Arus
globalisasi, yang telah membuat batas wilayah antar negara seakan tidak ada
(borderless), bagaimanapun harus kita akui dapat memberikan manfaat berupa
sistem produksi dan perdagangan yang lebih efisien yang memungkinkan
masyarakat menikmati barang dan jasa
dengan kualitas yang lebih baik dan sekaligus juga dengan harga yang lebih
murah. Demikian pula, persaingan yang sehat antar produsen lintas negara dapat
mendorong mereka untuk melakukan sejumlah inovasi kreatif dan menghasilkan
produk dan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan dan kesejahteraan umat
manusia. Dengan kata lain, kekayaan
bangsa-bangsa (the wealth of nations) dan kepuasan konsumen warga dunia hanya
dapat dimaksimalkan melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang terintegrasi secara global.
Namun,
globalisasi ternyata bermuka dua.
Globalisasi melahirkan the winners
dan juga the losers. Celakanya,
the winners pada umumnya adalah para pengusaha asing yang bermodal kuat
atau mereka yang mempunyai hubungan dekat dengan penguasa. Sedangkan hampir
semua yang termasuk the losers adalah
para pengusaha kecil dan menengah pribumi serta para petani kita yang menurut
Profesor Mubyarto termasuk kelompok ekonomi rakyat yang harus dilindungi dan
diberdayakan. Globalisasi juga mendorong masyarakat ke arah gaya hidup
konsumtif yang semakin menjauh dari harapan kita untuk menjadi bangsa yang
unggul. Selain itu, sebagaimana yang
beberapa waktu lalu ramai dibicarakan oleh para tokoh nasionalis, globalisasi
juga dijadikan pintu masuk bagi para pelaku bisnis negara adidaya Amerika untuk
menekan negara-negara lemah dengan kekayaan alam melimpah seperti Indonesia
agar mereka secara terpaksa atau sukarela bersedia (menurut istilah Wiranto,
Kompas 23 Maret 2006) “menggadaikan masa
depan bangsa”nya.
Setelah
melihat peluang dan tantangan globalisasi sebagaimana telah disebutkan di atas,
lalu apa yang sekarang harus kita lakukan sebagai bangsa yang berdaulat dan
bermartabat? Kemana arah strategi pembangunan kita?
Tujuan
Pembangunan Kita
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut pertama-tama kita perlu melihat ke depan, kemana
sebenarnya tujuan kita bersama sebagai bangsa yang merdeka. Apabila kita mengacu pada UUD45, maka secara
jelas terbaca di sana bahwa para pendiri negara kita ingin membangun Indonesia
menjadi negara kesejahteraan (welfare
state). Negara kesejahteraan adalah negara yang menjamin standar hidup
minimum bagi setiap warga negaranya. Negara
dimana setiap warganya berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Negara di mana kekayaan
alamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan dimana
fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara.
Agar
supaya cita-cita bangsa tersebut tidak menjadi ayat-ayat suci peninggalan sejarah yang tidak boleh dijamah
dan hanya menghiasi berbagai dokumen politik negara, pengertian standar hidup
minimum atau penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut perlu dirumuskan
ke dalam tujuan dan sasaran yang kongkrit, terukur dan dapat dicapai. Sebagai contoh, sejauhmana layanan gratis di
bidang kesehatan dan pendidikan akan diberikan kepada setiap warga negara, atau
sejauhmana anggaran akan dialokasikan pada sektor-sektor tersebut. Demikian pula, sejauhmana santunan
kesejahteraan akan diberikan kepada fakir miskin dan para pengangguran.
Dalam
konteks tersebut di atas, semestinya kinerja pemerintah tidak hanya diukur
dengan angka pertumbuhan ekonomi tetapi juga, ini yang lebih penting karena
merupakan indikator sejauhmana tujuan bangsa telah tercapai, diukur dengan
angka kesejahteraan sosial yang dinikmati oleh setiap warganya. Perlu
digarisbawahi di sini bahwa strategi pertumbuhan ekonomi dan strategi
pembangunan lainnya harus dilihat sebagai cara untuk mencapai dan melampaui
tingkat kesejahteraan sosial minimum tersebut.
Oleh karena itu, nilai tambah suatu strategi pembangunan ditentukan oleh
sejauhmana ia berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat, apakah semakin
dekat atau semakin jauh dari tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Permasalahan
dan Tantangan Kita Saat Ini
Langkah
berikutnya yang harus kita lakukan adalah melihat kondisi riil sekarang, apa
permasalahan pokok dan tantangan yang sedang kita hadapi saat ini dalam upaya
mewujudkan cita-cita kesejahteraan sosial. Tidak diragukan lagi, masalah jangka
pendek yang saat ini perlu segera diupayakan solusinya adalah masalah
pengangguran dan kemiskinan. Kita melihat bahwa meskipun tahun 2005 ekonomi
mengalami pertumbuhan sekitar 5,6 persen namun jumlah pengangguran meningkat
dari 9,8 juta jiwa menjadi 10,5 juta jiwa.
Bahkan jumlah penduduk miskin meningkat dua kali lipat dari 36,56 juta
jiwa menjadi 72 juta jiwa.
Masalah
pengangguran dan kemiskinan, yang sebenarnya merupakan sasaran utama
pembangunan ekonomi, sangat penting untuk diperhatikan karena ia berpotensi
untuk mengundang berbagai masalah sosial lainnya seperti kriminalitas, konflik
sosial, instabilitas politik dan terorisme.
Oleh karena itu, Menko Kesra dan para menteri yang ada di bawah
koordinasinya perlu terus mencari dan melakukan langkah-langkah terobosan untuk
mengatasi masalah tersebut. Sementara
itu, berbagai kebijakan publik yang akan diambil oleh pemerintah perlu
mempertimbangkan dampak kebijakan tersebut terhadap pengangguran dan
kemiskinan.
Permasalahan
pokok berikutnya adalah terkait dengan utang negara yang telah masuk ke dalam
perangkap utang (the debt trap) yang membuat kita tergantung pada dan didikte
oleh lembaga keuangan internasional dan negara pemberi utang. Sebagaimana kita ketahui, alokasi APBN 2006
untuk pembayaran utang negara (angsuran pokok dan bunga) adalah sebesar 166,64
triliun atau sekitar 42 persen dari total APBN.
Jumlah tersebut tentu sangat membebani keuangan negara sehingga
menyulitkan pemerintah untuk memberikan layanan dasar di bidang kesehatan dan
pendidikan yang dibutuhkan oleh rakyat.
Selain itu, ketergantungan utang kita pada lembaga/negara kreditor juga
seringkali membuat kita tidak mampu menolak ketika kreditor melakukan
intervensi kebijakan. Oleh karena itu,
komitmen pemerintah untuk mempercepat pengurangan utang luar negeri, termasuk
rencana pemerintah melunasi utang kepada IMF dalam waktu dekat ini, perlu
mendapatkan dukungan penuh dari kita semua agar secepatnya terpenuhi keinginan
kita untuk membangun kemandirian bangsa.
Selain
masalah kemiskinan dan utang, saat ini kita juga dihadapkan pada masalah
korupsi yang upaya penyelesaiannya perlu dilakukan secara sistematis dan
terus-menerus. Korupsi di Indonesia
sudah demikian membudaya, dilakukan oleh semua lapisan masyarakat dari mulai
pejabat hingga rakyat. Kenyataan tersebut telah menempatkan Indonesia dalam
daftar 10 negara terkorup di dunia dan nomor 1 terkorup di Asia. Upaya pemberantasan korupsi yang dimotori
oleh KPK dan disambut baik oleh institusi polisi tersebut diharapkan tidak
hanya akan menurunkan posisi peringkat korupsi Indonesia di dunia dan juga di
Asia, tetapi juga akan diikuti dan ditindaklanjuti oleh institusi-institusi
pemerintah lainnya. Keberhasilan upaya pemberantasan korupsi tersebut tentu
akan dapat memperbaiki kondisi keuangan negara saat ini yang sangat
memprihatinkan, dan pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota PNS dan TNI serta warga negara Indonesia lainnya yang
penghasilannya belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan standar hidup minimum.
Masalah
yang dalam dua tahun terakhir ini paling banyak digunjingkan dan diperdebatkan
oleh masyarakat adalah masalah BBM.
Kenaikan harga BBM dua kali dalam tahun 2005 dan dampaknya terhadap
peningkatan harga barang kebutuhan pokok lainnya telah membuat jumlah penduduk
miskin meningkat secara pesat dan banyak pengusaha industri kecil yang terpaksa
harus melakukan gulung tikar. Kenyataan tersebut telah mengundang kecaman dari
berbagai kelompok masyarakat karena pemerintah telah mengambil suatu kebijakan
yang membuat kondisi kehidupan masyarakat justru menjadi semakin jauh dari
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, pemerintah berdalih bahwa
kebijakan tersebut diambil selain untuk mengurangi beban defisit keuangan
negara dan menyesuaikan dengan kondisi harga pasar minyak dunia, juga untuk
mengalihkan sebagian subsidi BBM kepada kelompok masyarakat miskin yang lebih
berhak menerimanya.
Terlepas
dari silang pendapat tersebut, kebijakan pengelolaan energi memang perlu
diperbarui supaya kita tidak menjadi korban dari arus globalisasi. Awal tahun
2006 ini Presiden SBY telah mengambil kebijakan baru tentang pengelolaan energi
nasional yang tertuang dalam Perpres No 5/2006, Perpres No 1/2006 dan Inpres No
2/2006. Yang perlu kita lihat dan nantikan adalah bagaimana program aksi dan
implementasinya selanjutnya.
Belajar
Dari Masa Lalu
Belajar
dari masa lalu merupakan sesuatu yang sangat berharga untuk kita lewatkan
begitu saja. Pengalaman kita ketika
menghadapi badai krisis ekonomi Asia tahun 1997/1998 lalu memberikan pelajaran
kepada kita tentang pentingnya strategi menjaga nilai tukar rupiah untuk mendukung
stabilitas ekonomi. Bahwa kondisi psikologi massa dapat dimanfaatkan oleh para
spekulan mata uang untuk mendapatkan banyak keuntungan dengan cepat dan mudah,
yang dampaknya dapat membuat nilai tukar rupiah jatuh terpuruk. Selain itu,
skim BLBI ternyata bukan saja tidak efektif untuk menyelamatkan kondisi
perbankan nasional saat itu, tetapi juga hingga kini membebani keuangan negara
berupa pembayaran bunga utang dalam negeri, yang tahun 2006 ini dialokasikan
sebesar 48,61 triliun. Mengingat dampak
krisis yang demikian mendalam terhadap kemiskinan massal dan bukan tidak
mungkin kejadian serupa terjadi lagi di masa mendatang, kita berharap saat ini
pemerintah telah menyiapkan sarana, strategi dan langkah-langkah yang efektif
untuk menghadapinya.
Di masa
lalu, di era Orde Baru, sebenarnya kita mempunyai pengalaman sukses dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai contoh, program PKK di masa lalu yang populer dengan kegiatan
posyandunya telah berhasil meningkatkan kesehatan anak balita dan memasyarakatkan
KB. Demikian pula, program pertanian di
era yang sama juga berhasil mewujudkan impian kita dalam bidang pangan, yakni
swa sembada beras, yang kemudian mengantar presiden Suharto untuk menerima
penghargaan dari organisasi pangan PBB (FAO).
Sayang sekali, kebijakan sosial dan program-program kegiatan yang telah
berhasil memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut kini,
di era reformasi, sepertinya tidak lagi laku semata-mata karena ia merupakan
produk Orde Baru.
Kita bisa
juga belajar dari pengalaman bangsa lain seperti Jepang, Korea Selatan dan kini
China yang telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai model
negara-negara yang telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita secara
signifikan dalam waktu yang relatif singkat. Kalau sebelumnya ketika negara-negara
kecil seperti Singapura, Taiwan dan Korsel dalam waktu yang relatif singkat
berhasil maju, kita masih bisa berkilah karena mereka adalah negara kecil dan
tidak seluas Indonesia. Kini dengan kehadiran China yang dalam waktu sangat
singkat mampu menjadi pesaing Amerika, kita tidak bisa lagi mengelak bahwa
selama ini kita memang telah gagal memanfaatkan peluang dan menaklukkan
tantangan untuk memberdayakan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang kita
miliki. Lalu, bagaimana cara agar supaya
Indonesia yang oleh majalah Newsweek edisi 6 Maret 2006 dijuluki sebagai “The Biggest Sleeper” ini bangkit dari
tidurnya?
Strategi
Pembangunan Kita
Menarik
sekali memperhatikan kenyataan bahwa selama ini kita sepakat tentang tujuan
negara, tetapi seringkali kita berdebat tentang cara atau strategi untuk
mewujudkannya. Dalam era perang dingin
lalu, ketika Uni Soviet masih menjadi pesaing utama Amerika, negara-negara yang
sedang berkembang dihadapkan pada dua model pilihan sistem ekonomi, kapitalis
atau sosialis, untuk membangun suatu masyarakat yang sejahtera. Strategi
pembangunan politik yang banyak diadopsi oleh negara berkembang waktu itu
adalah berusaha menghindari keberpihakan pada salah satu kubu, sebagaimana kita
lihat dari lahirnya gerakan aliansi negara-negara non blok. Tujuannya adalah
antara lain untuk mencegah kemungkinan mereka dijadikan ajang perebutan oleh
kedua negara adidaya sebagaimana yang kemudian dialami oleh Vietnam dan juga
Afghanistan.
Namun,
belajar dari bantuan Amerika untuk membendung komunisme di negara-negara Eropa
Barat setelah perang dunia kedua (Marshall
Plan), ada juga sebagian negara berkembang yang justru memanfaatkan peluang
kondisi perang dingin tersebut untuk mengais keuntungan berupa bantuan modal
dan finansial dari kedua negara adidaya.
Sebagaimana
kita lihat dalam sejarah, pada masa perang dingin Indonesia pernah mengalami
kegagalan dan keberhasilan dalam memainkan strategi pembangunannya. Menyusul
pernyataan sikap Go to Hell with Your Aid
nya Sukarno, pada tahun 1965 akhirnya Indonesia harus menelan pil pahit sebagai
korban dari pertarungan politik antara kedua negara adidaya. Sementara itu,
peran Good Boy yang dimainkan oleh
Suharto telah berhasil mendapatkan dukungan politik dan ekonomi dari Amerika,
yang diperlukan untuk membantu memperlancar proses pembangunan ekonomi
Indonesia di bawah pemerintahan Suharto.
Namun
setelah perang dingin berakhir, strategi bantuan ala Marshall Plan tidak lagi
dibutuhkan oleh Amerika. Selain itu, memainkan peran Good Boy pun belum tentu akan mendapatkan hadiah dari Paman Sam. Strategi pembangunan
yang kini diperlukan dan menjadi isu sentral bagi banyak negara berkembang,
termasuk Indonesia, adalah bagaimana memanfaatkan peluang arus globalisasi untuk
kepentingan nasional dan mencegah dampak negatifnya terhadap kesejahteraan
masyarakat dan kemandirian bangsa sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal
tulisan ini.
Isu
strategi pembangunan tersebut sejalan dengan keyakinan para ekonom dunia
seperti Joseph Stiglitz, mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonomi mantan Presiden
Bill Clinton, dan Jeffrey Sachs, penasehat khusus Sekjen PBB Kofi Annan dalam
program Millennium Development Goals dan yang terkenal dengan bukunya The End
of Poverty (2005). Kedua ekonom tersebut
pada prinsipnya sependapat bahwa globalisasi, dalam pengertian proses
penghapusan segala penghalang perdagangan dan integrasi semua perekonomian
nasional, dapat menjadi kekuatan yang berpotensi memberikan manfaat kepada
semua manusia di dunia, khususnya kaum miskin.
Bahwa dalam kenyataan globalisasi kini hanya memberi kemakmuran kepada
sepertiga penduduk dunia dengan biaya sosial berupa kemiskinan yang dialami
oleh 49,5 persen penduduk dunia lainnya, menurut mereka, hal tersebut terjadi
karena kekeliruan sejumlah kebijakan internasional dalam penerapan globalisasi
dan ketidakmampuan negara-negara berkembang untuk keluar dari perangkap
kemiskinan.
Kita
tentu boleh setuju atau tidak setuju pada pendapat kedua ekonom tersebut.
Namun, strategi menjalin kerjasama ekonomi dengan sesama negara ASEAN, termasuk
mematuhi kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan seperti pelaksanaan
pembangunan Free Trade Zones, bagaimanapun harus kita lakukan apabila kita
tidak menginginkan resiko dikucilkan oleh negara-negara anggota ASEAN lainnya. Pelaksanaan kerjasama multilateral tersebut
dapat kita manfaatkan sebagai proses pembelajaran globalisasi dalam tingkat
ASEAN. Hal lain yang perlu terus kita kembangkan adalah menggalang kemitraan
strategis di sektor perdagangan dan investasi dengan berbagai negara di dunia.
Kegiatan tersebut bermanfaat terutama untuk mengurangi dampak negatip dari
ketergantungan ekonomi kita pada negara tertentu, misalnya Amerika.
Tentu
saja sejauhmana manfaat kerjasama ekonomi dengan berbagai bangsa tersebut juga
ditentukan oleh sejumlah kebijakan ekonomi dalam negeri, terutama dalam hal
pengelolaan sumberdaya alam. Kerjasama dengan pihak luar dalam pengelolaan
sumberdaya alam tentu bukan merupakan hal tabu untuk kita lakukan. Namun,
kemampuan mengelola sumberdaya alam oleh bangsa kita sendiri perlu terus
ditingkatkan agar terwujud keinginan kita untuk membangun kemandirian
bangsa.
Kalaupun
kita berhasil memanfaatkan peluang globalisasi sehingga mampu meningkatkan
pendapatan per kapita secara spektakuler, dilihat dari sudut pandang tujuan
negara kesejahteraan, hal tersebut sebenarnya belum tentu pantas kita nilai
sebagai suatu keberhasilan. Karena
dibalik angka spektakuler tersebut bukan tidak mungkin disertai jumlah warga
miskin yang semakin bertambah.
Berdasarkan
pengalaman negara-negara Amerika Utara dan Eropa Barat, yang oleh Siswono Yudho
Husodo dijadikan sebagai contoh negara-negara yang makmur dan rakyatnya hidup
sejahtera (Kompas, 25 April 2006), upaya mengatasi masalah kemiskinan tidak
dapat diserahkan sepenuhnya pada trickle-down effect yang dihasilkan melalui
kebijakan ekonomi makro yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan
sektor publik berupa intervensi langsung (direct attack) seperti bantuan
layanan kesehatan dan pendidikan serta penyediaan infrastruktur dan lembaga
riset ilmiah terapan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan yang
telah akut di sejumlah negara berkembang.
Dengan kata lain, peran negara untuk menjamin standar hidup minimum bagi
setiap warga negaranya merupakan suatu keharusan.
Lalu
pertanyaan kita sekarang, kemana sebenarnya arah pembangunan kita?
No comments:
Post a Comment