DANA Moneter Internasional (IMF) baru saja
menerbitkan laporan dan proyeksi perekonomian terbarunya tentang perekonomian
global, World Economic Outlook: Seeking Sustainable Growth, Short-Term
Recovery, Long-Term Challenges, dirilis 10 Oktober 2017. Intinya, pertumbuhan
ekonomi global baru akan beranjak naik sedikit dari 3,6% (2017) menjadi 3,7%
(2018). Itulah yang mereka sebut 'pemulihan jangka pendek'. Namun, dalam
periode yang lebih panjang, pertumbuhan ekonomi belum bisa diakselerasi lebih
cepat. Perekonomian global masih terjal.
Proyeksi tersebut lebih baik 0,1% untuk kedua tahun
tersebut (2017 dan 2018) jika dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang
dilakukan pada April dan Juli 2017. Perbaikan ekonomi tersebut, meski amat
kecil, didasarkan pada data investasi, perdagangan, dan kondisi produksi
industri. Data kuantitatif itu juga diperkuat dengan data kualitatif berupa
tingkat kepercayaan dunia bisnis dan konsumen (business and consumer
confidence) yang menguat. Secara lebih spesifik, IMF menyebut beberapa negara
dan kawasan yang pertumbuhan ekonominya sedikit melebihi ekspektasi, seperti
zona euro, Jepang, Tiongkok, emerging euro (negara-negara Eropa 'lapis kedua'),
dan Rusia. Kinerja mereka mampu mengompensasi tiga negara besar yang tampil lebih
lemah daripada ekspektasi, yakni Amerika Serikat, Inggris, dan India. Namun,
secara umum, perekonomian global memang masih enggan beranjak jauh.
Tren Inflasi dan Suku Bunga
Yang menarik, IMF juga melaporkan banyak negara
mengalami inflasi rendah, yang mengindikasikan lesunya perekonomian sehingga
sulit diharapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pernyataan itu
penting untuk digarisbawahi mengingat selama ini suka terjadi salah
interpretasi bahwa inflasi rendah merupakan hal yang selalu baik. Belum tentu.
Jika inflasi rendah itu selalu baik, tentu akan menyebabkan meningkatnya gairah
belanja. Jika itu terjadi, hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih
tinggi. Inilah yang terjadi di Indonesia pada saat ini: ketika inflasi bisa
ditekan rendah ke 3,58% (year on year Oktober 2017), tetapi kenapa pertumbuhan
ekonomi triwulan III/2 2017 hanya 5,06%? Jawabannya ialah karakteristik inflasi
rendah kali ini lebih mengarah ke lesunya orang berbelanja.
Hal itu bisa disebabkan unsur ketidakpastian
(uncertainty) yang tinggi, yang menyebabkan orang enggan berbelanja atau
menunda belanjanya. Bisa juga masyarakat mulai tercekam oleh agresivitas
pemerintah dalam menarik pajak, untuk mengatasi shortfall (penerimaan pajak
meleset dari target). Itulah sebabnya, dalam kasus AS, Kepala The Fed Janet
Yellen begitu menginginkan agar inflasi mencapai 2%. Dalam beberapa tahun
terakhir, inflasi AS selalu di bawah 2%. Namun, saat ini, keinginan itu
tercapai. Inflasi AS saat ini 2,2%. Akibatnya, pasar merespons positif data itu
dan ikut menyumbang rally di Bursa Efek New York (NYSE) sehingga Dow Jones
index mencapai rekor baru di atas 23.500.
Dalam kasus lain yang lebih ekstrem, Bank Sentral
Jepang (Bank of Japan) juga tidak suka jika terjadi deflasi (inflasi negatif)
karena hal itu tidak memberi insentif produsen untuk menambah kapasitas
produksi, yang berarti ekspansi ekonomi. Pendek kata, data inflasi yang lemah
juga berimplikasi pada permintaan (demand) dan ekspansi kapasitas produksi yang
lemah, alias pertumbuhan ekonomi rendah. Karena itu, inflasi yang terlalu
rendah juga perlu dihindari. Itulah sebabnya Bank Indonesia juga tidak bisa
untuk terus-menerus menurunkan suku bunga acuannya karena ada keterbatasan
ruang gerak.
Jika suku bunga acuan terus diturunkan, selain belum
tentu efektif untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan (yang diharapkan
dapat mendorong ekspansi kredit), juga berisiko terjadinya pelemahan rupiah.
Penurunan suku bunga deposito lebih lanjut malah bisa memicu orang untuk
mengalihkan aset mereka ke pembelian dolar AS. Di sisi lain, negara maju
seperti AS justru kini terus berupaya menaikkan suku bunga mereka untuk menuju
ke ekuilibrium baru.
Suku bunga sebelum krisis 2008 di AS mencapai 6%,
lalu diturunkan hingga 0,25%, dan kini 1,25%, yang diharapkan kembali naik
menuju 2%. Satu-satunya kandidat Kepala The Fed yang baru, Jerome Powell,
dipastikan akan melanjutkan kebijakan Janet Yellen. Dia harus terus menaikkan
suku bunga secara bertahap, untuk menormalkan kondisi moneter AS. Suku bunga yang
terlalu rendah hanya menyebabkan likuiditas di pasar uang menjadi terlalu
berlebihan (excess supply). Itu
merupakan dampak quantitative easing pada periode Ben S Bernanke. Sesuai dengan
teori John Maynard Keynes (1936), hal itu bisa menyebabkan terjadinya aksi
spekulasi (speculative motive) yang
menimbulkan gelembung di pasar finansial (financial
bubbles).
