Pada akhir minggu kedua Desember 2016, bank sentral
Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga pinjaman antarbank, Federalfunds
atau Fedfunds rate, sebesar 0,25 persen menjadi 0,50-0,75 persen. Ini kenaikan kedua sejak The Fed kembali
menerapkan kebijakan moneter yang konvensional dari yang sebelumnya. Yang
sebelumnya, dikenal sebagai kebijakan moneter non-konvensional, diterapkan
dalam menghadapi dampak dari krisis pinjaman hipotek bawah standar (subprime
mortgage loans) yang kemudian berkembang menjadi krisis keuangan dunia lebih
dari delapan tahun lalu.
Kenaikan ini sudah diperkirakan kebanyakan pelaku
pasar, masing-masing dengan analisis yang mendasarinya. Dengan lain perkataan,
terlepas dari perkiraan dan harapan tentang baik buruknya dampak yang
ditimbulkan, kenaikan itu sudah diperkirakan dan karena itu bukan sesuatu yang
mengagetkan pasar. Akan tetapi, hal ini tidak berarti dampak yang akan terjadi
dan implikasi yang ditimbulkan dari kenaikan suku bunga ini dalam perekonomian
AS dan negara-negara lain bisa diabaikan, apalagi untuk negara berkembang
seperti Indonesia.
Mengapa demikian? Karena dari penjelasan yang
diberikan Gubernur The Fed Janet Yellen digambarkan bahwa kenaikan suku bunga
ini akan dilanjutkan pada 2017 tiga kali lagi. Dan, kali ini berbagai faktor
menunjukkan bahwa kenaikan tahun 2017 itu tampaknya akan benar terjadi. Seperti
diketahui, kenaikan suku bunga 2016 pada waktu semula diumumkan Desember 2015,
disebutkan akan diikuti dengan empat kali kenaikan lagi. Namun, kemudian diubah
di tengah jalan menjadi dua kali dan kenyataannya hanya satu kali, yakni minggu
kedua 2016. Hal ini telah menurunkan pamor The Fed dan Janet Yellen. Keputusan
The Fed dalam tindakan moneter, seperti perubahan suku bunga, dilakukan dalam
sidang Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) yang
dilakukan 10 kali dalam satu tahun.
Mengapa Beda dari Sebelumnya?
Analisis gampangan menyebutkan, ada peran tekanan
politis yang mendorong keputusan The Fed menaikkan suku bunga itu. Presiden AS
Donald Trump, dalam kampanye pilpresnya, menuduh Yellen bermain politik tidak
menaikkan suku bunga untuk membantu terpilihnya Hillary Clinton. Suku bunga
dinaikkan setelah jelas Trump menjadi presiden terpilih. Sebagai mantan pejabat
otoritas moneter yang tak asing dengan situasi serupa meski tak sama, saya tak
percaya seorang gubernur bank sentral, apalagi sekaliber Janet Yellen, membuat
keputusan moneter hanya karena tekanan politik.
Yang lebih masuk akal adalah bahwa Janet Yellen dan
para gubernur serta presiden sejumlah Federal Reserve Board yang berhak
memutuskan kenaikan suku bunga dalam FOMC, pertengahan Desember lalu, meyakini
bahwa kondisi perekonomian di bawah Presiden Trump menuntut The Fed mengambil
sikap ini. Mereka yakin pemerintahan baru di bawah Trump akan melaksanakan
kebijakan yang mendorong pertumbuhan dengan peningkatan investasi di sektor
infrastruktur (termasuk untuk militer) dan mendorong perekonomian dengan
memangkas pajak perusahaan dan pendapatan.
Dalam pemerintahan Trump yang dimulai setelah
pelantikannya, 20 Januari 2017, Kongres—baik di tingkat Senat maupun DPR (House
of Representative)— akan dikuasai Partai Republik yang tentunya tidak akan
menjegal Presiden Trump sebagaimana mereka melakukan terhadap Presiden Barack
Obama selama ini. Karena itu, kemungkinan dapat direalisasikannya program
peningkatan pengeluaran untuk investasi ini sangat tinggi.
Akan tetapi, kalau hal itu terjadi, defisit anggaran
dan pinjaman pemerintah untuk membiayainya akan meningkat tinggi. Menurut
konsep yang berlaku, dengan tingkat pengangguran sekitar 4,6 persen, ekonomi AS
berada pada tingkat kesempatan kerja penuh (full
employment). Peningkatan pengeluaran yang dibiayai anggaran dengan
menggunakan pinjaman dalam kondisi demikian akan mendorong tingkat inflasi. Hal
ini menuntut langkah untuk mengimbanginya dengan pengetatan moneter melalui
peningkatan suku bunga. Dengan demikian, pernyataan bahwa The Fed akan
meningkatkan suku bunga pada 2017 sebanyak tiga kali sangat besar kemungkinan
akan terjadi.
Ada yang berpendapat berubahnya sikap The Fed dari
serba ragu menjalankan kebijakan moneter selama dua tahun menjadi lebih pasti
saat ini merupakan tanda berubahnya kebijakan moneter di AS. Perubahan dari
kebijakan moneter non-konvensional kembali pada kebijakan moneter konvensional.
Kebijakan moneter non-konvensional ini ”terpaksa” dilakukan oleh The Fed dan
otoritas moneter lain karena absennya kebijakan fiskal.
Di AS, perkembangan ini terjadi karena alasan yang
lebih bersifat politis, adanya gridlock. Program stimulus fiskal Presiden Obama
menghadapi Kongres yang dikuasai partai lawannya sehingga tidak bisa lolos.
Sedangkan di Uni Eropa, aturan tentang besarnya rasio antara pinjaman
pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang sudah dilampaui di
kebanyakan negara sehingga tidak bisa dilakukan stimulus fiskal. Menurut saya,
kebijakan moneter demikian bukan murni kebijakan moneter, melainkan merupakan
campuran, monetary cum fiscal policy.
Menyimak perkembangan ini, salah satu pelajaran yang
bisa ditarik adalah bahwa kebijakan moneter boleh dan sebaiknya memang
mendukung kebijakan fiskal, tetapi tidak dapat menggantikannya. Keduanya harus
berjalan secara saling menunjang. Kebijakan fiskal yang ada di ranah eksekutif
dan legislatif harus berjalan serasi dengan kebijakan moneter yang sebaiknya
selalu berjalan independen, tetapi didasari oleh semangat menunjang dan mendukung
kebijakan yang ada di ranah eksekutif dan legislatif. Ini berlaku dalam sistem
pemerintahan mana pun yang dianut negara, tetapi jelas sangat vital dalam
sistem demokrasi.
Mewaspadai Ketidakpastian
Meski sudah menjadi klise, rasanya tidak boleh kita
tinggalkan bahwa untuk negara dengan perekonomian berkembang seperti Indonesia,
perkembangan yang terjadi di AS tidak boleh kita abaikan, apalagi perkembangan
moneter dan finansialnya. Bahkan, sebelum keputusan The Fed meningkatkan suku
bunga, Desember lalu, negara-negara berkembang, secara spesifik seperti
Meksiko, Afrika Selatan, Tiongkok, Kolombia, Malaysia, dan juga Indonesia,
disebutkan merupakan negara-negara yang harus mewaspadai implikasi menguatnya
dollar AS semenjak terpilihnya Trump menjadi Presiden AS. Kenaikan suku bunga
minggu lalu dengan kemungkinan naiknya beberapa kali di tahun depan lebih lagi
memberikan garis bawah tentang hal ini.
Semua masih ingat dengan taper tantrum pada 2013,
yaitu reaksi dari pasar di perekonomian negara-negara berkembang berupa
mengalirnya kembali dana dalam jumlah besar ke AS dan negara- negara maju hanya
karena Gubernur The Fed (waktu itu) Ben Bernanke mengumumkan akan menghentikan
kebijakan Quantitative Easing-nya kalau kondisi memang mendukung untuk langkah
itu. Pada waktu kebijakan itu dilakukan, reaksi tersebut lebih keras lagi.
Kemudian, hal serupa terjadi dengan apa yang disebut lifting off waktu The Fed
mulai meninggalkan kebijakan suku bunga nol setahun lalu.
Dewasa ini, kenaikan suku bunga di AS terjadi dan akan
diikuti dengan tiga kali lagi pada 2017. Saya percaya bahwa pemerintah dan
otoritas moneter telah menyiapkan langkah-langkah menghadapi kondisi yang lebih
tidak pasti karena kebijakan ekonomi pemerintahan baru Trump yang lebih
merkantilis dengan kecenderungan lebih pasti ke arah peningkatan pengeluaran
dan ekspansi ekonomi yang akan menimbulkan dampak mengalir kembalinya dana yang
selama ini ada di dalam perekonomian kita.
Kendati sudah dijelaskan oleh Menko Perekonomian
Darmin Nasution, kita mendengar ajakan Presiden Jokowi untuk tak berkiblat pada
perekonomian yang berbasis dollar AS dan menggantinya dengan arah yang menjurus
pada basis renminbi (RMB). Meski tampaknya logis dalam kaitannya dengan
meningkatnya status RMB menjadi mata uang dunia—dengan peresmiannya menjadi
bagian dari Special Drawing Rights (SDR) sejak Dana Moneter Internasional
memutuskannya awal Oktober lalu—perkembangan baru dollar AS dan dampaknya pada
ekonomi negara-negara lain di dunia, termasuk Tiongkok, kurang mendukung
argumen tersebut.
J Soedradjad
Djiwandono, Guru Besar Ekonomi
Emeritus Universitas Indonesia
KOMPAS, 30 Januari 2017
No comments:
Post a Comment