TIGA tahun pemerintahan Jokowi-JK telah mencatatkan
prestasi dalam percepatan pembangunan infrastruktur. Hal ini tampak dari
pengeluaran untuk infrastruktur yang terus meningkat sejak pemerintahan ini
berkuasa. Pada 2014 porsi anggaran infrastruktur semula hanya sebesar Rp155,9
triliun atau 9,5% dari total belanja negara, melonjak sebesar 14,2% pada 2015
menjadi Rp290,3 triliun. Anggaran negara 2016 semakin tinggi menjadi 15,2% atau
Rp313,5 triliun. Dalam APBN-P 2016, angkanya bertambah lagi sebesar Rp16
triliun. Pada APBN-P 2017, total anggaran infrastruktur mencapai Rp388,3
triliun. Dalam RAPBN-P 2018, anggaran untuk infrastruktur naik lagi menjadi
Rp409 triliun atau 18,5% dari total nilai belanja negara.
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, biaya pembangunan
infrastruktur hingga 2019 mencapai Rp5.519,4 triliun. Dari estimasi biaya itu,
40,1% atau sebesar Rp2.215,6 triliun berasal dari APBN. Jika dirata-ratakan per
tahun, RI membutuhkan anggaran infrastruktur Rp1.100 triliun. Sementara itu,
porsi yang dibiayai APBN hanya sekitar 30% atau Rp387,2 triliun, kemudian dari
APBD sebesar 11% dan dari BUMN sebesar 22%. Sisanya dari pembiayaan swasta
termasuk sektor keuangan seperti perbankan dan nonbank serta pasar modal.
Investasi infrastruktur di RI tertinggal jauh jika dibandingkan dengan Tiongkok
dan India. Sejak 2009, investasi infrastruktur di India sudah di atas 7% PDB
dan di Tiongkok sejak 2005 sudah mencapai 9%-11% PDB. Sementara itu, di
Indonesia baru mencapai 4,5%-5% PDB. Berdasarkan rule of thumb investasi
infrastruktur minimal 5% dari PDB.
Ketertinggalan Indonesia dalam pencapaian kemajuan
infrastruktur tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan anggaran negara.
Keterbatasan anggaran telah menghambat percepatan pembangunan infrastruktur,
sedangkan pengeluaran pemerintah lebih banyak untuk pengeluaran anggaran rutin.
Infrastruktur yang minim, menurut mantan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick,
merupakan salah satu dari tiga penyebab mengapa negara berpendapatan menengah
terperangkap dan tidak mampu beranjak menjadi negara maju. Untuk itu,
konsistensi pembangunan infrastruktur yang dilakukan Jokowi-JK harus bisa
menjadi faktor penting dalam menciptakan pemerataan dan menurunkan kemiskinan
sekaligus upaya keluar dari middle income trap.
Jika pemerintahan Jokowi-JK dalam lima tahun ini
bisa terus menggenjot pembangunan infrastruktur, itu akan memberikan dampak
positif pada periode kepresidenan berikutnya. Pada dasarnya benefit pembangunan
infrastruktur bersifat jangka panjang. Kemajuan dalam pembangunan infrastruktur
juga diharapkan mampu mendorong keterlibatan swasta dalam pembangunan
infrastruktur. Dorongan pemerintah untuk memacu infrastruktur memberikan efek
positif terhadap upaya mendorong efisiensi dan daya saing perekonomian. Dalam
laporan Bank Dunia (2011) juga disebutkan bahwa perbaikan infrastruktur
memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kualitas pembangunan dan
pengurangan kemiskinan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur di kawasan
ASEAN, menurut studi Sun (2013), menghasilkan efek ganda penurunan kemiskinan
dan pertumbuhan secara inklusif.
Sejatinya, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan
ekonomi memiliki korelasi positif terhadap kemakmuran. Keberadaan infrastruktur
yang memadai dan berdaya saing memberikan kontribusi terhadap penurunan biaya
operasional kegiatan ekonomi dan bisnis, meningkatnya volume kegiatan ekonomi,
turunnya biaya input usaha produksi, dan meningkatnya modal manusia, terbukanya
peluang kegiatan ekonomi baru, serta kesempatan berusaha dan bekerja. Alokasi
infrastruktur juga harus memberikan efek positif terhadap konektivitas
pembangunan antarwilayah sehingga menghasilkan pertumbuhan yang inklusif.
Pembangunan infrastruktur provinsi dan kabupaten/kota harus dihubungkan dengan
infrastruktur nasional dan diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang dapat
membuka akses pasar hasil produksi pertanian dan membuka akses wilayah
terpencil/terisolasi.
Untuk itu, pembangunan infrastruktur dasar harus
mampu memetakan kebutuhan dalam mendorong kemajuan daerah dan masyarakat. Hal
ini akan mendorong akses masyarakat terhadap fasilitas publik menjadi lebih
baik. Dengan demikian, akselerasi pembangunan infrastruktur lebih terasa
manfaatnya dalam mengurangi ketimpangan ekonomi, memacu pertumbuhan, membuka
lapangan usaha dan kesempatan kerja. Selain itu, pengembangan infrastruktur
harus memperhatikan aspek kewilayahan dengan membentuk pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru di daerah. Setiap daerah memiliki keunggulan berbasis kekayaan
SDA, SDM, dan kapasitas kelembagaannya. Pembangunan infrastruktur harus
mempertimbangkan karakteristik dan karakter daerah sehingga mampu memperluas
akses masyarakat terhadap fasilitas publik.
Dengan cara ini, pembangunan tidak lagi bias ke arah
perkotaan sehingga bisa mengurangi ketimpangan antarwilayah desa-kota dan
Jawa-luar Jawa. Selama ini sekitar 82% PDRB masih berkonsentrasi di Jawa dan
Sumatra. Program pengurangan kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan
infrastruktur di perdesaan dan sektor-sektor yang menampung kehidupan
masyarakat desa, seperti pertanian dan perikanan. Alokasi dana desa yang
anggarannya terus naik diharapkan bisa menstimulasi perekonomian masyarakat
bawah sehingga masyarakat bisa menikmati kemajuan pembangunan.
Pengeluaran infrastruktur untuk sektor pertanian
sangat penting karena berpengaruh positif terhadap peningkatan konsumsi rumah
tangga, kemandirian pangan, dan kesejahteraan petani. Pada sisi lain,
pengeluaran infrastrukur untuk sektor pertanian memiliki keterkaitan dengan
sektor lain baik yang di hulu maupun di hilir. Menurut hasil studi BI, setiap
peningkatan pertumbuhan sektor pertanian 1% akan menurunkan tingkat kemiskinan
nasional 2,76% dan tingkat kemiskinan di sektor pertanian 7,34%, sedangkan di
sektor industri hanya menurunkan kemiskinan nasional 0,11% dan kemiskinan di
sektor industri 1,51%.
Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu dibenahi
dalam menunjang pembangunan infrastruktur seperti memperbaiki kapasitas
kelembagaan dan tata kelola pemerintah. Penguatan kapasitas pemerintah
diperlukan agar penyerapan anggaran bisa optimal sekaligus meminimalkan
kebocoran anggaran. Kapasitas kelembagaan dan tata kelola pemerintah juga
diperlukan untuk mendorong efisiensi investasi karena Indonesia masih memiliki
incremental capital output ratio (ICOR). Inilah yang menyebabkan investasi yang
kita lakukan belum menghasilkan pertumbuhan PDB yang lebih kuat. BPS mencatat ICOR
RI pada 2016 masih 6,46%. Artinya produktivitas belum cukup kuat yang
mengindikasikan jumlah investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan
US$1 dalam perekonomian karena memerlukan kurang lebih US$7 dalam investasi
untuk bisa menghasilkan tambahan US$1.
Harus diakui, meski ICOR masih cukup tinggi, angka
ini sudah turun sedikit bila dibandingkan dengan 2015 yang masih 6,64%. Sejak
2011, ICOR terus meningkat dan pada 2016 baru kembali turun. ICOR digunakan
sebagai alat untuk menghitung investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu
output nasional. ICOR bisa menjadi panduan untuk menghitung efisiensi produksi
nasional. Semakin kecil angka ICOR, semakin efisien produksinya. Pembangunan
infrastruktur juga harus menunjang efisiensi dan daya saing perekonomian
seperti efisiensi biaya logistik sehingga mendorong iklim investasi yang sehat
dan mampu memulihkan kepercayaan masyarakat dan investor dalam meningkatkan
investasi guna mendukung kualitas pertumbuhan ekonomi.
Fahruddin
Salim, Dosen Program Magister Manajemen
Universitas Pancasila
MEDIA INDONESIA, 24 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment