PEREKONOMIAN Amerika Serikat (AS) sebenarnya kini
tengah mengalami 'musim semi' (spring), persis sebagaimana musim geografis
secara literal pada April ini. Indikasinya pertumbuhan ekonomi akan mencapai
2,3% pada tahun ini, inflasi 2,4%; pengangguran 4,7% (dari rekor terburuk 10%
pada 2009); dan penjualan mobil setahun 17,6 juta unit (dari rekor terburuk
10,4 juta unit pada 2009). Dampaknya indeks harga saham di New York kini 20.656
dan The Fed dengan percaya diri menaikkan suku bunga acuan dari 0,75% menjadi
1%. Namun, ternyata masih ada hal yang merisaukan Presiden Donald Trump. AS
ialah negara yang menderita defisit perdagangan terbesar di dunia, yang bahkan
sudah terjadi sejak 1975. Pada 2016, defisit AS untuk barang dan jasa mencapai
US$502 miliar, yang dihasilkan dari ekspor US$2,2 triliun berbanding impor
US$2,2 triliun (US International Trade in Goods and Services, Biro Sensus AS).
Jika dilihat dari perdagangan barang saja, AS mengekspor US$1,5 triliun dan
menderita defisit US$750 miliar. Dengan kata lain, sebenarnya masalah defisit
perdagangan AS ialah hal yang akut dan sudah berlangsung lama, lebih dari 40
tahun. Alasannya mudah dicari. Sebagai negara maju dengan produk domestik bruto
terbesar di dunia, sangat mudah dipahami bahwa AS sudah lama berada di zona nyaman
sehingga pendapatan per kapitanya tinggi (US$56 ribu), dengan upah buruh yang
tinggi pula.
Itu membuat daya saing AS memburuk dari waktu ke
waktu. Hal itu kian runyam tatkala kurs dolar AS belakangan ini menguat,
seiring dengan berakhirnya kebijakan mencetak uang (quantitative easing) pada
pertengahan 2013. Jadi, defisit perdagangan AS merupakan keniscayaan. Namun,
bukan Donald Trump namanya jika tidak menjadikan isu defisit itu menjadi
prioritas terpenting bagi pemerintahannya. Trump serta-merta seperti membalik
jarum jam untuk kembali ke era proteksionisme. Liberalisme seolah-olah bakal
dihabisinya. Kesepakatan seluruh dunia terhadap berdirinya World Trade
Organization (WTO) sejak 1 Januari 1995 terancam bubar.
Dalam sejarah perkembangan perekonomian dunia,
wacana tentang perdagangan internasional yang bebas hambatan (baik tarif maupun
nontarif) sebenarnya sudah dimulai sejak berdirinya Dana Moneter Internasional
(IMF) dan Bank Dunia (World Bank atau International Bank for Reconstruction and
Development) pada musim panas 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, AS. Namun,
ternyata 44 negara yang mengikuti konferensi tersebut akhirnya batal
menyepakati berdirinya lembaga multilateral perdagangan (International Trade
Organization atau ITO). Perlu menunggu setengah abad sebelum akhirnya lembaga
tersebut berdiri dengan nama WTO pada 1995. Namun, kini, kehadiran Donald Trump
menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan WTO.
Defisit AS terhadap Indonesia
Celakanya, belakangan ini terbetik berita bahwa
Presiden Trump juga memerintahkan Menteri Perdagangan (US Secretary of
Commerce) Wilbur Ross untuk mengkaji ulang neraca perdagangan terhadap sejumlah
negara yang menyebabkan AS defisit, Indonesia termasuk di dalamnya. AS defisit
terhadap Tiongkok, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand,
Indonesia, Prancis, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, dan Swiss.
Saya pikir pernyataan itu terlalu umum, terlalu
menggeneralisasi, karena faktanya Indonesia bukanlah mitra dagang yang cukup
signifikan bagi AS. Pada 2016, Indonesia mengalami surplus US$8,1 miliar
terhadap AS, yang berasal dari ekspor US$15,3 miliar berbanding impor US$7,2
miliar. Meski tidak besar, harus diakui bahwa trennya memang cenderung
meningkat, dari US$3,3 miliar (2012), US$6,6 miliar (2013), US$8,2 miliar
(2014), dan US$7,6 miliar (2015). Mungkin alasan tren negatif bagi AS itulah
yang menyebabkan AS perlu memasukkan ke watch list. Namun, persoalan terbesar
dalam defisit perdagangan AS tentunya bukan Indonesia. AS memiliki enam mitra
dagang terbesar, yakni Tiongkok (perdagangan barang US$579 miliar), Kanada
(US$545 miliar), Meksiko (US$525 miliar), Jepang (US$196 miliar), dan Jerman
(US$164 miliar). Terhadap keenam negara tersebut, AS menderita defisit. Defisit
terbesar ialah terhadap Tiongkok (US$347 miliar), disusul Jepang ('hanya' US$69
miliar), Jerman (US$65 miliar), Meksiko (US$63 miliar), dan Kanada (US$11
miliar).
Lebih dari 40% defisit perdagangan AS berasal dari
Tiongkok. Hal itu terjadi karena AS mengalami impor yang sangat besar dari
Tiongkok US$462 miliar, terutama dari barang-barang elektronik rumah tangga
(consumer electronics), pakaian jadi, dan mesin-mesin. AS hanya bisa mengekspor
US$116 miliar ke Tiongkok, itu pun dengan catatan bahwa cukup banyak ekspor AS
tersebut ialah barang-barang mentah yang kemudian diolah di Tiongkok secara
murah, yang kemudian juga menghasilkan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan AS
(lihat The Balance, 23/3/17).
Terhadap Jepang, defisit AS relatif kecil, US$69
miliar. Jepang memerlukan produk-produk pertanian AS, pasokan industri, pesawat
(Boeing), dan produk-produk farmasi. Juga ada perdagangan mobil di antara kedua
negara yang signifikan. Terhadap Jerman, AS mengekspor mobil, pesawat, dan
produk farmasi. Jerman juga mengekspor mobil, mesin-mesin, dan farmasi.
Sementara itu, terhadap Meksiko sebagai negara tetangga terdekat yang bukan
termasuk kategori negara maju, perdagangan AS juga signifikan. Meksiko bisa
'mencuri' surplus karena mereka diuntungkan upah tenaga kerja yang murah dan
jarak ke pasar AS yang dekat.
Jadi, berdasarkan serangkaian data tersebut,
sebenarnya Indonesia bukanlah mitra dagang yang signifikan yang harus
diwaspadai AS. Bahwa AS memasukkan Indonesia sebagaimana Donald Trump
menugaskan pengategoriannya ke Mendag Wilbur Ross saya yakin itu hanya
kebetulan. Kebetulan Indonesia menikmati surplus perdagangan yang menunjukkan
tren meningkat, tapi sebenarnya angkanya berada pada batas yang masih bisa
dipahami.
AS mestinya fokus pada defisit perdagangan terbesar
mereka, terutama terhadap Tiongkok. Sejak pemerintahan sebelumnya, Menteri Luar
Negeri AS Hillary Clinton serta Presiden Barack Obama telah melakukan lobi
secara insentif terhadap Beijing. Namun, hasilnya masih nihil. AS tidak mungkin
menggunakan tuduhan bahwa Tiongkok sengaja melakukan kebijakan dumping, yakni
membuat murah harga sehingga kompetitif terhadap AS.
Secara alamiah, dengan penduduk 1,4 miliar orang,
sementara AS 'hanya' 320 juta orang, otomatis biaya produksi di Tiongkok lebih
murah. Pendapatan per kapita China US$9.000 juga memberi indikasi ke sana.
Menagih Internasionalisasi Yuan
Yang bisa dilakukan AS ialah kembali mendesak
Tiongkok agar mengambangkan (floating) mata uang yuan sehingga bisa mencapai
titik keseimbangan yang wajar. Selama ini, Tiongkok tampaknya secara sengaja
membuat yuan cenderung stagnan dan lemah. Padahal, jika mata uang mereka
diambangkan atau diserahkan kepada mekanisme pasar (supply dan demand),
mestinya yuan berpotensi menguat (apresiasi). Jika kurs yuan wajar (kuat),
defisit perdagangan AS bakal berkurang.
Tiongkok sebenarnya pernah mencanangkan
'internasionalisasi yuan'. Artinya, yuan atau renminbi dipakai sebagai salah
satu mata uang kuat yang dipakai sebagai alat transaksi resmi dalam perdagangan
internasional (hard currencies), menemani dolar AS, euro, yen, dan pound
sterling. Namun, rencana tersebut tak jelas realisasinya. Justru pemerintah
Tiongkok kini agak kerepotan mengerem penurunan cadangan devisa mereka.
Cadangan devisa yang semula mencapai US$4 triliun kini terus merosot dalam tiga
tahun terakhir menjadi US$3 triliun. Dalam situasi tertekan, tentu saja
pemerintah Tiongkok tidak bakal mengizinkan yuan menguat, untuk mendorong
surplus perdagangan mereka dan menaikkan kembali cadangan devisa mereka.
Jadi, situasi sekarang serbarepot. Di satu pihak,
sebenarnya AS sudah mulai menikmati perekonomian mereka yang membaik. Presiden
Trump seharusnya menyadari bahwa perbaikan ekonomi AS itu terjadi karena
pengorbanan (sacrifice) yang dilakukan hampir semua negara di dunia. Bahkan
Tiongkok, musuh terbesar perdagangan AS, sebenarnya juga telah berkorban
banyak, pertumbuhan ekonomi mereka merosot menjadi 'hanya' 6,8% tahun ini, dan
cadangan devisa mereka terkuras 25%.
Sementara itu, Indonesia kini dalam kondisi
stabilitas yang baik. Pertumbuhan ekonomi triwulan I/2017 saya perkirakan 5,1%;
inflasi terkendali pada level 3,6%; cadangan devisa US$120 miliar; dan terus
membukukan surplus perdagangan. Semua ini membuka peluang untuk mencapai
investment grade dari Standard & Poor's.
Saya yakin AS mestinya tidak akan mengusik terlalu
kencang posisi perdagangan mereka dengan Indonesia. Bahwa AS dan Indonesia
sesekali mengalami percekcokan (disputes) di level WTO, itu sudah sering
terjadi. Itu masih merupakan hal yang normal. Namun, indikasi adanya kecurangan
dari pihak Indonesia sejauh ini tidak terlihat.
Bahwa pemerintah AS cenderung agresif di periode
awal Presiden Trump, itu memang sudah terjadi. Namun, tidak berarti ke depannya
agresivitas tersebut masih akan berlanjut.
Seharusnya Presiden Trump perlu amat bersyukur bahwa
perekonomian AS kini dalam posisi yang terbaik di dunia, meninggalkan
rival-rival terdekat mereka: Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Defisit perdagangan
AS yang besar hanyalah satu variabel yang tidak menguntungkan AS, sementara
variabel-variabel ekonomi makro dan mikro yang lain terus 'menghijau'. AS
seharusnya tidak usah terlalu gelisah. Sementara itu, Indonesia mestinya juga
tidak ikut terdampak oleh komplain Presiden Trump terhadap isu defisit
perdagangan ini.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
MEDIA INDONESIA, 10 April 2017
No comments:
Post a Comment