PEMERINTAH berencana
mengubah pelbagai asumsi makro APBN 2014. Perubahan dilakukan karena berbagai
asumsi di APBN tak lagi mencerminkan kondisi riil. Dua indikator yang akan
diubah ialah nilai tukar rupiah dan lifting minyak dan gas (migas). Rupiah
telah terdepresiasi cukup dalam dari asumsi APBN 2014 yang sebesar Rp10.500 per
dolar AS. Lifting tahun ini diprediksi hanya 800.000-830.000 barel per hari,
lebih rendah daripada asumsi APBN 2014 (870.000 barel per hari). Indikator
lain, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga minyak, dan tingkat suku
bunga SPN 3 bulan masih mencerminkan kondisi riil.
Selama bertahun-tahun,
oleh pemerintah pelbagai indikator makro itu dipakai untuk mengukur kinerja
pemerintah dan hasil pembangunan. Pemerintah tampak `alergi' saat PDI
Perjuangan pada 2012 mengusulkan pengangguran dan kemiskinan sebagai dua
indikator dalam asumsi makro APBN. PDI Perjuangan beralasan, indikator itu
bertujuan menentukan realisasi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Gugatannya selama ini pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi ukuran rakyat sejahtera
apa? Siapa yang menikmati pertumbuhan itu?
Saat ekonomi dunia
loyo, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat tinggi. Namun, pertumbuhan itu
hanya didorong sektor modern atau non-tradable, seperti sektor keuangan, jasa,
realestat, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/ hotel/ restoran. Pada
2013, pertumbuhan sektor ini cukup tinggi, melampaui rata-rata pertumbuhan
ekonomi nasional (5,78%). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan,
dan manufaktur) hanya tumbuh rendah, jauh di bawah rata-rata. Ketimpangan
pertumbuhan sektor tradable vs nontradable memiliki implikasi serius karena
terkait pembagian kue dan surplus ekonomi.
Sektor non-tradable
bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya segelintir.
Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena sifatnya itu, penyerapan
tenaga kerja sektor non-tradable lebih kecil daripada sektor tradable. Ini tak
hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah, tapi juga
menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh, tapi tidak (semuanya) sejahtera.
Kontribusi sektor
pertanian pada PDB nasional pada 2013 hanya 14%. Padahal, sektor ini menampung
41% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian involutif, yang
ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan.
Defisit
Kesejahteraan
Ini memunculkan
disparitas pendapatan antarpenduduk. Kesenjangan kian melebar, seperti syair
lagu: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ini terlihat dari naiknya
Gini ratio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,41 pada 2011 (makin tinggi berarti makin
timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan pada 1966, ini pertama kalinya
Gini ratio Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan
rendah). Pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi. Artinya, bila
kemiskinan absolut menurun, kemiskinan relatif meningkat. Kesenjangan yang
melebar itu menandai defisit kesejahteraan.
Ini kelemahan mengukur
pembangunan yang lebih banyak terpaku pada pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan
pendapatan bruto kotor/PDB). Hidup bukan hanya soal uang, melainkan juga soal
kesehatan, pendidikan, keamanan, kenyamanan, lingkungan, kontinuitas di masa
depan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi.
Ini semua tidak bisa
dicakup PDB, perlu indikator lain. PDB adalah indeks tentang output
perekonomian keseluruhan suatu negara, hitungan hasil produksi (barang dan
jasa) pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja konstruksi. Hitungan
dilakukan dalam rentang tertentu. Angka itu berfungsi memadatkan luasnya
perekonomian nasional ke satu data tunggal dengan densitas luar biasa. Anggapan
umum, kian besar PDB kian makmur negeri dan warga. Padahal, tidak demikian.
PDB mencatat produksi
barang-jasa di suatu negara, tak peduli siapa yang membuat. Misalnya,
perusahaan asing berinvestasi di Indonesia mengeduk minyak, emas, dan batu
bara, semua kekayaan mineral yang diangkat dari bumi Indonesia ialah PDB
Indonesia. Semua mineral itu milik investor asing. Pemerintah Indonesia
kebagian pajak dan royalti yang kecil. Mereka juga mempekerjakan para buruh
Indonesia, tetapi gajinya rendah. Bagian terbesar dari hasil itu milik investor
asing. Statistik kita mencatatnya sebagai PDB Indonesia. Jika barangnya
diekspor, statistik kita mencatat ekspor Indonesia meningkat. Padahal, milik
asing.
Ada banyak
ketidakpuasan atas pengukuran tunggal itu. Pada 24 Mei 2011, Organisasi Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang amat bergengsi itu mendeklarasikan
indeks kebahagiaan (your beter life index), indeks pengganti PDB. Sejak
didirikan 1961, OECD selalu memakai pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama
keberhasilan perekonomian dan sosial. Pertumbuhan pendapatan nasional boleh
tinggi, tapi apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup
tak nyaman? Itu salah satu alasan OECD kini memakai 11 indikator untuk mengukur
kemajuan perekonomian: mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat,
pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan,
serta keseimbangan pekerjaan dan hidup (Ananta, 2011).
Jauh sebelum itu,
Bhutan, sebuah negara kecil di pegunungan Himalaya, sejak 1972 telah
memperkenalkan indeks kebahagiaan nasional (gross national happiness), bukan
indeks pendapatan nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 juga
telah menciptakan alternatif pengukuran pembangunan: indeks pembangunan manusia
(human development index/HDI). Itu merupakan kombinasi dari pendapatan,
pendidikan, dan kesehatan. Tiap tahun PBB mengukur pembangunan di berbagai
negara dengan indeks ini. Namun, PBB tak dapat memaksakan semua negara
melaksanakan konsep ini. Hampir semua negara, termasuk Indonesia, memakai HDI
dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Namun, HDI masih dilihat hanya
dipakai sebagai catatan pelengkap dalam melihat keberhasilan pembangunan.
Kini juga kian banyak
ekonom di dunia yang kecewa pada pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur utama
pembangunan ekonomi. Para ekonom dunia, seperti Joseph Stiglitz, Amartya Sen,
dan Jean-Paui Fitoussi pada 2009 menghasilkan laporan yang menyarankan
alternatif pengukuran pembangunan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Menurut
mereka, PDB tidak hanya gagal menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat,
tapi juga memelencengkan tujuan politik global ke arah pengejaran pertumbuhan
ekonomi semata.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI),
MEDIA INDONESIA, 09 April
2014
No comments:
Post a Comment