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Selanjutnya IMF juga memproyeksikan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari
5,1% (diproyeksikan April 2017) menjadi 5,2%. Perlu dicatat, bahwa proyeksi IMF
tersebut diumumkan sebelum BPS mengumumkan pencapaian pertumbuhan ekonomi
triwulan III 2017 yang 'hanya' 5,06%. Jika tahu data terbaru tersebut, bisa
jadi IMF membuat proyeksi yang lebih konservatif, misalnya 5,1%.
Di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi
Indonesia 5,2% tersebut masih di bawah Filipina (6,6%), Vietnam (6,3%),
Malaysia (5,4%), tetapi berada di atas Thailand (3,7%) dan Singapura (2,5%).
Proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,2% tersebut persis sama
dengan versi pemerintah. Proyeksi terhadap negara-negara ASEAN juga sama.
Sebaliknya pada 2018, perekonomian Indonesia akan tumbuh 5,3%, atau sedikit
lebih rendah daripada proyeksi pemerintah 5,4%. Menurut IMF, sedikit kenaikan
pertumbuhan ekonomi tersebut antara lain disebabkan meningkatnya permintaan
dari Tiongkok dan Eropa.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok
tahun ini 6,8%, atau lebih baik daripada sebelumnya. Namun, harus diakui, bahwa
bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi Tiongkok 6,8% sesungguhnya tidak berarti
banyak bagi kita dan kawasan ASEAN-5 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina,
dan Vietnam). Level itu praktis masih jauh di bawah double digit sebagaimana
dialami Tiongkok selama delapan tahun berturut-turut 2001-2008. Level setinggi
itu tidak mungkin diulang Tiongkok lagi karena situasi kini telah berbeda jauh.
Tiongkok memang masih bisa menjaga surplus
perdagangan mereka, tetapi tidak mungkin bisa menaikkannya lagi seperti periode
sebelumnya karena biaya produksi yang terus meningkat, seiring dengan level
pendapatan penduduk mereka yang meninggi. PDB per kapita Tiongkok kini sudah
mencapai US$9.000, atau tidak bisa dibilang murah lagi untuk menjadi negara
basis produksi. Vietnam diam-diam mulai mengintai peluang itu sebagai negara
basis produksi (host country) berikutnya.
Kunci pencapaian pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia
ialah belanja masyarakat (consumption expenditure). Inilah komponen pembentuk
produk domestik bruto (PDB) terbesar kita. Konsumsi (C) menyumbang 57%, yang
jauh di atas investasi (I), belanja modal pemerintah (G) maupun surplus ekspor
(X-M). Data terakhir surplus ekspor hingga Oktober 2017 mencapai US$10 miliar.
Hal itu berkontribusi pada kenaikan cadangan devisa yang kini mencapai rekor
tertinggi, hampir US$130 miliar. Tingginya cadangan devisa itu diharapkan dapat
meredam kemungkinan terjadinya depresiasi rupiah yang disebabkan kenaikan suku
bunga The Fed pada Desember 2017 nanti. IMF memproyeksikan belanja konsumsi
masyarakat tetap bisa tumbuh 5%.
Seperti diketahui, akhir-akhir ini komponen ini
tergelincir ke level sedikit di bawah 5%. Idealnya, agar pertumbuhan ekonomi
bisa mencapai level yang normal untuk kasus Indonesia (6% ke atas), belanja
konsumsi juga harus dijaga pertumbuhannya, setidaknya 6%. Karena itu, Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus bisa menjaga ritme APBN 2017 pada bulan
terakhir 2017 ini. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3% terhadap PDB.
Sebaliknya APBN 2017 disusun dengan asumsi defisit
2,92% terhadap PDB. Memang ada wacana agar defisit tersebut dapat diturunkan,
misalnya menjadi sekitar 2,5% saja. Namun, dalam kondisi sekarang tampaknya hal
tersebut sangat sulit dilakukan. Penurunan defisit memang masih mungkin
dicapai, misalnya dengan melemahnya penyerapan anggaran, sebagaimana sering
terjadi selama ini. Namun, hal itu bukanlah hal yang ideal karena Presiden
Jokowi sedang sangat berhasrat untuk mendorong pembangunan infrastruktur, yang
anggarannya mendekati Rp400 triliun. Karena itu, kalaupun defisit bisa ditekan,
saya duga angkanya masih sekitar 2,7% terhadap PDB.
Pada titik ini belanja modal dan pembangunan
infrastruktur oleh pemerintah tetap dapat dijaga meski dengan kecepatan yang
tidak maksimal. Artinya, energi untuk menghela pertumbuhan ekonomi tidaklah
bisa dilakukan secara 100%. Akibatnya, saya duga perekonomian Indonesia 2017
akan tumbuh 5,1%, atau sedikit di bawah proyeksi pemerintah dan IMF (5,2%).
Tidak apa meleset sedikit, karena di sisi lain kita tetap dapat menyokong APBN
yang berkelanjutan (sustainable). Yang juga tak kalah penting: kita tetap bisa
memelihara asa untuk tumbuh lebih tinggi, sedikitnya 5,3% pada 2018,
sebagaimana ekspektasi pemerintah dan IMF.
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM Faculty Member of Bank Indonesia Institute
MEDIA INDONESIA, 20 November 2017
No comments:
Post a Comment