Ada tiga sumber masalah ekonomi eksternal yang akan
dihadapi oleh Indonesia pada tahun 2017. Pertama
adalah kesulitan yang dihadapi oleh ekonomi Tiongkok sehubungan dengan
kelebihan kapasitas produksi industri pengolahan sumber daya alamnya,
perumahan, dan infrastruktur. Pada gilirannya, rangkaian kesulitan ini
menimbulkan persoalan pada industri keuangannya, termasuk perbankan. Kesulitan
ekonomi Tiongkok sekaligus mengurangi impor negara tersebut atas bahan mentah
dari Indonesia dan menurunkan harga komoditas primer sejak 2011.
Masalah kedua
adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Masalah ketiga adalah
terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat untuk masa jabatan
mulai Januari 2017. Brexit dan program kerja Trump memberi petunjuk akan
terhambatnya proses globalisasi. Untuk melindungi produksi dalam negeri, baik
Brexit maupun Trump berjanji akan meningkatkan tarif bea masuk atas impor.
Untuk melindungi tenaga kerja kasar di dalam negeri,
kedua negara tersebut akan membatasi masuknya tenaga kerja asing dan pengungsi
dari daerah konflik, seperti Timur Tengah, Afrika, dan Myanmar. Tenaga kerja
asing menambah permintaan akan jasa-jasa sosial, seperti kesehatan dan
pendidikan. Selain disaingi oleh migrasi pekerja asing, permintaan akan tenaga
kasar juga semakin berkurang karena proses mekanisasi dan otomatisasi ataupun
robotisasi.
Selain dari kemungkinan peningkatan tarif bea masuk
impor, tantangan kedua dari AS adalah kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga
acuan oleh bank sentral yang diperkirakan akan dilakukannya sebelum liburan
Natal 2016. Tanda-tanda tersebut sudah kelihatan berkenaan dengan kemajuan
pesat perbaikan kondisi ekonomi makronya dan semakin rendahnya tingkat
pengangguran tenaga kerja. Peningkatan suku bunga di negara tersebut akan
menyedot aliran modal dunia ke negara itu atau setidaknya mengurangi aliran
modal ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Ini masalah ketiga.
Efek Globalisasi
Selama ini, AS dan Inggris adalah penganjur utama
demokratisasi politik dan globalisasi atau integrasi pasar nasional dengan
pasar dunia dalam hal barang dan jasa, teknologi, keuangan, dan tenaga kerja.
Kedua negara tersebut sekaligus merupakan peletak dasar standar internasional
dalam segala aspek kehidupan, termasuk perdagangan dan lembaga keuangan, hak
asasi manusia, perburuhan, lingkungan hidup, ataupun intervensi pemerintah
dalam perekonomian. Perusahaan AS membuat makanan negaranya berupa hamburger,
ayam goreng, piza, donat, ataupun kopi menjadi makanan internasional. Dunia
mengamati kebakaran hutan dan rawa serta hutan bakau di Indonesia ataupun
penggantian hutan dengan kebun kelapa sawit yang mengganggu negara-negara
tetangga ataupun pemanasan bumi. Bagi Indonesia, sangat mahal beban fiskal
untuk memadamkan kebakaran hutan tersebut. Lalu lintas manusia yang semakin
mudah sekaligus memudahkan penjangkitan penyakit dari satu tempat ke tempat
lainnya, seperti malaria, AIDS, flu burung, dan TBC.
Globalisasi produksi terjadi akibat dari gabungan
dua hal. Pertama, adanya deregulasi
nasional dalam segala bidang kehidupan itu yang menurunkan tarif bea masuk
ataupun hambatan nontarif atas impor. Kesepakatan dalam organisasi perdagangan
dunia, seperti WTO, ataupun perjanjian regional, seperti Uni Eropa dan ASEAN,
telah semakin meniadakan hambatan nontarif dan menurunkan tarif bea masuk.
Perjanjian Schengen di Uni Eropa membebaskan lalu lintas tenaga kerja
antarnegara anggota.
Kedua, karena adanya kemajuan pesat dalam teknologi
komputer dan telekomunikasi sehingga menurunkan ongkos angkut serta biaya
logistik yang memungkinkan terjadinya mata rantai proses produksi (global
supply chains) yang dilakukan di sejumlah negara. Pesawat telepon genggam merek
iPhone dirakit di Tiongkok dengan menggunakan suku cadang dan komponen yang
diimpor dari 27 negara.
Bahan, mode, dan ukuran pakaian dinas tentara NATO
yang dijahit di Solo ditentukan oleh pemesannya, sedangkan penjahitnya hanya
menerima upah jahitan. Demikian pula dengan sepatu Nike dan Adidas yang
diproduksi di Tangerang dan jaket Tumi yang dijahit di Bandung yang hasilnya
diekspor ke pasar dunia, terutama AS dan Uni Eropa.
Terciptanya pasar global telah memungkinkan produksi
secara besar-besaran. Pada gilirannya skala ekonomis (economies of scale) dan
produksi dilakukan di negara yang lebih murah upah tenaga kerjanya telah
menurunkan biaya produksi dan harga produk.
Rantai Produksi Global
Peningkatan kembali tarif bea masuk dan hambatan
nontarif lainnya di negara- negara maju akan mengganggu mata rantai proses
produksi global atau pembagian kerja antarnegara. Hambatan perdagangan tersebut
sekaligus merangsang terjadinya kembali perang dagang. Sementara itu, walaupun
sudah beberapa kali melakukan koreksi kurs, AS masih tetap menuduh Tiongkok
melakukan manipulasi kurs mata uangnya sebagai strategi untuk meningkatkan
ekspornya.
Sumber konflik yang ketiga adalah karena Tiongkok
mengekspor kelebihan produksinya ke pasar dunia dengan tingkat harga murah yang
disebut oleh sejumlah negara sebagai dumping. Kelebihan kapasitas produksi di
Tiongkok terutama terjadi pada enam bidang usaha industri besar dan padat modal
yang didominasi oleh perusahaan milik negara, yakni industri besi, tambang
batubara, industri semen, pabrik gelas, kertas, dan non-ferrous metal.
Keenam bidang usaha tersebut mengimpor bahan mentah
dan bahan bakar dari mancanegara, termasuk Indonesia dan Australia. Keenam
industri berat tersebut ditambah dengan industri perumahan dan infrastruktur
digalakkan oleh Pemerintah Tiongkok sebagai bagian dari ekspansi fiskal guna menghadapi
krisis keuangan global tahun 2008-2009. Perumahan dan infrastruktur memerlukan
banyak bahan bangunan, sedangkan industri peleburan atau pengelolaan sumber
daya alam memerlukan banyak tenaga listrik yang antara lain digerakkan oleh
batubara.
Sumber dana ekspansi fiskal tahun 2008-2009 di
Tiongkok adalah berasal dari kredit dari bank-bank negara yang langsung
diterima oleh BUMN di keenam industri di atas ataupun melalui perusahaan daerah
milik pemda (BUMD) yang membangun industri perumahan dan infrastruktur.
Pemerintah daerah di Tiongkok dapat mengarahkan bank-bank negara memberikan
kredit pada BUMD miliknya.
Pada gilirannya, BUMD memberikan kredit perumahan
kepada nasabahnya. BUMD yang memberikan kredit seperti itu disebut sebagai bank
bayangan (shadow banking) karena
tidak mendapatkan fasilitas kredit ataupun tunduk pada pengaturan bank sentral.
Ekspansi kredit perbankan dengan bunga murah juga merupakan bagian dari
strategi untuk menumbuhkan permintaan pasar dalam negeri sebagai pengganti dari
penurunan ekspor.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dewasa ini
ekonomi Tiongkok menghadapi berbagai krisis multidimensi. Pertama, krisis
akibat dari adanya kelebihan kapasitas produksi pada industri pertambangan dan
industri berat pengolahan sumber daya alam. Perusahaan-perusahaan yang
mengalami kesulitan keuangan tersebut, terutama BUMN, hanya bisa bertahan
karena adanya kredit murah dari bank- bank negara.
Kedua, kelebihan pembangunan rumah dan infrastruktur,
terutama di daerah terpencil, seperti yang dialami oleh AS pada tahun
2008-2009. Ketiga, melemahnya posisi keuangan lembaga-lembaga keuangannya yang
masih bertumpu pada industri perbankan. Kredit bermasalah pada industri
perbankan tersebut semakin meningkat karena gangguan pada ekspor dan permintaan
domestik. Sekitar 70 persen dari kredit bermasalah bank-bank negara ada pada
keenam BUMN raksasa di atas.
Anwar
Nasution, Guru Besar Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
KOMPAS, 07 Desember 2016
No comments:
Post a Comment