PEMENANG Nobel Ekonomi 2011 Thomas J. Sargent
menyatakan, ’’The ability to borrow today
depends on expectations about future revenues.” Sargent melihat, utang pada
dasarnya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang dapat menghasilkan pendapatan
(revenues) yang cukup untuk membayar kembali utang tersebut. Namun, dalam
praktiknya, banyak negara dengan mudah melakukan utang, tetapi tidak mampu
menghasilkan pendapatan cukup, sehingga utangnya tak terbayarkan.
Persoalan utang pemerintah Indonesia kembali menjadi
sorotan seiring dengan jumlahnya yang meningkat. Utang pemerintah memang
meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan peningkatan defisit
APBN. Bila pada 2011 sebesar Rp 84,4 triliun (realisasi), pada 2015 defisit
APBN kita mencapai Rp 298,5 triliun (realisasi) dan pada APBNP 2016
diperkirakan mencapai Rp 315,7 triliun. Seiring dengan peningkatan defisit APBN
tersebut, jumlah utang pemerintah pun bertambah. Yaitu, dari Rp 1.809 triliun
(2011) menjadi Rp 3.501 triliun per November 2016.
Meski jumlahnya meningkat, indikator kesehatan utang
pemerintah sebenarnya masih relatif baik. Rasio utang pemerintah terhadap PDB
kita (debt to GDP ratio) saat ini sekitar 27,7 persen, jauh di bawah konsensus
global sebesar 60 persen terhadap PDB. Indikator rasio utang pemerintah kita
tersebut juga masih lebih baik dibandingkan Turki, Filipina, Thailand, Afrika
Selatan, Argentina, Meksiko, Brasil, Malaysia, India, dan Vietnam. Hanya,
memang tetap perlu diwaspadai karena rasio utang pemerintah kita saat ini
meningkat cukup tinggi bila dibandingkan dengan posisi pada 2011 sekitar 23,1
persen terhadap PDB.
Persoalan utang sebenarnya tidak sepenuhnya tepat
bila hanya mendasarkan pada ukuran rasio utang terhadap PDB. Sebab, yang
terpenting dari keberadaan utang justru terletak pada kemampuan membayarnya.
Ukuran rasio utang terhadap PDB menjadi tidak berarti manakala pemerintah mengalami
kesulitan untuk membayar kembali utangnya. Sesuai dengan pandangan Thomas J.
Sargent di atas, sepanjang utang dipergunakan untuk kegiatan yang produktif dan
menghasilkan pendapatan (revenues) yang cukup untuk membayar kembali utang
tersebut, keberadaan utang menjadi tidak relevan untuk dipermasalahkan.
Salah satu indikator untuk mengukur kemampuan
membayar kembali utang pemerintah adalah dengan membandingkan pembayaran
cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan negara atau
penerimaan perpajakannya. Berdasar data, terlihat bahwa rasio pembayaran
cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) cenderung meningkat setiap tahun.
Bila pada 2011 sekitar 19,03 persen, pada 2016 rasio pembayaran cicilan utang
pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan negara (pajak dan bukan pajak)
mencapai 27,87 persen. Sedangkan rasio pembayaran cicilan utang pemerintah
(termasuk bunga) terhadap penerimaan perpajakan meningkat dari 26,25 persen
(2011) menjadi 32,31 persen (2016).
Data tersebut setidaknya mencerminkan dua hal.
Pertama, beban pembayaran utang pemerintah semakin meningkat. Kedua, kemampuan
negara dalam menghasilkan penerimaan negara (pajak dan nonpajak) untuk membayar
kembali utangnya relatif melemah. Dengan demikian, kemampuan fiskal kita dalam
mengurangi beban utang juga masih relatif rendah. Masih relatif rendahnya
kemampuan fiskal kita dalam mengurangi beban utang pemerintah juga tecermin
dari indikator nilai keseimbangan primer (primary
balance) yang terdapat di APBN kita.
Sebagai informasi, keseimbangan primer ini merupakan
selisih antara anggaran penerimaan dan pengeluaran di luar bunga dan cicilan
utang. Keseimbangan primer seyogianya dijaga agar senantiasa berada dalam
posisi yang positif. Sebab, jika nilai keseimbangan primer positif, posisi
utang pemerintah akan berkurang seiring waktu. Sebaliknya, jika nilainya
negatif, dalam jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan nilai utang
secara signifikan.
Berdasar data, terlihat bahwa pada 2011 nilai
keseimbangan primer pada APBN masih positif sebesar Rp 8,9 triliun (realisasi).
Namun, dalam perkembangannya, nilai keseimbangan primer tersebut mengalami
angka yang negatif, yaitu Rp -52,8 triliun (2012), Rp -98,6 triliun (2013), Rp
-93,3 triliun (2014), Rp -142,5 triliun (2015), dan Rp -105,5 triliun (2016).
Keseimbangan primer yang negatif tersebut menunjukkan bahwa kemampuan APBN kita
untuk mengurangi beban utang masih lemah. Kondisi ini perlu segera diperbaiki
agar tidak membahayakan kesehatan fiskal (fiscal sustainability) kita.
Setidaknya, terdapat dua hal yang dapat menjadi
faktor di balik rendahnya kemampuan fiskal kita tersebut. Pertama, terkait dengan efektivitas penggunaan utang. Patut diduga
bahwa rendahnya kemampuan fiskal kita dalam mengurangi beban utang pemerintah
antara lain disebabkan penggunaan utang yang kurang efektif dan tidak tepat
sasaran. Utang seyogianya digunakan untuk membiayai kegiatan yang produktif dan
menghasilkan pendapatan (berupa peningkatan PDB yang diikuti dengan peningkatan
pajak), bukan untuk kegiatan konsumtif. Dengan demikian, langkah pemerintah
yang kini berupaya mengalihkan alokasi anggaran nonproduktif ke produktif
adalah hal yang tepat. Namun, langkah itu perlu dipertajam dengan menyasar ke
sektor-sektor ekonomi yang memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB agar
penerimaan perpajakan yang ditarik dari sektor ekonomi tersebut juga ikut
meningkat.
Kedua, terkait dengan efektivitas upaya penarikan pajak.
Adalah sebuah anomali bahwa PDB terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi,
tetapi hal itu tidak diikuti dengan penerimaan perpajakan yang sepadan. Rasio
penerimaan perpajakan terhadap PDB (tax ratio to GDP) kita masih rendah, yaitu
sekitar 11 persen terhadap PDB. Setidaknya, terdapat dua kemungkinan kenapa tax
ratio kita masih rendah. Pertama, upaya penarikan pajak yang belum maksimal.
Kedua, masih banyak objek penghasilan yang belum tersentuh oleh perpajakan.
Setidaknya, terdapat dua hal yang menjadi kunci
untuk mengurangi beban utang pemerintah. Pertama, melalui peningkatan
efektivitas penggunaan dana yang berasal dari utang. Kedua, peningkatan
penerimaan perpajakan. Efektivitas penggunaan dana dari utang sangat bergantung
pada konsistensi kita dalam reformasi fiskal di bidang pengeluaran. Sedangkan
upaya peningkatan pajak perlu dilakukan melalui reformasi perpajakan, baik yang
bersifat administrasi, birokrasi institusi perpajakan, intensifikasi, maupun
ekstensifikasi pajak.
Sunarsip, Chief Economist PT Bank Bukopin Tbk
JAWA POS, 24 Januari 2017
No comments:
Post a Comment