Cina saat ini telah mencapai negeri dengan
pendapatan menengah ke atas dan negara dengan perdagangan luar negeri terbesar
di dunia. Cina juga menjadi negara dengan tingkat perekonomian terbesar di
dunia. Pada 2014, pendapatan domestik brutonya mencapai US$ 10,3 triliun, naik
dari hanya US$ 2,3 triliun pada 2005. Dengan demikian, produk domestik bruto
(PDB) per kapitanya telah mencapai lebih dari US$ 14 ribu.
Pada akhir 2015, Dana Moneter Internasional (IMF)
menambahkan renminbi, mata uang Cina, ke keranjang mata uang yang menentukan
nilai Special Drawing Rights, satuan
mata uang yang dipakai IMF untuk bertransaksi dengan 188 negara anggotanya.
Langkah tersebut menempatkan renminbi sejajar dengan mata uang global utama,
seperti dolar AS, euro, pound, dan yen. Dengan bermodalkan kekuatan ekonomi dan
cadangan devisa yang besar tersebut, Cina memperluas kepentingan
geostrategisnya melalui Prakarsa Jalan Sutra (Silk Road Initiative). Cina membentuk Dana Jalan Sutra untuk
mendukung proyek infrastruktur yang dicanangkan Presiden Xi Jinping, yakni
"Satu Sabuk, Satu Jalan".
Untuk merealisasi ambisinya tersebut, Cina telah mengalokasikan dana US$ 1
triliun.
Dengan bermodalkan devisa yang besar tersebut, Cina
memberikan pinjaman kepada pemerintah negara-negara berkembang untuk membantu
pembangunan proyek infrastruktur. Akibatnya, negara-negara tersebut terjerat
jebakan utang sehingga rentan terhadap pengaruh dan kontrol Cina. Tentu saja,
memberikan pinjaman untuk kepentingan pembangunan proyek infrastruktur pada
hakikatnya bukanlah suatu yang buruk. Namun proyek yang dibantu Cina tersebut
sering tidak dimaksudkan untuk kepentingan ekonomi domestik negara penerima
pinjaman, melainkan membuka akses Cina ke sumber daya alam atau untuk membuka
pasar produk murah dan berkualitas rendah dari Cina.
Beberapa proyek yang telah beroperasi tidak
mendatangkan keuntungan sebagaimana diharapkan. Misalnya, Bandar Udara
Internasional Mattala Rajapaksa di dekat Hambantota, Sri Lanka, yang dibuka
pada 2013. Ini merupakan bandara internasional tersepi saat ini. Begitu juga
Pelabuhan Magampura Mahinda Rajapaksa di Hambantota yang sebagian besar
menganggur. Ditengarai, Cina berharap proyek-proyek tersebut tidak beroperasi.
Musababnya, semakin besar beban utang negara-negara kecil itu, maka kian besar
daya tawar Cina ke negara tersebut. Bagi negara yang terbebani utang Cina,
mereka dipaksa menjual sahamnya atau memindahkan pengelolaan proyeknya ke badan
usaha milik negara Cina.
Cina makin memantapkan langkahnya untuk memastikan
bahwa negara-negara peminjam tersebut tidak dapat lepas dari jeratan utangnya.
Sebagai imbalan atas penjadwalan utang, Cina meminta negara-negara peminjam
memberikan tambahan kontrak proyek-proyek baru, sehingga mereka semakin
terjebak oleh jeratan utang yang menggurita. Pada Oktober 2016, Cina menghapus
utang Kamboja sebesar US$ 90 juta agar memperoleh tambahan kontrak utang baru
yang lebih besar.
Pemerintah baru di beberapa negara, dari Nigeria
sampai Sri Lanka, telah memerintahkan investigasi atas dugaan penyuapan oleh
Cina terhadap pemimpin-pemimpin sebelumnya. Misalnya, Sri Lanka sebagai negara
yang sangat strategis bagi Cina. Posisi Sri Lanka berada di antara pelabuhan
paling timur Cina dan Mediterania. Bahkan Presiden Xi Jinping menyebutnya
sebagai proyek vital dalam mewujudkan jalur sutra maritimnya. Tak mengherankan
jika Cina kemudian menginvestasikan dana yang cukup besar untuk ukuran ekonomi
negara berskala kecil seperti Sri Lanka.
Lantaran proyeknya secara keuangan tidak menguntungkan,
maka utang pemerintah Sri Lanka ke Cina mengalami default. Alhasil, Sri Lanka
membutuhkan pinjaman segar untuk mengatasinya dengan kompensasi memberikan
proyek baru kepada Cina. Ini di antaranya berupa pembangunan Kota Pelabuhan
Colombo senilai US$ 1,4 miliar. Selain itu, pemerintah Sri Lanka menyetujui
penjualan saham 80 persen pelabuhan laut Hambantota ke Cina senilai US$ 1,1
miliar. Menurut Duta Besar Cina di Sri Lanka, Yi Xianliang, penjualan saham di
pro- yek-proyek lain sedang didiskusikan untuk membantu memecahkan problem
keuangan pemerintah Sri Lanka.
Dengan mengintegrasikan kebijakan luar negeri,
ekonomi, dan keamanan, Cina telah memantapkan hegemoninya dalam perdagangan,
komunikasi, transportasi, dan keamanan regional. Melalui strategi pinjaman,
Cina telah menancapkan kendalinya. Karena itu, negara-negara yang belum
terperangkap sebaiknya pandai-pandai mengambil pelajaran dari beberapa kasus di
atas.
Namun bukan berarti kita harus memusuhi Cina dan
mendukung Donald Trump. Bukan berarti kita antimodal dari Cina dalam bentuk apa
pun, seperti investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya.
Kita bisa menerima dengan syarat modal-modal tersebut benar-benar bermanfaat
untuk perkembangan ekonomi domestik, terutama untuk penyerapan tenaga kerja
nasional. Cina untung kita untung. Bukan Cina untung kita buntung.
Tri Winarno, Peneliti Ekonomi Bank Indonesia
TEMPO.CO, 13 Maret 2017
No comments:
Post a Comment