Monday, June 27, 2011

UJI BEDA MANAJEMEN LABA SEBELUM DAN SELAMA KRISIS DI INDONESIA

KINERJA, Volume 10, No.2, Th. 2006: Hal. 172-182


I Putu Sugiartha Sanjaya
D. Agus Budi Raharjo
Universitas Atma Jaya Yogyakarta


Abstract

Scott (2000) explained patterns of earnings management as taking a bath and income minimization. Taking a bath can be made during periods of organizational stress or reorganization, including the hiring of a new CEO. If a firm must report a loss, management may feel compelled to report a large one. Consequently, it will write off assets, provide for expected future costs, and generally clear of decks. This will enhance the probability of future reported profits. Income minimization is similar to taking a bath, but fewer extremes. A politically visible firm may choose patterns during periods of high profitability. Policies that suggest income minimization include rapid write-offs of capital assets and intangibles, expensing of advertising and R&D expenditures. The objective of this study is to investigate which pattern of earnings management chosen by management during economic crisis in Indonesia. Therefore, there are differences on earnings management between before the economic crisis and during the economic crisis in Indonesia. To test the hypothesis of this study, data are collected from Jakarta Stock Exchange for manufacturing companies. There are 27 companies. The result of this study suggests that management is most likely to make income decreasing to taking a bath.

Keywords: earnings management, economic crisis, taking a bath, and income minimization.


PENDAHULUAN

Indonesia pada pertengahan tahun 1997 mengalami krisis ekonomi. Secara common sense krisis ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengalami kerugian. Kondisi ini merupakan suatu periode organizational stress. Menurut Healy (1985), jika perusahaan mendapatkan laba bersih di bawah batas bawah dari rencana bonus bagi manajemen maka manajemen perusahaan ini akan melakukan taking a bath atau clean the desk. Tindakan ini dilakukan karena manajemen merasa lebih baik melaporkan kerugian yang lebih besar untuk mendapat probabilitas laba yang semakin besar di masa yang akan datang. Taking a bath merupakan salah satu bentuk manajemen melakukan manajemen laba (Scott, 2000). Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris apakah ada perbedaan manajemen laba antara sebelum krisis dengan selama krisis di Indonesia. Isu ini menarik untuk diteliti, karena selama kondisi krisis perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya mengalami penurunan laba atau peningkatan kerugian. Kerugian ini memicu manajer untuk lebih memilih menurunkan laba dibanding dengan menaikkan laba untuk memenuhi perjanjian utang.

Praktik menurunkan laba (manajemen laba) terjadi ketika manajemen menggunakan judgment dalam penyusunan laporan keuangan dan strukturisasi transaksi-transaksi dengan maksud untuk menyesatkan beberapa stakeholder tentang kinerja perusahaan. Tindakan ini dilakukan oleh manajemen karena termotivasi antra lain oleh pasar modal, kontrak, dan regulator (Healy dan Wahlen, 1999), serta tujuan bonus, kontraktual lainnya, politik, pajak, pergantian dalam CEO, penawaran saham perdana, dan komunikasi informasi kepada investor (Scott, 2000).

Praktik manajemen laba telah mendapat perhatian serius dari Ketua Securities and Exchange Commission (SEC), Arthur Levitt, Jr., yang mengumumkan "an all-out war on earnings management” karena manajemen cenderung melakukan tindakan ini untuk “kepentingannya sendiri”. Beberapa studi telah membuktikan bahwa manajemen melakukan praktik manajemen laba untuk tujuan-tujuan tertentu, misalkan Healy (1985), Guidry et al. (1999), Gaver et al. (1995), dan Holthausen et al. (1995) membuktikan manajemen laba dilakukan karena tujuan bonus.

Sweeney (1994) dan DeFond dan Jiambalvo (1994) membuktikan manajemen laba dilakukan karena ada kontrak-kontrak lain yaitu kontrak pinjaman jangka panjang yang di dalamnya berisikan perjanjian untuk mengamankan pemberi pinjaman terhadap tindakan manajer yang berlawanan dengan kepentingan pemberi pinjaman. Jones (1991), Cahan (1992), Na'im dan Hartono (1996), Navissi (1999), dan Key (1997) membuktikan bahwa perusahaan melakukan praktik manajemen laba untuk menurunkan visibilitinya dengan cara menggunakan prosedur akuntansi guna menurunkan laba bersih yang dilaporkan. Dopuch dan Pincus (1988) membuktikan bahwa manajemen laba dilakukan dengan tujuan income taxation.

Perry dan Williams (1994), Burgstahler dan Dichev (1997, Teoh et al. (1998a), Teoh et al. (1998b), Rangan (1998), Erickson dan Wang (1999) membutkikan bahwa manajemen melakukan manajemen laba untuk tujuan pasar modal. Untuk Indonesia, penelitian manajemen laba yang berhubungan dengan motivasi pasar modal dilakukan oleh Kiswara (1999), Saiful (2002), dan Sulistyanto (2002). Manajemen melakukan tindakan ini karena para pelaku pasar modal membutuhkan informasi. Salah satu informasi adalah informasi akuntansi yang digunakan oleh investor dan para analis keuangan untuk menilai saham.

No comments:

Das Kapital

Das Kapital by Karl Marx My rating: 5 of 5 stars Karl Marx's Capital can be read as a work of economics, sociology and history. He...