“Apabila Anda
mampu mengendalikan harga dan meningkatkan pendapatan masyarakat, maka Anda
berpredikat sebagai manusia setengah dewa.” Begitulah lebih kurang lirik
lagu Iwan Fals yang telah mengirim pesan kuat bahwa betapa mulia seseorang di
lembaga mana pun yang di antaranya mampu mengendalikan harga, apalagi mampu
menurunkannya dan khususnya untuk barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
Lirik lagu tersebut sampai kini masih terasa
relevan, terutama jika dikaitkan dengan adanya ketimpangan harga antardaerah
yang masih tinggi yang terjadi di bumi Nusantara. Berdasarkan data yang dirilis
pusat informasi harga pangan strategis (PIHPS) pada 6 Oktober 2016, harga
bawang merah ukuran sedang Rp 37.500/kg untuk wilayah DKI Jakarta, sedangkan di
Papua dijual Rp 60.000/kg. Harga daging ayam ras segar Rp 30.125/kg untuk
wilayah DKI Jakarta, tetapi di Papua harganya mencapai Rp 39.750/kg. Alasan
utama di balik tingginya perbedaan harga antardaerah tersebut adalah karena
tingginya biaya logistik.
Sebagai negara kepulauan, biaya pengapalan merupakan
salah satu faktor utama pembentuk perbedaan harga komoditas antardaerah.
Berdasarkan data Bank Dunia, biaya pengapalan domestik di Indonesia jauh lebih
mahal daripada biaya pengapalan internasional. Misalnya, biaya pengapalan peti
kemas ukuran 6 meter di wilayah Indonesia, dari Tanjung Priok ke Jayapura,
sekitar 1.000 dollar AS, dari Tanjung Priok ke Padang 600 dollar AS, dan dari
Tanjung Priok ke Banjarmasin 650 dollar AS. Sebagai perbandingan, biaya
pengapalan dari Tanjung Priok ke Guangzhou (Tiongkok) dan dari Tanjung Priok ke
Singapura masing-masing sekitar 400 dollar AS dan 185 dollar AS. Dengan
demikian, biaya pengapalan di Indonesia kurang lebih tiga kali lebih mahal
daripada biaya pengapalan internasional.
Berdasarkan data dari McKinsey, pangsa biaya
pengapalan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 24% lebih
tinggi daripada Tiongkok (15%), Thailand (15%), dan Singapura (8%). Dengan
demikian, terasa sangat relevan jika dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) 2015-2019, Presiden Jokowi menargetkan penurunan biaya pengapalan hingga
mencapai 19,2% terhadap PDB pada akhir 2019. Suatu target yang rasional,
terukur, dan implementatif. Hanya saja, yang terpenting adalah realisasi
eksekusi dari perencanaan tersebut sehingga tercapai targetnya.
Perbedaan harga yang tinggi antara daerah bagian
timur dan barat di Indonesia terutama dikarenakan tingginya biaya pengangkutan
barang. Alasan di balik tingginya biaya tersebut adalah hampir semua kapal yang
berlayar dari timur ke barat tidak mengangkut barang alias mlompong, yang
mengindikasikan adanya ketidakseimbangan aliran barang antardua wilayah itu. Ketidakseimbangan
itu memperkuat pendapat yang selama ini mengemuka bahwa ada ketimpangan
pembangunan antara timur dan barat yang signifikan. Kondisi tersebut diperparah
oleh ketidaklayakan kapasitas pelabuhan di wilayah timur.
Sampai saat ini, kebanyakan industri terkonsentrasi
di wilayah barat, khususnya di Jawa, sehingga barang-barang hasil industri
dikapalkan ke timur dengan kapasitas penuh. Begitu kapal kembali ke barat,
kebanyakan kapal tidak mengangkut barang dalam skala ekonomis, bahkan sering
dalam kondisi kosong. Data dari Kementerian Perindustrian memperkuat polarisasi
industri tersebut, yaitu pada 2014 terdapat sekitar 50 kawasan industri di Jawa
(sekitar 68%), sedangkan di luar Jawa hanya 24 kawasan industri (sekitar 32%).
Mengurai Ketimpangan
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam upaya
mengurai ketimpang harga tersebut. Pertama,
dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, sebenarnya sudah tepat langkah
Presiden Jokowi mendeklarasikan program tol laut. Berdasarkan estimasi
Kementerian Perhubungan, jika program tol laut ini terimplementasi optimal,
akan berdampak pada penurunan harga bahan pokok di wilayah timur Indonesia
sebesar 30%. Suatu tekad dan kerja mulia menuju manusia setengah dewa jika
dapat diwujudkan.
Program tol laut ini ditekankan pada pembangunan
jaringan infrastruktur strategis dalam upaya meningkatkan keterhubungan lintas
maritim di Nusantara. Proyek ini membutuhkan dana investasi dalam skala raksasa
untuk ukuran ekonomi indonesia, yaitu selama empat tahun (2015-2019) dibutuhkan
lebih kurang Rp 699 triliun. Jika terealisasi, setiap hari akan terlihat kapal-kapal
dengan kapasitas raksasa melintas dari barat ke timur dan sebaliknya, terutama
untuk mengangkut komoditas antar-daerah di Nusantara.
Untuk memuluskan program tersebut, infrastruktur
pelabuhan harus dibenahi. Karena itu, sudah tepat adanya rencana pemerintah
membangun 24 pelabuhan laut disertai peningkatan kapasitas pelabuhan laut dalam
yang sudah ada. Kebanyakan pembangunan pelabuhan tersebut berada di wilayah
timur. Misalnya di Bitung (Sulawesai Utara) sebagai pelabuhan internasional, di
Makassar (Sulawesi Selatan), dan di Sorong (Papua Barat) yang menjadi sentra
pelabuhan utama di wilayah timur. Sementara untuk wilayah barat akan dilakukan
pembangunan dan perbaikan kapasitas pelabuhan di Kuala Tanjung dan Belawan
(Sumatera Utara), Batam (Kepulauan Riau), Tanjung Priok (Jakarta), dan Tanjung
Perak (Jawa Timur), serta 16 pelabuhan pendukung lainnya.
Kedua, program tol laut tersebut seharusnya dilengkapi
dengan program stimulus pembangunan kawasan industri guna menopang produksi
manufaktur di wilayah timur. Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu faktor
tingginya biaya pengapalan karena kapal yang dari timur ke arah barat cenderung
kosong. Oleh karena itu, kalau dibangun kawasan industri di wilayah timur,
kapal dari timur ke barat akan mengangkut barang produksi manufaktur yang
diproduksi di wilayah timur sehingga biaya angkut akan dapat ditekan. Dengan
demikian, arus barang antara barat dan timur semakin seimbang.
Program ini tentu membutuhkan stimulus yang memadai.
Kebijakan yang dapat ditawarkan kepada pengusaha yang akan berinvestasi di
wilayah ini dapat berupa insentif pajak, penyediaan lahan dan kebijakan
industrial lainnya. Dan, pengembangan industri di wilayah ini disesuaikan
dengan keunggulan komparatif yang berbasis sumber daya alam yang melimpah yang
dimiliki daerah tersebut. Misalnya, Sulawesi Barat yang berlimpah dengan
tanaman cokelat diarahkan pembangunan industri yang mengolah cokelat dan
turunannya. Sementara Sulawesi Tengah yang kaya dengan hasil laut diarahkan
pada produksi yang berorientasi pada pemrosesan hasil laut, seperti olahan
rumput laut.
Ketiga, program tol laut harus diintegrasikan dengan
perbaikan kualitas jaringan angkutan darat, peningkatan kualitas pergudangan,
dan akselerasi pembangunan regional. Karena investasi tol laut saja tidak akan
cukup menekan disparitas harga antardaerah jika tidak disertai perbaikan di
angkutan darat, peningkatan pergudangan, dan akselerasi pembangunan regional.
Infrastruktur Pendukung
Berdasarkan studi McKinsey, 70% kondisi pergudangan
di Indonesia di bawah standar internasional, yang ditunjukkan oleh variabel
kondisi fasilitas, infrastruktur, dan keamanan yang kurang memadai. Misal, di
Makassar, 70% pergudangan bertumpu pada infrastruktur yang sudah menua. Di
Balikpapan, 80% pergudangannya kekurangan infrastruktur pendukung serta kurang
terhubung dengan jaringan transportasi lainnya.
Untuk menopang implementasi program tol laut,
jaringan angkutan darat harus diperbaiki. Menurut McKinsey, dalam laporannya
yang tertuang dalam Indonesia Maritime Strategy Reform Report 2013, biaya
transportasi darat Indonesia 8% dari PDB jauh lebih besar daripada
negara-negara tetangga seperti Thailand (5%) dan Singapura (4%) dari PDB.
Ini mengindikasikan kinerja angkutan darat di
Indonesia sangat kurang memadai, terutama untuk angkutan barang di wilayah
timur karena kondisi jalan darat yang kurang mendukung. Alhasil, sebagian
angkutan barang di timur diangkut dengan menggunakan angkutan udara yang
biayanya jauh lebih mahal.
Akhirnya, yang tidak kalah penting adalah mengefektifkan
pemanfaatan teknologi informasi. Dengan adanya telepon seluler beserta
aplikasinya, akan mampu memperpendek rantai penawaran barang sehingga
mengurangi biaya distribusi. Selain itu, dengan memanfaatkan sistem informasi
teknologi akan membuat harga barang semakin kompetitif, tidak hanya
antarpenjual, bahkan antardaerah, karena antara konsumen dan produsen akan
punya informasi yang lebih baik dalam memutuskan haraga.
Dengan demikian, tepat sekali gugus tugas Kelompok
Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah mengembangkan laman yang
menginformasikan harga bahan makanan di sejumlah provinsi. Setiap orang
memiliki akses ke laman tersebut sehingga diseminasi informasi diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan harga antardaerah karena pasar dirasa semakin
kompetitif, terutama adanya fungsi informasi yang terbuka.
Tri Winarno, Peneliti Senior BI
KOMPAS, 19 November 2016
No comments:
Post a Comment