No place to
hide. Tiada tempat untuk bersembunyi. Begitu
kira-kira kesimpulan yang bisa kita petik dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk
Kepentingan Perpajakan. Dengan perppu ini, Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan bisa mengakses data keuangan nasabah di bank- bank dan
lembaga-lembaga finansial lainnya untuk kepentingan data perpajakan.
Kesadaran dan inisiatif mengakhiri era kerahasiaan
bank sebenarnya sudah cukup lama dilakukan. Pada April 2009, pemimpin G-20
mulai mengambil sikap terhadap para pihak yang menghindari pembayaran pajak secara
ilegal atau penggelapan pajak. Fenomena ini sudah menjadi ”musuh bersama”,
bukan saja pada negara-negara berkembang yang selama ini rentan, melainkan juga
negara-negara maju. Oleh karena itu, G-20 harus berani berinisiatif untuk
memeranginya (OECD, ”The Era of Bank Secrecy is Over”, 26/10/2011).
Kesadaran G-20 ini setidaknya dipicu dua hal.
Pertama, asas keadilan secara internal. Banyak orang kaya yang tidak membayar
pajak secara benar, alias tidak sesuai dengan profil pendapatannya. Pemerintah
mestinya bisa menerima lebih banyak lagi sehingga bisa membelanjakan lebih
besar lagi untuk pembangunan ekonomi.
Kedua, asas keadilan secara eksternal atau global.
Jika suatu negara sudah menghentikan era kerahasiaan bank, tetapi negara-negara
lain masih menganutnya, maka timbul ketidakadilan sehingga banyak orang
menempatkan dana di negara-negara yang masih menganut kerahasiaan bank. Oleh
karena itu, inisiatif untuk membuka kerahasiaan bank harus menjadi komitmen
bersama. Dalam hal ini, G-20 sebagai 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar
di dunia bisa menjadi inisiator terdepan, yang kelak diikuti negara-negara lain
sebagai gerakan kolektif yang efektif. Swiss yang selama ini dikenal sebagai
negara yang ”paling aman” dalam kerahasiaan bank akan segera mengakhiri status
tersebut, seiring diberlakukannya konvensi internasional tentang automatic
exchange of information (AEOI). Parlemen Swiss sudah menyetujuinya pada tahun
2015 dan meratifikasinya pada tahun 2016.
Berdasarkan pemahaman asas resiprokal dalam gerakan
ini, memberlakukan AEOI merupakan hal yang tidak bisa kita hindari. Di satu
pihak, kita menyadari pemberlakuan AEOI bisa menimbulkan kegalauan nasabah
dalam bertransaksi di perbankan Indonesia. Hal ini bisa membahayakan dana pihak
ketiga (DPK) di industri perbankan kita yang kini Rp 4.700 triliun. Di sisi
lain, jika tidak mengikuti AEOI, kita akan kehilangan kesempatan untuk
mengakses data warga negara Indonesia yang menyimpan uang di luar negeri,
terutama di negara-negara yang memberlakukan pajak rendah (tax haven). Padahal,
baru saja kita ”mati-matian” berjibaku menjalankan program amnesti pajak yang
dinilai berhasil. Amnesti pajak akan sempurna dieksekusi jika kita memiliki
akses mendapatkan data orang Indonesia di luar negeri.
Dalam program amnesti pajak, pemerintah berhasil
menarik Rp 147 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Meskipun target itu
mungkin terlalu ambisius dan tidak realistis, bukan mustahil cukup bayak dana
orang Indonesia yang masih ”tercecer” di luar negeri, yang kelak dapat kita ketahui
dari data yang bisa diakses setelah AEOI efektif.
Perppu No 1/2017 hendaknya tidak disikapi dengan
skeptis, apalagi resisten. Ada beberapa alasan. Pertama, perppu ini hanya akan
berdampak negatif bagi orang-orang kaya yang sengaja menyembunyikan kekayaan
yang sesungguhnya untuk menghindari pajak. Kedua, kebijakan ini berlaku
universal, bukan hanya unik di Indonesia. Sebagai anggota G-20 yang amat
prestisius, wajib bagi Indonesia untuk mengikuti gerakan ini. Kecuali Indonesia
tidak ingin lagi bergabung dengan G-20, sebuah kelompok di mana kita memperoleh
banyak manfaat ekonomi.
Ketiga, bagi orang-orang berpendapatan tinggi,
sesungguhnya kini tidak ada lagi tempat di dunia ini untuk menyembunyikan
hartanya. Swiss yang selama ini ”dikagumi” sebagai negara dengan level
kerahasiaan sektor finansial tertinggi di dunia pun—selain Hongkong, Singapura,
Kepulauan Cayman, Luksemburg, Panama, Uni Emirat Arab/Dubai, Bahrain, dan
Makau—harus mengakhiri era kerahasiaan yang selama ini memberikan manfaat
ekonomi yang amat besar. Lalu, mau ke mana lagi orang-orang kaya tersebut mau
menempatkan hartanya? Tidak ada lagi tempat karena seluruh dunia kini sedang
menuju ke arah keterbukaan secara radikal. Keempat, bagi masyarakat yang sudah
berpartisipasi dalam amnesti pajak, perppu ini tidak berakibat apa-apa.
”Akrobat” finansial yang mungkin pernah mereka lakukan di masa lalu, ”dosanya”
sudah terhapus dengan membayar uang tebusan dan pemerintah pun telah
memaafkannya. Tidak ada celah hukum yang bisa menyeretnya ke pengadilan karena
kini semua hartanya sudah ”diputihkan”.
Berdasarkan pertimbangan, Perppu No 1/ 2017 sudah
didahului dengan program amnesti pajak, serta program ini kita jalankan dalam
konteks G-20 yang nantinya segera menjadi tren di seluruh dunia, maka mestinya
segala kerisauan tidak perlu terjadi pada hari-hari ini dan mendatang. Secara
sadar dan sudah terencana, kita memang memasuki era baru keterbukaan informasi
sektor finansial. Hal ini akan berdampak positif bagi kondisi fiskal kita (bisa
lebih ekspansif), serta iklim investasi yang lebih baik dan setara dengan
negara-negara elite G-20. Jika ada pihak-pihak yang masih menentang, barangkali
penyebabnya adalah karena tidak terlalu mengikuti secara saksama perkembangan
cepat di sektor finansial global dalam beberapa tahun terakhir.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 29 Mei 2017
No comments:
Post a Comment