Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional
oleh BPJS Kesehatan serta program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian,
dan Jaminan Hari Tua oleh BPJS Ketenagakerjaan saat ini memasuki tahun keempat.
Sementara, Jaminan Pensiun yang juga diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan baru
dimulai 1 Juli 2015.
Semua program itu merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Meski pelaksanaan JKN
didera defisit setiap tahun, secara umum JKN telah memberikan manfaat bagi
pelayanan kesehatan masyarakat. Paling tidak rakyat miskin berani berobat ke
rumah sakit karena dijamin BPJS Kesehatan.
Presiden Joko Widodo ketika masa kampanye pilpres
menjadikan JKN sebagai salah satu program unggulannya. Pemberian nama Kartu
Indonesia Sehat (KIS)—yang menjadi simbol tambahan pada kartu JKN sehingga
menjadi JKN-KIS—merupakan identitas yang ingin ditonjolkan Presiden Jokowi guna
merealisasikan janji kampanyenya.
Kehadiran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),
Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP) secara
signifikan mampu memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial
ekonomi yang menimpa peserta. Dana kelolaan keempat program tersebut turut
mendukung APBN dengan mengacu Pasal 2 Ayat 1e Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 1/POJK.05/2016 paling rendah 50 persen dari seluruh jumlah investasi dana
jaminan sosial ketenagakerjaan ditempatkan di surat berharga negara. Tentunya
program jaminan sosial ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik saat ini.
Pengelolaan JKN masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Kebijakan pembuatan
regulasi program JKK-JKm oleh Presiden Jokowi berdasarkan sektor tentunya tidak
sesuai dengan sembilan prinsip SJSN, demikian juga dengan kebijakan pencairan
JHT dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tidak selaras dengan Pasal
35 Ayat (2) UU SJSN.
Persoalan Program JKN
Persoalan pelaksanaan JKN secara umum disumbangkan
oleh tiga hal, yaitu regulasi, anggaran, dan kinerja direksi BPJS Kesehatan.
Kecenderungannya, regulasi operasional dibuat hanya untuk mengatasi defisit
pembiayaan JKN, bukan untuk memperbaiki pelayanan JKN kepada rakyat. Regulasi
kerap kali cepat berubah terkesan dibuat tanpa melalui kajian yang baik dan
tanpa melibatkan para pemangku kepentingan.
Kenaikan iuran peserta mandiri kelas 3 menjadi Rp
30.000, diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016, harus
direvisi dalam waktu singkat menjadi Rp 25.500 kembali, setelah diprotes banyak
pihak. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 yang mengatur tarif INA
CBGs juga harus direvisi dalam waktu kurang dari sebulan setelah diprotes
asosiasi rumah sakit swasta dengan mengubah beberapa tarif INA CBGs, padahal
amanat Perpres No 19/2016 tarif INA CBGs diubah paling cepat dua tahun.
Peraturan BPJS Kesehatan (Per BPJSK) Nomor 4 Tahun
2014 yang mengatur masa aktivasi (diubah lagi menjadi Per BPJSK Nomor 1 Tahun
2015), Per BPJSK Nomor 16 Tahun 2016 (pembayaran iuran satu keluarga sekaligus),
Per BPJSK Nomor 1 Tahun 2017 tentang pemindahan peserta dari satu fasilitas
kesehatan (faskes) pertama ke faskes pertama lain tanpa seizin peserta,
tentunya dibuat dalam rangka mengerem defisit, tetapi menyulitkan peserta JKN
di lapangan.
Dari sisi anggaran, dengan mengalokasikan 5 persen
APBN untuk kesehatan, seharusnya Presiden Jokowi bisa meningkatkan iuran
penerima bantuan iuran (PBI) pada 2018. Faktanya iuran PBI pada 2018 tidak
naik. Pada 2016 dan 2017, alokasi iuran PBI Rp 23.000 per orang per bulan untuk
92,4 juta orang.
Sepatutnya Presiden mematuhi Pasal 16I Perpres Nomor
111 Tahun 2013 yang mengamanatkan iuran PBI ditinjau paling lama dua tahun
sekali. Seharusnya iuran PBI 2018 dinaikkan menjadi Rp 36.000, sesuai hitungan
aktuaria pada 2016.
Tentunya defisit JKN juga disumbang oleh kinerja
direksi BPJS Kesehatan. Beberapa target dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran
Tahunan Juni 2017 gagal dicapai, seperti target iuran Rp 40,4 triliun hanya
mampu dicapai Rp 35,9 triliun, target kepesertaan 187,1 juta hanya bisa
direalisasikan 178,3 juta peserta.
Dengan defisit Rp 3,3 triliun (tahun 2014), Rp 5,7
triliun (2015), Rp 9,7 triliun (2016), dan Rp 6,5 triliun per 30 Juni 2017,
sudah saatnya Presiden Jokowi mempertanyakan dan memberikan penilaian terhadap
kinerja direksi. Dengan pengawasan dan penilaian itu, diharapkan terjadi
perbaikan kinerja direksi.
JKK-JKm tercabik-cabik
Semangat gotong royong dalam pelaksanaan JKN
ternyata tidak diterapkan pada program JKK-JKm. Presiden Jokowi menyetujui
beberapa regulasi yang justru memosisikan pelaksanaan JKK-JKm secara sektoral.
Kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun
2015 tentang JKK-JKm bagi pekerja di luar penyelenggara negara, yang dikelola
oleh BPJS Ketenagakerjaan; PP Nomor 70 Tahun 2015 tentang Program JKK-JKm bagi
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dikelola PT Taspen, dan UU Nomor 7 Tahun 2016
yang menyediakan Program JKK-JKm bagi nelayan yang dikelola oleh PT Jasindo,
menyebabkan program JKK-JKm tercabik-cabik.
Akibatnya, tak terjadi gotong royong dalam
pembiayaan JKK-JKm dan konsekuensinya terjadi perbedaan manfaat antarpekerja di
sektor-sektor itu. Dengan bergotong royong, ketahanan dana pembiayaan JKK-JKm
akan lebih terjamin.
Mengacu pada Pasal 92 Ayat 2 dan Pasal 106 Ayat 2 UU
No 5 Tahun 2014 tentang ASN, seharusnya JKK-JKm bagi ASN dilaksanakan dengan
mengacu pada SJSN dan oleh karenanya JKK-JKm bagi ASN dikelola oleh BPJS
Ketenagakerjaan. Selain itu, Pasal 5 Perpres No 109 Tahun 2013 juga
mengamanatkan pengelolaan program JKK-JKm bagi ASN diserahkan kepada BPJS
Ketenagakerjaan.
Sebenarnya kehadiran JKK-JKm bagi nelayan yang ada
dalam UU No 7/2016 merupakan amanat Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 17 Ayat (5) UU
SJSN. Pasal 14 Ayat (1) menyatakan pemerintah secara bertahap mendaftarkan PBI
sebagai peserta kepada BPJS, dan Pasal 17 Ayat (5) menyatakan pada tahap
pertama, iuran PBI dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
Mengacu pada dua pasal itu, seharusnya pengelolaan JKK-JKm bagi nelayan
diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan.
Terkait program JHT, dengan lahirnya PP No 60/2015
juncto Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 19/2015, maka filosofi JHT untuk
menjamin pekerja di hari tua mengalami degradasi. Dengan PP No 60/2015
tersebut, dana JHT dengan mudah dicairkan ketika pekerja mengalami pemutusan
hubungan kerja. Tentunya aturan dalam PP No 60/2015 itu tidak selaras dengan
isi Pasal 35 Ayat (2) UU SJSN.
Semoga dua tahun ke depan, Presiden Jokowi bisa
membenahi pelaksanaan jaminan sosial dengan memperbaiki regulasi agar selaras
dengan UU yang ada dan bisa menyejahterakan rakyat. Jika semua program jaminan
sosial berhasil ditingkatkan perannya dan mendukung kesejahteraan rakyat, ini
bisa menjadi modal bagi Pak Jokowi saat mencalonkan lagi pada Pilpres 2019.
Timboel
Siregar, Sekjen OPSI dan Koordinator Advokasi
BPJS Watch
KOMPAS, 20 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment