JUJUR saja, saya merasa risau terhadap kondisi
sosialpolitik di Indonesia, seiring dengan maraknya isu intoleransi yang cukup
mencekam. Terlebih lagi, isu ini muncul di sekitar Mei, yang pada 19 tahun yang
silam (20 Mei 1998) kita pernah menderita musibah huru-hara yang traumatik,
yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Akankah hal ini akan memantik
deja vu? Tentu saja tidak boleh.
Yang saya pikirkan adalah, konflik sosial-politik
ini bisa amat mengganggu kondisi perekonomian nasional, saat pemerintah dan
semua stakeholders sedang berupaya mati-matian menjaga stabilitas dan berjuang
agar pertumbuhan ekonomi bisa tetap 'sekadar' 5% pada 2017. Terlebih lagi
Indonesia masih menghadapi kondisi global yang tidak menentu: kebijakan ekonomi
Presiden AS Donald Trump yang tidak jelas; pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang
terus merosot; prospek perekonomian Eropa dan Inggris yang bakal tersendat
karena Brexit; dan lain-lain.
Di tengah kegalauan itu, pada akhir pekan lalu (19
Mei 2017) kita justru mendapatkan 'hadiah'atau hembusan angin amat segar yang
memang sudah lama kita tunggu. Lembaga pemeringkat utang Standard & Poor's
memberikan predikat investment grade (BBB-) kepada Indonesia. Meski hal
tersebut sebenarnya sudah terantisipasi, tetap saja hal ini menggembirakan. Itu
wajar, karena jika kasus sosial-politik intoleransi sampai dominan mengganggu
mood persepsi perekonomian kita, segala susah payah insiatif pembangunan
ekonomi Indonesia bakal buyar, berantakan, dan sia-sia. Karena itu, kehadiran investment grade dari
S&P ini datang pada saat yang dibutuhkan.
Ketika sentimen negatif dari sisi sosial-politik
merebak dan kita membutuhkan hembusan sentimen positif yang signifikan,
datanglah investment grade ini. Predikat investment grade ini menjadi
'penyempurna' dari status setara yang sudah lebih dulu diberikan dua lembaga
terkemuka lain, yakni Fitch dengan BBB- (21/12/16) dan Moody's dengan Baa3
(8/2/17). Selain itu, juga masih ada
Japan Credit Rating Agency dengan BBB (3/3/17) dan Rating and Investment
Information Inc dengan BBB- (5/4/17).
Kredibilitas Fiskal
Hal paling esensial yang mendorong S&P menaikkan
peringkat Indonesia ialah kondisi dan outlook fiskal kita yang dinilai kian
kredibel, akuntabel, dan berkelanjutan (sustainable). Ini penting, karena
tatkala Presiden Jokowi memulai pemerintahannya pada Oktober 2014, dirinya
berupaya keras untuk memacu kencang belanja fiskal untuk membiayai
proyek-proyek infrastruktur. Sepintas, strategi ini kelihatannya benar.
Indonesia sudah sangat ketinggalan dalam hal infrastruktur jika dibandingkan
dengan negara-negara emerging markets (apalagi Tiongkok), karena itu butuh
upaya yang luar biasa besar agar segera dapat mengejarnya. Namun demikian,
semua kehendak baik itu tetap harus memperhitungkan situasi dan kondisi.
Di awal kabinet kerja, pertumbuhan penerimaan pajak
dipatok 30%. Semua pengamat ekonomi terhenyak. Bagaimana angka 30% bakal
diperoleh, padahal perekonomian global tengah dicekam penurunan yang cukup
tajam? Perekonomian Tiongkok yang menikmati pertumbuhan ekonomi double digit
selama delapan tahun saja (2001-2008) mulai menurun. Padahal, Tiongkok
merupakan lokomotif perekonomian dunia, yang kinerjanya bakal berpengaruh
terhadap kinerja negara-negara lain di seluruh dunia. Beruntung hal ini mulai
dikoreksi, seiring dengan masuknya Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri
Keuangan yang baru, tahun lalu. Target penerimaan pajak dipangkas, agar lebih
sesuai dengan realitas. Belanja pun terpaksa dipotong, meski hal itu pasti
menyakitkan. Tapi tidak apa-apa sakit dalam jangka pendek, demi kredibilitas
dan keberlanjutan fiskal di kemudian hari.
Pasar pun menyambut positif: APBN yang sudah
direvisi menjadi kredibel di mata pasar. Demikian pula akhirnya lembaga
pemeringkat seperti Moody's dan Fitch menilai positif, sehingga akhirnya
S&P tidak punya alasan lagi untuk menilai Indonesia dengan persepsi yang
sama. Keanehan sempat timbul ketika JP Morgan sempat memberikan persepsi
negatif terhadap Indonesia. Namun, setelah komplain keras dilakukan Menteri
Keuangan, JP Morgan pun akhirnya 'menyerah'. Mereka pun mengakui Indonesia
tidak selayaknya dinilai lebih jelek daripada Brasil, negara yang tersandung
krisis fiskal besar-besaran.
Brasil menderita defisit fiskal hingga 10% terhadap
PDB. Bandingkan dengan Indonesia yang masih konservatif dengan defisit APBN
2,5% terhadap PDB. Sikap aneh JP Morgan yang nekat 'berani tampil beda' ini
justru mengganggu reputasi dan kredibilitasnya. Sangat disayangkan dan ironis.
Pelajaran terpenting dari kasus ini ialah, Indonesia
harus menyusun kebijakan fiskalnya secara realistis. Tidak ada gunanya mematok
target yang terlampau tinggi, jika itu tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Target tinggi seolah-olah memang bisa membuat persepsi positif bahwa hal itu
menunjukkan optimisme dan antusiasme untuk bekerja keras. Namun, kalau tidak
tercapai, bahkan jauh dari target, hal itu justru kontraproduktif, dan merusak
kredibilitas yang dibangun dengan susah payah.
Arus Masuk Devisa
Mesin fiskal yang dipaksakan untuk berlari terlalu
kencang, itu ibarat mobil yang mesinnya kepanasan (overheating). Pengalaman serupa sebenarnya pernah dialami
negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, sehingga memicu defisit transaksi
berjalan (current account deficit) yang besar, yang kemudian menyebabkan krisis
finansial Asia 1997-1998. Perbedaan kondisi sekarang (2014-2017) dengan saat
itu (1996-1998) ialah sekarang kita rawan menderita defisit fiskal yang besar,
sedangkan waktu itu defisit transaksi berjalan yang besar. Pada saat ini,
kondisi keseimbangan eksternal kita justru membaik. Neraca pembayaran (balance
of payments) kita pada 2016 justru mengalami surplus US$12 miliar. Akibatnya,
cadangan devisa kita terus meningkat. Selain karena neraca perdagangan kita
akhir-akhir ini terus surplus (sehingga ada aliran devisa masuk), keberhasilan
amnesti pajak juga ikut menentukan.
Program amnesti pajak semula terasa ambisius,
misalnya membayangkan bakal ada harta yang belum terungkap (belum terpantau
kantor pajak), yang jumlahnya bisa setara dengan PDB kita setahun (Rp12 ribu
triliun). Meski angka tersebut tidak tercapai, terungkapnya kekayaan Rp4.855
triliun merupakan hasil yang positif dan signifikan, untuk memperluas basis
pajak di kemudian hari. Prestasi ini mengesankan, apalagi jika dibandingkan
dengan pengalaman negara-negara lain, seperti India. Pemerintah India sangat meyakini
ada banyak 'kekayaan masyarakat yang disimpan di bawah bantal'. Itulah sebabnya
mereka meluncurkan kebijakan demonetisasi (demonetization), yakni mencetak
rupee baru untuk menggantikan uang lama, tetapi masyarakat hanya diberi batas
waktu singkat untuk segera menukarkannya.
Kisah sukses lain yang membuat S&P 'jatuh hati'
kepada Indonesia adalah program repatriasi (pulangnya dana orang Indonesia dari
luar negeri) yang mencapai Rp147 triliun, atau sekitar US$11 miliar. Meski itu
hanya 14,7% terhadap target, jumlah itu cukup signifikan untuk menaikkan
cadangan devisa. Data terakhir cadangan devisa kita saat ini adalah US$123,2
miliar. Hanya sedikit di bawah rekor tertinggi US$124,65 miliar yang pernah
kita capai pada Juli-Agustus 2011. Pada saat cadangan devisa mencapai rekor
tertinggi tersebut, rupiah juga mencapai rekor terkuatnya sejak krisis 1998,
yakni Rp8.600 per dolar AS. Namun, pencapaian ini jangan harap dapat kita
ulangi, karena situasinya sungguh berbeda.
Pada 2011, pemerintah AS sedang giat mencetak uang
(quantitative easing) yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk cukup
deras menuju Indonesia. Sebaliknya sekarang, kebijakan QE tersebut sudah tidak
ada lagi, bahkan The Fed terus berupaya menaikkan suku bunga acuannya, yang
berakibat kenaikan kurs dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Cadangan
devisa kita berpotensi untuk memecahkan rekor baru, perkiraan saya bisa
mencapai US$125 miliar.
Meski mungkin dana repatriasi sudah semuanya masuk
ke sini, kita kemungkinan masih akan menerima aliran modal masuk, baik melalui
pasar modal (portofolio) maupun investasi secara langsung (foreign direct
investment). Salah satu indikasinya ialah indeks harga saham gabungan (IHSG)
yang terus melaju, bahkan menembus rekor baru 5.820 sebelum terkoreksi menjadi
5.791 pada penutupan akhir pekan lalu (19/5). Kini ekspektasi pasar mulai
mengarah pada rekor baru 6.000.
Saya cenderung melihat bahwa IHSG tidaklah perlu
meloncat tajam dalam tempo singkat, karena hal itu belum menunjukkan
fundamental, atau didukung dengan underlying. Akibatnya, bisa timbul koreksi
yang cukup tajam. Lebih baik IHSG mendaki setapak demi setahap, sambil berharap
angkanya bisa berkorelasi (mencerminkan) dengan kondisi fundamental ekonomi
nasional (makro) serta kinerja emiten (mikro). Akhirnya, kita memang layak
mendapat apresiasi dari S&P, sebagaimana juga sudah dilakukan Moody's dan
Fitch. Semoga kerja keras para regulator dan pelaku ekonomi ini tidak diganggu
lagi oleh hal-hal di luar aspek ekonomi, seperti deraan konflik dan rongrongan
sosial-politik. Kita sudah letih
mengikutinya.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
MEDIA INDONESIA, 22 Mei 2017
No comments:
Post a Comment