Selama beberapa tahun silam, perekonomian global
telah mengalami pasang surut di antara periode akselerasi (ketika tumbuh
positif dan menguat) dan periode deselerasi (tumbuh positif tetapi melemah).
Setelah lebih dari setahun mengalami akselerasi, apakah perekonomian global
mengarah pada perlambatan atau menuju pada pemulihan yang berkelanjutan? Artikel
ini mencoba mengeksplorasinya. Pertumbuhan ekonomi dan pasar modal mengalami
penguatan sejak musim panas 2016. Walaupun sempat tersendat setelah referendum
Brexit, akselerasi perekonomian global tertahan, tidak hanya karena terpilihnya
Donald Trump sebagai presiden AS ke-45, tetapi juga oleh meningkatnya
ketidakpastian kebijakan dan kekacauan geopolitik yang dipicu oleh gaya
kepemimpinannya.
Dalam rangka merespons resiliensi ekonomi global
saat ini, Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebelumnya telah melabel
perekonomian global berada pada kondisi new mediocre, baru-baru ini merevisi
proyeksi pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan tahun 2017 dan 2018
lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
perekonomian global mengarah pada pemantapan pemulihan.
Benarkah perekonomian mengarah pada penguatan
pemulihan, sebagaimana dinyatakan oleh IMF dalam pertemuannya di Washington
pada 11-14 Oktober 2017? Kalau memang menunjukkan arah demikian, seberapa kuat
arah pemulihan itu? Ataukah tanda-tanda penguatan pemulihan ini hanya temporer,
sebagaimana dialami oleh perekonomian dunia pada musim panas 2015 dan awal
2016?
Ketika itu, atmosfer perekonomian dunia diliputi
bayang-bayang ketakpastian. Pertama, waktu itu investor ketakutan akan terjadi
perlambatan yang semakin tajam pada perekonomian China. Kedua, pada awal 2016
dimungkinkan adanya percepatan kebijakan pengetatan tingkat bunga di AS.
Ketiga, adanya tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, serta lemahnya
harga minyak dunia. Semua hal itu masih membayangi arah perekonomian ke depan.
Tiga Skenario
Ada tiga skenario yang menyertai cerita pertumbuhan
ekonomi ke depan. Pertama, skenario optimistis. Dalam skenario ini, keempat
perekonomian terbesar dunia— China, Uni Eropa, AS, dan Jepang—melakukan
reformasi struktural dengan target meningkatkan pertumbuhan potensial dan
memastikan resiliensi sistem keuangan global. Dengan memastikan bahwa siklus
pertumbuhan ekonomi yang menguat terkait dengan pertumbuhan ekonomi potensial
dan aktual yang semakin menguat, siklus akselerasi tersebut akan berujung pada
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang berkelanjutan, laju inflasi yang
moderat, dan stabilitas keuangan global. Dengan demikian, pasar modal global
termasuk pasar modal AS akan mencapai keseimbangan baru (harganya semakin
meningkat) karena penguatan fundamental.
Kedua, skenario pesimistis, yang merupakan kebalikan
dari skenario optimistis. Dalam skenario ini, keempat negara utama tersebut
gagal mengimplementasikan reformasi struktural guna meningkatkan pertumbuhan potensial.
China gagal menjadikan kongres Partai Komunis China, Oktober 2017, sebagai
katalisator reformasi sehingga perekonomian China terjebak pada overleverage
dan over kapasitas. Uni Eropa gagal memperkuat integrasinya karena hambatan
politis yang menghalangi reformasi struktural guna memperkuat implementasi
kebijakan yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Jepang masih terjebak pada
arah pertumbuhan rendah karena strategi ekonomi Perdana Menteri Shinzo Abe
gagal mereformasi sisi suplai dan liberalisasi perdagangan Jepang.
Untuk AS, pemerintahan Trump dalam skenario ini
masih berkutat dengan kebijakan yang berpotensi mengerdilkan pertumbuhan
potensialnya; yakni kebijakan pemotongan pajak (yang lebih pro pada kelompok
paling makmur/the most have), proteksi perdagangan, dan pembatasan migrasi. Stimulus
fiskal yang berlebihan berakibat pada pembengkakan defisit dan penumpukan utang
sehingga memacu kenaikan tingkat bunga dan penguatan dollar AS yang berujung
pada semakin melemahnya pertumbuhan ekonomi AS. Akan kian melemahkan prospek
ekonomi AS jika Trump memilih opsi konflik militer dengan Korea Utara dan Iran.
Dalam skenario pesimistis ini, tidak adanya
reformasi di negara-negara utama tersebut akan menyebabkan siklus ekonomi yang
sedang menguat terkendala oleh kecenderungan pertumbuhan yang rendah. Kalau
pertumbuhan potensial tetap rendah, kebijakan moneter dan kredit yang longgar
akan berujung pada inflasi harga barang dan aset, yang akhirnya akan berakhir
dengan perlambatan ekonomi yang semakin memprihatinkan. Dan, kalau kondisi
tersebut disertai dengan harga saham yang menukik dan akselerasi inflasi,
resesi ekonomi beserta krisis keuangan adalah akhir cerita dari skenario
tersebut.
Skenario ketiga adalah skenario moderat, yaitu di
antara optimistis dan pesimistis. Skenario ini di rasa paling mungkin mengingat
perkembangan global akhir-akhir ini. Karena ada dorongan pertumbuhan temporer,
siklus ekonomi dan pasar modal mengalami penguatan; temporer pula. Walaupun
negara-negara utama itu melakukan reformasi struktural, langkahnya lambat
dengan skala perubahan yang moderat, tak cukup untuk memaksimalkan potensinya. China
hanya mampu menghindari penurunan tajam perekonomiannya, tetapi tidak optimal
sehingga pasar keuangannya masih rentan terhadap guncangan dan tekanan pada
ekonominya semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Di Uni Eropa, integrasi
ekonomi terjadi, tetapi juga berjalan lamban. Jerman tetap menolak skema
berbagi risiko atau penggabungan fiskal sehingga memperlemah insentif bagi
negara anggota lainnya yang sedang berjuang melakukan reformasi.
Di Jepang, pemerintah Abe yang semakin tidak efektif
hanya mampu melakukan reformasi yang minimal sehingga pertumbuhan potensialnya
tertahan di kisaran kurang dari 1 persen. Di AS, kepemimpinan Trump masih tetap
tak tentu serta kurang efektif, dan warga Amerika semakin terjebak dalam
nasionalisme sempit yang mengagung-agungkan supremasi kulit putih. Kebijakan
Trump kental pro kelompok atas. Ketimpangan semakin meningkat, kelas menengah
mengalami stagnasi, upah hampir tidak meningkat. Konsumsi dan pertumbuhan tetap
anemik, hanya di kisaran kurang dari 2 persen.
Risiko Skenario Medioker
Akan tetapi, risiko skenario moderat ini melebihi
risiko kinerja ekonomi ”medioker”. Dalam skenario ini, tidak terjadi
ekuilibrium ekonomi yang stabil, tetapi perekonomian berada pada
ketidakseimbangan yang labil; rentan terhadap guncangan ekonomi, keuangan, dan
geopolitik. Ketika terjadi guncangan, ekonomi akan melambat atau kalau
guncangan semakin membesar, akan terjadi resesi yang disertai dengan krisis
keuangan global. Dengan kata lain, kalau skenario moderat benar-benar
mengemuka, perekonomian global ke depan akan semakin memprihatinkan, seperti
kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.
Untuk keluar dari jebakan tersebut, baik pimpinan
politik maupun pengampu kebijakan harus mampu menunjukkan kepemimpinan yang
mumpuni, yang dibutuhkan untuk menjamin kinerja perekonomian kedepan yang lebih
menjanjikan. Kalau tidak, penguatan pertumbuhan ekonomi yang sudah semakin
nyata akan memudar sehingga risiko pemburukan kinerja perekonomian akan semakin
nyata dan berujung pada petaka ekonomi, yang akan merambat hingga ke dimensi
lain, seperti sosial, keamanan, dan politik.
Tri Winarno,
Peneliti Senior Bank Indonesia
KOMPAS, 25 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment