Penilaian terhadap dampak sebuah kebijakan
pemerintah perlu berlandaskan pada teori, metodologi, dan data empiris yang
kuat sehingga dapat dilihat sejauh mana pengaruh suatu kebijakan dapat mencapai
tujuan yang diinginkan. Kebijakan pembangunan infrastruktur yang dilakukan
pemerintah sejak tahun 2015 merupakan salah satu yang bisa kita banggakan dan
dapat dianalisis efeknya terhadap perekonomian Indonesia. Ibarat sebuah pabrik,
ekonomi suatu negara memiliki kapasitas produksi yang dalam ilmu ekonomi biasa
disebut dengan pertumbuhan output potensial yang ditentukan oleh jumlah tenaga
kerja, stok kapital, dan tingkat produktivitas. Permasalahannya adalah
pertumbuhan output potensial Indonesia terus menurun.
Berdasarkan hitungan dengan pendekatan penawaran
agregat (Phillips Curve), pertumbuhan output potensial Indonesia saat ini
diperkirakan hanya 5,2-5,5 persen dari sebelumnya mendekati 7 persen. Padahal,
Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan yang tinggi karena pertumbuhan sebesar
5,2-5,5 persen tidak cukup untuk Indonesia agar dapat segera menjadi negara
berpendapatan tinggi. Agar dapat keluar dari jebakan negara berpendapatan
menengah dalam 20 tahun ke depan, ekonomi Indonesia harus tumbuh di atas 6
persen. Pertumbuhan yang tinggi juga dibutuhkan untuk mengurangi tingkat
kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja. Oleh sebab itu, dibutuhkan terobosan
agar mampu meningkatkan pertumbuhan output potensial kembali di atas 6 persen.
Salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah reformasi struktural, antara
lain perbaikan SDM, pembangunan infrastruktur, reformasi pasar tenaga kerja,
dan revitalisasi industri.
Jauh dari ideal
Studi Bank Dunia (2015) dan Global Mckinsey (2013)
menunjukkan kondisi infrastruktur Indonesia masih jauh dari kondisi ideal
bahkan cenderung memburuk. Pertama, dibandingkan dengan negara-negara lain di
dunia (rata-rata 70 persen produk domestik bruto/PDB), stok infrastruktur
Indonesia termasuk yang terendah (38 persen PDB). Kedua, jika dibandingkan
dengan masa sebelum krisis ekonomi Asia pada tahun 1997/1998, jumlah stok
infrastruktur Indonesia menurun dari 49 persen PDB pada 1995 menjadi 38 persen
PDB pada 2012. Turunnya stok infrastruktur dikarenakan investasi infrastruktur
yang terus menurun dalam dua dasa terakhir. Inilah yang melandasi Pemerintah
Indonesia memberikan perhatian lebih pada pembangunan infrastruktur sejak tahun
2015. Alokasi anggaran infrastruktur meningkat dari Rp 154,1 triliun pada tahun
2014 menjadi Rp 256,1; Rp317,1; Rp387,3 triliun pada 2015, 2016, dan 2017.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 pun menetapkan target yang tinggi untuk infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur pada jangka menengah ini difokuskan pada tiga jenis
infrastruktur, yakni infrastruktur penyedia pelayanan dasar (seperti
infrastruktur air minum dan sanitasi), infrastruktur pendukung sektor unggulan
(seperti tol laut dan listrik 35 megawatt), dan infrastruktur perkotaan
(seperti angkutan massal rel dan jalan). Hingga saat ini, sudah banyak
pembangunan infrastruktur yang direalisasikan.
Investasi infrastruktur pemerintah beberapa tahun
belakangan ini telah membuahkan hasil yang tecermin dari naiknya peringkat
kualitas infrastruktur Indonesia dalam Laporan Daya Saing Global (Global
Competitiveness Report) 2017-2018 dari posisi ke-60 menjadi posisi ke-52 dari
total 137 negara. Namun, perlu dicatat, peringkat Indonesia dalam Laporan Daya
Saing Global 2017-2018 hanya bisa mencapai posisi ke-36 dari sebelumnya ke-41
karena salah satu penyebabnya adalah peringkat infrastruktur Indonesia yang
masih belum meningkat cepat.
Kondisi infrastruktur Indonesia masih lebih rendah
daripada Singapura, Malaysia, dan Thailand yang menduduki peringkat ke-2,
ke-22, dan ke-43. Artinya, Indonesia perlu tetap bekerja keras dalam
meningkatkan kualitas infrastruktur ke depan.
Pengalaman negara lain juga menunjukkan bahwa
pembangunan infrastruktur menjadi kunci untuk dapat tumbuh lebih tinggi.
Contohnya adalah China yang pernah tumbuh dua digit selama lebih dari satu
dekade, yang salah satunya didorong oleh pembangunan infrastruktur. Contoh lain
adalah Amerika Serikat (AS) yang meningkatkan pengeluaran anggaran pemerintah
untuk pembangunan infrastruktur di sekitar tahun 1990-an sampai puncaknya tahun
2002 yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi AS menjadi sekitar 4 persen pada
periode 1994-2000. Bahkan, saat ini Donald Trump kembali meningkatkan
pengeluaran anggaran untuk infrastruktur sebagai salah satu upaya mendorong
pertumbuhan ekonomi AS.
Berbagai literatur juga menunjukkan pembangunan
infrastruktur mampu meningkatkan produktivitas, menurunkan biaya produksi, dan
menciptakan lapangan kerja. Pembangunan infrastruktur pun terbukti dapat
mendorong berkembangnya sektor lain dan mampu meningkatkan jaringan informasi
dan akses pasar. Studi Dana Moneter Internasional (2014) menunjukkan, kenaikan
investasi infrastruktur publik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik
jangka pendek maupun jangka menengah. Satu persen kenaikan investasi
infrastruktur publik di negara berkembang akan meningkatkan output sebesar 0,1
persen pada tahun tersebut dan 0,25 persen empat tahun kemudian.
Dampak pada perekonomian
Hingga saat ini, sudah banyak pembangunan
infrastruktur yang dilakukan oleh Indonesia. Namun, bagaimana dampaknya
terhadap perekonomian? Dengan menggunakan model Interregional Input-Output (IRIO,
2010), dampak pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian dapat dianalisis
sampai dengan tingkat provinsi sehingga dapat diketahui efeknya terhadap
ekonomi provinsi dan pengurangan kesenjangan antar wilayah. Simulasi dilakukan
untuk melihat dampak pembangunan tiga jenis infrastruktur (listrik,
transportasi, dan pengairan) tahap konstruksi pada tahun 2017 dan 2018 yang
berlokasi di semua provinsi sesuai dengan perencanaan.
Hasil temuan studi ini ternyata sejalan dengan
harapan. Pada tahap konstruksi, pembangunan infrastruktur ternyata mampu
menciptakan nilai tambah terhadap perekonomian dan dapat mengangkat pertumbuhan
ekonomi sebesar 1 persen. Sebagai contoh, jika pertumbuhan ekonomi pada
skenario dasar (baseline) adalah sekitar 5 persen, tambahan pertumbuhan yang
akan disumbang oleh adanya pembangunan infrastruktur di tahun 2017 adalah 1
persen di atas skenario dasar. Hasil simulasi ini juga menunjukkan bahwa
pembangunan infrastruktur juga akan mendorong peningkatan aktivitas
sektor-sektor lain. Dua sektor yang akan diuntungkan, selain sektor konstruksi,
adalah sektor industri pengolahan dan distribusi. Sebagai contoh, berjalannya
proyek-proyek infrastruktur selama masa konstruksi akan meningkatkan permintaan
akan barang-barang input, seperti semen, besi, beton, mesin, atau alat berat,
yang selanjutnya dapat menggerakkan industri terkait barang-barang tersebut.
Dampak pembangunan infrastruktur berdasarkan sebaran
wilayah juga menarik untuk dicermati. Walaupun proporsi investasi infrastruktur
sebagian besar berlokasi di Pulau Jawa, ternyata efek pengganda terbesar
terjadi di Maluku dan Papua. Secara sederhana, semakin besar efek pengganda
menunjukkan semakin besarnya nilai tambah yang tercipta dari besaran nilai
investasi yang sama. Jika dilihat dari besarnya kontribusi nilai tambah
terhadap PDB setiap provinsi, provinsi-provinsi yang menikmati keuntungan
terbesar adalah yang berlokasi di luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan Tengah,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Bengkulu.
Hal penting lainnya adalah pembangunan infrastruktur
akan mendorong peningkatan aktivitas sektor-sektor lain, baik di tingkat
nasional maupun di setiap provinsi. Sebagai contoh, di Sulawesi Barat, 47
persen dari total nilai tambah yang diciptakan oleh pembangunan infrastruktur
terjadi di sektor pertanian. Contoh lain, di Sumatera Barat, 28 persen dari
total nilai tambah yang diciptakan oleh pembangunan infrastruktur terjadi di
sektor industri pengolahan. Di Jawa Barat, 34 persen dari total nilai tambah
yang diciptakan oleh pembangunan infrastruktur di provinsi itu terjadi di
sektor industri pengolahan.
Sebagai catatan, tulisan ini hanya mencakup analisis
pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah, BUMN, dan Kerja Sama
Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Sebenarnya, dampak yang akan tercipta dari
pembangunan infrastruktur akan lebih besar lagi jika menghitung juga
pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh swasta.
Studi ini memberikan bukti empiris akan manfaat dari
pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian yang cukup besar. Namun, perlu
diingat, seperti ditunjukkan oleh studi IMF, manfaat terbesar dari pembangunan
infrastruktur ini akan dirasakan dalam jangka menengah dan jangka panjang
karena penyelesaian proyek infrastruktur membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Sebagai contoh, masa konstruksi pembangkit listrik butuh waktu 3-5 tahun.
Untuk itu, dalam jangka pendek pemerintah harus
tetap mengombinasikan kebijakan pembangunan infrastruktur dengan
kebijakan-kebijakan lain yang mendorong sisi permintaan. Saya yakin bahwa
kebijakan pembangunan infrastruktur adalah kunci untuk dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan pada gilirannya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. Mengingat pembangunan infrastruktur
akan lebih terasa manfaatnya untuk jangka menengah dan panjang, kebijakan
pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah saat ini sebenarnya
bukan hanya untuk kepentingan sekarang, melainkan juga untuk kepentingan
pemerintah ke depan. Oleh sebab itu, kebutuhan terhadap pembangunan
infrastruktur merupakan sesuatu yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Bambang PS
Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional; Kepala Bappenas
KOMPAS, 26 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment