Setiap era kepemimpinan presiden pasti mempunyai
pencapaian tersendiri dengan kelebihan dan kekurangannya. Permasalahan
Indonesia begitu menggunung dan kompleks, banyak pekerjaan rumah yang belum
tuntas yang dititipkan ke pundak pemerintahan selanjutnya. Oleh karena itu,
menjadi pemandangan biasa dan lazim, setiap pergantian rezim kepemimpinan
nasional menimbulkan harapan baru dan ekspektasi tinggi untuk melangkah ke
depannya.
Tidak heran, estafet kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) pada 24 Oktober 2014
disambut hangat berbagai kalangan. Tidak terasa nakhoda kepemimpinan Jokowi-JK
sudah berjalan lebih dari separuhnya (tiga tahun) menerabas dinamika
perekonomian global yang tidak menentu dan berbagai permasalahan ekonomi dan
politik yang sangat menantang.
Indikator Makroekonomi
Kabinet Kerja Jokowi-JK cenderung berlari dengan
ritme kerja supercepat dan kadang-kadang targetnya terkesan sangat ambisius
yang membuat kening berkerut. Alhasil, pro-kontra mengiringi pemerintahan
Jokowi-JK selama tiga tahun ini. Ada yang bilang sangat bagus, ada yang bilang
biasa-biasa saja. Reaksi yang wajar, tak ada gading yang tidak retak, apalagi
Indonesia memiliki segudang akumulasi masalah ekonomi. Oleh karena itu, menarik
kita kupas kinerja beberapa variabel makroekonomi dan finansial selama tiga
tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK yang sangat berpengaruh ke sektor riil dan
pasar finansial domestik.
Pertama, inflasi menunjukkan arah yang semakin baik
dengan tren yang makin menurun dan relatif stabil. Inflasi tahun 2015 turun
sangat signifikan ke 3,4 persen dari 8,4 persen pada tahun 2014. Penurunan
terus berlanjut menjadi 3,0 persen pada tahun 2016 walaupun akhir tahun 2017
diperkirakan sedikit naik ke 3,5-3,8 persen. Turunnya inflasi ini salah satu
penyebabnya adalah keberanian pemerintah melakukan reformasi migas pada
November 2014. Subsidi bensin dikurangi secara signifikan sehingga harga bensin
naik Rp 2.000 per liter menjadi Rp 8.500 per liter. Keputusan tidak populer,
sungguh berani dan melawan arus, karena waktu itu tren harga minyak dunia
sedang turun. Bukankah seharusnya harga bensin turun, ini malahan naik dengan
maksud untuk mengurangi subsidi bensin.
Tidak lama kemudian, dewi fortuna menudungi
pemerintahan Jokowi-JK, harga minyak dunia turun drastis ke 56 dollar AS per
barrel. Akhirnya, per 1 Januari 2015, harga bensin turun ke Rp 7.600 per liter,
setelah harganya sempat dinaikkan. Inilah cikal bakal pemerintah berhasil menghapus
subsidi bensin dan hanya menyubsidi solar Rp 1.000 per liter. Suatu momen kunci
di mana pemerintah berhasil terbebas dari sandera subsidi BBM yang selalu
menjadi ganjalan berat APBN setiap tahunnya.
Penyesuaian harga bensin secara gradual menyebabkan
harga barang dan jasa lain menyesuaikan secara wajar dan ekspektasi inflasi pun
dalam taraf normal. Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan dengan zamannya
subsidi bensin. Pada era subsidi bensin, ketika ada rencana pemerintah
menaikkan harga bensin biasanya harga-harga cenderung bergerak naik lebih dulu
dan penimbunan barang marak, kelangkaan barang pun terjadi sehingga harga-harga
melonjak karena ekspektasi inflasi bergerak liar.
