Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2
persen pada tahun ini dan 5,4 persen pada tahun depan. Angka ini mirip dengan
proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan 5,2 persen (2017)
dan 5,3 persen (2018). IMF memublikasikan proyeksinya dalam World Economic
Outlook: Seeking Sustainable Growth Short-Term Recovery, Long-Term Challenges,
Washington DC, pada 10 Oktober 2017. IMF mencatat, terjadi sedikit perbaikan
pertumbuhan ekonomi di dunia karena meningkatnya kepercayaan produsen dan
konsumen. Investasi meningkat, permintaan barang dan jasa juga beranjak.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagaimana negara-negara tetangga Asia
Tenggara, juga sedikit naik, tetapi tidak signifikan. Dengan kinerja
pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2017 yang hanya 5,06 persen, atau sedikit
beranjak dari 5,01 persen pada triwulan I dan II-2017, saya menduga pertumbuhan
ekonomi 2017 akan mencapai 5,1 persen saja. Ini sedikit meleset dari target
pemerintah dan proyeksi IMF 5,2 persen. Pada triwulan IV seperti biasa memang
akan ditandai dengan belanja modal pemerintah yang ngebut. Namun, dengan
sembilan bulan pertama hanya tumbuh rata-rata 5,03 persen, rasanya sulit untuk
mengakhiri tahun 2017 dengan 5,2 persen.
Perekonomian Indonesia sedikit lebih baik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh meningkatnya
investasi dan membaiknya harga batu bara serta kelapa sawit yang mendorong
kenaikan surplus ekspor. Namun, konsumsi masyarakat yang menyumbang 57 persen
terhadap produk domestik bruto (PDB) tertahan di sekitar 5 persen. Jika
konsumsi bisa diungkit ke atas, pertumbuhan ekonomi bisa dihela lebih cepat.
Sayangnya, masyarakat masih mengerem konsumsi dan lebih hati-hati menghadapi
cekaman ketidakpastian perekonomian global dan nasional.
Mengapa selama ini para ekonom selalu menyebut angka
6 atau 7 persen sebagai pertumbuhan ekonomi yang ideal? Bagaimana ”angka
keramat” ini diperoleh? Jawabannya adalah angka ini terkait dengan penyerapan
tenaga kerja. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen untuk
menyerap seluruh angkatan kerja baru. Jika tidak, terjadi tambahan penganggur.
Saat ini, penduduk Indonesia tercatat 255 juta, ada
di urutan keempat. China menempati urutan pertama dengan 1,388 miliar penduduk,
lalu India (1,32 miliar) dan Amerika Serikat (326 juta). Indonesia berada di
atas Pakistan (209 juta), Brasil (208 juta), dan Nigeria (188 juta). Indonesia
memiliki angkatan kerja 131 juta penduduk atau separuh dari jumlah penduduk.
Namun, yang memiliki pekerjaan 124 juta, berarti terdapat 7 juta orang
menganggur. Setiap tahun, angkatan kerja baru 3 juta orang. Jadi, Indonesia
memerlukan level pertumbuhan ekonomi 6-7 persen untuk menyerapnya.
Jika setiap satu persen pertumbuhan ekonomi
Indonesia bisa menyerap maksimal 500.000 orang, angkatan kerja yang terserap
dengan pertumbuhan 5 persen hanya 2,5 juta. Akibatnya, masih ada 500.000 orang
lagi yang menganggur. Namun, statistik BPS menyebutkan bahwa tambahan
penganggur kita hanya 10.000 orang pada 2017. Ini terjadi karena banyak
angkatan kerja baru kita terpaksa rela bekerja di sektor informal yang nilai
tambahnya lebih rendah daripada sektor formal. Status mereka memang bekerja
(employed), tetapi dengan kualitas penghasilan rendah. Fenomena ini sering
disebut pengangguran terselubung (disguised unemployment).
Pembangunan Infrastruktur
Karena itu, pemerintah memang harus mengejar
pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen untuk mengatasi pengangguran, yakni dengan
menghela pertumbuhan ekonomi hingga 6-7 persen. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi
kita saat ini masih di bawah Filipina (6,6 persen), Vietnam (6,3 persen), dan
Malaysia (5,4 persen). Namun, ada di atas Thailand (3,7 persen) dan Singapura
(2,5 persen).
Salah satu cara adalah mendorong pembangunan
infrastruktur. Namun, data BPS justru menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja
di sektor konstruksi tahun ini stagnan. Padahal, pemerintah menganggarkan
hampir Rp 400 triliun (dari APBN Rp 2.100 triliun) untuk infrastruktur. Berarti
patut diduga sektor konstruksi mulai kian banyak menyerap modal dan teknologi
sehingga agak berkurang level padat karyanya.
Sektor lain yang juga stagnan adalah pertambangan.
Mekanisasi sektor pertanian kian tinggi sehingga persentase penduduk yang
bekerja di sektor itu turun. Sektor industri, perdagangan, dan jasa mengalami
kenaikan. Pemerintah perlu melihat tren ini untuk merencanakan penyerapan
tenaga kerja berbasis industri, perdagangan, dan jasa. Namun, tidak berarti
bahwa belanja infrastruktur harus dikoreksi. Keputusan pemerintah membiayai
infrastruktur dengan dana Rp 409 triliun pada 2018 harus dilanjutkan. Ini perlu
dilakukan karena akan meningkatkan efisiensi jangka panjang untuk lima tahun,
10 tahun, bahkan puluhan tahun ke depan, bukan semata-mata untuk menyerap
tenaga kerja dalam jangka pendek.
Peringkat Indonesia untuk Indeks Daya Saing Global
2017-2018 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia naik dari ke-41 menjadi ke-36.
Memang di bawah Thailand (32), Malaysia (23), dan Singapura (3), tetapi sudah
menyalip India (40), serta di atas Brunei (46), Vietnam (55), Filipina (56),
dan Brasil (80). Peningkatan peringkat diharapkan menarik banyak investasi dan
kemudian menyerap tenaga kerja. Data inilah yang bisa membantu menjelaskan
mengapa investasi di Indonesia akhir-akhir ini terus meningkat, begitu pula
aliran modal masuk dari luar negeri.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada; Pengajar BI Institute
KOMPAS, 20 November 2017
No comments:
Post a Comment