Pada 20 Januari lalu, Amerika Serikat (AS) telah
memiliki presiden baru, presiden ke-45, Donald Trump. Sejumlah analis swasta
menempatkan kemenangan Trump ("Trump Effect") ini sebagai faktor
penting dalam analisis mereka terkait dengan outlook perekonomian suatu negara.
Belum lama ini, misalnya, kita dihebohkan dengan hasil riset sebuah bank di
luar negeri yang memberikan penilaian negatif (namun tak lama kemudian
direvisi) terhadap outlook investasi surat berharga di Indonesia, juga
gara-gara "Trump Effect".
Donald Trump dalam kampanyenya memang banyak
melontarkan gagasan yang dinilai oleh sejumlah kalangan sebagai kontroversial.
Salah satunya adalah sikapnya terhadap perdagangan bebas yang kemudian dinilai
sebagai kembalinya era proteksionisme. Trump, misalnya, menolak kerja sama
Trans-Pacific Partnership (TPP). Trump juga memperlihatkan gagasan yang 'kurang
bersahabat' dengan Tiongkok dan Meksiko, seperti terlihat dari keinginannya
untuk memberlakukan tarif impor sebesar 35 hingga 45 persen untuk barang-barang
dari Tiongkok dan Meksiko.
Dalam perspektif saya, gagasan Trump (di bidang
ekonomi) sebenarnya hanya terlihat 'kontroversial' dalam isu hubungan kerja
sama perdagangan AS dengan luar negeri, itupun hanya terhadap beberapa negara
saja, seperti Tiongkok. Selebihnya, gagasan Trump terkait hubungan kerja sama
perdagangan AS dengan luar negeri terlihat netral. Sementara itu, gagasan Trump
terkait dengan isu-isu ekonomi dalam negerinya justru terlihat positif.
Di bidang perpajakan, misalnya, Trump akan melakukan
pemotongan pajak (tax cuts) bagi kalangan berpenghasilan tinggi dan perusahaan
dari 35 persen menjadi 15 persen serta melakukan pengampunan pajak (tax amnesty). Pajak tambahan investasi
juga akan dihapus. Salah satu alasan kebijakan tax cuts ini akan diambil adalah
karena menurut Trump, tarif pajak di AS terlalu tinggi sehingga banyak
perusahaan yang keluar dari AS. Trump bahkan menyebut kebijakan tax cuts yang
diambilnya akan menjadi yang terbesar sejak Ronald Reagan.
Trump tampaknya menyadari bahwa kebijakan tax cuts
ini akan mendorong kenaikan defisit fiskal (APBN) AS. Oleh karena itu, Trump
pun menyiapkan jurusnya untuk mengurangi terjadinya kenaikan defisit fiskal
yaitu dengan dengan mengompensasi sekitar 75 persen turunnya penerimaan negara
akibat tax cuts tersebut dengan pemotongan anggaran (sisi pengeluaran).
Meskipun sisi pengeluaran negara akan dipangkas, namun Trump akan mendorong
belanja pemerintah terutama belanja infrastruktur. Dengan konfigurasi kebijakan
fiskal seperti ini, terlihat bahwa Trump ingin sekali mengandalkan sisi
investasi (terutama swasta) sebagai pendorong pertumbuhan ekonominya, cocok
dengan karakter Trump yang juga merupakan pengusaha sekaligus kapitalis sejati.
Saya menilai bahwa memang berlebihan bila
"Trump Effect" ditempatkan sebagai faktor yang sangat menentukan
dalam menilai perekonomian suatu negara. AS memang masih menjadi negara dengan
kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Namun, dengan melihat konfigurasi gagasan
Trump tersebut sebenarnya Trump masih memperlihatkan gagasan yang seimbang:
korektif terhadap kebijakan perdagangan luar negerinya namun suportif terhadap
kebijakan ekonomi dalam negeri. Kebijakan korektif pun terlihat masih dalam
batas-batas yang wajar, terutama terhadap Tiongkok, karena memang selama ini
neraca perdagangan AS defisit dengan Tiongkok.
Rencana Trump yang akan menghentikan TPP sebenarnya
juga menguntungkan bagi Indonesia. Seperti kita ketahui, Indonesia belum
terlibat dalam kerjasama TPP ini, dan baru di masa Presiden Joko Widodo,
Indonesia menyatakan minat untuk bergabung dengan TPP. Salah satu pertimbangan
Indonesia ingin masuk TPP adalah adanya kekhawatiran bahwa TPP ini akan
menyulitkan barang-barang ekspor kita masuk ke pasar AS. AS, misalnya,
diperkirakan akan lebih mengutamakan produk tekstil dari negara anggota TPP
seperti Vietnam dan Malaysia dibanding tekstil dari Indonesia. Nah, bila nanti
AS mundur dari TPP, tentunya ini kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat
kerjasama bilateral dengan AS.
Kebijakan reformasi perdagangan Trump (bila
direalisasikan) diperkirakan akan memberikan dampak langsung bagi Tiongkok,
Meksiko, dan Kanada. Ini mengingat, ketiga negara tersebut menguasai hampir 50
persen pangsa impor AS. Sedangkan bagi Indonesia, gagasan Trump tidak akan
memberikan dampak yang bersifat langsung, tetapi kemungkinan ada dampak tidak
langsung (second round effect) dari Tiongkok jika tidak ada pengalihan pasar
ekspor Tiongkok dari AS.
Itupun dengan catatan bahwa Trump akan betul-betul
'menutup pintu' bagi perdagangan dengan Tiongkok, dan itu sebenarnya sesuatu
yang hampir tidak mungkin terjadi mengingat Trump juga memiliki relasi
perdagangan dan bisnis dengan pebisnis Tiongkok. Trump juga pastinya akan
melindungi kepentingan pengusaha-pengusaha AS yang telah menanamkan
investasinya di Tiongkok. Dengan kata lain, sebenarnya 'Trump Effect' ini relatif netral bagi perekonomian Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, adalah kurang tepat bila
"Trump Effect" menjadi
faktor utama dalam menentukan outlook investasi (terutama di pasar keuangan)
Indonesia. Terlebih bila menempatkan outlook investasi Indonesia lebih rendah
dibanding negara-negara yang secara fundamental lebih buruk dibanding
Indonesia. Sebagai misal, indikator rasio utang pemerintah Indonesia terhadap
PDB, lebih baik dibanding Turki, Philipina, Thailand, Afrika Selatan,
Argentina, Meksiko, Brasil, Malaysia, India, dan Vietnam. Indikator utang
pemerintah Indonesia per kapita juga lebih baik dibanding Rusia, Turki,
Philipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, Meksiko, Brasil, Malaysia,
India, dan Vietnam.
Selisih (spread)
imbal hasil (yield) obligasi negara
(SUN) kita dengan surat berharga yang diterbitkan di AS juga relatif lebih
rendah yang menunjuk bahwa tingkat risiko berinvestasi di surat berharga di
Indonesia juga lebih rendah dibanding negara lain. Oleh karenanya, adalah tidak
fair bila misalnya outlook investasi pada surat berharga di Indonesia
ditempatkan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tersebut hanya
karena "Trump Effect".
Dengan kata lain, dalam jangka pendek ini, perekonomian Indonesia masih
memiliki outlook yang relatif lebih baik dibanding sejumlah negara berkembang
(emerging market) yang menjadi mitra dagang dan investasi AS. Terlebih,
sejumlah lembaga internasional, misalnya Bank Dunia, belum lama ini juga telah
mengeluarkan outlook ekonomi Indonesia di 2017 yang diperkirakan lebih baik
dibanding tahun 2016, meskipun "Trump
Effect" terjadi.
Dalam perspektif saya, yang justru lebih perlu
diwaspadai adalah risiko-risiko yang berasal dari internal perekonomian kita.
Setidaknya, terdapat lima faktor internal hal yang perlu diantisipasi terkait
dengan risiko ekonomi di 2017 tersebut, yaitu: kualitas pertumbuhan ekonomi
yang masih rendah, produktivitas yang rendah, kesenjangan ekonomi yang masih
relatif tinggi, inflasi yang diperkirakan lebih tinggi, dan rendahnya daya
saing. Kemampuan yang baik dalam mengelola kelima faktor ini akan sangat
penting terutama untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi agar tetap
terjaga di tengah situasi sosial politik yang kini cenderung semakin
menghangat.
Sunarsip, Ekonom, The Indonesia Economic Intelligence
REPUBLIKA, 23 Januari 2017
No comments:
Post a Comment