KEMENANGAN Alexander Van der Bellen dari Partai
Hijau di Austria mengalahkan Hofer, seorang politisi dan pemimpin Partai
Kebebasan dari sayap kanan pada minggu lalu belum dapat membuat para pejabat
tinggi Di Uni-Eropa bernapas lega. Karena di hari yang sama saat Perdana
Menteri Italia, Matteo Renzi, mengalami kekalahan dari referendum yang menuntut
pengurangan wewenang parlemen di Italia. Sejatinya apabila Matteo Renzi dapat
memenangkan referendum untuk mengurangi wewenang parlemen dalam
keputusan-keputusan eksekutif, maka Perdana Menteri dapat mengambil kebijakan
ekonomi-politik yang lebih mendukung penguatan Uni Eropa. Di sisi lain, hal itu
juga dapat mengurangi tekanan dari kelompok sayap kanan yang selalu mengerem
kebijakan-kebijakan yang Pro-Uni Eropa di Parlemen.
Gejala-gejala Eropa yang akan berubah haluan menjadi
lebih Kanan telah terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Kemenangan-kemenangan
kecil partai dan organisasi sayap kanan di satu negara dikhawatirkan akan
memiliki efek menambah kepercayaan diri kelompok sayap Kanan di negara lain.
Sayap Kanan di Eropa saat ini cenderung mendukung
kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis, lebih nasionalistik dalam ranah
politik dan cenderung anti-imigran dalam mengatasi masalah krisis pengungsi.
Selain Italia dan Austria yang secara formal menunjukkan penguatan sayap kanan,
negara-negara lain di Eropa juga memiliki kecenderungan sama dilihat dari
meningkatnya proporsi jumlah kursi dari tahun ke tahun untuk partai Kanan.
Contoh adalah Front Perancis Bersatu di bawah pimpinan Marine Le Pen yang
meningkat perolehan kursinya dari 4,3% di tahun 2007 menjadi 13,6% di tahun
2012. Perolehan kursi yang meningkat itu terjadi setelah Marine Le Penn
mengurangi kampanye “rasisme dan
xenopobia” sehingga mendapat tambahan suara dari golongan kiri-tengah.
Di Belanda, Party for Freedom yang dipimpin oleh
Greet Wilders juga mengalami pertumbuhan kekuatan parlemen yang signfikan.
Walaupun perolehan kursinya sempat menurun pada tahun 2010 akibat perselisihan
di dalam partai, Party for Freedom Belanda ini meningkat perolehan kursinya
dari 5,9% di tahun 2006 menjadi 10,1% di tahun 2012.
Di antara dua negara tersebut, Hungaria, Polandia
dan Swiss adalah negara-negara yang memiliki partai sayap kanan yang cenderung
menguat dalam beberapa pemilihan umum terakhir selain Inggris yang sudah keluar
EU. Saya sendiri secara pribadi belum berani untuk menyimpulkan mengapa Eropa
saat ini cenderung bergerak ke Kanan. Dari sisi indikator ekonomi, Uni Eropa
(EU) secara umum mengalami peningkatan. Pendapatan perkapita negara-negara EU
secara rata-rata adalah 28.800 Euro di tahun 2015. Dengan catatan, ada negara
dengan penghasilan sangat besar seperti Luxemburg dengan pendapatan per kapita
sebesar 89.900 Euro hingga Bulgaria yang terkecil sebesar 6.300 Euro.
Ada asumsi yang mengatakan bahwa sayap Kanan menguat
karena hilangnya pekerjaan akibat masuknya para pengungsi. Namun, apabila kita
lihat datanya, dari sisi pengangguran, negara-negara yang memiliki
kecenderungan menguat sayap Kanannya sangat bervariasi dalam tingkat
pengangguran.
Sehingga belum tentu pengangguran yang tinggi
menjadi faktor pemicu tumbuh dan berkembangnya partai sayap Kanan. Contoh,
secara berturut-turut tingkat pengangguran terhadap angkatan kerja berdasarkan
EuroStat, 2015: Jerman (4,6%), Inggris (ex-EU 5,3%), Prancis (10,4%), Italia
(11,9%), Belanda (6,9%), Spanyol (22,1%) dan Portugis (12,6%). Sebagai
perbandingan, angka pengangguran terhadap angkatan Kerja di Indonesia pada
tahun 2015 adalah 6,2%.
Tingkat pengangguran yang cukup tinggi di Prancis
dan Italia mungkin menjadi penyebab menguatnya sentimen anti EU. Tetapi hal ini
tidak terjadi di Spanyol dan Portugis yang bahkan memiliki tingkat pengangguran
lebih tinggi dari dua negara tersebut. Demikian pula, Jerman dan Inggris yang
memiliki tingkat pengangguran paling kecil tidak menjamin kebal dari virus
pengaruh gagasan Sayap Kanan. Inggris bahkan keluar dari EU akibat pengaruh
tersebut.
Kesimpulan sementara yang dapat diterima saat ini
terhadap menguatnya Sayap Kanan di Eropa adalah gagasan khayalan (delusional)
tentang akan lebih sejahteranya negara-negara Eropa bila berdiri sendiri. Atau
bila negara-negara anggota mendapatkan kembali wewenang mereka untuk
memerintah.
Seperti kita ketahui bersama bahwa EU bukan sekadar
forum atau asosiasi seperti ASEAN. Namun EU telah menjelma menjadi Super-State
yang memiliki tujuh lembaga sebagai tempat untuk menghasilkan keputusan bersama
yang kemudian wajib dilaksanakan oleh negara-negara anggota EU.
Tujuh lembaga tersebut adalah European Council, the
Council of the European Union, the European Parliament, the European
Commission, the Court of Justice of the European Union, the European Central
Bank, dan the European Court of Auditors. Para pemimpin Sayap Kanan berkampanye
dan menyakinkan bahwa apabila mereka mengurangi wewenang atau kapasitas EU atau
bahkan keluar dari EU, masyarakat akan lebih sejahtera.
Partai-partai sayap kanan di Eropa mungkin masih
membutuhkan waktu 1 atau 2 kali periode pemilihan umum untuk dapat memimpin di
negaranya masing-masing. Namun secara politik kemungkinan politik dalam negeri
di kawasan itu akan bergerak dari Kiri Tengah menjadi Kanan-Tengah demi
mencegah Partai Sayap Kanan (Far-Right) semakin menguat. Apabila hal itu
terjadi ada beberapa skenario yang mungkin bisa terjadi di dalam jangka pendek.
Skenario pertama adalah ketika terjadi resistensi
dan pembatasan bagi pencari suaka padahal solusi konflik di negara-negara yang
bermasalah belumlah terbentuk. Inggris yang sudah tidak terikat pada EU
misalnya merasa tidak perlu lagi membuka garis perbatasannya bagi para pencari
suaka.
Namun EU juga harus menelan pil pahit dari Turki
yang mengancam akan membuka perbatasannya bagi para imigran untuk masuk ke
Eropa. Pertentangan kebijakan berujung pada pengabaian masalah HAM dan
kemanusiaan, bahkan stigmatisasi pada kaum imigran dan pendatang. Hal ini akan
menyebabkan masalah atau krisis kemanusiaan di Timur Tengah akan semakin
mendalam dan membutuhkan kepemimpinan baru untuk menyelesaikannya.
Skenario kedua adalah mengingat bahwa di Austria
sudah tercetus pernyataan oleh partai sayap kanan bahwa Political Islam adalah
fasisme baru. Jika para elit politik dapat mengelola isu dengan baik, maka
pernyataan seperti itu akan ditentang melalui mekanisme pemilu, antara lain
dengan menguatkan kelompok-kelompok politik di jalur Kanan-Tengah agar
kelompok-kelompok Kanan kehilangan pendukung.
Tetapi jika isu seperti ini tidak dikelola dengan
baik, benturannya lagi-lagi akan berkembang di tataran masyarakat, mengoyak
stabilitas relasi antarkelompok-kelompok masyarakat. Pertentangan politik yang
menggunakan retorika agama adalah awal dari destabilitas sosial yang kerap
berujung pada ketegangan bahkan kehancuran rezim berkuasa.
Ini tantangan besar untuk mendidik publik agar
perkembangan negatif di belahan dunia lain tidak sampai diimpor juga ke dalam
negeri.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional;
KORAN SINDO, 07 Desember 2016
No comments:
Post a Comment