Diperlukan dua bentuk tindakan radikal untuk
menyehatkan kondisi keuangan industri perbankan yang sangat terganggu dewasa
ini. Tindakan radikal pertama adalah dengan menambah modal bank agar memenuhi
ketentuan modal minimum sebagaimana diatur oleh undang-undang. Tindakan radikal
kedua adalah untuk membersihkan pembukuan bank dari kredit bermasalah agar
tidak melanggar aturan kehati-hatian (prudential
rules and regulations) industri perbankan. Tindakan darurat Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) baru-baru ini yang melonggarkan aturan prudensial atau
kehati-hatian tersebut dapat menunda sementara kesulitan keuangan itu yang
nantinya diharapkan akan dapat diatasi setelah harga-harga komoditas primer
membaik kembali.
Gangguan pada kesehatan keuangan industri perbankan
dewasa ini adalah bersumber dari penurunan tingkat harga komoditas primer di
tingkat internasional yang terjadi terus-menerus selama beberapa tahun
terakhir. Komoditas primer ekspor Indonesia tersebut adalah terutama berupa
hasil tambang, seperti batubara dan nikel, maupun hasil pertanian, seperti
minyak kelapa sawit, serta hasil perikanan laut, yang terutama kita ekspor ke
China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Pada gilirannya, penurunan ekspor bahan mentah
tersebut telah mengganggu tingkat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama
di daerah pertambangan dan perkebunan, maupun kemampuan dunia usaha untuk
melunasi kreditnya sehingga meningkatkan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) industri
perbankan. Akibat dari gabungan antara kemerosotan pendapatan dan kenaikan
tingkat suku bunga, sektor rumah tangga juga mengalami kesulitan melunasi
kredit rumah dan perabotnya maupun kendaraan bermotor.
Kebijakan pelonggaran sementara aturan prudensial
oleh OJK dianggap tidak cukup karena jumlah NPL beberapa bank sudah mendekati
jumlah modal dan cadangan atau provisinya. Melalui transaksi antarbank,
kesulitan likuiditas suatu bank akan berjangkit pada bank-bank lain yang
merupakan mitranya. Masa sementara itu pun sulit diperkirakan karena penurunan
harga komoditas primer sudah berlangsung sejak tahun 2011 walaupun sudah mulai
membaik sejak beberapa waktu terakhir.
Periode sekarang ini adalah sangat berbeda dengan
sewaktu terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Pengaturan dan
pemeriksaan bank dewasa ini jauh lebih baik daripada masa represi sektor
keuangan pada masa Orde Baru. Meski demikian, pada waktu itu, ekspor dan
pendapatan nasional dapat segera ditumbuhkan kembali melalui devaluasi rupiah
yang merosot nilainya dari Rp 2.300 per dollar AS menjadi di atas Rp 15.000 per
dollar AS. Rahasianya adalah karena gabungan antara harga komoditas primer yang
masih baik pada waktu itu dengan tingginya perdagangan internasional serta
tingkat laju pertumbuhan ekonomi China dan India maupun negara-negara maju. Devaluasi
1997 telah meningkatkan daya beli petani cokelat, sawit, dan ikan laut di
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sehingga memungkinkan mereka membeli
kendaraan bermotor dan melakukan umrah. Dewasa ini, tingkat harga komoditas
primer yang menurun itu diikuti oleh rendahnya tingkat laju pertumbuhan ekonomi
serta perdagangan dunia.
"Bail Out" dan "Bail In"
Perbankan
Ada lima cara untuk menambah modal bank. Cara
pertama, meminta pemiliknya untuk menambah modal karena pada hakikatnya
pemegang sahamlah yang wajib untuk memenuhi ketentuan perbandingan saham dengan
risiko yang dihadapi oleh bank. Cara kedua, mengeluarkan surat utang atau
obligasi berjangka panjang yang dapat diakui sebagai modal inti (Tier 12).
Obligasi bank ada yang diasuransikan dan ada yang tidak.
Cara ketiga adalah mengeluarkan obligasi yang dapat
dikonversikan sebagai saham bank yang disebut sebagai contingent convertible (CoCo) bonds.
CoCo bonds dapat diakui sebagai utang jangka panjang sehingga dapat digunakan
untuk menambah modal inti bank. Cara keempat adalah mewajibkan deposan besar
untuk ikut menanggung kerugian bank dengan cara mengonversikan sebagian atau
seluruh depositonya ke dalam bentuk saham ataupun obligasi bank. Keempat cara
ini disebut sebagai bail in di mana risiko bank ditanggung bersama antara pemilik
bank dengan deposan serta kreditornya.
Cara kelima untuk memulihkan kembali kecukupan modal
bank adalah melalui suntikan modal dari pemerintah. Secara bertahap, bank
mengembalikan pinjamannya kepada pemerintah setelah keadaan membaik kembali.
Cara ini dilakukan di seluruh dunia mulai dari krisis perbankan di
negara-negara Skandinavia pada awal tahun 1990-an, di Asia tahun 1997-1998,
krisis Rusia, maupun krisis di Amerika tahun 2007-2008. Selain menambah modal
bank, pemerintah juga mendirikan perusahaan, seperti Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), yang menjual ataupun melakukan strukturalisasi kredit
bermasalah. Yang dibantu bukan saja bank, melainkan juga termasuk nasabahnya
seperti perusahaan asuransi AIA dan industri mobil, General Motor, di Amerika
Serikat.
Campur tangan pemerintah itu bisa menimbulkan biaya
fiskal ataupun mendatangkan keuntungan bagi negara jika peminjam mengembalikan
pokok kredit ditambah dengan bunga. Biaya fiskal krisis perbankan di Indonesia
tecermin dari besarnya jumlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
belum dibayar dan mahalnya bunga Surat Utang Negara (SUN) yang terus-menerus
membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga hari ini.
Untuk menghindarkan beban fiskal, dalam pertemuan
puncak (KTT) G-20 di Seoul pada tahun 2010 diputuskan agar pemerintah
negara-negara anggota menghentikan kebijakan penalangan (bail out) dan menggantikannya dengan bail in. Bail in hanya bisa
berjalan jika pemodal bank masih punya kekayaan maupun agunan yang berharga.
Pengalaman dari krisis 1997 menggambarkan bahwa sebagian besar dari surat
berharga, personal guarantee, atau jaminan pribadi pemilik bank atau pihak yang
berutang adalah tidak berharga. Penjualan aset BPPN hanya secuil dari nilai
BLBI. Campur tangan pemerintah juga dilakukan karena alasan politik, misalnya
untuk membantu bank kolaps yang sahamnya sebagian besar dikuasai oleh para
pemodal lemah.
Kreditor dan deposan di bank yang bermasalah dapat
menanggung kerugian melalui dua cara. Cara yang pertama melalui penurunan nilai
pasar obligasi serta tingkat suku bunganya. Cara yang kedua adalah melalui
konversi obligasi menjadi saham bank. Menurut pemrakarsanya, bail in dapat
digolongkan atas dua golongan. Kelompok pemrakarsa pertama adalah karena
tekanan pemerintah kepada deposan dan pembeli besar obligasi untuk ikut serta
menanggung kerugian bank. Kelompok pemrakarsa kedua karena adanya kesepakatan
antara deposan serta pemegang obligasi dengan bank. Menurut aturan yang berlaku
di seluruh dunia, deposan yang memiliki suatu jumlah deposito tertentu wajib
ikut menanggung kerugian bank bermasalah.
Restrukturalisasi Internal
Bank juga dapat mengatasi kekurangan modal dan
kredit bermasalah dengan melakukan penghematan internal untuk mencapai dua
sasaran sekaligus. Sasaran pertama adalah untuk menekan biaya produksi dengan
mengurangi jumlah cabang maupun anjungan tunai mandiri (ATM) serta karyawan
yang kurang produktif.
Efisiensi juga dapat ditingkatkan dengan mengurangi
risiko kredit, risiko pasar, maupun risiko operasional. Risiko operasional
termasuk pengadaan barang dan jasa yang diperlukan bank. Sasaran kedua adalah
untuk memupuk cadangan atau provisi maupun menjual aktiva serta agunan kredit
atau kolateral yang ada. Pengalaman pada krisis 1997 dan 2008 juga menggambarkan
bahwa sebagian besar agunan kredit bank yang dijaminkan hanya dapat dijual
dengan tingkat harga obral. Pada gilirannya, pemupukan provisi akan mengurangi
kemampuan bank menjalankan bisnisnya untuk memberikan kredit dan melakukan
investasi.
Masalah pokok NPL di Indonesia adalah bukan pada
nilai buku agunan kredit atau kolateral tersebut, tetapi pada harga pasarnya.
Nilai buku kolateral itu hampir tidak ada kaitan dengan harga pasarnya. Dewasa
ini, sebagian terbesar dari kolateral kredit bank adalah dimiliki perusahaan
pertambangan dan perkebunan dalam bentuk mesin pabrik, traktor, dan alat-alat
berat maupun bangunan komersial yang berada di daerah pertambangan dan
perkebunan di daerah terpencil di pedalaman Kalimantan, Sumatera, dan Papua.
Karena hampir tidak mungkin dipindahkan ke daerah perkotaan, harga kolateral
yang ada di daerah terpencil tersebut merosot secara drastis bilamana
perusahaan tersebut berhenti beroperasi.
Pelunasan kredit untuk perorangan dan rumah tangga
kelihatannya lebih cerah karena individu perorangan dianggap lebih mampu
melunasi kembali kreditnya setelah keadaan ekonomi kembali membaik sehingga ia
bisa mendapatkan kembali pekerjaan dan memulihkan pendapatannya.
Kondisi di Indonesia
Mengikuti keputusan KTT G-20 di Seoul pada tahun
2010, Pemerintah Indonesia telah membuat aturan bahwa suntikan modal untuk
penyelamatan bank bermasalah hanya dapat dilakukan melalui bail in. Untuk
menghindari krisis fiskal suntikan modal bank tidak lagi akan melakukan bail
out. Logika aturan ini sangat baik karena adalah lebih baik jika pengeluaran
APBN pemerintah itu dipergunakan untuk membelanjai pendidikan dan kesehatan
masyarakat serta memperbaiki infrastruktur guna meningkatkan tingkat laju
pertumbuhan ekonomi secara adil dan berkesinambungan.
Pengambilalihan BLBI oleh negara adalah juga
bersifat regresif karena hanya menguntungkan pemiliknya yang merupakan orang
kaya yang dibelanjai oleh penerimaan negara dari pajak serta utang negara yang
lebih banyak ditanggung oleh kelompok masyarakat miskin. Demikian juga dengan
amnesti pajak yang mengampuni perbuatan kriminalitas para penggelap pajak.
Karena dua alasan, tekad pemerintah untuk
menjalankan bail in dan mengharamkan bail out bank-bank bermasalah di Indonesia
tidak akan dapat direalisasikan. Alasan pertama adalah karena sistem keuangan
Indonesia adalah didominasi oleh bank-bank komersial. Pangsa pasar industri
bank komersial tersebut adalah dikuasai oleh lima bank negara dan 26 Bank
Pembangunan Daerah (BPD).
Sumber pendapatan bank-bank negara dan BPD adalah
berasal dari pemiliknya sendiri. Kekayaan keuangan serta transaksi keuangan
pemerintah pusat dan BUMN dilakukan melalui bank-bank negara. Seperti hanya
dengan pemerintah, pengusaha swasta nasional adalah mengutamakan bank miliknya
sendiri. Pilihan lain bagi pengusaha nasional adalah bank asing yang membantu
transaksi internasionalnya. Sementara itu, kekayaan keuangan pemda dan badan
usaha milik daerah (BUMD) disimpan di BPD miliknya sendiri dan transaksi
keuangan mereka pun dilakukan melalui BPD-nya.
Seperti tahun 1997, industri perbankan akan kolaps
jika pemerintah tidak mencukupi modal dan membersihkan buku bank-bank negara
dan BPD. Sebagian besar dari BLBI tahun 1997 adalah disuntikkan pada sekelompok
kecil bank-bank milik negara itu. Alasan kedua adalah karena pemerintah tidak
mungkin akan memaksa BUMN dan BUMD untuk membeli CoCo bonds atau mengonversikan
depositonya ke dalam bentuk obligasi CoCo bonds agar ikut menanggung kerugian
bank-bank negara dan BPD. Hal seperti ini hanya memindahkan masalah dari satu
BUMN ke BUMN lainnya. Yang biasa dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan
bank bermasalah hanyalah sekadar memindah- mindahkan penyimpanan rekeningnya
ataupun rekening BUMN dan BPD non-bank dari satu bank yang sehat ke bank yang
mengalami kesulitan.
Anwar Nasution, Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI
KOMPAS, 27 April 2017
No comments:
Post a Comment