BARU saja dilantik sebagai Presiden ke-45 Amerika
Serikat, hampir seluruh kebijakan Donald Trump sudah membuat cemas banyak
negara. Politik proteksi ekonomi yang sangat bertolak belakang dengan kebijakan
presiden sebelumnya memunculkan pertanyaan mendasar, yakni apakah kondisi
ekonomi AS saat ini demikian gawat sehingga memerlukan proteksi ketat? Selama
ini AS dikenal sebagai negara dengan patron ekonomi liberal, kebebasan pasar,
dan kapitalis, sementara Trump menampilkan fakta yang sama sekali berbeda.
Ekonom-ekonom AS pun selalu beraliran liberalisme
seperti Irving Fisher, Joseph E Stiglitz (MIT), Robert Eisner, Alan Greenspan,
Edmund S Pelps, dan Paul Krugman. Ekonomi proteksionis yang dikenalkan Adam
Smith (1776) dan didalami David Ricardo (1815) pada zaman klasik sudah lama
ditinggalkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan Trump bersikap demikian
protektif. Indikator ekonomi AS saat ini memang parah jika dibandingkan dengan
kekuatan PDB-nya yang berkisar US$16,77 triliun. Defisit anggaran melesat
mencapai 4,4% PDB, jumlah utang pemerintahnya sudah 106% PDB.
Jumlah total utang luar negeri AS saat ini mengambil
porsi 40,8% dari seluruh jumlah utang di dunia. Karena itu, Trump langsung
mengambil kebijakan kontroversial pada awal pemerintahannya. Jika Obama
menginisiasi lahirnya blok perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP), Trump
melepas keterlibatan AS dari TPP. Kerja sama perdagangan bebas Amerika Utara
(NAFTA) pun juga dievaluasi. Pada masa Obama, TPP beranggotakan 12 negara,
yaitu Kanada, Meksiko, Peru, Chile, Vietnam, Jepang, Singapura, Brunei,
Malaysia, Selandia Baru, Australia, dan AS sebagai pemimpinnya.
Tujuannya adalah perdagangan internasional yang
kompetitif karena Bea Masuk (BM) impor di negara tujuan dipangkas sangat
rendah, bahkan 0%. Tidak hanya TPP, kebijakan Trump dengan Obama ibarat minyak
dan air dan tidak akan pernah bersatu dalam menentukan kebijakan AS. Kebijakan
Obama yang tidak populer di awal pemerintahannya, yaitu menaikkan pajak, di era
Trump justru akan diturunkan secara drastis. Kebijakan health security
Obamacare pun di-breidel pada era Trump. Trump pun mengkritisi pedas pabrikan
mobil asal AS, yaitu General Motor (GM) yang akan memproduksi Chevy Cruze di
Meksiko.
Trump mengancam akan mengenakan bea masuk yang
tinggi. Harga saham GM pun jatuh 0,07% dari US$ 34,84 menjadi US$34,60 pada
saat itu. Manajemen GM pun buru-buru mengoreksi bahwa mobil tersebut dibuat di
Lordstown, Ohio, dengan tenaga kerja mayoritas dari AS. Tidak berbeda dengan
GM, Trump juga marah dengan Toyota Motor yang memiliki rencana membuat pabrik
di Baja, Meksiko, guna merakit Corolla untuk AS. Senjata BM yang tinggi juga
akan diterapkan kepada Toyota.
Manajemen Toyota mengklarifikasi bahwa pabrik di
Baja tersebut dalam rangka untuk mendukung produksi Tundra dan Tacoma di San
Antonio Texas. Akibat konflik media sosial tersebut, saham Toyota melorot
menjadi US$120,44 dari US$121,08 dan terus turun US$119,84 karena Ketua
Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga membela Toyota. Kebijakan
kontroversial peraih 279 electoral vote pada Pemilu 8 November 2016 bahkan akan
membangun 1.000 mil tembok mirip great wall Tiongkok yang berbatasan dengan
Meksiko dengan total panjang 1.989 mil (3.300 km). Rencana Trump itu
diperkirakan akan membutuhkan beton US$711 juta dan semen US$240 juta.
Perkiraan biaya US$15 miliar-US$25 miliar (Rp199,5
triliun-Rp332,5 triliun) dan akan menjadi tembok yang sangat mahal di dunia.
Kebijakan menaikkan BM impor yang tinggi, memaksa manufaktur raksasa
beroperasional di wilayah AS, menurunkan pajak di dalam negeri, dan membangun
tembok tentu saja konkret kebijakan proteksionisme itu sendiri. Terhadap
Tiongkok, Trump tampak tidak dapat menyembunyikan kegeramannya atas kekalahan
neraca dagangnya. BM impor dari negeri panda ini akan dikerek naik menjadi 45%
sehingga barang produk Tiongkok menjadi sangat mahal. Tidak hanya itu, Trump
juga berencana menegosiasikan One China Policy yang ditolak Tiongkok. Jika
melihat hal ini, tensi perdagangan Tiongkok-AS akan diwarnai ketegangan yang
tentu saja tidak menguntungkan Tiongkok.
Keuntungan Indonesia
Melihat hal ini, justru momentum Indonesia menjadi
alternatif bagi AS. Trump sangat ekspresif menunjukkan persoalan dengan Jerman,
Jepang, Rusia, dan Tiongkok. Ada sedikit harapan Trump tidak memiliki persoalan
dengan Indonesia. Pentingnya posisi AS dan kebijakan presidennya ini bagi
Indonesia disebabkan magnitude ekonomi AS ialah 28% dari total ekonomi dunia.
Pengaruh ekonomi AS ialah 11% di Indonesia, sebetulnya masih kalah jauh dengan
pengaruh ekonomi Tiongkok terhadap Indonesia. Postur ekonomi Tiongkok yang
terpenting karena setiap penurunan 2% pertumbuhan ekonominya akan mengoreksi 1%
PDB Indonesia. Hanya yang menjadi persoalan, revenue yang dihasilkan Tiongkok
selama ini mayoritas diperoleh dari Amerika.
Jadi, jika Amerika menerapkan kebijakan keras kepada
Tiongkok, pada akhirnya akan memberikan imbas kepada ekonomi Indonesia. Bagi
Indonesia memang berada pada posisi simalakama. Ketatnya perdagangan
Tiongkok-AS akan memunculkan kesempatan kepada produk asal Indonesia untuk
berkompetisi. Tekstil Tiongkok yang menguasai AS bisa jadi sebagian untuk
Indonesia, demikian pula produk turunan kelapa sawit, alas kaki, dan produk
lainnya. Di sisi lain, kemenangan Trump pun membawa peluang yang baru pada
rencana investasi AS. Dalam lima tahun ke depan, bisnis-bisnis AS berpotensi
akan berinvestasi di Indonesia minimal dengan nilai US$61 miliar (Rp820
triliun). Total investasi AS ialah di peringkat ketiga sejak 2010 sampai
kuartal III tahun lalu.
Korporasi asal AS, misalnya Coca Cola, Google, IBM
Intel, HP, Merck, Nike, Philip Morris, Visa, Procter & Gambler, Boeing,
Ford, Chevron, Freeport, BP, dan Exxon Mobil menyatakan akan memperbesar
investasinya di Indonesia. Korporasi-korporasi tersebut ialah pendukung setia
Partai Republik yang mengusung Trump dan sudah lama berinvestasi di Indonesia.
Korporasi lainnya ialah Tyco International, Halliburton, CIGNA, dan Walmart. Di
Indonesia, jaringan korporasi Republik ini sudah cukup mapan, misalnya Exxon
Mobil atau Chevron pada bidang migas. Sangat kebetulan karena Trump menjadi
presiden maka frekuensi dan volume perdagangan dengan Indonesia akan menjadi
perhatian tersendiri. Indonesia bagi AS cukup seksi secara ekonomi disebabkan
memiliki resource yang luar biasa dalam bidang jumlah penduduk.
Dengan penduduk sampai dengan 251 juta orang,
Indonesia benar-benar menjadi surga pasar bagi para negara produsen seperti AS.
Menjadi pasar utama dari korporasi global AS yang notabene pendukung Partai
Republik. Pada era Obama, volume perdagangan Indonesia-AS sebetulnya tidak
signifikan, meski dengan pertimbangan bahwa Obama pernah menghabiskan masa
kecilnya di Indonesia. Kendati keseimbangan neraca perdagangan masih menguntungkan
Indonesia tetapi surplus itu kini mendapat ancaman serius dari produk-produk
Tiongkok.
Pada saat ini setiap tahun kinerja ekspor Indonesia
tertinggi ke AS mencapai US$16,53 miliar sementara impor tertinggi US$8,64
miliar dengan surplus dalam kisaran US$5,64 miliar-US$8,64 miliar. Trump tentu
saja menawarkan perubahan peta ekonomi kepada Indonesia. Negeri ini seharusnya
tidak terlalu risau dengan sikap kontroversial Trump. AS pada saat ini sedang
mengalami pancaroba haluan politiknya yang tidak men-drive Indonesia.
Effnu Subiyanto, Senior Advisor CikalAFA-Umbrella;
MEDIA INDONESIA, 26 Januari 2017
No comments:
Post a Comment