frasa “Europe’s New Order”, judul berita The Economist (30/9/2017), yang
menggambarkan potensi perubahan peta kepemimpinan ekonomi Eropa jika usaha
reformasi Presiden Perancis Emmanuel Macron dapat dilaksanakan. Reformasi yang
lebih mengarahkan ekonomi Perancis ke wilayah “pasar” ini tidak hanya akan
menggeser dominannya perekonomian Jerman di bawah Angela Merkel di Eropa,
tetapi juga ditandai kemunculan “Trumponomics”,
kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengambil “jalan
menyimpang” dari arus globalisasi. Yang terakhir ini adalah renungan Trump yang
ingin mengembalikan apa yang disebut Steven Rosefielde dalam “Trump’s Populist
America” (2017) sebagai keadilan sosial Amerika (America’s social justice)? seperti berlaku 1960-an. Dalam konteks
ini bukan saja ada kenangan “keluarga lebih penting ketimbang kosmopolitanisme”
(family was more important than
cosmopolitanism), melainkan preseden proteksionisme negara atas
kesejahteraan buruh. Globalisasi, dalam pandangan Trump, telah merenggut
“kedamaian keluarga” dan “kesejahteraan” dari kelas buruh AS. Inilah latar
belakang slogan America first. Sebagai realisasi konkretnya, bersama Partai
Republik, Trump mengajukan sistem perpajakan baru, disebut Tri Winarno dalam “Beware of the US ‘tax amnesty'” (The Jakarta
Post, 30/10), sebagai territorial tax
system.
Sistem baru ini secara tak langsung bersifat
nasionalistik karena, di samping menurunkan pajak usaha hingga 35 persen dari
39 persen sebelumnya, mendorong korporasi multinasional negara itu membangun
markas besar mereka di negeri itu. Dengan yang terakhir itu, Trump berusaha
menghalau balik dana korporasi AS yang-dalam arus deras globalisasi dan sistem
perpajakan lama terpencar-pencar di sejumlah negara?-ke negeri asalnya. Dengan
mengecualikan peranan ekonomi China, kombinasi fenomena Europe’s New Order dan
Trumponomics inilah saya gunakan frasa rezim globalisme terbelah, yaitu sebuah
tata perekonomian internasional yang ditandai tarik-menarik struktur permainan
tingkat supra-negara antara globalisme dan nasionalisme ekonomi. Karena
permainan di dalam struktur itu adalah aktor-aktor negara raksasa, maka
melebihi rezim globalisme murni, variabel-variabel yang direproduksi rezim
globalisme terbelah ini lebih bersifat uncontrolable (tak terkendali).
Bukankah, untuk sementara, sifat nasionalistik
Trumponomics akan berjalan seiring dengan kecenderungan bank sentral AS, The
Fed, menaikkan suku bunga, karena perekonomian negara itu membaik dan tingkat
inflasi telah melebihi dua persen? Bukankah gubernur bank sentral Uni Eropa
(European Central Bank/ECB) Mario Draghi, seperti ditulis Financial Times
(27/10/2017), walau menolak kepastian penghentian program stimulatifnya,
menurunkan dana quantitative easing (QE) tahun depan dari 60 miliar euro
menjadi 30 miliar euro sebulan? Konsekuensinya, bukankah kombinasi
Trumponomics, kecenderungan The Fed menaikkan suku bunga, dan tindakan reduksi
QE ECB itu berpotensi mendorong arus modal keluar dan sekaligus menghambat
ekspansi modal ke wilayah perekonomian berkembang (emerging economies), di mana
Indonesia termasuk salah satu di antaranya?
Kendati demikian, dalam situasi di mana
variabel-variabel yang tak bisa dikontrol produk tata “baru” ekonomi
internasional menjadi kian kompleks, perekonomian Indonesia relatif terjaga.