Kedua, inflasi yang menurun menyebabkan suku bunga
pun mengalami penurunan. Kondisi ini memberikan ruang yang cukup longgar buat
Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuannya. Suku bunga acuan BI
tercatat 7,75 persen pada Desember 2014 ke 6,50 persen di Juli 2016, yang
kemudian diganti dengan BI 7-days reverse repo rate menjadi 4,25 persen di
September 2017. Ini artinya sejak 2014, BI sudah menurunkan suku bunga acuannya
2,25 persen. Penurunan ini berimbas pada penurunan suku bunga deposito 3 bulan
sebesar 2,40 persen (dari 8,94 ke 6,54 persen). Kemudian diikuti penurunan suku
bunga pinjaman modal kerja dan pinjaman investasi masing-masing 1,72 persen
(dari 12,79 ke 11,07 persen) dan 1,45 persen (dari 12,36 ke 10,91 persen).
Sayangnya, penurunan suku bunga pinjaman ini relatif lebih lambat daripada
penurunan suku bunga deposito.
Ketiga, harga obligasi Pemerintah RI naik cukup
signifikan karena tren inflasi yang menurun dan naiknya peringkat investasi
Indonesia ke layak investasi dari lembaga pemeringkat Standard & Poor’s
(S&P) pada 19 Mei 2017 setelah menunggu selama 20 tahun, mengikuti lembaga
pemeringkat international lainnya (Fitch tahun 2011 dan Moodys tahun 2012).
Kenaikan harga obligasi ini menyebabkan imbal hasil yang harus dibayar
pemerintah menurun signifikan dari 7,92 persen pada akhir 2014 menjadi 6,78
persen di 18 Oktober 2017. Animo investor asing memiliki obligasi (surat utang)
RI sangat besar, terbukti dari tingginya kepemilikan asing dari Rp 406 triliun
tahun 2014 menjadi Rp 806 triliun per 17 Oktober 2017, sekitar 39 persen dari
total obligasi.
Keempat, seiring dengan menariknya investasi di
Indonesia, harga saham juga menunjukkan kinerja yang cukup baik walaupun
berfluktuasi. Indeks harga saham gabungan pada akhir 2014 tercatat 5.227,
sempat menurun ke 4.593 di 2015, tetapi meningkat dua tahun terakhir ke 5.929
pada 18 Oktober 2017. Dengan kata lain, terjadi kenaikan sekitar 13,5 persen
dibandingkan dengan tahun 2014.
Kelima, kepercayaan investasi asing terus membaik
terhadap Indonesia. Hal ini terlihat dari tingkat risiko yang turun signifikan,
tecermin dari turunnya credit default swap (CDS) 5 tahun. Pada tahun 2015, CDS
5 tahun pernah mencapai puncaknya, yaitu 282 basis poin (2,82 persen) pada 29
Septermber 2015, kemudian turun signifikan ke 158 basis poin (1,58 persen) pada
akhir 2016. Tahun ini CDS 5 tahun mencapai rekor terendah sepanjang sejarah
perekonomian Indonesia di bawah 100 basis poin, yaitu 96 basis poin (0,96
persen) per 19 Oktober 2017.
Dan terakhir, fluktuasi rupiah terhadap dollar AS
semakin rendah dan relatif stabil walaupun melemah secara gradual dari Rp
11.440 per dollar AS tahun 2014 ke Rp 13.514 per dollar AS per 18 Oktober 2017.
Pelemahan rupiah tidak bisa dihindarkan karena penguatan dollar AS terhadap
sebagian besar mata uang di dunia. Di tahun pertama kepemimpinan Jokowi-JK,
fluktuasi rupiah sangat tinggi sekitar 18 persen, lebih tinggi dibandingkan
2014, yaitu 14 persen. Namun, rupiah berangsur makin stabil dengan fluktuasi
sekitar 3 persen dalam tahun ini. Kebijakan BI mewajibkan penggunaan rupiah
untuk transaksi domestik dan peraturan lindung nilai untuk korporasi yang
memiliki utang asing cukup ampuh menjaga volatilitas rupiah, di samping makin
percayanya investor asing terhadap perekonomian nasional.
