Dalam tiga tahun terakhir, semangat membangun
infrastruktur fisik menjadi misi utama pemerataan ekonomi pada era Jokowi-JK.
Ruas jalan tol bertambah 568 kilometer, sembilan bendungan rampung, dan
jembatan bertambah 25.149 meter. Namun tak pernah ada evaluasi mengenai dampaknya
terhadap perekonomian. Puja dan puji pencapaian pembangunan memang terkadang
menidurkan akal sehat. Contohnya, pembangunan infrastruktur seharusnya berkorelasi
positif dengan penurunan angka kemiskinan. Faktanya, angka kemiskinan masih
cukup tinggi dan mengalami stagnasi. Jumlah orang miskin sebanyak 27,73 juta
orang pada September 2014 dan 27,77 juta orang pada Maret 2017. Artinya, hanya
berkurang 40 ribu orang atau turun 0,14 persen. Kesenjangan antara orang kaya
dan miskin makin lebar dengan rasio Gini tidak turun dari 0,39. Yang lebih
berbahaya, rasio Gini di pedesaan justru naik, dari 0,316 menjadi 0,320 per
Maret 2017.
Penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan ternyata
tidak signifikan dibanding besarnya anggaran infrastruktur. Selama 2014-2017,
total dana infrastruktur bertambah Rp 168,7 triliun. Kenaikan anggaran sebesar
94,8 persen dalam tiga tahun terakhir itu sayangnya tidak pernah dievaluasi. Partai
politik yang sudah merapat ke dalam lingkaran pemerintah bungkam. Yang paling
penting adalah membangun infrastruktur fisik. Dampaknya terhadap kesejahteraan
tidak pernah didiskusikan. Ada logika ekonomi yang tidak nyambung di sini.
Menurut peraih Nobel ekonomi 1971, Simon Kuznets,
pembangunan memang akan menelan korban, yakni semakin timpangnya pendapatan di
tengah masyarakat seiring kenaikan pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, di
Indonesia, pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK stagnan di angka 5 persen,
sementara ketimpangannya tetap tinggi. Contoh nyata adalah ratusan warung kecil
menanggung rugi akibat 70 persen kendaraan yang lewat di Pantai Utara pindah ke
jalan tol Cipali. Pembangunan infrastruktur ternyata hanya menguntungkan kelas
menengah dan kelas atas yang ribut jika Lebaran harus bermacetan di jalan.
Semakin panjang jalan tol dibangun, semakin timpang pendapatan antara 20 persen
masyarakat teratas dan 40 persen masyarakat termiskin.
Pembangunan jalan tol juga tidak mendongkrak
industri pengolahan. Pertumbuhan industri pengolahan justru tersungkur di angka
3,54 persen pada triwulan II 2017. Deindustrialisasi terus berjalan. Mantra
perbaikan biaya logistik tak mampu mendorong kinerja industri. Besarnya ambisi
pembangunan ini juga tak sejalan dengan kondisi kas pemerintah. Defisit
anggaran melonjak hingga ditargetkan 2,9 persen atau angka defisit anggaran
tertinggi sejak lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara 2003. Sedikit lagi
defisit bisa tergelincir ke angka 3 persen alias melanggar undang-undang.
Kebutuhan anggaran infrastruktur 245 proyek
strategis nasional mencapai Rp 4.197 triliun. APBN hanya mampu menanggung Rp
525 triliun. Sisanya harus dicari dari utang, penugasan BUMN, dan swasta. Tapi utang
itu punya konsekuensi politik. Salah satunya bisa dijadikan negara satelit
Cina. Total utang dalam tiga tahun pun meroket Rp 1.200 triliun. Mampukah
pemerintah melunasinya? Dalam catatan Kementerian Keuangan, hingga 2045, kita
masih harus melunasi utang jatuh tempo. Utang per kapita sudah di atas Rp 13
juta per penduduk. Kalau terus dibiarkan, penambahan utang yang agresif hanya
akan menjadi bencana fiskal dalam jangka panjang atau setidaknya bisa
menimbulkan krisis. Padahal penerimaan pajak masih kurang Rp 513 triliun di
sisa dua bulan ini. Dari mana pemerintah bisa menutupi defisit?
Jalan satu-satunya adalah menjinakkan bom waktu
utang. Proyek infrastruktur perlu dirasionalisasi, misalnya dikurangi dari 245
menjadi 50 proyek. Hanya infrastruktur yang berdampak langsung terhadap
masyarakat lokal yang dibangun hingga 2019. Infrastruktur lain bisa dibangun
bertahap. Begitu juga proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt, yang sungguh
tak masuk akal bila terus dilanjutkan karena asumsi awalnya menggunakan
pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen. Karena uang APBN semakin menciut,
pemerintah gencar mencari pendanaan lain dengan beragam skema. Sayangnya,
realisasi investasi asing selama tujuh tahun terakhir rata-rata hanya 27,5
persen dari total komitmen. Artinya, jamuan makan dan sambutan hangat untuk
mendatangkan investor tak efektif.
Kalau investasi tidak bisa diandalkan, pemerintah
pasti akan menengok ke kantong masyarakat. Subsidi mungkin dipangkas, pajak
semakin ganas, atau pungutan lainnya semakin mencekik. Kesimpulannya, tiga
tahun telah berlalu dan masyarakat harus lebih bersabar. Momen bersejarah
reformasi infrastruktur tidak semurah yang dibayangkan. Ongkosnya harus
ditanggung masyarakat miskin. Kalau konsep pembangunan ini tidak segera diubah
total, mimpi kesejahteraan yang hanya mengandalkan jalan tol tampaknya sulit
diwujudkan.
Bhima
Yudhistira Adhinegara, Peneliti INDEF
TEMPO.CO, 25 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment