Dapat dipahami kerisauan pemerintah akan tingginya
tingkat suku bunga bank di Indonesia yang dewasa ini tertinggi di ASEAN.
Tingkat suku bunga yang tinggi tersebut mengganggu daya saing dunia usaha untuk
bersaing di pasar regional dan internasional, apalagi memasuki komunitas
ekonomi ASEAN yang tidak lama lagi akan dimulai. Suku bunga yang tinggi
tersebut sekaligus memberatkan beban pengeluaran negara untuk melunasi Surat
Utang Negara.
Pada tahun 1998-1999, pemerintah mengeluarkan Surat
Utang Negara (SUN) untuk menambah modal bank nasional yang telah bangkrut
dilanda krisis ekonomi pada masa itu dan membersihkan bukunya dari kredit
bermasalah. Setelah reformasi tahun 1998, negara-negara donor asing tidak lagi
memberikan jumlah pinjaman dan bantuan lunak dengan jangka waktu pelunasan
panjang seperti pada masa Orde Baru. Selama 32 tahun usianya, Orde Baru
membelanjai defisit APBN dengan pinjaman lunak dari konsorsium negara-negara
donor Barat (IGGI).
Menutup Defisit APBN dengan SUN
Sejak tahun 1989, setiap tahun pemerintah terpaksa
menjual SUN berbunga pasar yang mahal, dengan jangka waktu yang lebih pendek,
di pasar uang dalam negeri dan luar negeri untuk menutup APBN. Bunga surat
utang luar negeri menjadi semakin meningkat berkenaan dengan berakhirnya
kebijakan pemompaan likuiditas (quantitative
easing) Bank Sentral Amerika Serikat yang menaikkan tingkat suku bunga
internasional.
SUN dalam negeri dinyatakan dalam rupiah dan untuk
melunasinya kembali pemerintah perlu memupuk surplus anggaran. Di lain pihak,
untuk bisa melunasi utang luar negeri, selain memiliki surplus anggaran,
pemerintah juga perlu memupuk cadangan luar negeri karena kreditor luar negeri
hanya mau menerima pembayaran utang dalam bentuk mata uang asing, terutama
dollar AS. Pada gilirannya, cadangan luar negeri dipupuk dengan meningkatkan
ekspor, meminjam, menjual aset negara kepada pemodal asing dan mengundang
pemasukan modal jangka panjang.
Untuk meningkatkan penerimaan negara, pemerintah
perlu memperbaiki administrasi perpajakan yang sangat parah keadaannya pada
saat ini. Buruknya administrasi pajak itu menyebabkan rendahnya rasio
penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto yang setelah 70 tahun Indonesia
merdeka masih pada tingkat 12-13 persen.
Perbaikan administrasi pajak itu merupakan bagian
dari perbaikan sistem hukum. Undang-undang serta aturan perpajakan merupakan
bagian dari sistem hukum nasional. Di tengah penerimaan pajak yang rendah itu,
pemerintah Jokowi justru menawarkan amnesti kepada para penggelap pajak, tetapi
Nawacita-nya mengumbar berbagai program sosial yang sangat mahal.
Sementara itu, Bank Tabungan Pos (BTP) perlu
dibangun kembali agar dapat memobilisasi dana tabungan masyarakat melalui
tabungan pos dan penjualan polis asuransi jiwa. Dengan memanfaatkan jaringan
kantor pos yang telah tersebar hingga ibu kota kecamatan, mobilisasi tabungan
nasional melalui BTP jauh lebih mudah dan murah biayanya daripada membangun
industri asuransi dan dana pensiun. Seperti di Jepang, dana BTP dapat digunakan
untuk memperkuat APBN menyerap SUN, membangun infrastruktur, dan membantu
permodalan usaha skala kecil dan menengah.
Dua Cara Menurunkan Suku Bunga
Dewasa ini, ada dua cara yang dapat digunakan
pemerintah untuk menurunkan tingkat suku bunga. Pertama, berpegang pada rumus
John Taylor dari Universitas Stanford yang menjadi acuan kebijakan moneter
sejak program Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1997 yang terus
dipertahankan hingga saat ini. Cara kedua adalah meliberalisasi industri
perbankan guna mengakhiri monopoli kelompok empat bank-bank pemerintah dan 25
Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang sangat tak efisien dan tidak sehat dewasa
ini. Cara yang dipilih pemerintah untuk memaksa bank-bank menurunkan tingkat
suku bunga dan margin keuntungan adalah tidak tepat dan mirip kebijakan
represif Orde Baru yang bertolak belakang dengan mekanisme pasar.
Seperti halnya dengan bank sentral di Jerman dan Uni
Eropa, UU Bank Indonesia Tahun 1998 telah memberikan status otonomi pada Bank
Indonesia (BI) untuk memelihara keseimbangan internal dan eksternal
perekonomian. Mulai tahun 1990, BI menggunakan inflation targeting (IT) dalam
kebijakan moneternya, yakni untuk mencapai suatu target inflasi inti tertentu
yang ditentukannya sendiri. Inflasi inti diukur berdasarkan indeks harga yang
biasa digunakan Badan Pusat Statistik untuk mengukur inflasi dengan mengeluarkan
bahan makanan serta barang-barang yang harganya disubsidi dan dikontrol
pemerintah. Harga bahan makanan dipengaruhi kondisi iklim dan cuaca, sedangkan
harga komoditas yang dikontrol pemerintah dipengauhi oleh kebijakan pemerintah
dan bukan oleh kebijakan moneter BI.
Melalui stabilisasi internal, bank sentral sekaligus
menstabilisasi neraca pembayaran luar negeri dan kurs devisa. Upaya untuk
menumbuhkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja merupakan kombinasi
antara kebijakan moneter, fiskal, dan reformasi perekonomian termasuk
korporatisasi BUMN. Dua kebijakan yang disebut terakhir merupakan kewenangan
pemerintah.
Mekanisme operasional dari IT dilakukan melalui
penetapan tingkat suku bunga acuan yang diukur berdasarkan rumus yang disusun
John Taylor dari Universitas Stanford. Menurut rumus itu, BI menetapkan tingkat
suku bunga acuannya berdasarkan (i) tingkat suku bunga riil keseimbangan jangka
panjang, (ii) kesenjangan tingkat laju inflasi, dan (iii) kesenjangan
pendapatan nasional. Kesenjangan tingkat laju inflasi merupakan perbedaan
antara tingkat laju inflasi yang sebenarnya terjadi dan target yang ditetapkan
oleh bank sentral. Kesenjangan pendapatan nasional merupakan selisih antara
realitas pendapatan nasional yang dicapai dan potensinya.
Efisiensi Bank
Karena tingkat suku bunga riil jangka panjang
dianggap konstan, perubahan suku bunga acuan jangka pendek hanya dipengaruhi
kesenjangan inflasi dan pendapatan nasional. Berbagai negara maju, dewasa ini,
menurunkan tingkat suku bunga menjadi negatif karena terus-menerus terjadi
deflasi atau penurunan tingkat harga di negaranya. Selain itu, tingkat laju
pengangguran tenaga kerja juga tetap tinggi yang mencerminkan masih tingginya
potensi pertumbuhan ekonominya. Sebaliknya, di Indonesia, tingkat laju inflasi
tetap tinggi dan pengangguran tenaga kerja juga tinggi karena kurangnya barang
modal sebagai alat kerja ataupun karena kurangnya keterampilan serta
pendidikan.
Cara yang paling mudah untuk menurunkan tingkat suku
bunga bank di Indonesia dewasa ini adalah dengan meningkatkan efisiensi dan
produktivitas bank-bank pemerintah, baik milik negara maupun BPD. Hal itu dapat
dilakukan dengan mengakhiri kebijakan yang memberikan hak monopoli kepada
mereka untuk menyimpan kekayaan finansial dan menyelenggarakan transaksi
keuangan sektor pemerintah termasuk BUMN/BUMD.
Kelompok bank pemerintah itu kini menguasai lebih
dari separuh pasar industri perbankan. Karena mengalami represi finansial
selama 32 tahun Orde Baru, operasi kelompok bank-bank negara tidak berbeda
dengan kas negara. Pada waktu itu, dana kredit bank-bank pemerintah disediakan
oleh negara dan semua risiko bank (kredit, operasional, dan pasar) diambil alih
oleh negara ataupun perusahaan asuransi kredit milik negara.
Pimpinan BUMN dan bank-bank pemerintah ditunjuk oleh
Menteri Negara BUMN berdasarkan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Dua orang
Batak yang dipercaya Citibank menjadi CEO di Jakarta dan di luar negeri tidak
laku di mata Menteri Negara BUMN untuk memimpin bank-bank negara. Penjualan
sebagian saham BUMN tidak memengaruhi tata kelolanya karena pemerintah tetap
memegang golden share yang dapat menetapkan pimpinan dan kebijakan operasional
BUMN. Biaya operasional bank pemerintah terlalu besar karena organisasinya yang
terlalu besar, kantor cabang dan karyawannya di dalam negeri terlalu banyak. Di
luar Indonesia, bank-bank negara hanya mampu bersaing dengan Western Union
mengirim remittances TKI.
Anwar Nasution, Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi UI
KOMPAS, 18 Maret 2016
No comments:
Post a Comment