Pertumbuhan Ekonomi
Sayangnya, catatan gemilang variabel makroekonomi
dan finansial belum terefleksi pada pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan.
Pertumbuhan yang hanya 5,01 persen dua kuartal berturut-turut pada 2017 cukup
mengkhawatirkan banyak pihak. Geliat sektor riil terlihat lesu dan daya beli
masyarakat, terutama level bawah ke miskin, terasa sangat lemah.
Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi 2017 tidaklah lebih
buruk dibandingkan 2016, tetapi sayang tak cukup kuat menopang perekonomian
Indonesia. Permasalahan terbesarnya adalah pertumbuhan ekonomi cenderung
menurun lima tahun terakhir sejak 2012. Salah satu pemicunya, turunnya harga
komoditas ekspor primer Indonesia (terutama batubara dan kelapa sawit) sejak
2011. Pertumbuhan ekonomi 2011 tercatat 6,2 persen, turun sedikit ke 6,0 persen
di 2012. Penurunan berlanjut di 2013 ke 5,6 persen dan 5,0 persen tahun 2014.
Kemudian pada awal masa pemerintahan Jokowi-JK, pertumbuhan turun lagi sedikit
menjadi 4,9 persen di 2015. Setelah itu pertumbuhan hanya sedikit membaik ke
5,0 persen pada 2016 dan dikuatirkan stagnan di level 5 persen.
Pemerintah sangat menyadari kondisi ini dan ingin
segera mengubah struktur perekonomian yang ada. Konsumsi rumah tangga yang
selalu jadi andalan sebagai motor penggerak ekonomi domestik selama lebih dari
setengah abad (56 tahun sejak 1960) tampaknya mengalami kejenuhan. Untuk
menggeser sumber pertumbuhan dari konsumsi ke investasi tak semudah membalikkan
telapak tangan. Begitu juga membangkitkan kembali industri manufaktur tidak
gampang. Warisan infrastruktur yang kurang memadai, bahkan cenderung buruk,
jadi beban yang sangat berat bagi pemerintahan saat ini.
Untuk itu, dipilih resep jitu, pembangunan
infrastruktur secara masif di sejumlah daerah. Keseriusan pemerintah untuk
segera menutup jurang infrastruktur sangat kasat mata terlihat dua tahun
terakhir dengan alokasi anggaran superbesar. Akibatnya, beban defisit APBN kian
membengkak sehingga pemerintah harus mematok target tinggi penerimaan pajak,
saat ekonomi belum terlalu kuat.
Logika sederhana, dengan banyaknya proyek
infrastruktur pemerintah seharusnya bisa jadi stimulus perekonomian yang
efektif untuk mendorong bisnis swasta dan sektor riil ikut bergerak dan
menggeliat. Namun, sayangnya, dampak langsung pembangunannya sangat minim ke
perekonomian saat ini. Penyerapan tenaga kerja di sektor infrastruktur tak
banyak, keterlibatan sektor swasta sebagai rekanan pemerintah juga relatif
terbatas. Tak heran, pembangunan infrastruktur mulai dipertanyakan manfaatnya.
Kita berharap dampak positif pembangunan infrastruktur tak hanya jangka
menengah dan panjang, tetapi juga jangka pendek.
Tak ada yang meragukan pembangunan infrastruktur
pasti mampu membawa perekonomian Indonesia menuju masa keemasannya. Namun,
masalah jangka pendek harus segera dicarikan jamu penawarnya untuk memuluskan
tercapainya target jangka menengah dan panjang. Mari kita tunggu dan dukung
efektivitas sisa dua tahun pemerintahan Jokowi-JK agar tercipta fondasi kokoh
dan solid bagi perekonomian ke depan.
Anton
Hendranata, Chief Economist PT Bank Danamon
Indonesia Tbk
KOMPAS, 21 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment