TEMAN saya, warga negara Indonesia, yang telah
bekerja di Kota Paris selama lebih dari lima tahun menjadi sangat khawatir
dengan hasil pemilu dua minggu lalu di Prancis, khususnya karena keunggulan
Marine Le Pen dari Partai Front Nasional. Marine Le Pen, menurut dia, dipandang
sebagai kandidat yang tidak punya jalan keluar atas masalah yang ada di
Prancis, tetapi pandai menggunakan sentimen antiminoritas, anti terhadap
imigran, dan anti terhadap EU dalam setiap diskusinya.
Le Pen menggunakan isu SARA dan menunjuk para
imigran, khususnya umat muslim, sebagai penyebab dari pelambatan ekonomi dan
peningkatan pengangguran yang relatif tinggi. Provokasi semacam itu sulit
dibendung karena dalam beberapa tahun terakhir ini Prancis memang diserang oleh
aksi teroris yang berafiliasi kepada ISIS. Meskipun ia kalah dari Macron pada
putaran pertama, secara umum agenda para kandidat telah cenderung bergerak ke
kanan dan intoleransi semakin menguat di antara warga Prancis.
Siapakah Marine Le Pen? Apakah beda model politik
Marine Le Pen dari pemimpin Partai Front Nasional terdahulu dan partai-partai
mainstream di Prancis? Marine Le Pen adalah putri Jean Le Pen, pendiri Front Nasional,
satu di antara partai politik sayap kanan di Prancis yang didirikan pada 1974.
Jean Le Pen sangat populer karena ia selalu mencoba keberuntungan untuk menjadi
calon presiden dalam setiap kesempatan pemilihan presiden sejak 1974, 1988,
1995, 2002, hingga 2007.
Kemenangannya terhadap Jacques Chirac dari Partai
Konservatif yang fenomenal pada putaran pertama pemilihan presiden pada 2002
membuat ia semakin percaya diri walaupun akhirnya ia kalah pada putaran kedua
karena partai Sosialis dan partai kecil lain bekerja untuk memenangkan Chirac
dan mencegah Le Pen menang. Jumlah pemilih pada putaran kedua tahun itu lebih
banyak dibandingkan putaran pertama sebagai hasil mobilisasi penuh
partai-partai yang sudah mapan. Meski demikian, popularitasnya pada putaran
pertama itu pun tidak dapat menyelamatkan dirinya dari kudeta yang dilakukan
oleh putrinya sendiri pada 2011. Marine Le Pen tidak menyukai sikap ayahnya
yang sangat provokatif, intoleran, dan tidak diplomatis, serta dianggap membuat
suara partai tidak tumbuh. Sebab itu, ia menyingkirkan ayahnya dan tampil
sebagai pemimpin partai di Front Nasional yang baru. Tindakan politik tersebut
tepat dan menguntungkan bagi Front Nasional.
Marine Le Pen membawa Front Nasional jauh “lebih
moderat” dalam ukuran sayap kanan sehingga dapat menghimpun para pemilih yang
tidak suka terhadap gaya kepemimpinan Jean Le Pen. Marine melakukan pembenahan
di dalam partai. Ia mengurangi figur-figur yang dianggap sebagai tokoh sayap
kanan ekstrem, bigot, pendukung NAZI atau anti-Yahudi. Ia melakukan
strukturisasi partai dengan mengisi kepengurusan dengan orang-orang yang lebih
muda, modern, berpendidikan, dan santun.
Ia bahkan memilih Florian Phillipot sebagai wakilnya
yang berusia 31 tahun dan baru tamat dari perguruan tinggi elite Ecole
Nationale d’Administration. Perubahan ini terutama untuk menyasar pemilih muda
dari sayap kiri dan kanan.
Strategi untuk membawa Front Nasional lebih
“moderat” tidak berati mengurangi garis politik partai yang sangat populis dan
kanan ini. Secara politik, kebijakan Front Nasional adalah menolak keanggotaan
Prancis dalam masyarakat Uni Eropa (EU), menolak Eurozone, menolak Schengen
Area, pendekatan yang keras terhadap pelanggaran hukum, dan penolakan terhadap
kebebasan bergerak bagi pendatang baik yang berasal dari negara-negara anggota
EU dan khususnya pendatang di luar EU.
Marine hanya mencoba untuk mengimbangi garis
politiknya populis kanan, tetapi berusaha untuk mencitrakan partainya sebagai
partai yang peduli dengan kelompok masyarakat lain, modern, dan progresif. Ia
bahkan tidak segan-segan mengancam membawa ke pengadilan apabila ada orang yang
menuduh Front Nasional sebagai partainya sayap kanan ekstrem di Prancis.
Strategi itu berhasil. Marine Le Pen mengikuti jejak
ayahnya untuk menjadi calon presiden setiap kali ada kesempatan untuk
mengikutinya. Ia adalah kandidat dengan perolehan suara banyak ketiga di bawah
François Hollande dan petahana Presiden Nicolas Sarkozy pada 2012. Ia
memperoleh 17% atau sekitar 6,42 juta suara. Perolehannya lebih tinggi dari
yang dicapai oleh ayahnya pada 2002. Jean Le Pen saat itu hanya memperoleh 4,8
juta atau sekitar 16,8%. Bintangnya pun terus bersinar hingga menempatkan diri
sebagai unggulan kedua di bawah Emmanuel Macron dari sayap tengah pada putaran
pertama presiden Prancis dua minggu lalu.
Kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Front
Nasional bukanlah sebuah kejutan. Para pengamat sudah sejak jauh-jauh hari
meramalkan bahwa Front Nasional akan berhasil mengubah dirinya dari partai
gurem menjadi partai mainstream di Prancis. Kemenangan Marine dan Macron dalam
Pilpres Prancis 2017 ini juga telah menjadi catatan sejarah penting di Prancis.
Dalam pilpres tahun ini mereka telah mengalahkan dua partai besar dan mapan
yang selalu ada dalam sejarah pemilu yaitu Partai Sosialis dan Partai
Konservatif (Union pour un Mouvement Populaire-UMP).
Mengapa Front Nasional dapat membesar dan
mengalahkan ideologi dua partai besar di Prancis? Mehdi Hasan, seorang jurnalis
di Washington DC, mengatakan di The Intercept bahwa penguatan Front Nasional
bukan hanya karena reformasi internal yang dilakukan oleh Marine sejak 2011,
melainkan juga karena politisi dari Partai Konservatif dan Sosialis yang ikut
memainkan isu SARA sejak lama untuk mendulang suara dan dengan dalih membendung
Le Pen agar tidak mendominasi suara anti-imigran yang sedang berkembang.
Politik SARA yang Jadi Bumerang
Contohnya adalah Presiden Mitterrand (Partai
Sosialis) yang mengatakan bahwa Prancis telah melampaui “ambang toleransi”
terhadap imigrasi. Meskipun kemudian Mitterand menarik pernyataannya tersebut,
Perdana Menterinya yang juga dari Partai Sosialis, Edith Cresson, memunculkan
kegaduhan ketika menyarankan agar imigran ilegal dideportasi dengan dipesankan
pesawat khusus.
Wartawan dari Uni Eropa Cathryn Cluver menjelaskan
bahwa pernyataan Mitterand pada akhir 1980-an itu mengejutkan karena selama
sepuluh tahun sebelumnya Mitterand dikenal sebagai presiden sosialis pertama di
Prancis yang memberi nuansa kemanusiaan pada kebijakan imigrasi di Prancis.
Antara 1981-1986 justru ada banyak peraturan imigrasi yang mendukung imigrasi
secara legal.
Penerus Mitterand, Jacques Chirac, mantan perdana
menteri Prancis pada 1991, rupanya bertugas mengembalikan suara Partai Sosialis
yang tergerus oleh Front Nasional. Karena itu, Chirac mengamini pernyataan
bahwa seluruh pekerja Prancis sudah lelah dengan imigran yang “malodorant et
bruyant” (berbau dan berisik).
Kaum imigran di Eropa, yang umumnya dari Arab dan
Afrika, dikonotasikan bau karena aroma masakannya dan berisik karena kerap
berkelahi dengan polisi. Pada masa itu pula mantan Presiden Valery Giscard
d’Estaing (Partai Konservatif/UMP) memperingatkan masyarakat akan “bahaya invasi” imigran.
Isu SARA diangkat lagi oleh Nikolas Sarkozy yang
meluncurkan “Debat Nasional tentang Identitas Nasional” pada 2009. Ia
mengumumkan larangan berkerudung yang sebenarnya hanya berlaku pada 2.000
perempuan dari total 2 juta perempuan muslim di Prancis pada 2010, juga berkoar
bahwa daging halal adalah “isu yang paling dibincangkan di Prancis” pada 2012.
Sarkozy pula yang menyebut Partai Front Nasional sebagai partai demokratis dan
menyebutnya “cocok untuk Republik”.
Kondisi di atas mengingatkan kita pada situasi yang
dihadapi juga di Tanah Air. Politisi yang mapan dari dua partai besar di Prancis
tidak pernah membayangkan bahwa strategi mereka untuk memainkan isu SARA
ternyata justru melapangkan jalan bagi Le Pen untuk menjadi lebih populer.
Diskriminasi dan konflik sosial di antara warga
Prancis dan imigran semakin tajam. Bibit radikalisme dan terorisme tidak hanya
subur di antara warga imigran muslim, tetapi juga warga Prancis. Kekerasan
seperti lingkaran setan yang semakin lama semakin rumit dan kompleks untuk
diuraikan.
Perkembangan politik SARA di Prancis patut menjadi
pertimbangan politisi dan pemilih di Indonesia saat pilkada, pemilu legislatif,
dan pemilu presiden. Memenangkan suara mayoritas hari ini bisa jadi bumerang
bagi stabilitas sosial pada tahun-tahun selanjutnya.
Dinna Wisnu, Pengamat Hubungan Internasional;
KORAN SINDO, 03 Mei 2017
No comments:
Post a Comment