“Secara umum,” ujar Luis E Breur, Ketua Tim Dana Moneter Internasional (IMF)
yang mengetuai evaluasi perekonomian Indonesia tahun ini, “berjalan sangat
baik. Ketika membandingkan Indonesia dengan negara lain, kami melihat
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen cukup tinggi.” (Kompas,
15/11/2017) Pernyataan itu berjalan seiring dengan evaluasi Bank Dunia yang,
dalam Laporan Kemudahan Usaha 2018, menaikkan peringkat Indonesia ke posisi
ke-72 dari 190 negara. Ini, seperti diberitakan Kompas (2/11/2017), berarti
sebuah lonjakan “tinggi” mengingat pada 2016 status kemudahan usaha di
Indonesia masih berada pada peringkat ke-109. Kemampuan mengelola dan menjaga
ekonomi makro (inflasi yang terkendali di bawah 4 persen, defisit neraca
ekspor-impor barang dan jasa yang terkendali di level 2-2,5 persen sepanjang
2015- 2017, defisit fiskal di bawah 2,8 persen dari PDB, rasio utang terhadap
PDB sebesar 35 persen, dan cadangan devisa yang mencapai 128 miliar dollar AS)
telah meyakinkan dunia akan “ketepatan” kebijakan ekonomi Indonesia di bawah
Jokowi-JK. Karena itu, tak pula mengherankan jika Forum Ekonomi Dunia menaikkan
peringkat Indeks Daya Saing Indonesia dari 41 ke 36 dari 137 negara (Kompas,
30/9/2017).
Pendalaman Peran Negara?
Yang paling dramatis dan menjadi ciri khas produk
kebijakan ekonomi Jokowi-JK adalah asumsi pelaku usaha swasta bahwa peranan
negara dalam perekonomian nasional kian mendalam. Tentang apakah peta peran
ekonomi negara-swasta telah berubah dengan kebijakan itu tentu perlu studi
lebih lanjut. Untuk sementara dapatlah dikatakan bahwa usaha negara hadir dalam
perekonomian lapisan bawah terlihat dari kebijakan kredit usaha rakyat (KUR)
yang kian ekspansif dan mendalam. Jika sepanjang 2007-2014 alokasi KUR mencapai
Rp 178,85 triliun, maka pada 2016 saja telah mencapai Rp 94,4 triliun. Dan
target penyaluran KUR tahun ini meningkat menjadi Rp 110 triliun. Penetrasi
negara ke dalam perekonomian rakyat ini kian mengalami “diversifikasi” karena
keragaman kategori KUR. Sebab, di samping KUR mikro dan KUR ritel, kredit ini
juga dialokasikan kepada tenaga kerja Indonesia (Kompas, 2/10/ 2017). Ditambah
dengan alokasi dana Rp 283,7 triliun untuk penanggulangan kemiskinan dan
dukungan pada masyarakat berpendapatan rendah dalam APBN 2018, termasuk dana
desa Rp 60 triliun, secara teoretis, peran negara dalam perekonomian rakyat
kian menguat. Namun, tangan negara juga menguat pada “lapisan atas”
perekonomian nasional. Ini terjadi sebagai konsekuensi program pembangunan
infrastruktur masif yang dilakukan negara. Dalam situasi di mana dukungan daya
fiskal terbatas untuk mencapai tujuan itu, BUMN telah bertindak sebagai “kuasi
fiskal” untuk merealisasikan program pembangunan tipikal Jokowi-JK. “The
growing domination of state-owned enterprises (SOEs),” tulis The Jakarta Post
(4/10), “has become the recurrent issue that it raised over and over again
during the tenure of President Jokowi, who came to power in 2014.” Secara tak
terasa, melalui BUMN di bawah Menteri BUMN Rini Soemarno, peranan negara dalam
perekonomian nasional mengalami pendalaman dan perluasan dibandingkan
periode-periode sebelumnya.
Makna Politik
Pembentukan perusahaan induk dalam industri
pertambangan di bawah PT Inalum akan kian membuat kehadiran negara? sebagai
aktor ekonomi terasa. Sebab, 9,1 persen saham pemerintah di PT Freeport
Indonesia akan dikuasakan kepada PT Inalum. Tindakan ini tidak hanya memperkuat
tangan negara di dalam dunia pertambangan, tetapi juga memungkinkan industri
pertambangan Indonesia menjadi “raksasa dunia” pascadivestasi 51 persen saham
PT Freeport Indonesia. Kecuali hal-hal yang bersifat “politik murni”,
perkembangan ekonomi Indonesia di bawah Jokowi-JK telah memperkuat legitimasi
dan penerimaan negara di dalam sistem demokrasi. Di dalam beberapa hal, tingkat
legitimasi dan penerimaan publik ini telah berpreseden di zaman Susilo Bambang
Yudhoyono (2004-2014).
Hal yang membedakannya adalah pemerintahan Yudhoyono
itu berlangsung di bawah payung solid globalism regime (rezim globalisme yang
menyatu) yang, melalui krisis finansial global pada 2008, telah memfasilitasi
ekspansi modal aktor-aktor ekonomi negara-negara maju ke wilayah emerging
markets. Ini, secara langsung atau tidak, telah membantu pertumbuhan ekonomi
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagaimana dikesankan Wolfgang
Streeck dalam How Will Capitalism End (2017), jenis rezim dunia ini ditandai
oleh lembeknya otoritas politik global yang tak mampu mengendalikan arus atau
aliran modal demi kepentingan pemilik modal itu sendiri.
Di bawah Jokowi-JK, manajemen ekonomi nasional harus
berlangsung di bawah payung “rezim globalisme terbelah”. Di dalam rezim ini,
otoritas politik global sedang berusaha mengoreksi “kelemahan-kelemahan”
globalisme melalui kebijakan ekonomi, seperti terlihat pada Trumponomics,
bersifat nasionalistik. Pada saat yang sama, aktor global lainnya, Uni Eropa,
sedang mengurangi program stimulus finansialnya. Bergabung dengan kecenderungan
The Fed menaikkan suku bunga acuannya, secara tak langsung otoritas-otoritas
politik global mulai mengerahkan kekuasaan untuk mengendalikan gerak-langkah
para pemilik modal raksasa. Pengenaan territorial tax system dalam Trumponomics
jelas memperlihatkan usaha pengendalian otoritas politik global atas lalu
lintas modal ini. Di sini kita melihat “keberhasilan” tiga tahun manajemen
ekonomi nasional di bawah Jokowi-JK dalam usaha menyesuaikan diri ke dalam
rezim global yang berubah itu sebagai sebuah langkah “tak berpreseden”. Sebab,
pada tingkat tertentu, perekonomian nasional tetap sintas (survive) kendati harus berhadapan dengan variabel-variabel yang tak
bisa dikontrol yang diproduksikan perubahan rezim global itu. Dan melalui BUMN
yang bertindak sebagai “kuasi fiskal” dalam program pembangunan infrastruktur
masif, selama tiga tahun ini kita menyaksikan “kebangkitan” peran ekonomi
negara. Berbeda dengan tuduhan kebijakan ekonomi neoliberalisme Jokowi-JK
selama ini, protes pihak swasta akan kian mendalamnya peranan BUMN dalam
ekonomi nasional membuktikan sebaliknya. Akan tetapi, di atas segalanya,
berbeda dengan Yudhoyono yang menguasai Partai Demokrat, stabilitas ekonomi
yang terjaga dan menguatnya peran negara dalam perekonomian ditempuh Jokowi-JK
dalam absennya kontrol mereka atas partai-partai politik. Sebab, bukankah
Jokowi dan JK sama-sama tak memiliki partai politik?
Fachry Ali,
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
KOMPAS, 28 November 2017
No comments:
Post a Comment