PADA 20 Oktober 2017, usia pemerintahan Jokowi-JK
genap tiga tahun dari lima tahun masa bakti Presiden dan Wakil Presiden periode
2014-2019. Meskipun belum genap lima tahun, terdapat banyak hal yang telah
terjadi, baik dalam perekonomian nasional maupun lingkungan global. Dari sekian
banyak faktor eksternal, pelemahan harga komoditas dunia menjadi salah satu
faktor yang sangat berpengaruh terhadap kinerja ekonomi nasional.
Dari sisi kebijakan fiskal, terdapat perubahan yang
cukup signifikan terhadap postur belanja negara. Pada APBNP 2015, alokasi
belanja untuk infrastruktur dianggarkan sebesar Rp290 triliun. Meskipun
realisasi penyerapannya hanya mencapai Rp256,3 triliun, hal ini menandai
agresivitas pemerintahan Jokowi-JK dalam hal pembangunan infrastruktur.
Realisasi belanja infrastruktur pada tahun berikutnya, 2016, kembali meningkat
menjadi Rp317 triliun.
Sementara itu, untuk tahun ini ditetapkan belanja
infrastruktur sebesar Rp388,3 triliun dan pada 2018 dianggarkan sebesar Rp409
triliun. Agresivitas belanja infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan di
satu sisi diperlukan, di sisi lain menciptakan sejumlah persoalan. Pertama,
defisit anggaran dalam APBNP 2017 sangat tinggi mencapai 2,92%. Kedua,
meningkatnya utang pemerintah, per Agustus 2017 telah mencapai Rp3.852,79
triliun. Meskipun secara persentase terhadap PDB masih relatif aman dan
terkendali, yaitu sebesar 27,9%, pemerintah perlu lebih berhati-hati dan
berhitung secara cermat terkait dengan kapasitas fiskal untuk pembayaran, baik
dari cicilan maupun pembayaran pokok pinjaman.
Sepertinya hal ini sangat dipahami oleh pemerintahan
Jokowi-JK dan dalam APBN 2018, defisit fiskal ditargetkan jauh lebih moderat
dibandingkan APBNP 2017, yaitu hanya sebesar 2,19%. Mengingat besarnya
kebutuhan anggaran infrastruktur sebesar Rp4.796,2 triliun, selain peran BUMN,
peran swasta dalam pembangunan infrastruktur perlu terus ditingkatkan, terutama
infrastruktur yang memiliki nilai komersial.
Realisasi penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir
juga selalu di bawah target yang ditetapkan. Misalnya pada 2015, realisasi
penerimaan negara dari sektor perpajakan sebesar 81,5% atau Rp1.055 triliun
dari target APBNP 2015 sebesar Rp1.294,25 triliun. Sementara itu, pada 2016,
realisasi penerimaan sektor perpajakan mencapai 81,54% atau Rp1.105 triliun
dari target APBNP 2016 yang ditetapkan sebesar Rp1.355 triliun. Selain faktor
penetapan target perpajakan yang dianggap terlalu tinggi untuk menyesuaikan
besarnya belanja negara, faktor perlambatan pertumbuhan sektor riil juga
berdampak pada melesetnya realisasi penerimaan sektor perpajakan. Hal ini
tercermin pada realisasi pertumbuhan kredit nasional yang lebih rendah dari
target yang ditetapkan. Data dari BI dan OJK menunjukkan, pada 2015, pertumbuhan
kredit perbankan nasional hanya mampu tumbuh sebesar 10,1% di bawah target
semula sebesar 11-13%. Sementara itu pada 2016, pertumbuhan kredit perbankan
hanya mampu tumbuh sebesar 7,87% dan jauh dari target semula sebesar 9-12%.
Ketika inflasi dalam 2015-2016 relatif terjaga
rendah yang membuat BI menurunkan beberapa kali suku bunga acuan, maka
seharusnya realisasi kredit perbankan bisa tumbuh melampaui target awal. Namun
ketika realisasi tidak setinggi yang diharapkan, hal ini menunjukkan kegairahan
dunia usaha tidak setinggi yang diprediksi semula. Meskipun begitu, keseriusan
pemerintahan Jokowi-JK dalam melakukan pembenahan ekonomi nasional membuahkan
hasil. Lembaga pemeringkat Standar & Poor’s (S&P) menaikkan sovereign
credit rating Indonesia menjadi BBB-/A-3 dengan outlook stabil. Dengan kata
lain, Indonesia telah memperoleh investment grade dari S&P dan melengkapi
lembaga lain yang telah memberikan investment grade, yaitu Fitch pada 2011 dan
Moody’s pada 2012.
Hal ini menunjukkan kepercayaan dunia internasional
terhadap prospek ekonomi Indonesia semakin meningkat. Baru-baru ini, peringkat
daya saing Indonesia menurut Global Competitiveness Index 2017-2018 meningkat
dari posisi 41 menjadi 36 dunia. Meskipun mengalami perbaikan, sejumlah negara
ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand memiliki peringkat daya saing
yang lebih baik dan berada di posisi ke-3, 23, dan 32 dunia. Hal ini
menunjukkan pekerjaan rumah untuk terus mendorong daya saing nasional masih
membutuhkan konsentrasi dan fokus bagi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah.
Meskipun tidak menurun secara tajam, beberapa
indikator seperti Gini-Coefficient, angka pengangguran dan angka kemiskinan
dapat terus ditekan dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, penetapan harga BBM
satu harga, terutama di kawasan timur Indonesia perlu kita apresiasi bersama
sebagai bentuk political dan good will dari pemerintahan Jokowi-JK dalam hal
pemerataan pembangunan.
Dari sektor ketenagakerjaan, masih besarnya penduduk
yang bekerja di sektor informal perlu mendapatkan perhatian khusus dari
pemerintah. Menurut data BPS per Februari 2017 terdapat 58,35% penduduk yang
bekerja di sektor informal. Memang pengangguran terbuka hanya sebesar 5,33%,
namun ketika jumlah tenaga kerja yang masuk ke sektor informal mendominasi
angkatan kerja kita, maka hal tersebut akan menimbulkan persoalan perlindungan
dan kesejahteraan angkatan kerja yang berpotensi mengurangi upaya meningkatkan
produktivitas nasional. Oleh karenanya, tantangan saat ini dalam sektor
ketenagakerjaan adalah membalikkan kondisi sektor formal yang sebaiknya lebih
besar dibandingkan sektor formal. Investasi baik PMA maupun PMDN perlu terus
ditingkatkan tidak hanya untuk perluasan penciptaan lapangan kerja sektor
formal, juga untuk penguatan struktur industri nasional.
Tentunya semua pihak berharap dalam sisa waktu dua
tahun ke depan, penuntasan agenda-agenda pembangunan nasional di bidang ekonomi
akan tetap menjadi fokus pemerintah di tengah mulai ramainya kontestasi
politik. Hal ini sangatlah penting diperhatikan oleh banyak pihak mengingat
pada 2018 akan penuh sesak dengan jadwal dan agenda politik. Menurut KPU, tahun
depan dijadwalkan terdapat 171 Pilkada serentak, penetapan parpol peserta
Pemilu, pengajuan dan penetapan caleg DPRD-DPD-DPR, dan pengajuan bakal calon
Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. Stabilitas politik, keamanan dan
ketertiban tetap harus dijaga sebagai prasyarat utama pembangunan ekonomi
berkelanjutan. Selain itu, juga kontestasi politik yang eskalasinya
diperkirakan akan meningkat menjelang 2019 tentu diharapkan tidak mengganggu
penuntasan program kerja bidang ekonomi terutama agenda pengentasan kemiskinan,
penyediaan lapangan kerja, ease doing
business, pembangunan infrastruktur, pemerataan ekonomi, investasi dan
pelaksanaan good governance.
Firmanzah,
Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis-Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 19 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment