Hanya dalam tempo beberapa hari, Kementerian
Keuangan akhirnya meralat batas minimal rekening nasabah bank yang wajib
dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak, dari semula minimal Rp 200 juta
menjadi Rp 1 miliar. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari rencana
pemerintah untuk meratifikasikan Automatic Exchange of Information (AEOI),
yakni pertukaran informasi sektor finansial di antara negara-negara anggota
G-20. Untuk itu, pemerintah kini tengah mengajukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 kepada DPR untuk disetujui.
Kebijakan ini sebenarnya merupakan hal yang logis
sebagai konsekuensi dari berakhirnya era kerahasiaan bank, sebagai cara untuk
mengatasi upaya orang untuk menghindari pajak secara ilegal (tax evasion) serta
tindak pidana pencucian uang (money laundering). Kedua hal tersebut menjadi
musuh bersama di seluruh dunia, yang mendapat perhatian tinggi oleh G-20. Tiga
tahun silam, pada Agustus 2014, untuk pertama kalinya Pemerintah Swiss
menyerahkan 4.500 nama penggelap pajak dari Amerika Serikat kepada Kongres AS.
Peristiwa ini menandai berakhirnya era kerahasiaan bank di seluruh dunia.
Studi Niels Johannesen dan Gabriel Zucman (”The End
of Bank Secrecy? An Evaluation of the G20 Tax Haven Crackdown”, dalam American
Economic Journal: Economic Policy 6(1), 2014) menyatakan bahwa era mengakhiri
kerahasiaan bank di kalangan G-20 diawali sesudah krisis finansial (subprime
mortgage) tahun 2008, yang kemudian membuka opsi memberlakukan perjanjian dua
negara (bilateral treaty). Namun, hal ini dipandang tidak bakal efektif jika
tidak diikuti dengan kesepakatan yang lebih luas dan melibatkan banyak negara
sekaligus, yang kemudian menjadi AEOI.
Perjanjian bilateral hanya akan menyebabkan dana
mengalir dari satu negara persembunyian yang aman (haven) ke haven yang lain.
Pencucian uang masih akan terus terjadi dengan leluasa tanpa bisa dihentikan.
Karena itu, inisiatif yang lebih besar berupa pertukaran informasi finansial
secara otomatis, akhirnya dipilih menjadi gerakan kolektif G-20, termasuk
Indonesia di dalamnya.
Urgensi Keadilan Pajak
Urgensi pengungkapan rekening nasabah kepada kantor
pajak, pada dasarnya lebih mengarah pada isu keadilan pajak (tax fairness) dan kepatuhan (compliance) membayar pajak. Sudah lama
kita ketahui bahwa rasio penerimaan pajak (tax
ratio) dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) kita akhir-akhir ini
hanyalah di bawah 11 persen. Ini adalah level terendah dibandingkan dengan
negara-negara tetangga yang umumnya sekitar 13-14 persen (Malaysia, Singapura,
Filipina, dan Vietnam). Bahkan, Thailand sudah lama mencapai angka 16-17
persen.
Rasio pajak dapat merefleksikan tingkat kepatuhan
masyarakat dalam menunaikan kewajiban membayar pajak. Semakin tinggi rasionya,
semakin tinggi pula masyarakat memenuhi standar kepatuhan membayar pajak. Oleh
karena itu, negara-negara maju umumnya memiliki tingkat rasio yang tinggi, misalnya
AS dan Australia (26 persen), Swiss (30 persen), Selandia Baru (35 persen),
Belanda dan Jerman (40 persen), Italia (43 persen), serta Perancis (48 persen).
Sementara itu, negara-negara Skandinavia juga terkenal memiliki level kepatuhan
pajak yang amat tinggi, yakni Norwegia dan Finlandia (44 persen), Swedia (46
persen), serta puncaknya Denmark (51 persen).
Setiap menteri keuangan kita selalu saja
mencanangkan target rasio pajak yang lebih tinggi, setidaknya menyamai
negara-negara tetangga di level 13-14 persen. Namun, sejarah mencatat, bahwa
rasio pajak sulit sekali beranjak dari level 11 persen. Untuk menaikkan 1
persen saja setiap tahun, pemerintah selalu gagal. PDB Indonesia saat ini
sekitar Rp 12.000 triliun sehingga untuk menaikkan penerimaan pajak 1 persen
dibutuhkan Rp 120 triliun setahun. Ini merupakan jumlah yang tidak mudah
dicapai. Sebagai ilustrasi, penerimaan cukai dari industri rokok kita saat ini
dalam setahun sekitar Rp 140 triliun.
Inisiatif pemerintah melakukan amnesti pajak
merupakan bagian dari strategi untuk memperluas basis pajak sehingga diharapkan
penerimaan pajak ke depannya akan meningkat signifikan. Pada 2016, pemerintah
berhasil mengumpulkan Rp 107 triliun dari pembayaran denda program amnesti
pajak. Jumlah ini cukup signifikan karena nyaris ekuivalen dengan 1 persen
terhadap PDB. Namun, sayang, akibat dari perekonomian makro yang memburuk
menyusul penurunan harga komoditas primer telah menyebabkan penerimaan pajak
menurun. Karena itu, setelah dikompensasi dengan hasil amnesti pajak, rasio
pajak kita tetap saja cuma 10,7 persen atau berarti belum beranjak dari level
rata-rata selama ini 11 persen. Karena itu, sambil menunggu efektivitas dampak
meluasnya basis pajak di kemudian hari, inisiatif untuk melaporkan rekening
nasabah kepada kantor pajak bisa menjadi terobosan penting. Nantinya kantor
pajak akan bisa menilai, apakah saldo dan transaksi seorang nasabah sudah
sesuai dengan profil pembayaran pajak dan profil hartanya, ataukah tidak. Jika
tidak sesuai, kantor pajak bisa meminta nasabah tersebut untuk membayar
kekurangan pembayaran pajaknya.
Ide ini logis dan memang bisa diterapkan. Masalah
selanjutnya, berapa rupiahkah batas minimalnya (threshold)? Ketika menetapkan batas Rp 200 juta per rekening, saya
duga pemerintah sedang membayangkan ingin ”mengintip” sebanyak mungkin nasabah
yang menjadi wajib pajak. Tetapi lupa, bahwa di sisi lain hal itu akan
menimbulkan kegelisahan bagi sebagian besar nasabah berpendapatan menengah ke
bawah.
Sudah pasti kebijakan baru ini sudah dilandasi
dengan niat baik untuk memperbaiki struktur penerimaan negara dari pajak
sehingga bisa mengurangi porsi utang pemerintah dalam APBN. Meski begitu,
pemerintah harus mempertimbangkan strateginya. Pada tahap awal, mestinya
pemerintah membidik lebih dulu target ”ikan besar” (big fish). Penting bagi kita untuk memprioritaskan pelaku
penggelapan pajak (tax evaders)
berskala besar terlebih dulu, daripada kelompok di bawahnya. Kenapa? Kita mesti
mendisiplinkan diri orang- orang kaya terlebih dulu, baru kemudian disusul
orang yang tidak kaya. Jangan terlalu ambisius mendisiplinkan semua orang pada
saat bersamaan dengan cuma ”sekali tepuk”. Itu tidak logis.
Menaikkan rasio pajak dari 11 persen menjadi 13-14
persen bukanlah pekerjaan gampang dalam sekejap. Hal itu perlu dilakukan secara
bertahap, yakni ke level rasio pajak 12 persen, lalu 13 persen, dan seterusnya.
Karena itu, bahwa kemudian batas minimal rekening yang akan dipantau Ditjen
Pajak dinaikkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar, itu sudah benar dan lebih
bisa diterima masyarakat. Potensi gejolak dan keresahan pun bisa direduksi.
Berdasarkan data Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS),
dengan kriteria minimal Rp 1 miliar, terdapat 496.867 rekening yang nilainya
mencakup 64,22 persen dari seluruh dana pihak ketiga (DPK) di bank-bank lokal
kita. Data ini ”lebih sederhana” dibandingkan dengan 2,31 juta rekening yang
merupakan 1,14 persen dari semua rekening nasabah dalam industri perbankan
kita, dengan kriteria Rp 200 juta. Dengan demikian, kriteria baru tersebut menjadi
lebih mudah pengadministrasiannya, baik bagi bank maupun kantor pajak.
Selanjutnya, jika masyarakat sudah mulai terbiasa dengan kebijakan ini, secara
bertahap pemerintah bisa membuat kriteria yang lebih luas, misalnya menjadi
minimal Rp 500 juta per rekening. Saya yakin, semua lapisan masyarakat pun
pelahan-lahan bisa dibiasakan untuk taat membayar pajak. Namun, pada tahap awal
ini, sebaiknya pemerintah menyasar lebih dulu kalangan berpendapatan tinggi
saja, yang dalam hal ini dengan threshold Rp 1 miliar. Pemerintah harus lebih
sabar untuk mencapai target utamanya, yakni rasio pajak di atas 11 persen.
Prospek Fiskal 2017
Hingga empat bulan pertama 2017, pemerintah baru
mengumpulkan penerimaan pajak Rp 339 triliun, yang berarti 25,9 persen dari
keseluruhan target pajak tahun ini Rp 1.307 triliun. Memang masih meleset
karena jika ditarik garis proporsional mestinya sudah mencapai 33 persen.
Penerimaan pajak yang paling tinggi berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) migas,
yang sudah mencapai 48 persen, tetapi nilainya kecil (Rp 17,4 triliun).
Sementara yang nilainya besar adalah PPh nonmigas yang baru mencapai Rp 200
triliun dari target Rp 751 triliun (27 persen). Secara siklus, biasanya
penerimaan pajak kita bakal lebih besar pada bulan-bulan selanjutnya, mendekati
akhir tahun. Sementara itu, kita juga masih berharap pada dua hal. Pertama,
dampak dari amnesti pajak yang memperluas basis pajak, mungkin sudah akan
memberi dampak positif mulai semester kedua. Kedua, jika pengadministrasiannya
baik, peraturan baru pelaporan rekening di atas Rp 1 miliar kepada kantor pajak
barangkali bisa mulai memberi hasil positif kepada APBN. Ibarat sedang mengayuh
dayung sampan, pemerintah kini tengah berupaya keras untuk menggapai dua pulau
sekaligus. Keduanya adalah isu keadilan pajak serta isu pemenuhan target
penerimaan pajak. Hal tersebut akan bermuara pada menjaga stimulus fiskal agar
tetap dapat menopang pencapaian pertumbuhan ekonomi minimal 5,1 persen pada
akhir tahun ini.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah
Mada
No comments:
Post a Comment