KEMENTERIAN Keuangan meradang dengan hasil riset JP
Morgan Chase Bank NA yang mendowngrade secara drastis portofolio aset Indonesia
dari overweight (posisi beli) menjadi underweight (posisi jual). Berdasarkan
hasil penelitian JP Morgan tersebut, tingkat yield surat utang bertenor 10
tahun mengalami kenaikan dari 1,85% menjadi 2,15% akibat efek terpilihnya
Donald Trump sebagai presiden AS.
Kontrak kerja sama dan kemitraan diputus dalam Surat
Menteri Keuangan Nomor S-1006/MK.08/2016 tanggal 17 November 2016 dan berlaku
efektif 1 Januari 2017. Dampak dari pemutusan hubungan kerja sama itu
menyebabkan bank ini tidak dapat menjadi bank persepsi di Indonesia. JP Morgan
kini tidak dapat lagi menerima setoran penerimaan negara dan atau tidak dapat
menerima setoran tebusan amnesti pajak. Kementerian Keuangan menilai JP Morgan
bertindak tidak fair karena Brasil hanya diturunkan menjadi netral, sedangkan
Indonesia tidak. Lebih lanjut hasil riset ini berpotensi menyebabkan turbulensi
ekonomi Indonesia yang sangat volatile saat ini.
Dampak Downgrade
Dengan penurunan rating oleh lembaga keuangan asal
AS tersebut, yang harus diwaspadai ialah dampak ekonomi yang harus dipikul
Indonesia ke depan. Exposure langsung atas penurunan rating itu ialah besarnya
imbal beli (yield) atas surat hutang, obligasi, dan surat berharga negara
lainnya akan menjadi mahal. Utang memang tetap dapat diperoleh, tetapi
kewajiban melunasinya menjadi lebih besar dan tentu saja akan lebih banyak
menguras cadangan devisa Indonesia. Anak cucu selama puluhan tahun ke depan
akan terbebani oleh utang itu, padahal tidak pernah merasakan manisnya berutang
sekarang.
Posisi utang Indonesia pada saat sekarang sebetulnya
sudah pada tingkatan serius dan mengkhawatirkan. Sampai dengan akhir November
2016, utang sudah bertengger mencapai Rp3.485,36 triliun. Rinciannya sebesar
Rp2.740,98 triliun dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Utang terus
ditambah pada 1 Desember 2016 dengan merilis global bond US$3,5 miliar. Total
utang Indonesia pada saat ini berada pada kisaran 27% total PDB. Nafsu berutang
terus dikebut, pada awal 2017 pemerintah pun sudah merencanakan penerbitan SBN
baru dengan gross senilai Rp596,8 triliun.
Melihat kebutuhan anggaran yang besar berkaitan
dengan proyek infrastruktur, penerbitan utang baru pada 2017 sepertinya semakin
marak. Setiap tahun rata-rata utang negeri ini tumbuh 7,8%. Utang pemerintah
justru tumbuh masif sekitar 17,9% per tahun dan kini kuantumnya hampir
mendekati jumlah utang swasta. Porsi utang pemerintah saat ini 49,9%, sedangkan
utang swasta mencapai 50,1% dari total utang di Indonesia. Inilah ironisnya,
hasil riset JP Morgan akan memperburuk kondisi keuangan negara dan swasta.
Semakin besar yield artinya posisi psikologis
Indonesia untuk mengembalikan utang semakin kecil di mata investor karena itu
mereka melakukan mitigasi risiko dengan kenaikan tingkat imbal beli. Posisi SUN
Indonesia terburuk pernah dialami pada 2008 ketika yield mencapai 8,7% per
tahun bahkan ada yang sampai 13,75%, padahal masa tenor SUN berdurasi 10-30
tahun. Tentu saja para investor akan ngiler membeli SUN Indonesia karena besarnya
nilai bunga yang akan diperoleh sekarang dan kemudian. Untuk perbandingan surat
utang Amerika Serikat dalam T-bill rata-rata dengan tingkat yield 0,75%-1,78%
per tahun.
Bahkan sampai sekarang, SUN atau surat berharga
lainnya yang diterbitkan pada 2008 sebagian belum lunas seperti seri Indo-38
dengan nilai US$1 miliar terbit pada 11 Januari 2008 dan due date 18 Januari
2038. Dari sini sudah kelihatan bahwa besarnya tambahan ongkos dari penurunan
rating JP Morgan itu minimal sekitar Rp12 triliun-Rp18 triliun per tahun,
dengan asumsi seluruh nilai utang yang direncanakan sudah terjual semua.
Ini baru nilai tambahan bunga belum termasuk pokok
utang. Total tambahan anggaran yang diperlukan sampai utang tersebut lunas
sampai 30 tahun lagi dapat dihitung sendiri. Jadi dampak penurunan rating
outlook ekonomi cukup besar bagi kestabilan ekonomi makro dan seharusnya
pemerintah sangat berhati-hati. Yield rentan sekali naik dan jika sudah naik,
sulit sekali diturunkan, kecuali pemerintah mendeklarasikan tidak berutang sama
sekali.
Iklim Ekonomi
'Kado' downgrade JP Morgan itu tidak hanya mengancam
kestabilan keuangan negara, tetapi akan berantai terjadi pada sektor lainnya.
Sangat besar probabilitasnya dampak multiplier effect-nya juga potensial
terjadi pada sektor produksi untuk operasional dan investasi baru. Sektor
industri yang merupakan sektor riil akan semakin berat mencari pinjaman.
Obligasi industri harus berkompetisi dengan SUN pemerintah dengan yield lebih
tinggi sehingga investor tidak tertarik lagi kepada obligasi korporasi.
Jika sektor industri tersendat, akan terjadi
kekacauan pasar dan menimbulkan ekonomi destruktif yang sistematis. Sudah sejak
lama ditengarai bahwa mekanisme pemeringkatan penuh dengan konspirasi
antarlembaga pemeringkat yang umumnya berasal dari negara sudah berkembang.
Pada 2007 ketika subprime mortgage menyebabkan kekacauan moneter global,
lembaga pemeringkat terkenal dunia juga memberikan peringkat AAA kepada Lehman
Brother, AIG, JP Morgan, Goldman Sachs, Morgan Stanley, UBS, HSBC, Merrill
Lynch, Washington Mutual dan masih banyak lagi sekitar 750 lembaga keuangan
lainnya, dan hailnya ternyata tetap saja menjadi bencana dunia.
Beredar kabar bahwa lembaga pemeringkat juga
memiliki kepentingan ekonomi atas institusi raksasa itu karena itu pemberian
rating tidak lagi independen. Peran lembaga rating apalagi dari institusi
berpengaruh sekelas JP Morgan betapa pun tetap penting. Atas kajian
lembaga-lembaga pemeringkat inilah yang menyebabkan investor berdatangan ke
suatu negara dan sebaliknya. Pasar menjadi likuid dan harapan terbuka karena
pemilik uang mau membeli surat utang.
Lembaga pemeringkat menjadi sensor dan instrumen
pendeteksi dini para investor global karena menyadari berinvestasi di negara
lain akan sangat besar risikonya. Namun yang terpenting, ke manakah platform
ekonomi nasional akan dibawa pemerintah Indonesia. Masih tetap mengandalkan
investor asing sebagai driver ekonomi ataukah sudah percaya kepada kemampuan
kekuatan ekonomi domestik sendiri. Pilihan ini sangat sulit dijawab, tetapi
rasa-rasanya kekuatan ekonomi domestik belum sanggup dilepas sendiri sekarang
ini. Jadi iklim ekonomi memang harus dipelihara terus-menerus agar mendapatkan
rating yang pantas.
Effnu Subiyanto, Senior Advisor CikalAFA-umbrella
MEDIA INDONESIA, 05 Januari 2017
No comments:
Post a Comment