Tahun 2017 adalah tahun yang penting bagi Benua
Eropa. Pasalnya, tahun ini akan ada berbagai pemilihan umum yang akan menyoroti
perseteruan antara politisi mapan (political establishment) dan politisi
oportunis yang bergerak karena ketidakpuasan masyarakat. Ada pemilihan presiden
dan parlemen di Prancis, Hungaria, Slovenia, dan Jerman; pemilihan umum di
Belanda, Norwegia, dan Republik Ceko; serta pemilu lokal di Portugal dan
Irlandia. Ada tiga negara yang penting untuk diperhatikan karena akan
memengaruhi arah perkembangan Eropa, yakni Jerman, Prancis, dan Belanda.
Prancis menjadi penting karena negara tersebut
adalah salah satu pemegang hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB. Bayangkan
apabila negara pemegang hak veto di DK PBB dikuasai pemerintahan yang sangat
kanan dan populis. Saat ini sudah terjadi pada Amerika Serikat dan Inggris.
Jerman dan Belanda juga penting bagi Uni Eropa karena perekonomian mereka yang
stabil dan besar di antara negara-negara anggota Eropa lain selain Inggris.
Pemilihan umum di Eropa tahun ini menjadi menarik dibandingkan periode
sebelumnya karena beberapa partai populis di negara-negara tersebut semakin
meningkat perolehan kursinya.
Brexit dan Trump adalah fenomena yang telah
menginspirasi partai kanan populis di Eropa untuk bergerak maju, tetapi
sekaligus bisa mengubur inspirasi itu apabila belum ada dampak signifikan yang
dihasilkan dari Brexit dan kebijakan proteksionis Trump dalam jangka waktu dekat.
Belanda adalah negara yang akan mengadakan pemilu pada Maret.
Ipsos Mori, sebuah lembaga survei di Belanda,
melaporkan awal bulan ini bahwa Party for Freedom (PVV) yang dipimpin oleh
Geert Wilders akan memenangkan kursi legislatif apabila pemilu diadakan pada
saat survei dilakukan. Pemilu di Belanda akan membicarakan tema-tema tentang
bagaimana mengurangi atau berhenti menolong negaranegara EU yang melemahkan
euro seperti Rumania, Yunani, dan negara dengan perekonomian kecil lainnya.
Partai ini mungkin partai yang secara terang dan terbuka menentang keberadaan
muslim di Eropa dan khususnya Belanda. Partainya telah membuat manifesto
deislamisasi Belanda denganbeberapausulnya, antara lain menutup pusat
peng-ungsian, menutup sekolah-sekolah muslim, menutup perbatasan dan melarang
seluruh migran dari negara berpendudukmuslim tanpa kecuali, dan seruan-seruan
provokasi lainnya.
Prancis adalah negara yang akan mengadakan pemilihan
presiden pada 23 April 2017, dan akan dilanjutkan pada 7 Mei 2017 apabila tidak
ada di antara para kandidat yang menang satu putaran dalam pemilihan pertama.
Presiden Prancis saat ini François Hollande yang berasal dari Partai Sosialis
sebenarnya masih punya jatah untuk maju dalam periode ke-2.
Hak ini terpaksa ia tangguhkan karena popularitasnya
semakin menurun dengan semakin tingginya kasus-kasus terorisme yang terjadi
belakangan ini dan dukungan Partai Sosialis atas kebijakan Uni Eropa yang
mengizinkan pengungsi untuk masuk. Benoit Hamon yang telah memenangkan nominasi
dalam Partai Sosialis akan menggantikan Hollande. Kemungkinan Prancis akan
mengikuti jejak Inggris dan Amerika dalam menerapkan kebijakan yang
proteksionis dan antipendatang (baik pengungsi atau bukan) bisa menjadi
kenyataan. Survei yang dilakukan oleh Kantar Sofres tahun lalu mengumumkan
Marine Le Penn dari Front Nasional, partai yang Far-Right akan memenangkan
putaran pertama, namun ia akan dikalahkan oleh Francois Fillon dari Partai
Konservatif yang diprediksi akan memenangkan putaran kedua.
Emmanuel Macron dari Partai Tengah juga berpeluang
untuk memenangkan putaran kedua apabila ia berhadapan dengan Fillon. Tema pokok
yang menjadi materi kampanye dan pertanyaan masyarakat di Prancis adalah apakah
nilai-nilai sekuler Prancis cocok dengan penduduk muslim di Prancis (Wall
Street Journal, 16/11/2016). Marine Le Penn saat ini berada di atas angin
Partai Konservatif dan Liberal berkat kampanyenya untuk menolak pengungsi dan
globalisasi. Sebaliknya, Partai Sosialis yang mendukung globalisasi dan
pengungsi, semakin hari semakin turun popularitasnya. Pertanyaannya kemudian
apakah partai yang berhaluan sosialis, konservatif, dan liberal akan bergerak
ke tengah untuk mengimbangi suara Le Penn atau tetap pada prinsipnya.
Angela Merkel akan memasuki masa kepemimpinan ke- 4
sebagai kanselir Jerman apabila ia tidak mengundurkan diri. Jerman tidak
memiliki batas periode kepemimpinan sebagai kanselir. Masyarakat Jerman masih
mempercayai kepemimpinan Merkel. Survei mengenai popularitas dan
elektabilitasnya tetap tertinggi, walaupun menurun dalam beberapa terakhir
karena prinsipnya untuk tetap menerimapengungsidari Timur Tengah.
Popularitasnya saat ini telah sedikitnya
menyelamatkan Jerman dari semakin menguatnya Partai Alternatif untuk Jerman
(Alternative for Germany) yang dipimpin oleh Frauke Petry yang berhaluan
populis kanan dan skeptis terhadap EU. Menurunnya popularitas Merkel
menguntungkan buat kompetitor terdekatnya, Partai Sosial Demokrat yang dipimpin
Martin Schulz.
German broadcaster ARD mengungkapkan hasil
polling-nya minggu lalu yang menempatkan Schulz sebagai kandidat yang
berpotensi menggantikan Merkel karena terus secara konsisten mendapat tambahan
suara. Apabila kecenderungan ini terus berlanjut hingga pemilihan umum
September nanti, posisi Schulz akan kuat.
Rangkaian pemilihan umum baik presiden maupun
parlemen akan menjadi ujian bagi Masyarakat Uni Eropa apakah mereka dapat
bertahan dalam menghadapi gelombang politisi oportunis yang menunggangi
ketidakpuasan massal masyarakat terhadap struktur politik saat ini. EU dianggap
sebagai lembaga supranasional yang terlalu mengintervensi politik dalam negeri
masing-masing negara anggota.
Sama halnya dengan seruan yang dilontarkan oleh
Trump, kelompok-kelompok antikemapanan menuding globalisasi menjadi sumber dari
ketimpangan di dalam negeri. Nilai-nilai solidaritas yang menjadi dasar dari
terbentuknya Masyarakat Uni Eropa dipertanyakan karena dibenturkan dengan
fenomena menguatnya terorisme dan radikalisasi yang mengakibatkan beberapa
negara rentan dengan serangan aksi-aksi kejahatan teroris.
Perubahan yang terjadi di Eropa dapat berdampak
langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian kita. Perdagangan EU dan
Indonesia saat ini masih berada di bawah perdagangan regional ASEAN-EU dan
belum ada perjanjian bilateral langsung.
EU selama ini mendorong dalam kampanye
perdagangannya menginginkan sebuah kerja sama yang saling menguntungkan dan
bersama-sama menghilangkan efek negatif dari globalisasi dengan cara memastikan
keuntungan yang didapatkan oleh negara-negara berkembang yang terlibat kerja
sama dengan mereka.
Nilai-nilai ini mungkin akan menjadi terkompromikan
apabila EU cenderung untuk mendorong proteksionisme untuk melindungi dampak
negatif globalisasi bagi kepentingan dalam negeri mereka sendiri.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional;
KORAN SINDO, 08 Februari 2017
No comments:
Post a Comment