Akhir 2016, dunia dikejutkan dan terperangah dengan
terpilihnya Donald J Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat. Trump
berhasil mengambil hati sebagian besar rakyat Amerika Serikat dengan
menjanjikan dobrakan heroik dengan slogan ”Make
America Great Again!” Gaya ”eksentrik” Trump dan di luar kebiasaan umum
menimbulkan berbagai reaksi negatif dari rakyat AS sendiri dan dunia. Oleh
karena itu, inilah yang jadi fokus utama dunia, ke mana Trump membawa
perekonomian AS dan dunia dalam periode empat tahun ke depan?
Harus diakui, pemulihan ekonomi AS dan global terasa
amat lambat dan tidak sesuai harapan sampai tahun 2016 akibat krisis ekonomi
dan moneter dunia 2008. Warna dan gaya Trump seakan memberikan sentuhan baru
dan kontras dalam perekonomian AS ke depan. Kerinduan rakyat AS terhadap
perbaikan ekonomi secara signifikan seakan-akan terjawab dari janji kampanye
Trump. Kampanye Trump sungguh bombastis dan seolah memberikan angin segar buat
rakyat AS. America first’ bergaung begitu heroik dan membakar semangat rakyat
level menengah bawah yang rindu akan perubahan nasib mereka. Beli produk
Amerika (buy American) dan pekerjakan
orang Amerika (hire American) seolah
memberikan energi positif ke perekonomian domestik AS untuk segera bangkit.
Deglobalisasi?
Trumponomics begitu kuat menentang globalisasi,
proteksionisme menjadi pilihan yang akan dicoba dijalankan oleh Presiden Trump.
Mungkinkah ini menjadi cikal bakal deglobalisasi dalam perekonomian dunia?
Apakah egosentris menjadi pilihan terbaik bagi negara-negara di dunia yang
sedang mencari keseimbangan baru dalam perekonomiannya? Pertanyaan yang sulit
dijawab dan biarkanlah waktu yang menjadi saksi bisu. Menarik diteliti lebih
dalam dan mencoba sedikit mengerti, mengapa Trump cenderung memilih
proteksionisme? Suatu kebijakan yang cenderung tidak sejalan dengan
presiden-presiden AS sebelumnya dan bisa menjadi ancaman serius terhadap
pemulihan perekonomian global.
Tak pelak lagi, berbagai reaksi negatif dan
ketakutan cenderung membalut situasi perekonomian global saat ini. Kita semua
tidak sabar menunggu arah kebijakan Trump yang lebih eksplisit dan ”clear”,
terutama siapa orang kunci yang memimpin tim ekonomi kabinet Trump? Proteksionisme
yang ingin dilakukan oleh Trump secara kasatmata terlihat cukup beralasan jika
dilihat dari tiga indikator ekonomi utama ini. Pertama, sudah hampir 40 tahun
perekonomian AS terperangkap dalam defisit perdagangan barang (di luar jasa).
Defisit perdagangan barang meningkat signifikan hampir 14 kali lipat pada kurun
waktu 1971-1977, dari 2,3 miliar dollar AS menjadi 31 miliar dollar AS.
Kemudian, defisit perdagangan terus membengkak
sampai 763 miliar dollar AS pada 2015 (4,2 persen terhadap produk domestik
bruto AS). Defisit perdagangan ini sangat jelas mencerminkan kuatnya penetrasi
barang asing yang membanjiri perekonomian domestik AS dan menunjukkan tidak
kompetitifnya produk AS. Kedua, pertumbuhan ekonomi AS terlihat agak stagnan
dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah krisis ekonomi global 2008.
Pemulihan ekonomi AS tidak seperti yang diharapkan dan berkutat pada kisaran
pertumbuhan 1,5-2,5 persen sejak 2010. Padahal, jika ingin memperkuat
perekonomian domestiknya, minimal pertumbuhan ekonomi AS berkisar 3,5-4,5
persen.
Dan, yang terakhir, dengan pertumbuhan ekonomi AS
yang relatif rendah, penyerapan tenaga kerja agak tersendat dan penduduk AS
kesulitan mencari pekerjaan karena terbatasnya lapangan kerja. Hal ini sangat
jelas terlihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja yang cenderung menurun
dari 67,3 persen pada Januari 2000 menjadi 62,7 persen pada Desember 2016 meski
tingkat pengangguran turun signifikan dari 10,6 persen pada Januari 2010 ke 4,5
persen pada Desember 2016. Dengan kondisi ekonomi AS seperti sekarang ini,
wajarlah slogan ”Make America Great Again!”
dengan kebijakan proteksionisme Trump menjadi harapan obat manjur bagi pemulihan
perekonomian AS. Pertanyaannya, rasionalkah apa yang dilakukan Trump yang
mencoba beralih dari mazhab perekonomian globalisasi menjadi deglobalisasi?
Kepentingan Ekonomi AS
Melihat dominasi AS dalam percaturan organisasi
internasional dunia dan ekonomi liberalisasi yang lebih menguntungkan AS,
rasanya proteksionisme secara ekstrem tak akan dilakukan di era Trump. Alasan
logiknya dari perspektif ekonomi dapat kita lihat dari data produk domestik
bruto (PDB) dan produk nasional bruto (PNB) AS. PDB adalah jumlah nilai produk
barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam negeri
(termasuk perusahaan asing di domestik), sedangkan PNB adalah jumlah nilai
produk barang dan jasa yang dihasilkan penduduk suatu negara (termasuk penduduk
negara itu yang berada di luar negeri).
Faktanya, perekonomian AS, nilai PNB-nya jauh lebih
besar daripada PDB-nya, yaitu empat kali lipatnya (dengan kata lain PNB AS
sebesar 400 persen dari PDB-nya). Ini artinya produksi AS sangat banyak
dihasilkan di luar negeri, dibandingkan produksi domestiknya. Hal ini
menunjukkan, sebagian besar perusahaan AS dalam bentuk perusahaan multinasional
(multi national company/MNC) yang banyak berdiri di negara lain, yang upah
buruhnya jauh lebih murah ketimbang di AS. Ketergantungan AS terhadap negara
lain makin meningkat, di mana selisih PNB terhadap PDB cenderung terus membesar
dari 31 triliun dollar AS pada tahun 2000 menjadi 55 triliun dollar AS pada
2015. Sementara itu, dalam periode 15 tahun terakhir, perekonomian domestik AS
secara nominal sangat lambat kenaikannya dari 10 triliun dollar AS pada tahun
2000 menjadi hanya 18 triliun dollar AS pada 2015.
Melihat kondisi ini, proteksionisme berlebihan, saya
kira, bukan pilihan yang tepat dan bisa berpotensi mempersulit perekonomian AS
dalam jangka panjang. PNB AS sudah telanjur sangat besar dibandingkan dengan
PDB-nya. Rasionalkah sebagian besar perusahaan AS di luar negeri dipindahkan ke
perekonomian domestik? Saya kira sangat sulit dan tidak logis, apalagi upah
buruh sudah sangat mahal di AS dan struktur penduduk AS yang berbentuk piramida
terbalik, di mana penduduk usia tua lebih banyak daripada usia mudanya. Jadi,
kalaupun mau melakukan proteksionisme sebaiknya Trump harus berhati-hati dan
sifatnya terbatas untuk industri tertentu yang sesuai dengan struktur penduduk
dan kapasitas perekonomian AS.
Kemungkinan besar, proteksionisme secara ekstrem
tidak akan dilakukan di era Presiden Trump karena ini bisa memukul balik
negatif perekonomian AS yang sudah merajut kembali masa kejayaannya. Terlalu
dini melihat dampak ekonomi dari arah kebijakan Trump yang baru sebatas
kampanye dan ini bisa menimbulkan kekhawatiran yang bergerak liar tidak
menentu. Saat ini dunia memang diliputi ketidakpastian serta sulit menebak arah
kebijakan ekonomi dan politik Trump. Saya pikir tiga atau enam bulan ke depan
kebijakan yang diambil Presiden Trump akan lebih jelas dan memudahkan kita
melihat dampaknya ke perekonomian global dan domestik. Biarlah waktu yang
menguji, apakah fenomena Trump akan menentukan arah dan keseimbangan baru
perekonomian dunia?
Anton
Hendranata, Chief Economist PT Bank Danamon
Indonesia Tbk
KOMPAS, 08 Maret 2017
No comments:
Post a Comment