Akhir-akhir ini, isu ketimpangan perekonomian
nasional kembali menghangat. Ini sebenarnya lagu lama dengan topik yang timbul
tenggelam. Ketimpangan dan ketidakadilan adalah hal yang sangat serius,
mengingat beragamnya etnis, agama, dan suku. Indonesia memerlukan pertumbuhan
ekonomi yang berkeadilan bagi semua pihak dan lapisan masyarakat. Menurut Amy
Chua dalam bukunya World on Fire,
pasar bebas dalam demokrasi yang didominasi kelompok yang sedikit dapat
berujung pada perpecahan. Oleh karena itu, masalah ketimpangan dalam
perekonomian sangatlah krusial dan perlu ditangani segera oleh pemerintah
melalui berbagai kebijakan.
Terjadi di Semua Negara
Masalah ketimpangan ekonomi ini ternyata bukan hanya
terjadi di negara miskin dan berkembang, melainkan juga negara maju yang
berkecukupan dan lebih manusiawi. Kita pikir, urusan perut hanyalah milik
negara miskin ternyata dirasakan juga oleh rakyat negara maju, terutama dalam
hal kesempatan kerja. Tilik saja mengapa Presiden Donald J Trump terpilih
menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45. Tidak lain adalah karena masalah
ketimpangan ekonomi yang berhasil dikemas dengan jitu dan "seksi"
oleh Trump.
Slogan "Beli Produk Amerika (Buy American)" dan "Pekerjakan
Orang Amerika (Hire American)"
secara implisit menyatakan adanya ketimpangan perekonomian di Amerika Serikat.
Si kaya semakin kaya, sementara penduduk miskin terperangkap dalam kemiskinan
dan sulit bangkit karena energinya habis untuk meratapi kemiskinannya.
Menurut OECD (The Organisation for Economic
Co-operation and Development), ketimpangan di Amerika Serikat meningkat,
terutama setelah krisis ekonomi dan moneter global 2008. Ini sangat jelas
ditunjukkan oleh angka koefisien gini yang meningkat dari 0,374 pada 2007
menjadi 0,394 pada 2014. Dunia memang begitu ironis dan kontras. Ketika dunia
lagi berbenah dan disibukkan oleh pemulihan perekonomian global yang terasa
amat lambat, yang terjadi justru ketimpangan ekonomi yang makin melebar.
Mungkin saya agak naif, ketimpangan perekonomian
yang meningkat di dunia ada kaitannya dengan kebijakan QE (quantitative easing
atau pelonggaran kuantitatif) oleh Amerika Serikat yang juga dilakukan Jepang
dan Uni Eropa. Bisa jadi, dugaan ini masih sangat prematur dan harus dibuktikan
dengan penelitian yang lebih dalam dan komprehensif. Meski demikian, kita perlu
mencermati secara hati-hati apa arti QE sesungguhnya? QE adalah kebijakan
moneter nonkonvensional, di mana bank sentral membeli aset keuangan dari bank
komersial dan institusi swasta lainnya dengan harapan meningkatkan uang beredar
di perekonomian. Sangat jelas di sini, suntikan dana yang dilakukan oleh bank
sentral, tahap pertama melalui sektor finansial, baru kemudian berlanjut
menjadi stimulus ke sektor riil.
Kurang Efektif
Pertanyaannya, apakah setelah dari sektor finansial,
transmisi berjalan lancar dan efektif ke sektor riil? Ternyata QE kurang
efektif mendorong pemulihan di sektor riil, buktinya sangat jelas terhadap
perekonomian Amerika Serikat.
Perekonomian Amerika Serikat, setelah krisis ekonomi
dan moneter global, sepanjang 2010-2016 rata-rata relatif sangat lambat
pertumbuhannya. Hanya 2,1 persen, jauh di bawah sektor finansial. Indeks harga
saham Amerika Serikat (DJI) pada periode yang sama rata-rata kenaikannya 10,7
persen. Dengan kata lain, pertumbuhan DJI meningkat sangat cepat, yaitu lima
kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonominya. Dengan demikian, wajar
jika Janet Yellen sebagai bos bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dalam
pidatonya tahun 2014 mengangkat masalah sosial tentang jurang yang makin lebar
antara si kaya dan miskin saat pasar saham global mengalami kenaikan
signifikan. Indeks harga saham di Amerika Serikat melonjak 15,8 persen pada
2013, naik lagi 11,8 persen pada 2014. Perekonomian AS 2013 dan 2014 hanya
tumbuh 1,7 persen dan 2,4 persen.
Tampaknya dunia mulai terperangkap dalam ketimpangan
perekonomian dan ini cukup mengkhawatirkan jika terus berlanjut, termasuk
Indonesia. Selama 71 tahun Indonesia merdeka, ada kecenderungan keadilan sosial
makin jauh dari terwujud. Sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia, terasa semakin jauh karena justru kesenjangan yang makin
menghiasi perekonomian domestik.
Kemiskinan Menurun
Selama periode 2007-2016, tingkat kemiskinan
sebenarnya menurun cukup signifikan ke 10,7 persen pada 2016, dari 16,6 persen
pada 2007. Begitu juga tingkat pengangguran, turun dari 9,11 persen pada 2007
menjadi 5,61 persen pada 2016. Sayangnya, catatan positif dari kedua indikator
ini tidak diikuti dengan perbaikan tingkat pemerataan. Angka koefisien gini
malahan naik dari 0,360 persen pada 2007 menjadi 0,394 persen pada 2016
walaupun sudah mulai ada tanda-tanda penurunan koefisien gini sejak tiga tahun
terakhir.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita bedah apa
yang menjadi sumber ketimpangan dalam perekonomian Indonesia. Secara ekonomi,
paling tidak ada tiga kemungkinan penyebab makin melebarnya ketimpangan di
perekonomian nasional.
Pertama, peranan sektor pertanian makin tergerus, padahal
sektor ini yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Peranan PDB sektor
pertanian turun dari 14,9 persen pada 2007 menjadi 12,8 persen pada 2016.
Akibatnya, penyerapan tenaga kerja sektor ini turun drastis menjadi 32 persen
pada 2016 dari 41 persen pada 2007.
Kedua, upah sektor pertanian jauh di bawah sektor lainnya
dan sangat tidak menarik. Secara rata-rata selama periode 2007-2016 upah sektor
pertanian hanya separuh rata-rata upah nasional. Jadi, sangat jelas terlihat
ada kesenjangan upah yang terlalu tinggi antara sektor pertanian dan sektor
lainnya. Bandingkan dengan sektor finansial yang rata-rata penyerapan tenaga
kerjanya sangat rendah sekitar 2,2 persen. Ternyata upah sektor finansial
sekitar tiga kali lipat dari upah tenaga kerja di sektor pertanian.
Terakhir, perkembangan harga saham melonjak tajam setelah
krisis ekonomi global 2008. Periode 2010-2014, harga saham tumbuh di kisaran 2
digit, kenaikan tertinggi tahun 2010 sekitar 54 persen. Secara rata-rata harga
saham naik sekitar 13 persen sepanjang 2010-2016.
Keuntungan di pasar saham, tentunya yang menikmati
adalah kalangan level atas, sehingga yang kaya makin kaya, berbeda dengan si
miskin yang kenaikan pendapatannya sangat lambat. Kenaikan harga saham ini
tidak lain karena derasnya arus modal asing melalui investasi portofolio (saham
dan obligasi) jangka pendek, jauh melebihi investasi langsung jangka panjang
(foreign direct investment).
Dengan kondisi tersebut, bukan perkara mudah untuk
memperbaiki ketimpangan yang ada. Saya kira, pemerintah sudah melek akan
masalah ini, bagaimana keadilan (equity)
harus ditegakkan. Keberpihakan pemerintah sangat dibutuhkan agar masyarakat
memperoleh yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas hidupnya, bukan hanya
sekadar kesamaan perlakuan (equality)
antara si kaya dan miskin.
Miskin Tertinggal
Faktanya adalah orang yang lemah/miskin tidak
memiliki aset (teknologi, pembiayaan, sarana/prasarana), kemampuan terbatas,
dan sering mengalami diskriminasi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan
pemihakan dari pemerintah, antara lain bisa melalui redistribusi dan hibah
aset, subsidi, dan fasilitasi.
Saya kira pemerintah, melalui Kementerian
Koordinator Perekonomian sudah sangat fasih memetakan persoalan ini yang
menjadi akar utama ketimpangan. Kini, tiba saatnya memperbaiki wajah
ketimpangan ekonomi Indonesia, jangan biarkan konflik sosial meletup dahsyat
tidak terduga. Filsuf Jerman, Friedrich Engels, mengatakan, "Satu ons aksi
lebih berharga daripada satu ton teori". Ini yang diperlukan rakyat miskin
dari pemerintahnya.
Anton Hendranata, Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk
KOMPAS, 22 Maret 2017
No comments:
Post a Comment