Pemerintahan Presiden Joko Widodo bisa terjebak pada
kebijakan yang membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi semakin
amburadul: sumber dananya semakin bergantung pada pinjaman bersyarat mahal dari
luar negeri, mengabaikan disiplin anggaran yang ditetapkan UU Keuangan Negara
Tahun 2003, dan struktur arah pengeluaran yang cenderung kacau. Selain Menteri
Keuangan, Menteri BUMN juga dapat meminjam dari luar negeri dengan menggadaikan
BUMN yang di bawah pengaturannya.
Di tengah kekacauan itu, pemerintah dan DPR akan
memberikan amnesti bagi individu yang selama ini menipu dan menggelapkan pajak.
Dalam sejarah masa lalu, semua negara besar menyehatkan keuangan negara dengan
menghukum penggelap pajak. Tindakan pertama Khalifah Abubakar As-Siddiq,
pemimpin umat Islam setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, adalah memerangi
orang Islam yang tidak mau membayar zakat dan bukan memerangi orang kafir! Tanpa
adanya perbaikan stabilitas politik, sosial, dan ekonomi, ataupun iklim
investasi, amnesti pajak tidak akan menyebabkan repatriasi uang-uang itu kembali
ke Indonesia. Dengan APBN yang amburadul seperti itu, Nawacita Presiden Jokowi
untuk membuat APBN sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi, sarana untuk
memelihara stabilitas perekonomian dan sekaligus mewujudkan pemerataan, hanya
merupakan ilusi janji dan kosong belaka.
Indonesia Negara Gagal?
Suatu negara disebut "negara pisang"
negara gagal, antara lain, karena tidak mampu menegakkan aturan hukum. Sistem
hukum dan peradilan berfungsi untuk melindungi hak milik individu dan
memelihara ketertiban transaksi pasar untuk meningkatkan efisiensi dan
produktivitas perekonomian. Ada empat indikator yang mencerminkan Indonesia
masuk dalam kelompok negara pisang yang gagal atau hampir gagal. Pertama, tidak
adanya perlindungan hak milik individu. Kedua, mahalnya transaksi pasar karena
semua urusan diselesaikan dengan uang tunai dengan bantuan preman serta penagih
utang.
Indikator ketiga adalah karena tidak mampu
menerapkan UU dan aturan pajak di negeri sendiri. UU dan aturan pajak adalah
bagian dari sistem hukum nasional. Indikator keempat adalah panjangnya daftar
orang Indonesia yang disebut dalam Dokumen Panama (Panama Papers). Daftar itu
bukan saja memuat nama-nama pengusaha kaya non-pri yang biasanya merupakan
sasaran kerusuhan sosial, tetapi juga kelompok pengusaha yang ikut menikmati
rente selama masa 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Orang-orang itu bisa
memindahkan kekayaannya ke luar negeri, antara lain, dengan bantuan penegak
hukum yang korup. Yang menyedihkan, daftar itu memuat nama pemimpin ataupun mantan
pemimpin lembaga negara, menteri koordinator, menteri, pemimpin dan anggota
DPR, ataupun pejabat negara. Selain telah mengucapkan sumpah jabatan dan
menandatangani pakta integritas, orang-orang ini seharusnya dapat memberikan
suri teladan serta mengurus negara.
Walaupun sudah merdeka selama 70 tahun, rasio
penerimaan negara kita ataupun strukturnya masih jauh menyimpang dari keadilan
sosial ataupun asas pemerataan sebagaimana disebut dalam Pancasila dan UUD
1945. Rasio penerimaan pajak, sebagai persentase terhadap produk domestik bruto
(PDB), baru berkisar 13 persen, termasuk terendah di ASEAN dan dunia. Dari
242,3 juta penduduknya (2011), hanya 30,46 juta (12,6 persen) yang mempunyai
NPWP dan 18,16 juta (7 persen) yang terdaftar sebagai wajib pajak. Pemilik NPWP
lainnya adalah pegawai rendahan yang tingkat pendapatannya belum dapat
dipajaki. Sebagian terbesar dari penerimaan negara adalah berasal dari royalti
dan pajak pertambangan. Sebab, secara politik lebih populer, perusahaan asing,
terutama pertambangan, lebih mudah dipajaki daripada BUMN dan perusahaan
nasional pribumi. Negara yang sepantar dengan Indonesia sudah memiliki rasio
pajak ataupun jumlah pembayar pajak yang jauh lebih tinggi daripada di
Indonesia. Pajak pendapatan perseorangan terutama dipungut dar tenaga kerja
yang bekerja di sektor modern dengan administrasi dan pembukuan yang lebih
teratur. Sumber lain yang besar adalah dari Pajak Pertambahan Nilai yang
terutama ditanggung oleh konsumen.
Defisit APBN
Rendahnya penerimaan negara dari pajak, BUMN/BUMD
dan asetnya, menyebabkan pemerintah terpaksa menutup defisit APBN-nya, apakah
dengan pencetakan uang ataukah dengan pinjaman luar negeri. Pinjaman dari
sumber dalam negeri tidak mungkin dilakukan karena belum berkembangnya pasar
obligasi dan tingginya tingkat laju inflasi yang menyebabkan surat utang negara
menjadi kertas yang tidak ada nilainya.
Pemerintah sebelum 1966 menekankan pada pembelanjaan
defisit melalui pencetakan uang baru oleh BI. Untuk memudahkan proses
pembelanjaan defisit APBN dengan pencetakan uang, Gubernur BI diangkat menjadi
menteri. Pinjaman luar negeri sangat terbatas pada waktu itu karena politik
luar negeri Indonesia yang anti Barat. Rusia membangun Gelora Senayan untuk
Asian Games di Jakarta, membangun jembatan Sungai Musi di Palembang, Kota
Palangkaraya, dan membuat TNI/ABRI sebagai Angkatan Perang yang terkuat di
selatan katulistiwa.
Negara-negara Eropa Timur dan Republik Rakyat
Tiongkok juga memberikan bantuan militer dan ekonomi. Pembelanjaan defisit APBN
dengan pencetakan uang dan kurangnya devisa untuk mengimpor barang modal
ataupun bahan baku menyebabkan ekonomi menjadi karut marut dan tingkat laju
inflasi sangat tinggi hingga 1966. Pemerintah Orde Baru meredam tingkat laju
inflasi dengan menyetop pembelanjaan defisit APBN dengan pencetakan uang. Cara
pembelanjaan defisit APBN diganti dengan perolehan pinjaman lunak (Official
Development Aid/ODA) berjangka panjang dan berbunga murah dari kelompok
negara-negara donor Barat yang tergabung dalam IGGI/CGI. Selama 32 tahun,
pemerintahan Orde Baru terus-menerus mampu meyakinkan DPR negara- negara donor
untuk memberikan pinjaman lunak kepada Indonesia.
Jepang dan Amerika Serikat adalah kontributor
terbesar pinjaman luar negeri Indonesia. Dalam APBN Orde Baru, pinjaman lunak
itu disebut sebagai "penerimaan pembangunan" karena hanya
dipergunakan untuk membelanjai pengeluaran pembangunan. Karena merupakan
pinjaman resmi, penyelesaian keringanan utang juga dilakukan secara diplomasi
dan bukan melalui mekanisme pasar. Setelah krisis 1997-1998, IGGI/CGI
membubarkan diri dan menghentikan pemberian bantuan lunak setelah menyadari
bahwa ternyata pinjaman mereka digunakan untuk memperkaya kroni penguasa Orde
Baru. Mulai sejak itu, APBN Indonesia dibelanjai dengan penjualan Surat Utang
Negara (SUN) di bursa obligasi nasional dan dunia dengan tingkat suku bunga
pasar. Pemerintah Jepang memberikan jaminan atas SUN yang dijual di pasar dalam
negerinya agar laku. SUN seperti itu disebut Samurai Bonds.
Pada masa Orde Baru, pinjaman luar negeri pemerintah
hanya dilakukan melalui satu pintu, yakni Bappenas, yang pada waktu itu
mengontrol anggaran pembangunan. Dalam UU Keuangan Negara Tahun 2003, Menteri
Keuangan merupakan pengendali tunggal utang negara baik dari sumber dalam
negeri maupun luar negeri. Dalam era Presiden Jokowi, UU Keuangan Negara Tahun
2003 dilanggar dan Menteri BUMN dapat berutang untuk menambah modal BUMN dan
membelanjai pembangunan kereta api super cepat Jakarta-Bandung. Pinjaman
Menteri BUMN itu terutama bersumber dari Tiongkok dan agunannya adalah aset
BUMN.
Diaspora SDM dan Modal
Sumber penyebab kenapa terus-menerus terjadi
pelarian tenaga kerja profesional serta modal ke luar negeri sejak Indonesia
merdeka 17 Agustus 1945 adalah karena gabungan antara ketidakstabilan politik,
sosial, dan ekonomi. Kurangnya instrumen keuangan pemerintah, BI ataupun
perbankan untuk keperluan investasi hanya merupakan tambahan pelengkap. Tanpa
adanya kestabilan sistem politik, sosial ekonomi, dan perlindungan hak milik
pribadi oleh sistem hukum ataupun penyelesaian konflik yang adil dan transparan
tidak akan mungkin menarik kembali uang milik WNI yang diparkir di seluruh
dunia.
Sejak kemerdekaan, Indonesia terus- menerus
mengalami perang saudara di semua daerah. Konflik rasial sering terjadi yang
sekaligus menyebabkan beberapa kali terjadi emigrasi besar-besaran tenaga
profesional, terutama keturunan Tionghoa ke seluruh pelosok dunia.
Setelah lengsernya Presiden Soeharto pada 1998,
sekelompok orang bersenjata menyerang warga keturunan Tionghoa di Jakarta,
membakar toko dan rumah, memperkosa wanita, ataupun mengancam keselamatan jiwa
mereka. Tidak pernah ada penjelasan pemerintah, siapa kelompok gerombolan
pengacau itu! Adalah manusiawi jika orang ingin melindungi daya beli
kekayaannya untuk tabungan hari tua. Untuk melindungi nilai tabungan, pemegang
uang menggantinya dengan mata uang asing, tanah, logam mulia, ataupun bentuk
kekayaan lain.
Karena daya belinya yang relatif stabil, dunia
memegang mata uang dollar AS walaupun tidak ada resolusi PBB yang menyatakannya
sebagai alat pembayaran internasional yang sah. Orang hanya percaya kepada
keahlian profesionalitas dan integritas pemerintah serta pengendali moneter
untuk menjaga stabilitas daya beli. Orang memilih menjadi nasabah bank asing
karena pilihan produknya yang lebih luas serta pelayanan yang lebih baik.
Sewaktu masa konfrontasi militer dengan Singapura
dan Malaysia, masih banyak orang Indonesia yang memegang mata uang kedua negara
itu dan menabung di sana karena percaya kepada stabilitas sosial, ekonomi, dan
politik, ataupun perlindungan hak milik pribadi dari sistem hukum di kedua
negara itu. Penyimpanan kekayaan di luar negeri para pejabat, penegak hukum,
ataupun anggota DPR penggelap pajak dan uang korupsi perlu diusut Ditjen Pajak,
PPATK, dan KPK. Orang-orang seperti itu harus diberhentikan dari jabatannya,
dihukum berat, dan uangnya disita untuk negara.
Anwar Nasution, Guru Besar FE UI
KOMPAS, 26 April 2016
No comments:
Post a Comment